“Sí, kau tahu aku gila, gila kepadamu.”
Suara pintu terkunci berhasil membuat degup jantung Lauretta berdegup dua kali lipat. Wanita cantik itu melirik Amor yang melangkah kian mendekat pada dirinya. Ia tahu, tahu betul jika pria gila ini tak bisa ia hentikan. “Amor.” Lirikan Lauretta semakin tajam pada pria di hadapannya yang satu langkah lagi mampu meraih dirinya. “Yes, Darling?” “Ingat, kita sudah selesai.” Ia menegaskan, dan Amor berdecih. Melirik tidak suka lantas ia raih pinggang sintal wanitanya tanpa permisi. Merapatkan tubuh mereka tanpa jarak sedikitpun. “Selesai? Kita tidak akan pernah selesai, Baby.” Ia memiringkan wajahnya, maju untuk mengecup leher jenjang nan putih milik Lauretta yang terpampang tanpa penolakan. “Kita tidak akan pernah selesai, Baby.” Mata kucing itu mendelik memutar malas. Mendorong dada Amor hingga pelukan pada pinggangnya terlepas. Jemari lentiknya mengibas bahu serta baju seolah pelukan Amor adalah kotoran. Mengambil tissue di atas nakas lalu ia menyeka bekas kecupan di leher. Kepalanya patah ke samping, tatapannya menatap datar namun tetap tajam. Ekspresi wajah yang mencemooh memperlihatkan jika ia begitu membenci pria itu. “Kita selesai semenjak kau memutuskan untuk pergi dari hidupku,” ungkapnya. Ujung bibirnya berkedut singkat. “Aku bukan penginapan yang bisa kau datangi dan tinggal sesuka hatimu.” “Aku tahu kau kecewa—” Kalimat Amor terhenti kala tangannya dihempas oleh Lauretta sebab ia mencoba memegang pipi wanita itu. Tatapan Amor melirik tangannya yang malang, yang terang-terangan ditolak oleh wanita yang dulu bahkan menerima sentuhannya dengan senang. “Jangan pernah menyentuhku lagi. Apa kau sangat tidak tahu malu?” Air pada wajah tampan itu menghilang menjadi pucat. Ekspresi wajahnya kian datar seperti samudra. Hasratnya yang menggebu awal ia bawa untuk menemui kekasih hatinya mendadak musnah sebab penolakan kejam dari sang tercinta. Amor tak pernah perasa seperti ini untuk kata-kata tajam Lauretta. Tapi begitu mendengar ungkapan kekecewaan wanita itu ia menjadi sedikit merasa bersalah. Bersalah? “Pergilah untuk selamanya dari hadapanku, aku tidak pernah berharap kau kembali, Amor.” Amor menelan ludah. Lantas tubuhnya terdiam membatu. Ia tak bersuara selain sorot matanya terus menatap Lauretta dengan datar. Lauretta melempar tissue yang ia pegang ke sembarang lantai. Melangkah kaki jenjang yang terbalut higheels cantik itu menghentak lantai, melewati serta menabrak bahu Amor hingga pria itu bergerak mundur. Ia membuka pintu kamar lebar dan pergi dari sana. Tidak peduli jika pria itu masih berada di dalam kamarnya. Di lorong mansion yang luas Lauretta berpapasan dengan Melva— sang mama mertua yang berkerut heran melihat wajah cantik menantunya tengah menahan kekesalan. “¿Lo que está mal?" (Apa yang salah?) Melva memegang bahu Lauretta serta satu tangannya lagi memegang dagu menantunya. Tatapannya melirik raut wajah cantik itu dengan kerutan halus di dahi. “No, mamá. Estoy bien." (Aku baik-baik saja) Melva menghela lantas ia mengangguk mengerti. “Avísame si necesitas algo.” (Beritahu aku jika kau membutuhkan sesuatu) “Sí, gracias.” ***** Halaman utama mansion dipenuhi pria-pria tampan serta mapan berpakaian jas rapih yang datang khusus untuk menyambut kepulangan teman mereka. Siapa lagi jika bukan Amor Calbi. Pemeran utama yang memang selalu menonjol diantara pria-pria hidung belang itu. Suara-suara tawa pecah