Lauretta dan Abramo mendampingi putri mereka yang tengah diobati. Beberapa pelayan siaga, serta Amor juga berada di sana. Leave sebagai dokter telaten memberikan obat pada luka alergi bocah kecil itu.
Alergi Auretta pada serbuk sari memanglah tak main-main. Kulitnya akan membengkak merah seperti terbakar jika ia menyentuh sedikit saja benda yang mengandung bahan alerginya. Itulah kenapa taman utama mansion tak pernah ditanami bunga apapun. Gadis kecil itu mungkin tak sengaja memegang bunga liar yang tumbuh sembarangan. Abramo pergi lebih dulu dari kamar tidur putrinya. Sudah bisa dipastikan apa yang akan dilakukan pria itu. Ia akan mencari tahu kenapa alergi Auretta bisa timbul secara tiba-tiba, kemudian menyeret semua orang yang terlibat. Gadis kecil itu terlelap kini setelah lelah meringis kesakitan. Lauretta yang duduk di tepi ranjang menatap iba wajah kecil putrinya. Alergi yang kambuh pasti begitu menyakitkan. Sesaat ia melamun memikirkan bagaimana anak sekecil itu menahan rasa sakit. Namun, lamunannya buyar ketika Leave memegang bahunya. Ia lantas menoleh. “Ah maaf.” Ia beranjak. “Terima kasih karena sudah datang, Leave.” “Sudah tugasku untuk mengobatinya.” Leave membalas. “Aku akan mengantarmu sampai depan,” celetuk Amor. Kemudian ia melengos pergi meninggalkan ruangan. Leave menatap Lauretta serta memegang bahu wanita cantik itu. “Dia akan baik-baik saja.” “Tentu.” Atensi Lauretta kembali pada putrinya. Mengelus mengecup lembut dahi wajah kecil nan cantik itu. Ia merasa bersalah karena tak bisa menjaga Auretta dan menyebabkan semua hal ini terjadi. “Perdóname.” (Maafkan aku) Sementara itu Amor dan Leave duduk berdua di balkon lantai dua mansion. Dua pria ini sama-sama menyesap batang nikotin, saling menghembuskan asap bergantian. Leave melirik Amor yang terdiam dengan tatapan tajamnya mengarah lurus ke depan. Dahi pria itu berkerut, lalu tak lama pandangannya naik menatap Leave tajam. “Apa?” timpal Leave untuk tatapan tajam Amor. Amor mematikan sulutan rokoknya. Mengilin kemeja hingga ke siku. Di sana terdapat luka bakar memerah yang masih baru nan basah. Lantas ia sodorkan tangannya yang terluka pada dokter di depannya. “Alergimu juga kambuh?” tanya Leave seraya mengambil obat serta beberapa pelaratan untuk mengobati luka Amor. Yang diobati membuang wajahnya ke samping. “Mara membawa satu buket bunga Lily tadi malam. Dia memajangnya di vas meja makan.” “Dan kau tak meminta pelayan untuk membuang bunga itu?” “Sial. Aku lupa.” Amor berdecak. Menarik kembali tangannya setelah selesai diobati lalu kembali duduk menyender santai. “Alergi kalian muncul secara bersamaan.” Leave menghisap kembali batang nikotin di sela jemarinya. Menghembus asap keluar lantas ia menatap Amor. Tatapan tajam keduanya saling bersahutan. “Tidakkah kau pikir jika dia putrimu?” celetuk Leave. Amor melengos, membuang wajahnya ke samping sembari berdecih. Mengingat mami anak itu begitu membencinya, tak mungkin juga Lauretta sudi mengandung benih dirinya. “Tidak mungkin.” Leave mengangkat alisnya tak peduli. Lagipula alergi tidak selalu diturunkan oleh ayah pada anak kandungnya. Itu bisa terjadi bahkan ketika saudara mengalami hal yang sama. Benar-benar kebetulan yang ambigu. **** TIGA TAHUN YANG LALU. Di dalam ruang gelap pun minim pencahayaan pria itu berdiri. Menyodorkan satu buket mawar merah dengan tangannya yang terbalut sarung tangan begitu rapat. Lauretta menatap Amor