Melenggang Mara menyusuri lorong mansion Calbi lantai dua seraya membawa beberapa papperbag di tangannya. Cantik pun mendayu suaranya menyanyikan sebuah lagu. Ia merasa hidupnya semakin bahagia pun sempurna semenjak menyandang status sebagai nyonya Calbi.“Oh?”Kaki jenjangnya sesaat terhenti ketika ia mendapati adik iparnya baru saja keluar dari kamarnya bersama Amor. Entah yang Lauretta lakukan di dalam sana nan sangat mencurigakan terlebih lagi Mara tahu jika wanita itu ialah mantan kekasih suaminya.“Holla Mara?” sapa Lauretta. Melangkah dirinya menghampiri Mara yang terdiam dan mencoba untuk santai dan tak mulai mencecarnya.“Apa yang kau lakukan di dalam kamarku?” tanya Mara. Memasang badan namun tetap santai. Tetapi, kekesalan pada raut wajahnya tak bisa ia sembunyikan, dan Lauretta tahu jika wanita itu tengah menahan kesal.Sebagai seorang wanita yang telah memiliki suami dan anak, pantaskah dia masuk ke dalam kamar kakak iparnya sendiri yang kini bahkan telah memiliki seorang
“Amor!” “Yes, Darling?” Di sebuah aula mansion yang megah nan mewah tengah diadakan sebuah perayaan wedding anniversary sejoli yang telah merajut kasih selama empat tahun lamanya. Dirayakan dengan cukup meriah, pun dihadiri oleh banyak orang-orang penting. Pada pesta perayaan pernikahannya yang diadakan begitu meriah si pemeran utama wanita— Lauretta justru merasa tidak senang. Hati dan pikirannya senantiasa was-was dan mengamati keadaan sekitar. Itu terjadi karena seorang tamu yang tak diundang dengan sengaja masuk menyusup ke dalam pesta. Wanita cantik dengan balutan long dress berwarna merah itu menepi dari kerumunan tamu yang saling menyapa pun mengobrol satu sama lain, pergi menuju meja wine lalu mengambil satu di sana hingga tiba-tiba dirinya terperanjat kontan mematung ketika sebuah tangan menyenggol bokong sintalnya. Sial! Tatapan tajamnya senantiasa menguliti siapa saja yang dilirik. Hingga netra mengintimidasi itu terhenti pada pria tampan yang tersenyum kecil seraya m
Happy Reading …. Degup jantung berdetak tak menentu. Keringat dingin membasahi pelipisnya yang sudah dipolesi bedak tipis. Pagi hari di ruang makan, perasaan Lauretta sudah sangat berantakan. Seluruh keluarga besar berkumpul untuk sarapan pagi bersama. Pagi hari berjalan seperti biasa, mama serta ayah mertua Lauretta— Johanes dan Melva duduk pada ujung meja makan pun kursi utama untuk Johanes sebagai kepala keluarga tertua. Di sebelah kanan, duduk Abramo dan keluarga kecilnya. Sementara di sebelah kiri, ada pria tampan yang baru saja kembali setelah menetap selama tiga tahun di Los Angeles, siapa lagi jika bukan Amor Calbi— pria tampan mempesona berusia tiga puluh tujuh tahun pun masih lajang. Sibuk dengan pekerjaan yang ia kelola, Amor tidak pernah berpikir memiliki keluarga. Pria ini duduk menyender sedikit melorotkan tubuhnya ke bawah. Piring di hadapannya masih kosong dan ia hanya menyesap secangkir Americano. Pandangannya yang tajam terus fokus pada layar tab yang dirinya pega
