Happy Reading ….
Degup jantung berdetak tak menentu. Keringat dingin membasahi pelipisnya yang sudah dipolesi bedak tipis. Pagi hari di ruang makan, perasaan Lauretta sudah sangat berantakan. Seluruh keluarga besar berkumpul untuk sarapan pagi bersama. Pagi hari berjalan seperti biasa, mama serta ayah mertua Lauretta— Johanes dan Melva duduk pada ujung meja makan pun kursi utama untuk Johanes sebagai kepala keluarga tertua. Di sebelah kanan, duduk Abramo dan keluarga kecilnya. Sementara di sebelah kiri, ada pria tampan yang baru saja kembali setelah menetap selama tiga tahun di Los Angeles, siapa lagi jika bukan Amor Calbi— pria tampan mempesona berusia tiga puluh tujuh tahun pun masih lajang. Sibuk dengan pekerjaan yang ia kelola, Amor tidak pernah berpikir memiliki keluarga. Pria ini duduk menyender sedikit melorotkan tubuhnya ke bawah. Piring di hadapannya masih kosong dan ia hanya menyesap secangkir Americano. Pandangannya yang tajam terus fokus pada layar tab yang dirinya pegang. Sementara Amor terlihat cuek dan santai, Lauretta justru sebaliknya. Wanita satu ini amat kesal sejak pagi tadi, mungkin sejak bangun tidur, atau malah tak tidur sama sekali. Semuanya karena kejadian tadi malam yang jika diingat kontan membuat suasana hatinya berantakan. “Amor.” Suara bariton nan berat itu menginterupsi. Kontan semua pasang mata yang berada di sana bergerak ke arahnya. Johanes Calbi sosoknya yang tegas serta di segani banyak orang, keluarga, serta kedua putranya. Sosok ayah yang baik dalam memimpin keluarga serta mendidik anak-anaknya. Amor hanya melirik tanpa suara, menunggu kalimat lanjutan dari sang papa. “Aku harap kau kembali dengan membawa kabar baik,” ujar Johanes. “Sí,” jawab Amor singkat. Pun pria paruh baya itu hanya berdeham singkat. Suasana di meja makan kembali dingin pun sepi tanpa percakapan seperti hari-hari biasanya. Ditambah Amor yang membuat atmosfer di dalam ruangan itu semakin kelam. Tidak ada yang pergi setelah selesai makan sebelum Johanes beranjak dari tempat duduknya. Tatapan tajam Amor menilik Lauretta yang sedang memakan sarapannya. Tatapan intens hingga si pusat perhatian merasakannya dan sedikit melirik mengerutkan dahi. Ujung bibir Amor berkedut melihat ekspresi kesal Lauretta. **** “Di mana kau tadi malam?” Lauretta berbalik dari cermin di meja rias, melangkah kaki jenjang yang terbalut higheels menuju Abramo yang sedang melepaskan ikatan dasi di leher. Acuh tak acuh pria itu sama sekali tak memperhatikan pertanyaan istrinya. “Abramo, aku bertanya kepadamu.” Ia menekankan. Abramo menoleh dengan wajah dingin, melirik Lauretta datar. “Itu bukan urusanmu, Lauretta.” Lauretta menahan napasnya kesal. “Tapi bukankah kau tahu jika Amor kembali? Kau tidak mengatakan padaku sebelumnya.” “Aku sama sekali tidak tahu,” ungkap Abramo seraya menggelengkan kepalanya pun menekan nada suara pada Lauretta. Lauretta berdecak. “Kau tahu aku tidak menyukainya, uh?” “Dan itu urusanmu, jangan libatkan aku.” Abramo berbalik tak peduli. “Bawa aku pergi dari sini,” pinta Lauretta sedikit berteriak, kontan menghentikan langkah kaki suaminya yang hampir keluar dari pintu kamar. Abramo sedikit menoleh tanpa menatap Lauretta ia menjawab, “Kau tahu itu tidak mungkin.” Pintu kamar tertutup dengan rapat setelah Abramo meninggalkan ruangan. Meninggalkan Lauretta sendiri dengan kekesalan. Ia terduduk di tepi ranjang, memikirkan kenapa dirinya