dalam. Mengambil bunga yang pria itu sodorkan dengan penuh pengorbanan. Ia tahu Amor alergi pada serbuk sari, tapi demi dirinyalah pria itu melawan hal yang paling dibencinya. Lengan yang tak pernah tergores pisau meski sedang berkelahi sengit justru bisa terluka akibat serbuk sari. Lengan yang tak pernah terluka meski memegang benda-benda tajam nan berbahaya justru terluka oleh sesuatu yang indah. Amor Calbi berjalan mendekat pun Lauretta yang segera menyingkirkan bunga di tangannya. Menyambut kehadiran pria itu lantas keduanya saling mengecup mesra penuh gairah. Ciuman singkat mereka terlepas, saling menyatukan kening masing-masing. “Kau begitu cantik,” puji Amor. Menatap wajah kekasihnya dari jarak yang begitu dekat. “Amor ... aku senang kau masih hidup.” “Aku tak akan mati Lauretta, aku tak akan meninggalkanmu.” Bisnis berbahaya keluarga Calbi membawa anggotanya ke dalam neraka setiap kali mereka menjalankan tugas. Bergelut dengan senjata-senjata mematikan pun bertaruh nyawa. Amor baru saja kembali dari Meksiko membawa beberapa pesanan besar dari rekan bisnis yang tak sangka akan berkhianat. Ia dijebak hingga kamar hotel yang ia tempati di kepung oleh pihak musuh. Puluhan anak buahnya mati dalam pertarungan, menyisakan Amor serta beberapa bawahan kepercayaannya. Kabar mencengangkan memang sering menggema di dalam mansion besar Calbi. Namun, kepercayaan diri Johanes begitu besar kepada Amor sebab dirinya yakin jika putra sulungnya akan berada dalam keadaan baik-baik saja. Pun berdirilah Amor kini di hadapan Lauretta. Kembali dalam keadaan hidup pun baik tanpa setitikpun luka gores. Hanya saja pada lengan yang telah tertutup sarung tangan rapat, tersembunyi luka bakar di dalamnya. Jemari lentik Lauretta membuka perlahan sarung tangan Amor. Memegang lengan pria itu lantas ia tatap dalam-dalam. Penuh merah pun terbakar, itu pasti menyakitkan ditambah beberapa bagian yang menempel pada sarung tangan. “Untuk apa ditutupi jika sudah terluka?” katanya seraya memoleskan obat. “Agar tak terlihat olehmu, agar kau tak sibuk mengurusnya.” Amor memegang dagu Lauretta, membuat atensi wanita cantik itu teralih padanya. “Berhenti mengobati luka itu, obati saja rasa rinduku padamu,” katanya. Keduanya menatap dalam satu sama lain. Kembali mendekatkan diri lantas saling mengecup bertukar saliva. Amor yang memegang kendali. Ia baringkan tubuh Lauretta di atas ranjang, berbaring di bawah tubuhnya. Tak sehelai benangpun tertinggal di tubuh keduanya. Saling bercumbu, menyentuh seductive penuh gairah nafsu yang menggebu-gebu. Jemari lentik dengan kuku tajam menancap pada bahu Amor, membuat goresan-goresan tipis pada kulit putih mulus milik pria itu. “A—amor— aaah—” Dada Lauretta membusung ke atas kala Amor memasuki dalam inti tubuhnya. Menerobos masuk dengan panas pun menghujam berirama. Napas keduanya tersenggal serta tubuh yang bersentak bersamaan. “Hei.” Lauretta berdiri di depan jendela kamarnya, menoleh ketika suara Abramo menginterupsi. Buyar seketika lamunan akan kejadian beberapa tahun silam. “Sí?” “Apa yang kau pikirkan?” Abramo berdiri di belakangnya. Nada suaranya terdengar sedikit halus, tak dingin seperti biasanya. Lauretta menggeleng samar. “Tidak ada.” “Auretta akan baik-baik saja,” ujar Abramo. “Tentu saja.” Tubuh Lauretta direngkuh oleh Abramo guna menenangkannya. Abramo tahu jika Lauretta akan sangat merasa bersalah jika sesuatu terjadi pada putri kecil mereka. Dan