“Mi Amor, maaf. Livy, dengarkan aku—“Sebelum El menuntaskan kalimatnya, Livy menimpali, “Aku tahu ini bukan pertama kali kamu lembur. Di awal pernikahan kita, kamu sering dinas ke luar negeri. Tapi … bukan seperti ini caranya.” Livy menghela napas, kecewa pada El, ia tidak menyangka suaminya pulang selarut ini. Pengalaman di masa lalu membuat semakin ketakutan, bahkan hatinya paling keras menggaungkan jika El bersama seorang wanita.“Kamu janji makan malam bersama kami.” Livy tersenyum sinis. “Tanpa telepon atau pesan, kamu memaksa aku dan anak-anakmu terlambat makan. Apa sesibuk itu?” tanya Livy memicingkan mata.“Mi Amor, aku tidak tahu kalian menungguku pulang,” lirih El sembari mengayunkan kaki mendekati Livy.Pria itu duduk di tepi ranjang, satu tangannya terjulur hendak meraih jemari lentik istri. Sayang, Livy bergerak lebih cepat, menarik dan menyembunyikan kedua tangan di balik selimut.“Aku minta maaf,” sesal El.Wajah lelah itu bercampur dengan penyesalan mendalam, El memba
“Siapa yang telepon?” tanya Al dan Gal saling melirik satu sama lain.Gal mengetuk-ngetuk dagu, bola matanya bergerak ke atas. Anak itu menerka-nerka, karena setelah mengintip ponsel El, hanya terdapat deret nomor. Al tahu itu bukan kerabat atau orang yang biasa menghubungi ayahnya.“Jangan diterima Dad! Itu orang asing,” tegas Al menatap intens wajah sang ayah.“Aneh ya, kenapa dia bisa tahu nomor telepon Daddy kita?” Gal menggembungkan pipi lalu berlari ke pangkuan Livy. “Mommy, tolong usir orang asing itu, kasihan Daddy!” Kedua tangan mungil Gal menangkup pipi ibunya.Sedangkan Livy diam membisu, tidak perlu melihat langsung, dari keterangan buah hatinya saja ia tahu siapa orang yang mengganggu suasana pagi. Ia mengembuskan napas kasar, hendak bangkit dan melanjutkan aktivitasnya.“Mommy mau ke mana? Kita ‘kan mau jalan-jalan,” celoteh Gal melingkarkan erat kedua tangannya ke leher Livy.“Mommy mau kerja, jalan-jalannya lain waktu saja ya. Pekerjaan di kantor sangat banyak,” ujar ib
“Kamu bilang semua makanan dimasak chef, ternyata bukan,” ketus Livy, bibir tipis semerah cherry itu maju beberapa senti.El mengulum senyum, darahnya berdesir, bulu kuduknya meremang ingin melahap candunya itu. Akan tetapi ia berusaha menahan diri, lantaran kata ‘maafnya’ belum diterima Livy.“Kenapa diam? Kamu itu membahayakan diri sendiri,” sambung bibir glossy.“Kamu terlalu memesona, akhirnya aku lupa jawab.” El tersenyum tanpa dosa, tak lama berteriak kesakitan, “Akh … ini sakit Mi Amor, pelan-pelan sedikit.”Livy mendengus kasar, kemudian melanjutkan kegiatannya, membersihkan luka di tangan El yang memanjang. Bukan sekadar terkena minyak panas, tetapi beberapa jari El terdapat luka dari benda tajam. Entah bagaimana cara El masak, karena tangannya mengenaskan.Satu jam lalu, setelah makan siang, Livy memutuskan kembali ke mansion lantaran tidak tega melihat suaminya beberapa kali meringis. Beruntung Al dan Gal mengerti, dua anak itu patuh tanpa membatah. “Selesai, itu akan hil
“Selama ini anak kita sering bertukar kabar,” sahut El terburu-buru menjelaskan. “Mungkin mereka membutuhkan kawan bicara,” sambungnya.“Mereka itu masih kecil El, bisa-bisanya kamu tidak melarang putrammu mengganggu putriku!” garang Arjuna, lalu mendengus kasar.“Sudahlah, tidak apa-apa. Mungkin kita bisa menjodohkan mereka.” Claudya—istri Arjuna, tersenyum lebar menampilkan deret gigi putih bersih.Ide dadakan itu disetujui oleh Livy, ia langsung mengangguk, karena sudah pasti Al memiliki masa depan cerah, bersanding dengan salah satu putri dari keluarga Caldwell. Terpenting lagi, ia yakin putri rekan bisnis suaminya memiliki perangai yang baik.“Aku setuju, tapi kita tidak perlu memikirkannya sekarang. Mereka juga masih terlalu kecil,” timpal Livy.“Apa?! Aku tidak bisa sembarang menentukan jodoh untuk Calantha dan Claira, calon suaminya harus melalui seleksi ketat,” ketus Arjuna melipat tangan depan dada.Sedangkan El dan Livy saling melirik, sepasang orang tua itu merasa khawatir