berakhir seperti ini, berakhir hidupnya di dalam belenggu hubungan pernikahan yang rumit. Empat tahun lamanya ia tak pernah dicintai oleh pria itu, tak pernah diperhatikan, pun tak pernah di pedulikan. Sekalipun Abramo tak pernah melihat ke arahnya bahkan ketika Lauretta mengandung, melahirkan putri tercinta mereka. Abramo sama sekali tak peduli. Pernikahan tanpa saling menyentuh pun hubungan seks terasa sangat dingin. Auretta adalah kecelakaan Abramo yang tak disengaja. Pulang dalam keadaan mabuk dan tanpa sadar bercinta dengan istri yang tak pernah ia lirik. Itu penyesalan Abramo. Namun kehadiran Auretta tidak termasuk ke dalamnya. Pria itu mencintai putri kecilnya. Satu-satunya yang membuat Abramo luluh hanya Auretta, putri kecil mereka yang kini berusia dua tahun. Pernikahan bisnis antar keluarga memang selalu terjadi seperti itu. Orang bilang cinta akan tumbuh seiring berjalannya waktu. Tapi, kapan cinta itu tumbuh di antara mereka berdua? Lauretta tak pernah menyesali sikap dingin Abramo pada dirinya. Ia sebenarnya tak terlalu peduli bagaimana pria itu bersikap. Sejujurnya, ia juga tak pernah mencintai Abramo sebagai seorang suami. Lauretta hanya sekedar menghormatinya. Yang ada di antara mereka hanya sebuah hubungan di atas kertas, ikatan palsu yang entah bisa atau tidak menjadi ikatan nyata. Tubuh ramping nan berlekuk di beberapa area sensual terpampang di depan cermin besar. Mata kucingnya menelisik tubuh indahnya sendiri. Itu sempurna sebagai seorang perempuan, dan wajahnya cantik. Tidak tahu kenapa Abramo tidak tertarik. “Dia tidak normal?” gumam Lauretta. Ia membubuhkan bedak pada titik di lehernya. Menyamarkan noda merah bekas gigitan si keparat Amor tadi malam. Hal yang membuat Lauretta sangat kesal karena pria itu menggigit serta menghisap lehernya hingga meninggalkan bekas. Sialan! “Mami! Mami! Mami!” Pintu diketuk dari luar dan terdengar teriakan bocah kecil di sana. Lauretta segera menyelesaikan urusannya dengan bekas kissmark lalu melangkah pun membuka pintu. Di luar, tampak Auretta tersenyum memperlihatkan giginya yang baru tumbuh, lalu di belakang tubuh mungilnya, menjulang tinggi sosok Amor yang agung. “Hello, Mami?” sapa Amor. “Cih.” Pun langsung dibalas jijik oleh Lauretta. Ia menggendong tubuh mungil Auretta. Tersenyum wanita cantik itu amat hangat pada putri kecilnya. “Ada apa, Sayang?” “Te extraño.” (Aku merindukanmu) Tatapan Lauretta melirik Amor tajam. “Aku tidak bertanya padamu, Sial,” ketusnya menggerutu. Pun Amor yang terkekeh kecil. “Mami, aku ingin pergi bermain di taman,” pinta Auretta, bersuara kecil dan imut sedikit tak bisa dimengerti. “Um? Di mana sustermu?” Amor menoleh pada suster Auretta yang ternyata sudah berjaga dua meter dari pintu kamar. Pria ini sengaja meminjam bocah kecil itu agar bisa bertemu wanitanya. Karena jika tidak, Lauretta tentu saja tak akan mau melihat Amor terlebih setelah kejadian tadi malam. Wanita muda berpakaian seragam babysitter lantas mendekat pada Amor. Membawa Auretta dari gendongan maminya lalu membawa bocah kecil itu ke tempat yang dia inginkan. Saat ini Lauretta langsung melirik Amor dengan malas, ia mengerti kenapa putrinya datang dengan pria ini. Cepat-cepat tangannya bergerak hendak menutup pintu, namun sigap Amor menahan. “Mami, Te extraño.” Lagi, Lauretta mendorong pintu hendak menutup. Namun Amor terus menahannya. “Ijinkan aku masuk atau aku akan memelukmu di sini,” ungkap Amor seraya terus mendorong pintu hingga kembali terbuka lebar, mengalahkan Lauretta yang tentu tak mau kalah. “Jangan gila!” “Sí, kau tahu aku gila. Gila kepadamu.” Bersambung .....