ini merupakan tugasnya, tugas Abramo untuk menenangkan hati istrinya. Meskipun hubungan mereka tak begitu dekat, namun tujuan mereka tetap sama untuk tumbuh kembang putri kecil mereka. . . . Bersambung ....Duduk menumpu kakinya seraya menikmati secangkir teh di halaman belakang mansion yang menyuguhkan pemandangan danau hijau nan indah. Wanita cantik itu terdiam cukup lama hingga atensinya teralihkan oleh suara kursi yang digeret. Bisa Lauretta lihat siapa yang duduk di kursi sampingnya tanpa menoleh. Amor. Pria itu datang dengan alasan yang sudah jelas pun Lauretta ketahui. “Maaf karena menyebabkan putrimu terluka. Mara tidak tahu dan dia membawa bunga untukku.” Lauretta menyimpan cangkir teh miliknya ke atas meja. Duduk menyender pun jemari yang saling bertaut di depan perut. Ia sangat ingin marah namun tak bisa. Itu Amor. Tidak ada yang berhak memarahinya dengan alasan apapun. “Kau tidak memberitahunya bahkan itu melibatkan dirimu?” Lauretta menatapnya tajam. “Aku tak sempat.” Bibir cantik dengan polesan lipstik merona ini berdecih pelan. “Kalian menghabiskan malam bersama tapi kau masih tak sempat memberitahunya,” tutur Lauretta kemudian melengos membuang wajahnya ke sa
Melenggang cantik kaki jenjang yang terbalut higheels tinggi di sebuah lorong disertai pintu kamar pada sisi kanan dan kirinya. Menaiki lift menuju lantai dua. Suasana riuh club malam menyambut kala pintu besi itu terbuka. Bokong sintal itu melenggok kala dirinya melangkah. Tubuh seksi membentuk gitar spanyol mengenakan dress pendek di atas paha semakin memperlihatkan bentuk tubuhnya yang amat menggoda. Mata-mata dari pria hidung belang mengiringi setiap langkahnya. Tak mampu menggoda, hanya dapat mengamati sosok wanita cantik pemilik club malam yang memanglah tak bisa disentuh pun dijangkau. Tangannya menyelipkan sesuatu di atas nampan minuman yang dibawa oleh seorang pelayan pria sebelum memasuki ruang VVIP. Serbuk terlarang yang memang dibebas edarkan di dalam sana. Dirinya masuk ke dalam ruangan di mana seorang pria sudah menunggu di dalam sana. Minuman beralkhohol memenuhi meja, satu piring berisikan buah segar serta pelukan hangat dari dua jalang di sisi kanan serta kir
Meksiko. Seorang pria duduk menyender pada sofa tunggal. Menumpu kaki seraya menyesap nikotin pada selah jemarinya. Di atas meja tepat di depannya, penuh botol minuman beralkohol serta sebuah nampan berisikan serbuk putih lengkap dengan dollar yang dilinting. Wajah datar tanpa ekspresi. Tatapannya tajam pun intens mengarah pada wanita di depan meja tengah melakukan pole dance. Tubuh sintal nan seksi berpakaian minim itu meliuk-liuk lihai pada tiang, bergerak begitu seductive menggiurkan. Wanita tersebut melangkah mendekati sang pria. Tangannya terulur menyentuh menggoda wajah serta dada bidang pria tersebut. Namun aksinya sama sekali tak dilirik, diabaikan begitu saja. Tak menyerah di sana, sang wanita semain liar dan kii duduk tepat di atas pangkuan. "Amor ...." Bibir sintal nan tebal seksinya berbisik di depan telinga Amor dengan suara yang amat menggoda. Tapi Amor justru tetap mengabaikannya. Pintu ruangan seketika terbuka. Mara yang berdiri di ambang pintu menatap Amor p