memenuhi halaman. Tawa yang terdengar amat rapih pun penuh wibawa bak suara uang ketika didengar, bercampur aduk dengan suara senapan yang tengah mereka mainkan. Melemparkan burung hidup sebagai target kemudian menembaknya hingga tewas. Sementara itu di lantai dua mansion. Kamar yang memiliki jendela tepat mengarah pada halaman utama. Berdiri Lauretta di belakang kaca besar kamarnya, memandang ke bawah pun menatap para pria di bawah sana terutama Amor. Sebelah ujung bibirnya terangkat menatap senyuman tipis pria itu. Leave Jonas merupakan direktur rumah sakit besar nan ternama. Duduk menumpu kakinya di kursi serta sesekali menyesap minuman di dalam gelas. Rambut yang disisir rapih ke belakang serta kaca mata bening menambah ketampanan serta daya tarik pun memperlihatkan kepintarannya. Diantara teman yang lain, dirinya yang paling dekat dengan Amor. “Sí, aku tahu itu,” timpalnya saat Amor berbicara pelan pada Leave. Tatapan tajam Amor terangkat tepat pada kaca jendela kamar Lauretta yang kini sudah tertutup kembali oleh gorden. Tak lagi ia lihat wanita cantik yang sejak tadi berdiri memperhatikan di sana. Galnot Desarte melangkah gagah membawa senapan di tangannya. Ia mengambil satu gelas beer di atas meja lantas melemparkan tatapannya pada Amor. Pria bertubuh besar dipenuhi tato di kedua tangannya ini lantas mendekat pada teman karibnya. “Todo fue bien hasta tu regreso.” Suara bariton yang begitu berat cocok dengan penampilannya yang menyeramkan mampu membuat bulu kuduk merinding. Tak ada yang bisa dibicarakan pria ini pada Amor kecuali bisnis mereka yang memanglah saling terjalin di dunia hitam. “Sí.” Amor menimpali dengan singkat. Kini giliran Leave yang pergi mengambil senapan. Berdiri tegak nan gagah mengeker benda panjang itu di tangannya. Jarinya memberi isyarat pada pria di ujung untuk melemparkan burung kemudian suara tembakan kembali memecah gendang telinga. Burung malang lainnya jatuh terkapar berdarah di atas rerumputan. Tewas menjadi korban di atas kesenangan orang-orang kaya itu. “Leave, apa kabar?” Abramo datang membawa putri kecilnya di gendongan yang kontan bertukar dengan senapan sebab bocah kecil itu langsung pindah ke dalam gendongan paman tampannya. “Tío?” (Paman) “Sí?” “Mami, sakit,” katanya berbisik. Leave mengangkat keningnya mendengar aduan kecil itu. Lantas ia menatap Auretta di sisi. “Sakit?” “Um.” Ia mengangguk. “Mami tidak mau keluar dari kamar.” Tíonya tersenyum tipis. “Aku akan memeriksanya nanti, oke?” “Um.” Lagi, Auretta mengangguk dengan lucunya. Abramo mengelus lembut puncak kepala putrinya, lantas ia melirik Leave. Tatapannya memberi isyarat jika istrinya baik-baik saja, Leave tidak perlu melakukan pemeriksaan apapun pada Lauretta. “Ah mami!” Jemari kecil Auretta menunjuk ke arah pintu mansion di mana Lauretta baru saja keluar dari sana, melangkah menuju ke arahnya. Wanita itu melangkah dengan anggun. Rambut panjang bergelombang dibiarkan terurai indah. Diterpa angin kala dirinya melangkah memperlihatkan sisi cantik dari wajahnya. Lauretta tersenyum pada putrinya serta menyapa beberapa orang di sana. Sebenarnya ia tak ingin datang. Namun, tidak mungkin ia tak menampakkan diri sama sekali sementara suami serta anaknya berada di sana. “Holla, Leave,” sapanya setelah berdiri tepat di hadapan Leave, di samping Abramo pun merangkul tangan pria itu mesra. “Holla, Lauretta.” Keduanya saling menyapa pun berbincang. Lauretta dan