“Sí, kau tahu aku gila, gila kepadamu.” Suara pintu terkunci berhasil membuat degup jantung Lauretta berdegup dua kali lipat. Wanita cantik itu melirik Amor yang melangkah kian mendekat pada dirinya. Ia tahu, tahu betul jika pria gila ini tak bisa ia hentikan. “Amor.” Lirikan Lauretta semakin tajam pada pria di hadapannya yang satu langkah lagi mampu meraih dirinya. “Si, Mi amor?” “Ingat, kita sudah selesai.” Ia menegaskan, dan Amor berdecih. Melirik tidak suka lantas ia raih pinggang sintal wanitanya tanpa permisi. Merapatkan tubuh mereka tanpa jarak sedikitpun. “Selesai? Kita tidak akan pernah selesai, Mi amor.” Ia memiringkan wajahnya, maju untuk mengecup leher jenjang nan putih milik Lauretta yang terpampang tanpa penolakan. “Kita tidak akan pernah selesai.” Mata kucing itu mendelik memutar malas. Mendorong dada Amor hingga pelukan pada pinggangnya terlepas. Jemari lentiknya mengibas bahu serta baju seolah pelukan Amor adalah kotoran. Mengambil tissue di atas nakas lalu ia
Lauretta baru saja keluar dari kamarnya. Mengenakan gaun cantik berwarna biru laut serta higheels senada. Penampilannya yang selalu sempurna meskipun dirinya hanya berada di dalam mansion. Dirinya melangkah menuruni tangga menuju lantai utama. Pergi pada ruang makan di mana masih kosong di sana. Ia duduk di tempatnya. “Di mana Abramo?” tanya Lauretta pada salah satu pelayan yang tengah berjaga di belakang kursinya. “Senora, senor Abramo tidak hadir dalam makan malam.” Asisten pribadi Lauretta yang berdiri tak jauh dari tempatnya melangkah mendekat. Membisikan sesuatu tepat di telinga senoranya. Lantas ia membawakan ponsel Lauretta untuk wanita cantik itu lihat. Sebuah pesan dari Abramo yang tak sempat ia baca. 'Pergilah keluar untuk makan malam. Aku memiliki urusan dan tidak akan pulang.' Ia berikan kembali ponselnya pada Sherly— asisten pribadinya. Lalu ia meminta pelayan untuk menyajikan makanan sebab yang berada di ruang makan malam ini hanyalah dirinya. Sementara Ab
Lauretta membuka lebar-lebar jendela kamarnya. Mengambil sebuah lintingan kecil dari dalam laci kemudian ia sulut. Menghisap asap segar pun harum khas dari lintingan pada selah jemarinya. Dirinya duduk pada sofa tunggal di dekat jendela saat beberapa pelayan masuk untuk mengantarkan satu botol redwine lengkap dengan gelas dan satu mangkuk buah cerry segar. Meletakannya tepat di atas meja, di hadapan sen Senora mereka. Ia memejamkan mata menikmati efek mabuk dari alkohol yang ia tegak. Bayangan hitam pada kelopak matanya seketika berubah menjadi pecahan-pecahan kenangan yang sama sekali tak ingin ia ingat. Lantas, ia segera membuka matanya kembali. Di hadapannya ia melihat Amor yang berdiri begitu gagah. Memeluk serta mencium pundaknya dari belakang begitu mesra. Pria itu gencar membisikan kata-kata cinta padanya. Merayu, menggoda, amat mempesona. Di tepi ranjang mereka saling menatap dalam. Menyatukan bibir pun saling melumat. Lalu adegan itu berganti menjadi percintaan panas merek
Lauretta dan Abramo mendampingi putri mereka yang tengah diobati. Beberapa pelayan siaga, serta Amor juga berada di sana. Leave sebagai dokter telaten memberikan obat pada luka alergi bocah kecil itu. Alergi Auretta pada serbuk sari memanglah tak main-main. Kulitnya akan membengkak merah seperti terbakar jika ia menyentuh sedikit saja benda yang mengandung bahan alerginya. Itulah kenapa taman utama mansion tak pernah ditanami bunga apapun. Gadis kecil itu mungkin tak sengaja memegang bunga liar yang tumbuh sembarangan. Abramo pergi lebih dulu dari kamar tidur putrinya. Sudah bisa dipastikan apa yang akan dilakukan pria itu. Ia akan mencari tahu kenapa alergi Auretta bisa timbul secara tiba-tiba, kemudian menyeret semua orang yang terlibat. Gadis kecil itu terlelap kini setelah lelah meringis kesakitan. Lauretta yang duduk di tepi ranjang menatap iba wajah kecil putrinya. Alergi yang kambuh pasti begitu menyakitkan. Sesaat ia melamun memikirkan bagaimana anak sekecil itu menah