Lauretta mengecup lembut tangan kecil putrinya yang baru saja sembuh dari reaksi alergi. Kembali mulus kulit putihnya sepert sedia kala setelah dia kembali dari pengobatanya di luar negeri. Ia menjemput putrinya secara pribadi ke bandara. Membuat kejutan pada putri kecilnya setelah mereka dipisahkan jarak dan waktu selama dua minggu penuh. Tak lepas bocah kecil itu memeluk serta mencium maminya penuh rasa rindu. Satu buket coklat disodorkan tepat di hadapan Auretta. Kontan tersenyum ceria wajah cantiknya. Segera ia lepaskan pelukan pada maminya, dan beralih memeluk sang pemberi coklat. "¡Tío!" (Paman) Lauretta berpikir jika Tio yang datang ialah Leave. Sebab ialah satu-satunya sahabat Abramo yang paling dekat dengan Auretta. Namun Lauretta salah. Ketika dirinya menoleh ia mendapati Amor tengah memeluk putrinya. Tanpa Lauretta tahu jika akhir-akhir ini putri kecilnya sering kali berhubungan dengan Amor. Tionya ini merasa bersalah padanya karena menyebabkan dia dirawat di ru
Amor mendorong, menyudutkan tubuh Lauretta pada tembok lalu ia balikkan tubuh wanita cantik itu menghadapnya. Menghimpit dua kaki Lauretta menggunakan kakinya agar dia tak bisa bergerak memberontak. “Aku benci kau yang seperti ini, Amor!” cerca Lauretta. Menggerakan kakinya dalam himpitan Amor serta tangannya yang diborgol dibelakang tubuh. Meskipun mustahil ia terlepas, tapi dia enggan untuk diam. Tak bisa dipungkiri lagi gangguan Amor yang tak ada habisnya. Lauretta pikir ia telah terbebas dari jerat pria tak memiliki otak ini. Namun dirinya salah. Semakin lama Amor tak menganggu, maka akan semakin berat kala gangguannya datang. “Apa yang ingin kau lakukan sekarang, uh? Memperkosaku?” Lauretta mengangkat dagunya, menantang pria itu berani. Keadaan tubuh yang tak terikat sama sekali tak menyudutkan nyalinya. “Itu tidak dihitung memperkosa jika kau sama maunya, Babe,” balas Amor. Mengelus pipi mulus Lauretta seraya ia jumput surai basah wanitanya ke belakang telinga. Bajingan
Hujan rintik mengguyur pekarangan mansion. Membasahi setiap helai daun serta ranting yang tak sengaja jatuh berguguran diterpa angin. Kabut tipis menghalangi pemandangan, membuat suasana di pagi hari semakin sendu. Asap tebal keluar dari bibir seksi yang dipoles lipstik merona. Wajah datar serta tatapan lurus ke depan, pandangan yang kosong pun tak berkedip. Hanya tangannya yang bergerak mengarahkan batang nikotin yang terselip di jemari ke arah bibirnya. Suara sepatu pentofel menghentak lantai terdengar mendekat. Sama sekali yak membuyarkan kekosongan dalam pikiran wanita cantik itu. Tanpa menoleh ia mengetahui siapa yang baru saja datang pun kini berdiri di sampingnya. Seorang pria yang bisa ia kenali bahkan hanya dengan mencium aromanya. "Kau tidak akan datang jika tak diundang, sí? Ini kunjungan pertamamu sejak kau menikah." Tubuh besar nan berotot dibalut kemeja putih rapi. Tato memenuhi lengan kiri pria itu. Wajahnya yang tampan pun garang dipenuhi jambang yang cukup leba
Duduk menyender Lauretta pada sofa tunggal di dalam kamarnya, beserta dua kaki yang ia naikkan ke atas meja masih lengkap dengan higheels yang ia kenakan. Menyender kepalanya pada senderan kursi, mendongak ke atas wajah cantiknya pun memejam. Kalimat-kalimat sialan yang diucapkan Hector padanya kini memenuhi kepala, membuat pening dan menambah beban. "Aku lebih baik mati," gumamnya rendah. "Kau memang akan segera mati." Mata Lauretta kontan terbuka lebar kala seseorang berbicara padanya. Pria sialan lainnya datang yaitu Amor Calbi, pria yang tak tahu diri meskipun sudah ditolak puluhan kali. Amor melemparkan satu lembar kertas berisikan hasil lab pada Lauretta. Wanita itu mengeryit lantas membaca laporan yang Amor bawa tanpa mengubah sedikit pun posisi duduknya. "Ah~" Ia meremasnya hingga kusut lalu melempar pada sudut ruangan. Wajahnya datar tak peduli apapun menatap pada Amor. "Sí, sudah kulihat. Sekarang pergilah." Wajah Amor amat datar nan dingin meskipun kekesalan m