Abramo tak segan memperlihatkan kedekatan mereka serta keharmonisan keluarga kecilnya. Sepasang suami istri ini tertawa tanpa beban, seolah di sana hanya mereka lah pasangan yang paling sempurna. Amor menatap senyum cantik itu dengan tatapan datar. . . . Bersambung ....Lauretta baru saja keluar dari kamarnya. Mengenakan gaun cantik berwarna biru laut serta higheels senada. Penampilannya yang selalu sempurna meskipun dirinya hanya berada di dalam mansion. Dirinya melangkah menuruni tangga menuju lantai utama. Pergi pada ruang makan di mana masih kosong di sana. Ia duduk di tempatnya. “Di mana Abramo?” tanya Lauretta pada salah satu pelayan yang tengah berjaga di belakang kursinya. “Senora, senor Abramo tidak hadir dalam makan malam.” Asisten pribadi Lauretta yang berdiri tak jauh dari tempatnya melangkah mendekat. Membisikan sesuatu tepat di telinga senoranya. Lantas ia membawakan ponsel Lauretta untuk wanita cantik itu lihat. Sebuah pesan dari Abramo yang tak sempat ia baca. 'Pergilah keluar untuk makan malam. Aku memiliki urusan dan tidak akan pulang.' Ia berikan kembali ponselnya pada Sherly— asisten pribadinya. Lalu ia meminta pelayan untuk menyajikan makanan sebab yang berada di ruang makan malam ini hanyalah dirinya. Sementara Ab
Lauretta membuka lebar-lebar jendela kamarnya. Mengambil sebuah lintingan kecil dari dalam laci kemudian ia sulut. Menghisap asap segar pun harum khas dari lintingan pada selah jemarinya. Dirinya duduk pada sofa tunggal di dekat jendela saat beberapa pelayan masuk untuk mengantarkan satu botol redwine lengkap dengan gelas dan satu mangkuk buah cerry segar. Meletakannya tepat di atas meja, di hadapan sen Senora mereka. Ia memejamkan mata menikmati efek mabuk dari alkohol yang ia tegak. Bayangan hitam pada kelopak matanya seketika berubah menjadi pecahan-pecahan kenangan yang sama sekali tak ingin ia ingat. Lantas, ia segera membuka matanya kembali. Di hadapannya ia melihat Amor yang berdiri begitu gagah. Memeluk serta mencium pundaknya dari belakang begitu mesra. Pria itu gencar membisikan kata-kata cinta padanya. Merayu, menggoda, amat mempesona. Di tepi ranjang mereka saling menatap dalam. Menyatukan bibir pun saling melumat. Lalu adegan itu berganti menjadi percintaan panas m
Lauretta dan Abramo mendampingi putri mereka yang tengah diobati. Beberapa pelayan siaga, serta Amor juga berada di sana. Leave sebagai dokter telaten memberikan obat pada luka alergi bocah kecil itu. Alergi Auretta pada serbuk sari memanglah tak main-main. Kulitnya akan membengkak merah seperti terbakar jika ia menyentuh sedikit saja benda yang mengandung bahan alerginya. Itulah kenapa taman utama mansion tak pernah ditanami bunga apapun. Gadis kecil itu mungkin tak sengaja memegang bunga liar yang tumbuh sembarangan. Abramo pergi lebih dulu dari kamar tidur putrinya. Sudah bisa dipastikan apa yang akan dilakukan pria itu. Ia akan mencari tahu kenapa alergi Auretta bisa timbul secara tiba-tiba, kemudian menyeret semua orang yang terlibat. Gadis kecil itu terlelap kini setelah lelah meringis kesakitan. Lauretta yang duduk di tepi ranjang menatap iba wajah kecil putrinya. Alergi yang kambuh pasti begitu menyakitkan. Sesaat ia melamun memikirkan bagaimana anak sekecil itu menah