“Sí, kau tahu aku gila, gila kepadamu.” Suara pintu terkunci berhasil membuat degup jantung Lauretta berdegup dua kali lipat. Wanita cantik itu melirik Amor yang melangkah kian mendekat pada dirinya. Ia tahu, tahu betul jika pria gila ini tak bisa ia hentikan. “Amor.” Lirikan Lauretta semakin tajam pada pria di hadapannya yang satu langkah lagi mampu meraih dirinya. “Yes, Darling?” “Ingat, kita sudah selesai.” Ia menegaskan, dan Amor berdecih. Melirik tidak suka lantas ia raih pinggang sintal wanitanya tanpa permisi. Merapatkan tubuh mereka tanpa jarak sedikitpun. “Selesai? Kita tidak akan pernah selesai, Baby.” Ia memiringkan wajahnya, maju untuk mengecup leher jenjang nan putih milik Lauretta yang terpampang tanpa penolakan. “Kita tidak akan pernah selesai, Baby.” Mata kucing itu mendelik memutar malas. Mendorong dada Amor hingga pelukan pada pinggangnya terlepas. Jemari lentiknya mengibas bahu serta baju seolah pelukan Amor adalah kotoran. Mengambil tissue di atas n
Lauretta baru saja keluar dari kamarnya. Mengenakan gaun cantik berwarna biru laut serta higheels senada. Penampilannya yang selalu sempurna meskipun dirinya hanya berada di dalam mansion. Dirinya melangkah menuruni tangga menuju lantai utama. Pergi pada ruang makan di mana masih kosong di sana. Ia duduk di tempatnya. “Di mana Abramo?” tanya Lauretta pada salah satu pelayan yang tengah berjaga di belakang kursinya. “Senora, senor Abramo tidak hadir dalam makan malam.” Asisten pribadi Lauretta yang berdiri tak jauh dari tempatnya melangkah mendekat. Membisikan sesuatu tepat di telinga senoranya. Lantas ia membawakan ponsel Lauretta untuk wanita cantik itu lihat. Sebuah pesan dari Abramo yang tak sempat ia baca. 'Pergilah keluar untuk makan malam. Aku memiliki urusan dan tidak akan pulang.' Ia berikan kembali ponselnya pada Sherly— asisten pribadinya. Lalu ia meminta pelayan untuk menyajikan makanan sebab yang berada di ruang makan malam ini hanyalah dirinya. Sementara Ab
Lauretta membuka lebar-lebar jendela kamarnya. Mengambil sebuah lintingan kecil dari dalam laci kemudian ia sulut. Menghisap asap segar pun harum khas dari lintingan pada selah jemarinya. Dirinya duduk pada sofa tunggal di dekat jendela saat beberapa pelayan masuk untuk mengantarkan satu botol redwine lengkap dengan gelas dan satu mangkuk buah cerry segar. Meletakannya tepat di atas meja, di hadapan sen Senora mereka. Ia memejamkan mata menikmati efek mabuk dari alkohol yang ia tegak. Bayangan hitam pada kelopak matanya seketika berubah menjadi pecahan-pecahan kenangan yang sama sekali tak ingin ia ingat. Lantas, ia segera membuka matanya kembali. Di hadapannya ia melihat Amor yang berdiri begitu gagah. Memeluk serta mencium pundaknya dari belakang begitu mesra. Pria itu gencar membisikan kata-kata cinta padanya. Merayu, menggoda, amat mempesona. Di tepi ranjang mereka saling menatap dalam. Menyatukan bibir pun saling melumat. Lalu adegan itu berganti menjadi percintaan panas m