Duduk menumpu kakinya seraya menikmati secangkir teh di halaman belakang mansion yang menyuguhkan pemandangan danau hijau nan indah. Wanita cantik itu terdiam cukup lama hingga atensinya teralihkan oleh suara kursi yang digeret. Bisa Lauretta lihat siapa yang duduk di kursi sampingnya tanpa menoleh. Amor. Pria itu datang dengan alasan yang sudah jelas pun Lauretta ketahui. “Maaf karena menyebabkan putrimu terluka. Mara tidak tahu dan dia membawa bunga untukku.” Lauretta menyimpan cangkir teh miliknya ke atas meja. Duduk menyender pun jemari yang saling bertaut di depan perut. Ia sangat ingin marah namun tak bisa. Itu Amor. Tidak ada yang berhak memarahinya dengan alasan apapun. “Kau tidak memberitahunya bahkan itu melibatkan dirimu?” Lauretta menatapnya tajam. “Aku tak sempat.” Bibir cantik dengan polesan lipstik merona ini berdecih pelan. “Kalian menghabiskan malam bersama tapi kau masih tak sempat memberitahunya,” tutur Lauretta kemudian melengos membuang wajahnya ke sa
Melenggang Mara menyusuri lorong mansion Calbi lantai dua seraya membawa beberapa papperbag di tangannya. Cantik pun mendayu suaranya menyanyikan sebuah lagu. Ia merasa hidupnya semakin bahagia pun sempurna semenjak menyandang status sebagai nyonya Calbi.“Oh?”Kaki jenjangnya sesaat terhenti ketika ia mendapati adik iparnya baru saja keluar dari kamarnya bersama Amor. Entah yang Lauretta lakukan di dalam sana nan sangat mencurigakan terlebih lagi Mara tahu jika wanita itu ialah mantan kekasih suaminya.“Holla Mara?” sapa Lauretta. Melangkah dirinya menghampiri Mara yang terdiam dan mencoba untuk santai dan tak mulai mencecarnya.“Apa yang kau lakukan di dalam kamarku?” tanya Mara. Memasang badan namun tetap santai. Tetapi, kekesalan pada raut wajahnya tak bisa ia sembunyikan, dan Lauretta tahu jika wanita itu tengah menahan kesal.Sebagai seorang wanita yang telah memiliki suami dan anak, pantaskah dia masuk ke dalam kamar kakak iparnya sendiri yang kini bahkan telah memiliki seorang
Chihuahua, Mexico. Satu kakinya terangkat ke atas sementara tubuhnya tersentak-sentak seirama dengan desahan halus yang keluar dari bibirnya. Jemari lentik mencengkram kuat tuxedo hingga kusut di bagian kerah. Amor meraih bibir Lauretta lalu ia lumat panas, membelit lidah pun mereka bertukar saliva.Sebuah gedung di Chihuahua Mexico. Tengah di adakan pernikahan yang begitu besar. Mencakup orang-orang penting besar dari kalangan atas pun juga dunia bawah. Penyatuan antara dua klan besar. Yakni, Calbi dan Antonino.Pengantin wanita tengah berdandan seraya bercermin cantik. Mematut tubuhnya yang terbalut gaun pengantin putih nan sakral. Wajahnya dipenuhi binar-binar kebahagiaan serta tak lepas senyum pada bibirnya yang merona.Tinggal menghitung menit sebelum Mara Antonino resmi menjadi istri dari Amor Calbi. Pria yang amat sangat dicintai serta ia damba-dambakan. Status sebagai nyonya Calbi mampu ia dapatkan. Sukses dirinya membuat semua wanita yang menginginkan Amor patah hati.Sement