Untuk melangkahkan kaki masuk ke dalam kamar hotel yang beberapa tahun sudah ia tinggalkan, Lauretta membutuhkan keberanian khusus sebab banyak kenangan yang akan muncul di setiap sudut ruangan. Di atas ranjang, di dalam kamar mandi, di atas meja, dan jendela kaca. Lauretta bisa melihat dirinya sendiri disudutkan oleh Amor di tempat tersebut. Hotel bintang lima yang dikelola khusus oleh Amor Calbi hingga seluruh kamar yang berada di lantai atas adalah miliknya. Salah satunya kamar VVIP terbesar dan ia letakkan nama Lauretta di dalam, khusus untuk dirinya dan wanita cantik itu. Tempat ini merupakan saksi betapa panas hasrat bercinta keduanya. Dalam waktu empat puluh delapan jam di dalam kamar tak membuat mereka merasa bosan. Panas membara berapi-api atmosfir di dalam kamar dipenuhi hasrat yang menggelora. Pandangan Lauretta menelisik pada setiap sudut ruangan. Tak ada satupun benda yang terganti maupun tergeser sejak tiga tahun yang lalu. Semuanya sama persis dengan terakhir kal
Melenggang Mara menyusuri lorong mansion Calbi lantai dua seraya membawa beberapa papperbag di tangannya. Cantik pun mendayu suaranya menyanyikan sebuah lagu. Ia merasa hidupnya semakin bahagia pun sempurna semenjak menyandang status sebagai nyonya Calbi.“Oh?”Kaki jenjangnya sesaat terhenti ketika ia mendapati adik iparnya baru saja keluar dari kamarnya bersama Amor. Entah yang Lauretta lakukan di dalam sana nan sangat mencurigakan terlebih lagi Mara tahu jika wanita itu ialah mantan kekasih suaminya.“Holla Mara?” sapa Lauretta. Melangkah dirinya menghampiri Mara yang terdiam dan mencoba untuk santai dan tak mulai mencecarnya.“Apa yang kau lakukan di dalam kamarku?” tanya Mara. Memasang badan namun tetap santai. Tetapi, kekesalan pada raut wajahnya tak bisa ia sembunyikan, dan Lauretta tahu jika wanita itu tengah menahan kesal.Sebagai seorang wanita yang telah memiliki suami dan anak, pantaskah dia masuk ke dalam kamar kakak iparnya sendiri yang kini bahkan telah memiliki seorang
Chihuahua, Mexico. Satu kakinya terangkat ke atas sementara tubuhnya tersentak-sentak seirama dengan desahan halus yang keluar dari bibirnya. Jemari lentik mencengkram kuat tuxedo hingga kusut di bagian kerah. Amor meraih bibir Lauretta lalu ia lumat panas, membelit lidah pun mereka bertukar saliva.Sebuah gedung di Chihuahua Mexico. Tengah di adakan pernikahan yang begitu besar. Mencakup orang-orang penting besar dari kalangan atas pun juga dunia bawah. Penyatuan antara dua klan besar. Yakni, Calbi dan Antonino.Pengantin wanita tengah berdandan seraya bercermin cantik. Mematut tubuhnya yang terbalut gaun pengantin putih nan sakral. Wajahnya dipenuhi binar-binar kebahagiaan serta tak lepas senyum pada bibirnya yang merona.Tinggal menghitung menit sebelum Mara Antonino resmi menjadi istri dari Amor Calbi. Pria yang amat sangat dicintai serta ia damba-dambakan. Status sebagai nyonya Calbi mampu ia dapatkan. Sukses dirinya membuat semua wanita yang menginginkan Amor patah hati.Sement