Lauretta dan Abramo mendampingi putri mereka yang tengah diobati. Beberapa pelayan siaga, serta Amor juga berada di sana. Leave sebagai dokter telaten memberikan obat pada luka alergi bocah kecil itu. Alergi Auretta pada serbuk sari memanglah tak main-main. Kulitnya akan membengkak merah seperti terbakar jika ia menyentuh sedikit saja benda yang mengandung bahan alerginya. Itulah kenapa taman utama mansion tak pernah ditanami bunga apapun. Gadis kecil itu mungkin tak sengaja memegang bunga liar yang tumbuh sembarangan. Abramo pergi lebih dulu dari kamar tidur putrinya. Sudah bisa dipastikan apa yang akan dilakukan pria itu. Ia akan mencari tahu kenapa alergi Auretta bisa timbul secara tiba-tiba, kemudian menyeret semua orang yang terlibat. Gadis kecil itu terlelap kini setelah lelah meringis kesakitan. Lauretta yang duduk di tepi ranjang menatap iba wajah kecil putrinya. Alergi yang kambuh pasti begitu menyakitkan. Sesaat ia melamun memikirkan bagaimana anak sekecil itu menah
Duduk menumpu kakinya seraya menikmati secangkir teh di halaman belakang mansion yang menyuguhkan pemandangan danau hijau nan indah. Wanita cantik itu terdiam cukup lama hingga atensinya teralihkan oleh suara kursi yang digeret. Bisa Lauretta lihat siapa yang duduk di kursi sampingnya tanpa menoleh. Amor. Pria itu datang dengan alasan yang sudah jelas pun Lauretta ketahui. “Maaf karena menyebabkan putrimu terluka. Mara tidak tahu dan dia membawa bunga untukku.” Lauretta menyimpan cangkir teh miliknya ke atas meja. Duduk menyender pun jemari yang saling bertaut di depan perut. Ia sangat ingin marah namun tak bisa. Itu Amor. Tidak ada yang berhak memarahinya dengan alasan apapun. “Kau tidak memberitahunya bahkan itu melibatkan dirimu?” Lauretta menatapnya tajam. “Aku tak sempat.” Bibir cantik dengan polesan lipstik merona ini berdecih pelan. “Kalian menghabiskan malam bersama tapi kau masih tak sempat memberitahunya,” tutur Lauretta kemudian melengos membuang wajahnya ke sa
Melenggang cantik kaki jenjang yang terbalut higheels tinggi di sebuah lorong disertai pintu kamar pada sisi kanan dan kirinya. Menaiki lift menuju lantai dua. Suasana riuh club malam menyambut kala pintu besi itu terbuka. Bokong sintal itu melenggok kala dirinya melangkah. Tubuh seksi membentuk gitar spanyol mengenakan dress pendek di atas paha semakin memperlihatkan bentuk tubuhnya yang amat menggoda. Mata-mata dari pria hidung belang mengiringi setiap langkahnya. Tak mampu menggoda, hanya dapat mengamati sosok wanita cantik pemilik club malam yang memanglah tak bisa disentuh pun dijangkau. Tangannya menyelipkan sesuatu di atas nampan minuman yang dibawa oleh seorang pelayan pria sebelum memasuki ruang VVIP. Serbuk terlarang yang memang dibebas edarkan di dalam sana. Dirinya masuk ke dalam ruangan di mana seorang pria sudah menunggu di dalam sana. Minuman beralkhohol memenuhi meja, satu piring berisikan buah segar serta pelukan hangat dari dua jalang di sisi kanan serta kir
Meksiko. Seorang pria duduk menyender pada sofa tunggal. Menumpu kaki seraya menyesap nikotin pada selah jemarinya. Di atas meja tepat di depannya, penuh botol minuman beralkohol serta sebuah nampan berisikan serbuk putih lengkap dengan dollar yang dilinting. Wajah datar tanpa ekspresi. Tatapannya tajam pun intens mengarah pada wanita di depan meja tengah melakukan pole dance. Tubuh sintal nan seksi berpakaian minim itu meliuk-liuk lihai pada tiang, bergerak begitu seductive menggiurkan. Wanita tersebut melangkah mendekati sang pria. Tangannya terulur menyentuh menggoda wajah serta dada bidang pria tersebut. Namun aksinya sama sekali tak dilirik, diabaikan begitu saja. Tak menyerah di sana, sang wanita semain liar dan kii duduk tepat di atas pangkuan. "Amor ...." Bibir sintal nan tebal seksinya berbisik di depan telinga Amor dengan suara yang amat menggoda. Tapi Amor justru tetap mengabaikannya. Pintu ruangan seketika terbuka. Mara yang berdiri di ambang pintu menatap Amor p