“Mudah saja bagimu mendapatkan nomorku, benar? Ada apa?”Mengapit ponsel di antara kepala serta bahunya dan berbicara kepada Gabriel yang tiba-tiba menghubungi. Entah dari mana pria itu bisa mendapatkan nomor ponselnya, yang pasti ia lakukan secara ilegal.Lauretta tengah sibuk berada di dapur. Membuat makan malam sendiri meskipun bisa ia pinta pelayan untuk membuatkannya. Namun, spesial yang satu ini ia tak ingin buatan orang lain.Telah terhidang di atas piring potongan tentakel gurita mentah, satu mangkuk kecil saus serta irisan tipis lemon. Makanan favoritnya yang akan dianggap aneh dan menjijikkan. Saat tinggal di kediaman Fiescho, ia akan diolok-olok sebab memakan makanan tersebut.Duduk di atas kursi meja dapur, Lauretta mulai menyantap makanannya dengan ponsel yang masih ia pegang di depan telinga.‘Aku ingin bertemu denganmu, maukah kau?’“Hanya kita berdua? Tanpa sepengetahuan Maria?” tukas Lauretta berterus terang. Meletakkan chopsticks di samping piringnya lalu ia menegak
“Rivalmu.”Berkedut sudut bibir Lauretta terus menatap lurus ke depan, enggan dirinya untuk menoleh. Tanpa ia lihat sosok di samping, telah ia ketahui dari Elazar yang menyebutkan status orang tersebut. Rival. Ya, musuh Lauretta dari zaman bersekolah dulu, dan itu hanya sebiji.“Holla Elazar.” Sebuah tangan terulur tepat di depan Lauretta. Jemari lentik nan cantik terhias nail art indah serta bertengger jam tangan mahal pada pergelangannya. Uluran itu tak ditujukan kepada Lauretta, melainkan pada Elazar di sisinya.Tangan mereka berjabat tepat di depan wajah Lauretta yang bergeming tak ingin menanggapi. Tak peduli sama sekali jika dirinya yang sebesar ini dilewatkan begitu saja tanpa sapaan. Dan justru dengan sengaja wanita itu lebih memilih untuk menyapa Elazar.Jika Lauretta adalah bara api, maka wanita cantik nan modis di sampingnya ini adalah koreknya.“Kudengar Auretta mengikuti balet, si? Ah ... aku tak sabar melihatnya,” tanya wanita bernama Maria ini. Tatapannya melayang melew
“Ck. Bukankah aku istrimu jika ayahku tak mati hari itu?”Perubahan besar terjadi dalam hidup Lauretta semenjak kematian ayahnya. Seperti ditinggalkan sebatang kara memikul beban yang begitu menumpuk. Seolah semua kesalahan ada padanya sehingga ia yang barus menanggung segalanya.Fiescho diambang kehancuran jika tak ada jabat tangan Calbi beberapa tahun yang lalu. Pernikahannya menyelamatkan seluruh anggota serta merta wilayah kekuasaan yang hampir dirampas dari tangan Fiescho. Lauretta sebagai tumbal yang dijual sekaligus tawanan berat antar dua keluarga. Ikatan mereka terjalin dengan adanya hubungan pernikahan.Manuel dan Johanes hampir menjadi besan. Johanes pemegang kekuasaan penuh Calbi, dan Manuel adalah calon pemegang kekuasaan yang dimilikki Fiescho. Dua keluarga kuat nan kokoh bersanding bersama mempererat suatu wilayah kekuasaan.Kehancuran dimulai dengan serangan tiba-tiba dari pihak musuh. Manuel dibunuh dalam pertempuran dan mati menjelang beberapa hari pernikahan putrin
Melenggang cantik kaki jenjangnya menelusuri area basement rumah sakit menuju mobilnya yang terpakir di sana. Membeliak Lauretta kontan menganga ketika ia mendapati dua pria sialan sedang mengotak-atik mobil miliknya. Satu pria berdiri menyender pada mobil, dan satunya bersimpuh di depan ban.Berjalan ia segera menghampiri mobilnya membuat si pria bersimpuh lantas berdiri. Higheels tinggi nan runcing ia kenakan menendang-nendang ban mobil yang kempes kini. “Apa yang dua sialan ini lakukan pada mobilku?!”“Little snake, mulutnya begitu tajam dan berbisa,” bisik Galnot pada Amor yang kemudian terkekeh menggeleng kepala. Pria bertubuh besar disertai banyak tato pada tangan kanan dan kirinya mundur ke belakang, membiarkan Amor menghadapi ular berbisa yang sedang mengamuk.“My little cat,” timpal Amor, kemudian melangkah menghadap sang tercinta yang sedang marah-marah karena ban mobilnya yang bocor. “Mobilmu rusak, jadi kupinta Galnot memeriksanya.”Bergerak pandangan Lauretta pada Amor se