“Mudah saja bagimu mendapatkan nomorku, benar? Ada apa?”Mengapit ponsel di antara kepala serta bahunya dan berbicara kepada Gabriel yang tiba-tiba menghubungi. Entah dari mana pria itu bisa mendapatkan nomor ponselnya, yang pasti ia lakukan secara ilegal.Lauretta tengah sibuk berada di dapur. Membuat makan malam sendiri meskipun bisa ia pinta pelayan untuk membuatkannya. Namun, spesial yang satu ini ia tak ingin buatan orang lain.Telah terhidang di atas piring potongan tentakel gurita mentah, satu mangkuk kecil saus serta irisan tipis lemon. Makanan favoritnya yang akan dianggap aneh dan menjijikkan. Saat tinggal di kediaman Fiescho, ia akan diolok-olok sebab memakan makanan tersebut.Duduk di atas kursi meja dapur, Lauretta mulai menyantap makanannya dengan ponsel yang masih ia pegang di depan telinga.‘Aku ingin bertemu denganmu, maukah kau?’“Hanya kita berdua? Tanpa sepengetahuan Maria?” tukas Lauretta berterus terang. Meletakkan chopsticks di samping piringnya lalu ia menegak
“Rivalmu.”Berkedut sudut bibir Lauretta terus menatap lurus ke depan, enggan dirinya untuk menoleh. Tanpa ia lihat sosok di samping, telah ia ketahui dari Elazar yang menyebutkan status orang tersebut. Rival. Ya, musuh Lauretta dari zaman bersekolah dulu, dan itu hanya sebiji.“Holla Elazar.” Sebuah tangan terulur tepat di depan Lauretta. Jemari lentik nan cantik terhias nail art indah serta bertengger jam tangan mahal pada pergelangannya. Uluran itu tak ditujukan kepada Lauretta, melainkan pada Elazar di sisinya.Tangan mereka berjabat tepat di depan wajah Lauretta yang bergeming tak ingin menanggapi. Tak peduli sama sekali jika dirinya yang sebesar ini dilewatkan begitu saja tanpa sapaan. Dan justru dengan sengaja wanita itu lebih memilih untuk menyapa Elazar.Jika Lauretta adalah bara api, maka wanita cantik nan modis di sampingnya ini adalah koreknya.“Kudengar Auretta mengikuti balet, si? Ah ... aku tak sabar melihatnya,” tanya wanita bernama Maria ini. Tatapannya melayang melew
“Ck. Bukankah aku istrimu jika ayahku tak mati hari itu?”Perubahan besar terjadi dalam hidup Lauretta semenjak kematian ayahnya. Seperti ditinggalkan sebatang kara memikul beban yang begitu menumpuk. Seolah semua kesalahan ada padanya sehingga ia yang barus menanggung segalanya.Fiescho diambang kehancuran jika tak ada jabat tangan Calbi beberapa tahun yang lalu. Pernikahannya menyelamatkan seluruh anggota serta merta wilayah kekuasaan yang hampir dirampas dari tangan Fiescho. Lauretta sebagai tumbal yang dijual sekaligus tawanan berat antar dua keluarga. Ikatan mereka terjalin dengan adanya hubungan pernikahan.Manuel dan Johanes hampir menjadi besan. Johanes pemegang kekuasaan penuh Calbi, dan Manuel adalah calon pemegang kekuasaan yang dimilikki Fiescho. Dua keluarga kuat nan kokoh bersanding bersama mempererat suatu wilayah kekuasaan.Kehancuran dimulai dengan serangan tiba-tiba dari pihak musuh. Manuel dibunuh dalam pertempuran dan mati menjelang beberapa hari pernikahan putrin
Melenggang cantik kaki jenjangnya menelusuri area basement rumah sakit menuju mobilnya yang terpakir di sana. Membeliak Lauretta kontan menganga ketika ia mendapati dua pria sialan sedang mengotak-atik mobil miliknya. Satu pria berdiri menyender pada mobil, dan satunya bersimpuh di depan ban.Berjalan ia segera menghampiri mobilnya membuat si pria bersimpuh lantas berdiri. Higheels tinggi nan runcing ia kenakan menendang-nendang ban mobil yang kempes kini. “Apa yang dua sialan ini lakukan pada mobilku?!”“Little snake, mulutnya begitu tajam dan berbisa,” bisik Galnot pada Amor yang kemudian terkekeh menggeleng kepala. Pria bertubuh besar disertai banyak tato pada tangan kanan dan kirinya mundur ke belakang, membiarkan Amor menghadapi ular berbisa yang sedang mengamuk.“My little cat,” timpal Amor, kemudian melangkah menghadap sang tercinta yang sedang marah-marah karena ban mobilnya yang bocor. “Mobilmu rusak, jadi kupinta Galnot memeriksanya.”Bergerak pandangan Lauretta pada Amor se