Lauretta mengecup lembut tangan kecil putrinya yang baru saja sembuh dari reaksi alergi. Kembali mulus kulit putihnya sepert sedia kala setelah dia kembali dari pengobatanya di luar negeri. Ia menjemput putrinya secara pribadi ke bandara. Membuat kejutan pada putri kecilnya setelah mereka dipisahkan jarak dan waktu selama dua minggu penuh. Tak lepas bocah kecil itu memeluk serta mencium maminya penuh rasa rindu. Satu buket coklat disodorkan tepat di hadapan Auretta. Kontan tersenyum ceria wajah cantiknya. Segera ia lepaskan pelukan pada maminya, dan beralih memeluk sang pemberi coklat. "¡Tío!" (Paman) Lauretta berpikir jika Tio yang datang ialah Leave. Sebab ialah satu-satunya sahabat Abramo yang paling dekat dengan Auretta. Namun Lauretta salah. Ketika dirinya menoleh ia mendapati Amor tengah memeluk putrinya. Tanpa Lauretta tahu jika akhir-akhir ini putri kecilnya sering kali berhubungan dengan Amor. Tionya ini merasa bersalah padanya karena menyebabkan dia dirawat di ru
"Mau masuk ke dalam kamarku, Amor?" Lauretta memegang tangan Amor, menarik membuat pria itu mengikuti langkahnya untuk masuk ke dalam kamar. Bibir cantik wanita ini tertarik ke atas kala ia lihat ekspresi Mara yang amat marah pun kesal di belakang sana. Mengambil ponsel di atas ranjang kemudian ia berikan kepada Amor yang menerimanya dengan ekspresi datar. "Kau meretas ponselku, lagi, uh?" tuduhnya pada Amor. Menyebalkan karena tak bisa memiliki privasi apapun sebab setiap detail kehidupannya diawasi oleh pria ini. "Aku selalu memiliki duplikat ponselmu," timpalnnya dengan nada amat sangat datar. Seolah hal yang dia akui bukanlah hal yang besar. "Senangkah kau mengawasiku setiap saat?" "Tidak sama sekali, sebab aku lebih senang berada di sampingmu setiap saat." Lauretta berdecak samar. "Dan aku sebaliknya.” "Ingat untuk tidak mengawasi diriku lagi, tak akan pernah kuijinkan kau memasuki kehidupanku untuk kedua kalinya! Aku cukup bodoh di masalalu karena memiliki kekas
Santai Lauretta melangkah keluar dari kamar mandi. Terlilit handuk tipis putih menutupi tubuh sintalnya yang polos dan basah memperlihatkan belahan dadanya yang montok. Pandangannya langsung tertuju kepada Amor yang berdiri tepat di depan pintu. Namun, ia alihkan pandangannya segera kepada Alfonso yang berdori di belakang Amor. "Tolong ambilkan aku handuk yang lebih besar dari ini. Handuk kecil ini tak bisa menutupi bokongku sama sekali," gerutunya. Memang benar, bulatan bokongna masih terlihat saat ia berjalan menuju kamar, dan itu diperhatikan oleh Amor serta Alfonso. Alfonso pergi mengambilkan handuk, mengantarkannya ke dalam kamar dan untuk beberapa saat keduanya tak keluar dari sana. Membiarkan tamu tak diundang itu menunggu di depan pintu. "Hei, bawa tamu-mu pergi dari rumahku, aku tak ingin dia mengacaukannya seperti sebelumnya," kata Alfonso pada Lauuretta yang tengah mengenakan bra di depan cermin. "Kau usir saja dia, aku bahkan tak ingin keluar dari kamar ini," timp