Duduk menumpu kakinya seraya menikmati secangkir teh di halaman belakang mansion yang menyuguhkan pemandangan danau hijau nan indah. Wanita cantik itu terdiam cukup lama hingga atensinya teralihkan oleh suara kursi yang digeret. Bisa Lauretta lihat siapa yang duduk di kursi sampingnya tanpa menoleh. Amor. Pria itu datang dengan alasan yang sudah jelas pun Lauretta ketahui. “Maaf karena menyebabkan putrimu terluka. Mara tidak tahu dan dia membawa bunga untukku.” Lauretta menyimpan cangkir teh miliknya ke atas meja. Duduk menyender pun jemari yang saling bertaut di depan perut. Ia sangat ingin marah namun tak bisa. Itu Amor. Tidak ada yang berhak memarahinya dengan alasan apapun. “Kau tidak memberitahunya bahkan itu melibatkan dirimu?” Lauretta menatapnya tajam. “Aku tak sempat.” Bibir cantik dengan polesan lipstik merona ini berdecih pelan. “Kalian menghabiskan malam bersama tapi kau masih tak sempat memberitahunya,” tutur Lauretta kemudian melengos membuang wajahnya ke sa
Melenggang cantik kaki jenjang yang terbalut higheels tinggi di sebuah lorong disertai pintu kamar pada sisi kanan dan kirinya. Menaiki lift menuju lantai dua. Suasana riuh club malam menyambut kala pintu besi itu terbuka. Bokong sintal itu melenggok kala dirinya melangkah. Tubuh seksi membentuk gitar spanyol mengenakan dress pendek di atas paha semakin memperlihatkan bentuk tubuhnya yang amat menggoda. Mata-mata dari pria hidung belang mengiringi setiap langkahnya. Tak mampu menggoda, hanya dapat mengamati sosok wanita cantik pemilik club malam yang memanglah tak bisa disentuh pun dijangkau. Tangannya menyelipkan sesuatu di atas nampan minuman yang dibawa oleh seorang pelayan pria sebelum memasuki ruang VVIP. Serbuk terlarang yang memang dibebas edarkan di dalam sana. Dirinya masuk ke dalam ruangan di mana seorang pria sudah menunggu di dalam sana. Minuman beralkhohol memenuhi meja, satu piring berisikan buah segar serta pelukan hangat dari dua jalang di sisi kanan serta kir
Meksiko. Seorang pria duduk menyender pada sofa tunggal. Menumpu kaki seraya menyesap nikotin pada selah jemarinya. Di atas meja tepat di depannya, penuh botol minuman beralkohol serta sebuah nampan berisikan serbuk putih lengkap dengan dollar yang dilinting. Wajah datar tanpa ekspresi. Tatapannya tajam pun intens mengarah pada wanita di depan meja tengah melakukan pole dance. Tubuh sintal nan seksi berpakaian minim itu meliuk-liuk lihai pada tiang, bergerak begitu seductive menggiurkan. Wanita tersebut melangkah mendekati sang pria. Tangannya terulur menyentuh menggoda wajah serta dada bidang pria tersebut. Namun aksinya sama sekali tak dilirik, diabaikan begitu saja. Tak menyerah di sana, sang wanita semain liar dan kii duduk tepat di atas pangkuan. "Amor ...." Bibir sintal nan tebal seksinya berbisik di depan telinga Amor dengan suara yang amat menggoda. Tapi Amor justru tetap mengabaikannya. Pintu ruangan seketika terbuka. Mara yang berdiri di ambang pintu menatap Amor p
Lauretta mengecup lembut tangan kecil putrinya yang baru saja sembuh dari reaksi alergi. Kembali mulus kulit putihnya sepert sedia kala setelah dia kembali dari pengobatanya di luar negeri. Ia menjemput putrinya secara pribadi ke bandara. Membuat kejutan pada putri kecilnya setelah mereka dipisahkan jarak dan waktu selama dua minggu penuh. Tak lepas bocah kecil itu memeluk serta mencium maminya penuh rasa rindu. Satu buket coklat disodorkan tepat di hadapan Auretta. Kontan tersenyum ceria wajah cantiknya. Segera ia lepaskan pelukan pada maminya, dan beralih memeluk sang pemberi coklat. "¡Tío!" (Paman) Lauretta berpikir jika Tio yang datang ialah Leave. Sebab ialah satu-satunya sahabat Abramo yang paling dekat dengan Auretta. Namun Lauretta salah. Ketika dirinya menoleh ia mendapati Amor tengah memeluk putrinya. Tanpa Lauretta tahu jika akhir-akhir ini putri kecilnya sering kali berhubungan dengan Amor. Tionya ini merasa bersalah padanya karena menyebabkan dia dirawat di ru