Duduk berdampingan Lauretta bersama Amor di depan meja kerja dokter Leave yang kini tengah membaca hasil laporan kesehatan keduanya. Mendadak kebetulan sekali mereka berdua mengunjungi Leave dalam waktu yang bersamaan. Dan Lauretta amat sangat tak nyaman bertemu dengannya di tempat selain mansion Calbi.“Apa kalian datang bersama-sama?” Pertanyaan itu akhirnya dilontarkan oleh sang dokter.“Tentu saja tidak,” timpal Lauretta cepat. Diliriknya Amor sekilas kemudian kembali pada Leave. “Bagaimana hasil laporanku? Kurasa aku hamil,” imbuhnya benar-benar terang-terangan.Mengeryit dahi Amor mendengar pertanyaan monohok wanita di sampingnya. Pandangannya beralih pada Lauretta yang menatap lurus ke depan. Sementara Leave, di depan pria itu mengulum senyum seraya terus memeriksa hasil laporan.“Anak siapa yang kau kandung?” tanya Amor. Kontan mendapatkan lirikan dari wanita yang ditanyainya. “Sudah berapa bulan?” sambungnya bertanya lagi.Berdecak lidah Lauretta sebelum menjawab, mengalihkan
Satu buket bunga krisan putih Lauretta bawa untuk memperingati hari kematian ayahnya. Manuel merupakan sosok ayah yang tegas pun baik bagi Lauretta. Meskipun beberapa kenangan buruk tentang pria itu tak bisa dihindari. Diletakan buket bunga tersebut di atas makam sang ayah, lantas dirinya beserta Alexandro menunduk hormat. Pria dengan kemeja hitamnya pun berjalan masih dibantu oleh dua tongkat pada sisi kanan serta kirinya sebab luka di kakinya belum sepenuhnya sembuh. Alexandro ditarik Lauretta untuk ikut serta mengunjungi pemakaman meskipun dirinya tak mau. Karena jika tak dalam kondisi sakit, pria ini akan kabur entah ke mana seperti anggota keluarganya yang lain. Sungguh malang nasibmu, Papa. Tidak ada satupun orang yang mengingat hari kematianmu selain diriku. Kau pria yang selalu menjadi kebanggaan Hector serta seluruh pengikutmu. Namun bahkan pada hari kematianmu sama sekali tak ada pertemuan yang diadakan. “Tidak ada yang datang pada hari peringatan kematian si pengkhianat
Membuka mata Lauretta menatap langit-langit kamar. Menghela dirinya mengingat jika tadi malam ia tertidur di kamar Amor sebab pria itu mengobati lukanya. Beranjak dia memegangi perutnya yang telah terbalut kasa. Menyadari jika tubuhnya polos tak berpakaian.Lirikan matanya nan tajam pada Amor yang melangkah mendekatinya. Pria itu mematikan sulutan rokok sebelum mencapai ranjang. “Sudah bangun?”“Kau membuka pakaianku?” sosornya pada Amor.Tenang pun santai Amor terus mendekat. Berdiri dirinya tepat di depan ranjang. Dua tangan ia masukkan pada saku celana serta tatapannya jatuh pada Lauretta yang masih duduk di peraduan. “Si. Aku yang membukanya. Bukan hal aneh untuk melihat tubuhmu tanpa pakaian, kita pernah lebih dari itu,” timpalnya amat santai pun merasa tak berdosa.Lauretta berdecih membuang muka. Segera ia beringsut turun dari ranjang dengan selimut yang membelit di tubuhnya. Sementara Amor hanya diam dan mempehatikan, bahkan tak melarang ketika wanita itu dengan santainya men