Untuk melangkahkan kaki masuk ke dalam kamar hotel yang beberapa tahun sudah ia tinggalkan, Lauretta membutuhkan keberanian khusus sebab banyak kenangan yang akan muncul di setiap sudut ruangan. Di atas ranjang, di dalam kamar mandi, di atas meja, dan jendela kaca. Lauretta bisa melihat dirinya sendiri disudutkan oleh Amor di tempat tersebut. Hotel bintang lima yang dikelola khusus oleh Amor Calbi hingga seluruh kamar yang berada di lantai atas adalah miliknya. Salah satunya kamar VVIP terbesar dan ia letakkan nama Lauretta di dalam, khusus untuk dirinya dan wanita cantik itu. Tempat ini merupakan saksi betapa panas hasrat bercinta keduanya. Dalam waktu empat puluh delapan jam di dalam kamar tak membuat mereka merasa bosan. Panas membara berapi-api atmosfir di dalam kamar dipenuhi hasrat yang menggelora. Pandangan Lauretta menelisik pada setiap sudut ruangan. Tak ada satupun benda yang terganti maupun tergeser sejak tiga tahun yang lalu. Semuanya sama persis dengan terakhir kal
Duduk menyender Lauretta pada sofa tunggal di dalam kamarnya, beserta dua kaki yang ia naikkan ke atas meja masih lengkap dengan higheels yang ia kenakan. Menyender kepalanya pada senderan kursi, mendongak ke atas wajah cantiknya pun memejam. Kalimat-kalimat sialan yang diucapkan Hector padanya kini memenuhi kepala, membuat pening dan menambah beban. "Aku lebih baik mati," gumamnya rendah. "Kau memang akan segera mati." Mata Lauretta kontan terbuka lebar kala seseorang berbicara padanya. Pria sialan lainnya datang yaitu Amor Calbi, pria yang tak tahu diri meskipun sudah ditolak puluhan kali. Amor melemparkan satu lembar kertas berisikan hasil lab pada Lauretta. Wanita itu mengeryit lantas membaca laporan yang Amor bawa tanpa mengubah sedikit pun posisi duduknya. "Ah~" Ia meremasnya hingga kusut lalu melempar pada sudut ruangan. Wajahnya datar tak peduli apapun menatap pada Amor. "Sí, sudah kulihat. Sekarang pergilah." Wajah Amor amat datar nan dingin meskipun kekesalan
Hujan rintik mengguyur pekarangan mansion. Membasahi setiap helai daun serta ranting yang tak sengaja jatuh berguguran diterpa angin. Kabut tipis menghalangi pemandangan, membuat suasana di pagi hari semakin sendu. Asap tebal keluar dari bibir seksi yang dipoles lipstik merona. Wajah datar serta tatapan lurus ke depan, pandangan yang kosong pun tak berkedip. Hanya tangannya yang bergerak mengarahkan batang nikotin yang terselip di jemari ke arah bibirnya. Suara sepatu pentofel menghentak lantai terdengar mendekat. Sama sekali yak membuyarkan kekosongan dalam pikiran wanita cantik itu. Tanpa menoleh ia mengetahui siapa yang baru saja datang pun kini berdiri di sampingnya. Seorang pria yang bisa ia kenali bahkan hanya dengan mencium aromanya. "Kau tidak akan datang jika tak diundang, sí? Ini kunjungan pertamamu sejak kau menikah." Tubuh besar nan berotot dibalut kemeja putih rapi. Tato memenuhi lengan kiri pria itu. Wajahnya yang tampan pun garang dipenuhi jambang yang cukup leba
Amor mendorong, menyudutkan tubuh Lauretta pada tembok lalu ia balikkan tubuh wanita cantik itu menghadapnya. Menghimpit dua kaki Lauretta menggunakan kakinya agar dia tak bisa bergerak memberontak. “Aku benci kau yang seperti ini, Amor!” cerca Lauretta. Menggerakan kakinya dalam himpitan Amor serta tangannya yang diborgol dibelakang tubuh. Meskipun mustahil ia terlepas, tapi dia enggan untuk diam. Tak bisa dipungkiri lagi gangguan Amor yang tak ada habisnya. Lauretta pikir ia telah terbebas dari jerat pria tak memiliki otak ini. Namun dirinya salah. Semakin lama Amor tak menganggu, maka akan semakin berat kala gangguannya datang. “Apa yang ingin kau lakukan sekarang, uh? Memperkosaku?” Lauretta mengangkat dagunya, menantang pria itu berani. Keadaan tubuh yang tak terikat sama sekali tak menyudutkan nyalinya. “Itu tidak dihitung memperkosa jika kau sama maunya, Babe,” balas Amor. Mengelus pipi mulus Lauretta seraya ia jumput surai basah wanitanya ke belakang telinga. Bajingan