Amor mendorong, menyudutkan tubuh Lauretta pada tembok lalu ia balikkan tubuh wanita cantik itu menghadapnya. Menghimpit dua kaki Lauretta menggunakan kakinya agar dia tak bisa bergerak memberontak. “Aku benci kau yang seperti ini, Amor!” cerca Lauretta. Menggerakan kakinya dalam himpitan Amor serta tangannya yang diborgol dibelakang tubuh. Meskipun mustahil ia terlepas, tapi dia enggan untuk diam. Tak bisa dipungkiri lagi gangguan Amor yang tak ada habisnya. Lauretta pikir ia telah terbebas dari jerat pria tak memiliki otak ini. Namun dirinya salah. Semakin lama Amor tak menganggu, maka akan semakin berat kala gangguannya datang. “Apa yang ingin kau lakukan sekarang, uh? Memperkosaku?” Lauretta mengangkat dagunya, menantang pria itu berani. Keadaan tubuh yang tak terikat sama sekali tak menyudutkan nyalinya. “Itu tidak dihitung memperkosa jika kau sama maunya, Babe,” balas Amor. Mengelus pipi mulus Lauretta seraya ia jumput surai basah wanitanya ke belakang telinga. Bajingan
"Mau masuk ke dalam kamarku, Amor?" Lauretta memegang tangan Amor, menarik membuat pria itu mengikuti langkahnya untuk masuk ke dalam kamar. Bibir cantik wanita ini tertarik ke atas kala ia lihat ekspresi Mara yang amat marah pun kesal di belakang sana. Mengambil ponsel di atas ranjang kemudian ia berikan kepada Amor yang menerimanya dengan ekspresi datar. "Kau meretas ponselku, lagi, uh?" tuduhnya pada Amor. Menyebalkan karena tak bisa memiliki privasi apapun sebab setiap detail kehidupannya diawasi oleh pria ini. "Aku selalu memiliki duplikat ponselmu," timpalnnya dengan nada amat sangat datar. Seolah hal yang dia akui bukanlah hal yang besar. "Senangkah kau mengawasiku setiap saat?" "Tidak sama sekali, sebab aku lebih senang berada di sampingmu setiap saat." Lauretta berdecak samar. "Dan aku sebaliknya.” "Ingat untuk tidak mengawasi diriku lagi, tak akan pernah kuijinkan kau memasuki kehidupanku untuk kedua kalinya! Aku cukup bodoh di masalalu karena memiliki kekas
Santai Lauretta melangkah keluar dari kamar mandi. Terlilit handuk tipis putih menutupi tubuh sintalnya yang polos dan basah memperlihatkan belahan dadanya yang montok. Pandangannya langsung tertuju kepada Amor yang berdiri tepat di depan pintu. Namun, ia alihkan pandangannya segera kepada Alfonso yang berdori di belakang Amor. "Tolong ambilkan aku handuk yang lebih besar dari ini. Handuk kecil ini tak bisa menutupi bokongku sama sekali," gerutunya. Memang benar, bulatan bokongna masih terlihat saat ia berjalan menuju kamar, dan itu diperhatikan oleh Amor serta Alfonso. Alfonso pergi mengambilkan handuk, mengantarkannya ke dalam kamar dan untuk beberapa saat keduanya tak keluar dari sana. Membiarkan tamu tak diundang itu menunggu di depan pintu. "Hei, bawa tamu-mu pergi dari rumahku, aku tak ingin dia mengacaukannya seperti sebelumnya," kata Alfonso pada Lauuretta yang tengah mengenakan bra di depan cermin. "Kau usir saja dia, aku bahkan tak ingin keluar dari kamar ini," timp