Duduk berdampingan Lauretta bersama Amor di depan meja kerja dokter Leave yang kini tengah membaca hasil laporan kesehatan keduanya. Mendadak kebetulan sekali mereka berdua mengunjungi Leave dalam waktu yang bersamaan. Dan Lauretta amat sangat tak nyaman bertemu dengannya di tempat selain mansion Calbi.“Apa kalian datang bersama-sama?” Pertanyaan itu akhirnya dilontarkan oleh sang dokter.“Tentu saja tidak,” timpal Lauretta cepat. Diliriknya Amor sekilas kemudian kembali pada Leave. “Bagaimana hasil laporanku? Kurasa aku hamil,” imbuhnya benar-benar terang-terangan.Mengeryit dahi Amor mendengar pertanyaan monohok wanita di sampingnya. Pandangannya beralih pada Lauretta yang menatap lurus ke depan. Sementara Leave, di depan pria itu mengulum senyum seraya terus memeriksa hasil laporan.“Anak siapa yang kau kandung?” tanya Amor. Kontan mendapatkan lirikan dari wanita yang ditanyainya. “Sudah berapa bulan?” sambungnya bertanya lagi.Berdecak lidah Lauretta sebelum menjawab, mengalihkan
Satu buket bunga krisan putih Lauretta bawa untuk memperingati hari kematian ayahnya. Manuel merupakan sosok ayah yang tegas pun baik bagi Lauretta. Meskipun beberapa kenangan buruk tentang pria itu tak bisa dihindari.Diletakan buket bunga tersebut di atas makam sang ayah, lantas dirinya beserta Alexandro menunduk hormat.Pria dengan kemeja hitamnya pun berjalan masih dibantu oleh dua tongkat pada sisi kanan serta kirinya sebab luka di kakinya belum sepenuhnya sembuh. Alexandro ditarik Lauretta untuk ikut serta mengunjungi pemakaman meskipun dirinya tak mau. Karena jika tak dalam kondisi sakit, pria ini akan kabur entah ke mana seperti anggota keluarganya yang lain.Sungguh malang nasibmu, Papa. Tidak ada satupun orang yang mengingat hari kematianmu selain diriku. Kau pria yang selalu menjadi kebanggaan Hector serta seluruh pengikutmu. Namun bahkan pada hari kematianmu sama sekali tak ada pertemuan yang diadakan.“Tidak ada yang datang pada hari peringatan kematian si pengkhianat kel
Membuka mata Lauretta menatap langit-langit kamar. Menghela dirinya mengingat jika tadi malam ia tertidur di kamar Amor sebab pria itu mengobati lukanya. Beranjak dia memegangi perutnya yang telah terbalut kasa. Menyadari jika tubuhnya polos tak berpakaian.Lirikan matanya nan tajam pada Amor yang melangkah mendekatinya. Pria itu mematikan sulutan rokok sebelum mencapai ranjang. “Sudah bangun?”“Kau membuka pakaianku?” sosornya pada Amor.Tenang pun santai Amor terus mendekat. Berdiri dirinya tepat di depan ranjang. Dua tangan ia masukkan pada saku celana serta tatapannya jatuh pada Lauretta yang masih duduk di peraduan. “Si. Aku yang membukanya. Bukan hal aneh untuk melihat tubuhmu tanpa pakaian, kita pernah lebih dari itu,” timpalnya amat santai pun merasa tak berdosa.Lauretta berdecih membuang muka. Segera ia beringsut turun dari ranjang dengan selimut yang membelit di tubuhnya. Sementara Amor hanya diam dan mempehatikan, bahkan tak melarang ketika wanita itu dengan santainya men