Lauretta mengecup lembut tangan kecil putrinya yang baru saja sembuh dari reaksi alergi. Kembali mulus kulit putihnya sepert sedia kala setelah dia kembali dari pengobatanya di luar negeri. Ia menjemput putrinya secara pribadi ke bandara. Membuat kejutan pada putri kecilnya setelah mereka dipisahkan jarak dan waktu selama dua minggu penuh. Tak lepas bocah kecil itu memeluk serta mencium maminya penuh rasa rindu. Satu buket coklat disodorkan tepat di hadapan Auretta. Kontan tersenyum ceria wajah cantiknya. Segera ia lepaskan pelukan pada maminya, dan beralih memeluk sang pemberi coklat. "¡Tío!" (Paman) Lauretta berpikir jika Tio yang datang ialah Leave. Sebab ialah satu-satunya sahabat Abramo yang paling dekat dengan Auretta. Namun Lauretta salah. Ketika dirinya menoleh ia mendapati Amor tengah memeluk putrinya. Tanpa Lauretta tahu jika akhir-akhir ini putri kecilnya sering kali berhubungan dengan Amor. Tionya ini merasa bersalah padanya karena menyebabkan dia dirawat di ru
Meksiko. Seorang pria duduk menyender pada sofa tunggal. Menumpu kaki seraya menyesap nikotin pada selah jemarinya. Di atas meja tepat di depannya, penuh botol minuman beralkohol serta sebuah nampan berisikan serbuk putih lengkap dengan dollar yang dilinting. Wajah datar tanpa ekspresi. Tatapannya tajam pun intens mengarah pada wanita di depan meja tengah melakukan pole dance. Tubuh sintal nan seksi berpakaian minim itu meliuk-liuk lihai pada tiang, bergerak begitu seductive menggiurkan. Wanita tersebut melangkah mendekati sang pria. Tangannya terulur menyentuh menggoda wajah serta dada bidang pria tersebut. Namun aksinya sama sekali tak dilirik, diabaikan begitu saja. Tak menyerah di sana, sang wanita semain liar dan kii duduk tepat di atas pangkuan. "Amor ...." Bibir sintal nan tebal seksinya berbisik di depan telinga Amor dengan suara yang amat menggoda. Tapi Amor justru tetap mengabaikannya. Pintu ruangan seketika terbuka. Mara yang berdiri di ambang pintu menatap Amor p
Melenggang cantik kaki jenjang yang terbalut higheels tinggi di sebuah lorong disertai pintu kamar pada sisi kanan dan kirinya. Menaiki lift menuju lantai dua. Suasana riuh club malam menyambut kala pintu besi itu terbuka. Bokong sintal itu melenggok kala dirinya melangkah. Tubuh seksi membentuk gitar spanyol mengenakan dress pendek di atas paha semakin memperlihatkan bentuk tubuhnya yang amat menggoda. Mata-mata dari pria hidung belang mengiringi setiap langkahnya. Tak mampu menggoda, hanya dapat mengamati sosok wanita cantik pemilik club malam yang memanglah tak bisa disentuh pun dijangkau. Tangannya menyelipkan sesuatu di atas nampan minuman yang dibawa oleh seorang pelayan pria sebelum memasuki ruang VVIP. Serbuk terlarang yang memang dibebas edarkan di dalam sana. Dirinya masuk ke dalam ruangan di mana seorang pria sudah menunggu di dalam sana. Minuman beralkhohol memenuhi meja, satu piring berisikan buah segar serta pelukan hangat dari dua jalang di sisi kanan serta kir