Selamat hari kamis Selamat membaca ╰(^3^)╯
“Maaf,” ucap keduanya setelah melayang tinggi.El tidak bisa marah terlalu lama pada wanitanya, rasa cintanya terlalu besar, bisa jadi melebihi diri sendiri.El tahu, sikap posesifnya tidak nyaman bagi Livy. Sebagai pria yang pernah gagal mengubah wanitanya, ia takut Livy terbuai akan gemerlap kehidupan pengusaha. Sekarang, wanita ini bergelimang harta, bukan dari jatah uang bulanan, tetapi El memprediksi FG akan mencetak keuntungan besar.Banyak pria di luar sana lebih muda darinya, dan … satu hal yang tidak El miliki. Ia takut wanitanya berpaling, mendapat kesempurnaan dari pria lain.“Aku lapar, kalau Kakak tidak mau, makanannya untukku ya,” canda Livy, turun dari gendongan suaminya. “Kak El mau puasa?”Bukannya menjawab, El malah memandangi lamat-lamat bidadari miliknya. Ia mengusap lembut pipi manis menggunakan punggung tangan, lalu memeluk erat tubuh Livy.“Apa tidak bisa kalau sekretarismu saja yang menemui Diego? Aku … tidak suka, Sayang.” Bibir penuh El cemberut.“Aku tidak
“Livyata?! Ternyata kamu di sini?” teriak seorang pria dengan napas terengah.Seketika riak pada wajah El berubah kian garang, bak memiliki tanduk tak terlihat. Pria ini memejamkan mata sebentar, giginya saling bergemeletuk, urat lehernya berkedut.“Diego! Untuk apa ke sini, hah?” sergah El. “Tuan Muda tenanglah, aku ke sini menemui rekan kerjaku, sekretarisnya bilang CEO ada urusan mendesak. Aku perlu tahu apa itu, kalau istrimu kabur lalu tidak menyelesaikan kontrak bagaimana?” Alasan receh Diego.El mengembuskan napas jengah, lalu berkata, “Karena kamu ada di sini, bantu pramuniaga itu! Aku dan istriku harus pulang!” tunjuk El ke tengah ruangan khusus gaun wanita.Mendapat perintah seperti itu Diego menganga lebar, pasalnya ia jauh-jauh menemui Livy ke butik hanya menjadi pesuruh dari El.Sebagai hukumn ringan, El memerintah pramuniaga memilih gaun terbaik di butik, lalu mengantar secara langsung ke mansion. Kini tugas perempuan itu terbantu dengan hadirnya Diego.Sedangkan El dan
‘Dia ‘kan wanita itu,’ Livy membatin, pandangannya tak luput dari sosok berdiri anggun di depan suaminya.Saat ini, paru-paru dan jantungnya bagai menciut, napas terasa berat dan nyeri sekitar dada. Livy membelalak ketika El menerima uluran tangan itu. Tidak ada yang aneh memang, lagi pula sejak tadi pria dan wanita saling berjabat tangan.Berbeda dengan yang ini, Livy tidak terima, ingin sekali ia berteriak dan mengusir wanita di depannya.“Terima kasih, silakan nikmati pestanya,” ujar El sembari melepaskan tangan.“Tuan, Nyonya, saya datang menyampaikan hadiah dari Bos, beliau berhalangan hadir,” tutur wanita itu memberikan kotak kecil ke tangan El.Entah mengapa di telinga Livy suara itu merambat manja dan menggoda. Mungkin perasaannya terlalu berlebihan, mengingat foto yang ditunjukan oleh Diego.“Permisi Tuan dan Nyonya,” pamit wanita bergaun seksi dan terbuka.Meskipun wanita berparas cantik itu telah menjauh, Livy tidak serta merta tenang. Ia mengigit bibir bawahnya, menatap taj
Livy mengerjapkan mata, celoteh serta tawa bayi memaksa membuka kelopak dengan lebar. Walau badannya lemas seperti selesai pertandingan karate, ia melengkungkan bibir lalu duduk menyandar pada kepala ranjang.Sebagai ibu yang baik, Livy menyapa Alessandro. Bayi gembul itu tengah bercanda bersama El, hatinya menghangat melihat dua lelaki berharga dalam hidupnya.“Pagi Sayang,” sapa Livy.El memutar tubuh, mencubit pipi polos Livy. “Mommy bangun terlambat, lihat matahari semakin tinggi, ini sudah siang Mommy,” kelakarnya.“Kenapa kamu diam saja aku bangun siang?!” Livy menyingkap selimut, mengambil kemeja putih sang suami di kaki ranjang. Ia bergegas membersihkan diri, lalu menyusui Al, karena buah dada terasa penuh.Ternyata selama Livy tidur, Al disuapi Daddy-nya. El berinisiatif memesan bubur bayi, lelaki ini bukan hanya pandai mengatur dan mengelola bisnis, tetapi mengasuh bayi menjadi keahlian baru.Selesai menyuapi Al, El cekatan memandikan bayi gembulnya, kedua lelaki itu bermain