Untuk melangkahkan kaki masuk ke dalam kamar hotel yang beberapa tahun sudah ia tinggalkan, Lauretta membutuhkan keberanian khusus sebab banyak kenangan yang akan muncul di setiap sudut ruangan. Di atas ranjang, di dalam kamar mandi, di atas meja, dan jendela kaca. Lauretta bisa melihat dirinya sendiri disudutkan oleh Amor di tempat tersebut. Hotel bintang lima yang dikelola khusus oleh Amor Calbi hingga seluruh kamar yang berada di lantai atas adalah miliknya. Salah satunya kamar VVIP terbesar dan ia letakkan nama Lauretta di dalam, khusus untuk dirinya dan wanita cantik itu. Tempat ini merupakan saksi betapa panas hasrat bercinta keduanya. Dalam waktu empat puluh delapan jam di dalam kamar tak membuat mereka merasa bosan. Panas membara berapi-api atmosfir di dalam kamar dipenuhi hasrat yang menggelora. Pandangan Lauretta menelisik pada setiap sudut ruangan. Tak ada satupun benda yang terganti maupun tergeser sejak tiga tahun yang lalu. Semuanya sama persis dengan terakhir kal
Duduk menyender Lauretta pada sofa tunggal di dalam kamarnya, beserta dua kaki yang ia naikkan ke atas meja masih lengkap dengan higheels yang ia kenakan. Menyender kepalanya pada senderan kursi, mendongak ke atas wajah cantiknya pun memejam. Kalimat-kalimat sialan yang diucapkan Hector padanya kini memenuhi kepala, membuat pening dan menambah beban. "Aku lebih baik mati," gumamnya rendah. "Kau memang akan segera mati." Mata Lauretta kontan terbuka lebar kala seseorang berbicara padanya. Pria sialan lainnya datang yaitu Amor Calbi, pria yang tak tahu diri meskipun sudah ditolak puluhan kali. Amor melemparkan satu lembar kertas berisikan hasil lab pada Lauretta. Wanita itu mengeryit lantas membaca laporan yang Amor bawa tanpa mengubah sedikit pun posisi duduknya. "Ah~" Ia meremasnya hingga kusut lalu melempar pada sudut ruangan. Wajahnya datar tak peduli apapun menatap pada Amor. "Sí, sudah kulihat. Sekarang pergilah." Wajah Amor amat datar nan dingin meskipun kekesalan
Hujan rintik mengguyur pekarangan mansion. Membasahi setiap helai daun serta ranting yang tak sengaja jatuh berguguran diterpa angin. Kabut tipis menghalangi pemandangan, membuat suasana di pagi hari semakin sendu. Asap tebal keluar dari bibir seksi yang dipoles lipstik merona. Wajah datar serta tatapan lurus ke depan, pandangan yang kosong pun tak berkedip. Hanya tangannya yang bergerak mengarahkan batang nikotin yang terselip di jemari ke arah bibirnya. Suara sepatu pentofel menghentak lantai terdengar mendekat. Sama sekali yak membuyarkan kekosongan dalam pikiran wanita cantik itu. Tanpa menoleh ia mengetahui siapa yang baru saja datang pun kini berdiri di sampingnya. Seorang pria yang bisa ia kenali bahkan hanya dengan mencium aromanya. "Kau tidak akan datang jika tak diundang, sí? Ini kunjungan pertamamu sejak kau menikah." Tubuh besar nan berotot dibalut kemeja putih rapi. Tato memenuhi lengan kiri pria itu. Wajahnya yang tampan pun garang dipenuhi jambang yang cukup leba
Amor mendorong, menyudutkan tubuh Lauretta pada tembok lalu ia balikkan tubuh wanita cantik itu menghadapnya. Menghimpit dua kaki Lauretta menggunakan kakinya agar dia tak bisa bergerak memberontak. “Aku benci kau yang seperti ini, Amor!” cerca Lauretta. Menggerakan kakinya dalam himpitan Amor serta tangannya yang diborgol dibelakang tubuh. Meskipun mustahil ia terlepas, tapi dia enggan untuk diam. Tak bisa dipungkiri lagi gangguan Amor yang tak ada habisnya. Lauretta pikir ia telah terbebas dari jerat pria tak memiliki otak ini. Namun dirinya salah. Semakin lama Amor tak menganggu, maka akan semakin berat kala gangguannya datang. “Apa yang ingin kau lakukan sekarang, uh? Memperkosaku?” Lauretta mengangkat dagunya, menantang pria itu berani. Keadaan tubuh yang tak terikat sama sekali tak menyudutkan nyalinya. “Itu tidak dihitung memperkosa jika kau sama maunya, Babe,” balas Amor. Mengelus pipi mulus Lauretta seraya ia jumput surai basah wanitanya ke belakang telinga. Bajingan