“Mi Amor, maaf. Ini tidak seperti pikiranmu,” ucap El mencoba menjelaskan kronologi sebenarnya.“Hu’um,” sahut Livy.Kedua tangan serta netra wanita itu fokus mengupas satu buah apel. Livy menulikan telinga, enggan memperkeruh suasana di waktu yang tidak tepat. Meskipun tidak dipungkiri, wajahnya lebih kaku, menolak menoleh El dan menjawab pertanyaan seadanya. Selesai mengupas serta memotong kecil-kecil apel, ia beranjak hendak mencuci tangan.“Livy, mau ke mana? Jangan pergi! Kemarilah duduk di sini.” El menepuk tepi ranjang.“Tanganku lengket, mau cuci tangan, apa kamu betah kalau tanganku kotor begini?” ketus bibir tipis semerah cherry itu.Tanpa menunggu jawaban dari mulut El, Livy melenggang pergi ke kamar mandi. Di depan cermin wastafel, ia meremas kain di dadanya, tidak tahu lagi harus melakukan apa karena ternyata suaminya itu masih menemui Nyonya Marquez.Setelah lima belas menit melamun di kamar mandi, Livy kembali menemui El, tampaknya di sana ada seorang dokter dan perawat
Keesokan harinya El bangun lebih pagi, bukan tanpa alasan melainkan berusaha menebus kesalahannya. Semalam setelah percakapan panjang dan serius, Livy tidak tidur satu ranjang dengannya, wanita itu memilih memejamkan mata beralaskan sofa.Pagi ini El sibuk memimpin chef di dapur, pria itu menginginkan menu spesial lantas membawanya ke kamar. “Letakkan di sana!” El menunjuk meja tepat di samping sofa.Pria itu tersenyum simpul lantaran Livy-nya masih nyenyak. El benar-benar menyesal karena kejadian di rumah sakit. Ia tidak tahu kalau tangannya dipegang wanita lain.Sebelum membangunkan Livy, ia berdeham dan berujar, “Mi Amor! Ayo bangun! Sarapan untukmu sudah siap.” Mendengar suara lembut, menenangkan tetapi menyebalkan, membuat Livy mengerjap mata, tetapi enggan membalik tubuh menghadap El. Wanita itu juga tidak mau wajahnya dilihat oleh sang suami.“Mi Amor? Kamu mau tidur lagi? Tidak biasanya,” ucap El keheranan. “Masih marah?” tanyanya hati-hati.“Hu’um,” jawab Livy bukannya mele
“Perempuan, Tuan Kecil. Beliau—“ Buru-buru Al menyela, “Hah perempuan, cepat usir. Kita tidak boleh membuat Mommy menangis lagi!” seru bocah itu. “Ayo Gal, kita temui perempuan di bawah sana!” ajak Al menarik paksa tangan adiknya.“Hu’um kakak benar! Kita tidak boleh diam saja,” sahut Gal sama antusiasnya.Kedua anak itu berlari tergesa-gesa menuruni anak tangga, meninggalkan Kepala Pelayan yang mendadak membisu melihat tingkah Tuan Kecilnya.“Tapi Tuan Kecil tidak boleh melakukan itu!” seru Kepala Pelayan, akhirnya bukan menyelesaikan tujuan, malah mengejar Al dan Gal.Dua anak itu tiba dengan cepat di lantai satu, mereka melihat seorang wanita tengah duduk di ruang tamu. Namun, alis Al dan Gal menekuk tajam, netra biru safirnya saling berpandangan dan menyiratkan pertanyaan.“Jadi itu tamu perempuannya?” tunjuk Al.Gal mengangguk. “Sepertinya iya Kak, tapi … kenapa mirip dengan—“Al berteriak keras, “Bibi Estefania?”Seketika, wanita berambut pirang yang duduk di sofa sembari memba
“Sudah biarkan saja, mereka aman bersama Estefania. Kepala Pengawal juga ada di sana, kemarilah duduk bersamaku,” ajak El hendak menautkan jemarinya dengan jari-jari Livy.“Tapi …” Livy menolak, ia malah menggigit bibir bawah dan menghela napas. “Perasaanku tidak enak.” Kemudian ia menoleh El, dan merengut. “Aku belum memaafkan kamu!”Di tempat berbeda tepatnya di mansion, El masih berusaha meluluhkan hati Livy. Pria itu tahu, telah melakukan kesalahan merusak kepercayaan sang istri. Untuk memulihkannya memerlukan waktu tidak sebentar.Tadi, ketika Estefania berkunjung, El seolah mendapat bantuan, oleh karena itu ia menitipkan buah hatinya. Bos Torres Inc ini ingin memiliki waktu berdua bersama sang istri.“Iya aku tahu Mi Amor, tidak ada salahnya duduk. Aku juga mau menelepon Paman Alonso.” El mendaratkan bokong di sofa, lalu mengeluarkan ponsel dari saku celana.Pria itu menekan layar pipih, sesekali ekor matanya melirik Livy—yang terus memandang ke luar jendela. El mengulum senyum,