“Kamu mengantar bunga ini untukku?” Livy menggeser kursi, ia berdiri menghampir wanita itu, mengambil buket bunga mawar.Kini, tidak ragu lagi kalau kiriman bunga memang untuknya. Tanpa banyak tanya, semua orang tahu siapa sosok pria belebihan itu.“Nyonya, Tuan Muda bilang saya harus mengantarnya langsung ke sini. Maaf mengganggu waktunya,” tutur Esme—sekretaris kutu buku Torres Inc.“Terima kasih Esme. Kamu … ayo duduk dulu, belum makan malam ‘kan?” ujar Livy dengan ramah.Jujur, hatinya merasa lega karena Esme ada di kota ini tidak ikut atau menyusul El ke Birmingham. Ia menggiring wanita berkacamata tebal itu duduk dan menikmati malam.Setelahnya, Livy kembali ke kamar, ia memeluk bunga yang sukar dipeluk lantaran ukuran terlalu besar. Ia mengulum senyum, walaupun suaminya jauh tetapi malam ini lelaki itu seolah-olah hadir di kamar tidur.“Harum banget bunganya,” gumam Livy tersipu-sipu.Ia juga membaca kartu ucapan kecil di atas kotak coklat besar berbentuk hati. Lagi-lagi, El mam
[Selamat pagi, tumben kamu lupa membangunkan aku?][Sayang, kenapa teleponnya tidak diterima? Sibuk mengurus Al ya, dia rewel?][Livy, di mana?! Estefania bilang kamu berangkat lebih pagi. Ada masalah apa di kantor?][Sayang, jangan lupa makan siang! Kenapa kamu diam begini? Terima teleponku dan bicara ada apa! Aku tidak mengerti alasanmu berubah.][Kalau begini caranya, aku bisa gila. Apa mungkin ponsel kamu tertinggal?]Livy memutar bola mata jengah, bukan tidak membaca isi pesan, ia mengintip tetapi enggan membalas atau menerima telepon dari El.Sejak semalam, suaminya itu meninggalkan tujuh panggilan tak terjawab dan dua pesan singkat. Disusul pagi ini sampai sore, El tak berhenti menelepon dan mengirim pesan.Dari kemarin sore juga Livy menghabiskan waktu dengan menyendiri dan menangis. Bahkan ia meredam suaranya saat malam tiba, saking tak mau adik ipar mngetahui masalah yang terjadi.Sekarang, Livy menyandarkan tubuh pada punggung kursi empuk. Ia menengadahkan kepala, menatap la
“Kepalaku pusing,” desah Livy mulai mengerjapkan kelopak, perlahan membuka mata, melirik ke samping, pemandangan pertama yang dilihat bukan plafon atau hal lain.Melainkan seorang pria sedang tersenyum manis. El berbaring miring, menopang kepala dengan sebelah telapak tangan. Rahang tegas bersih tak berambut halus itu begitu nyata, iris biru safirnya memancarkan tatapan penuh cinta.Namun, Livy mengerutkan dahi, ia menggeleng lemah, dan mengembuskan napas lelah. Sejurus kemudian, ia melipat bibir mungil nan penuhnya.Wanita ini menggeser pandangan ke jam digital, waktu menunjukkan pukul satu dini hari. Langit di luar gelap gulita, di kamar tidur yang luas hening, tetapi suara napas seseorang menyadarkan Livy tidak sendirian di ruangan ini.“Ternyata rindu itu berat ya. Bisa-bisanya aku berhalusinasi, mengira Estefania berubah jadi Kak El,” gumam ibu muda, menertawakan diri sendiri. “Kalau benar Kak El ada di sampingku, aku remas badannya karena bikin kesal terus,” sambungnya lagi semba
“Kamu cemburu? Tapi kenapa menuduhku?” El mengangkat sebelah alisnya.Tidak terima dituduh begitu saja, lelaki ini membawa Livy kembali ke kamar. El enggan masalah kehidupan rumah tangganya terdengar oleh anggota keluarga lain.Mereka yang tidak tahu bisa saja berpikiran buruk, cukup sekali ia mendapat perlakuan tak biasa karena masa lalu.“Kenapa ke kamar? Jadi benar kalau kalian—“ cerca Livy tertahan.Sayang, El membungkam bibir merah muda itu dengan lumatan lembut, badannya lelah kekurangan tidur ditambah melakukan perjalanan jauh, sekarang perlu menjelaskan sesuatu yang tidak terduga.Sedangkan Livy berusaha memberontak, walau pukulannya terlalu lemah bagi pria bertubuh atletis. El membiarkan sang istri melampiaskan amarah dalam hati.Setelah Livy-nya sedikit tenang, El melepas pagutan, merangkum kedua pipi basah akibat kristal bening menganak sungai.Pria ini tak menjauh, bahkan embusan napas hangat menerpa kulit wajah Livy. El mempertemukan dahinya dengan kening sang istri, mengh