Lauretta mengecup lembut tangan kecil putrinya yang baru saja sembuh dari reaksi alergi. Kembali mulus kulit putihnya sepert sedia kala setelah dia kembali dari pengobatanya di luar negeri. Ia menjemput putrinya secara pribadi ke bandara. Membuat kejutan pada putri kecilnya setelah mereka dipisahkan jarak dan waktu selama dua minggu penuh. Tak lepas bocah kecil itu memeluk serta mencium maminya penuh rasa rindu. Satu buket coklat disodorkan tepat di hadapan Auretta. Kontan tersenyum ceria wajah cantiknya. Segera ia lepaskan pelukan pada maminya, dan beralih memeluk sang pemberi coklat. "¡Tío!" (Paman) Lauretta berpikir jika Tio yang datang ialah Leave. Sebab ialah satu-satunya sahabat Abramo yang paling dekat dengan Auretta. Namun Lauretta salah. Ketika dirinya menoleh ia mendapati Amor tengah memeluk putrinya. Tanpa Lauretta tahu jika akhir-akhir ini putri kecilnya sering kali berhubungan dengan Amor. Tionya ini merasa bersalah padanya karena menyebabkan dia dirawat di ru
Meksiko. Seorang pria duduk menyender pada sofa tunggal. Menumpu kaki seraya menyesap nikotin pada selah jemarinya. Di atas meja tepat di depannya, penuh botol minuman beralkohol serta sebuah nampan berisikan serbuk putih lengkap dengan dollar yang dilinting. Wajah datar tanpa ekspresi. Tatapannya tajam pun intens mengarah pada wanita di depan meja tengah melakukan pole dance. Tubuh sintal nan seksi berpakaian minim itu meliuk-liuk lihai pada tiang, bergerak begitu seductive menggiurkan. Wanita tersebut melangkah mendekati sang pria. Tangannya terulur menyentuh menggoda wajah serta dada bidang pria tersebut. Namun aksinya sama sekali tak dilirik, diabaikan begitu saja. Tak menyerah di sana, sang wanita semain liar dan kii duduk tepat di atas pangkuan. "Amor ...." Bibir sintal nan tebal seksinya berbisik di depan telinga Amor dengan suara yang amat menggoda. Tapi Amor justru tetap mengabaikannya. Pintu ruangan seketika terbuka. Mara yang berdiri di ambang pintu menatap Amor p
Melenggang cantik kaki jenjang yang terbalut higheels tinggi di sebuah lorong disertai pintu kamar pada sisi kanan dan kirinya. Menaiki lift menuju lantai dua. Suasana riuh club malam menyambut kala pintu besi itu terbuka. Bokong sintal itu melenggok kala dirinya melangkah. Tubuh seksi membentuk gitar spanyol mengenakan dress pendek di atas paha semakin memperlihatkan bentuk tubuhnya yang amat menggoda. Mata-mata dari pria hidung belang mengiringi setiap langkahnya. Tak mampu menggoda, hanya dapat mengamati sosok wanita cantik pemilik club malam yang memanglah tak bisa disentuh pun dijangkau. Tangannya menyelipkan sesuatu di atas nampan minuman yang dibawa oleh seorang pelayan pria sebelum memasuki ruang VVIP. Serbuk terlarang yang memang dibebas edarkan di dalam sana. Dirinya masuk ke dalam ruangan di mana seorang pria sudah menunggu di dalam sana. Minuman beralkhohol memenuhi meja, satu piring berisikan buah segar serta pelukan hangat dari dua jalang di sisi kanan serta kir