“Nasi kotaknya udah diantarkan?” tanyaku pada Bang Roni yang baru saja datang dengan motornya. Dia bilang habis dari warung membeli rokok. Sementara aku baru saja selesai mengaji sehabis shalat Maghrib tadi. Dengan tasbih di tangan, aku sedang menunggu adzan Isya.
“Udah. Sayank yakin nih nggak mau ikut acara di TPQ? Ini kan acara Maulid di tempat anak-anak kita ngaji.”“Nggak. Aku di rumah aja. Capek, kepalaku pening.” Kataku sambil menaikkan bawahan mukena yang tadi sempat melorot. “Sayank pergi emangnya?” tanyaku, karena kulihat ia seperti hendak mengganti baju.“Pergi dong. Nggak enak kan kalau orang tua nggak ada yang datang sama sekali? Nanti anak-anak sedih.”“Tumben...”“Kok tumben?”“Iya, selama ini Sayank nggak pernah mau kalau disuruh datang ke acara seperti itu. Biarpun kubilang untuk kepentingan anak-anak. Selalu saja ada alasannya. Tapi sekarang, kok kayak semangat sekali? Bahkan tanpa disuruh. Udah ada janjian kah sama seseorang?” sindirku sinis.Aku tahu, kalau Riya pasti pergi ke acara itu. Karena kedua anaknya, Hilda dan Ola juga mengaji di TPQ yang sama dengan anak-anakku. Dan Riya sudah dipastikan datang dengan baju dan dandanannya yang heboh, serasa artis.“Salah lagi kan... Aku pergi Cuma mau gantiin Sayank. Kan harus ada salah satu wali murid yang hadir, karena sekalian ada rapat soal pengadaan Al Qur’an baru.”Aku diam, meski aku tahu bukan itu alasan sebenarnya. Aku hanya malas berdebat.“Nanti mau kubawakan nasi kotak nggak?” tanyanya seolah mengalihkan omongan.“Nggak usah. Lauk ayam yang kumasak tadi masih ada.” Ujarku sambil duduk di kursi ruang tamu yang menghadap langsung ke jalan depan rumah. Aku sudah tak lagi memikirkan makan, seleraku hilang entah ke mana.Suara adzan Isya berkumandang. Bang Roni sedang berdandan dan mematut diri di depan cermin. Dapat kucium wangi aroma parfum menyengat yang baru saja ia semprotkan ke badannya. Di depan sana, kulihat sekilas Bang Sarip, suami Riya baru saja lewat dengan sepeda motornya hendak shalat Isya ke masjid.Ini saatnya, pikirku. Aku akan membuktikan omongan Riya tentang pertemuan mereka setiap suaminya pergi shalat. Kalau memang Bang Roni juga izin turun, berarti benar apa yang dikatakannya.“Aku pergi dulu ya.” Bang Roni pamit sambil mencium punggung tanganku. Aku kaget karena itu berarti wudhu ku batal.“Wudhu aja lagi.” Katanya sebelum sempat aku protes.“Mau ke mana? Awal banget turun? Bukannya acara mulai sekitar jam 8?”“Aku mau ke tempat Mas Indra dulu, nanyain kerjaan besok.” Katanya , dan aku tahu itu hanya alasan. Dia pasti mau ke sebelah, karena suami Riya sedang keluar.Aku balik mencium tangannya dan aku antar dia sampai ke teras. Kulihat ia berbelok ke kiri, sementara rumah Riya di sebelah kanan rumah kami. Aku masuk dan menutup pintu depan. Namun aku tak langsung beranjak. Aku mengintip di balik gorden jendela kaca.Tak lama, kulihat Bang Roni lewat lagi, menuju ke arah yang berlawanan. Aku berlari ke kamar anak, mengintip dari jendela. Rumah Riya terlihat dari sini.Dari keremangan lampu teras rumah Riya dapat kulihat, Bang Roni menghentikan motornya di sana. Ia sempat menoleh kanan kiri, seperti maling yang mau beraksi. Tak lama, Bang Roni masuk ke dalam.Hatiku bergemuruh. Napasku tersengal-sengal. Kali ini, mataku mulai berair. Entah, kenapa sakit sekali. Berarti benar apa yang dikatakan Riya?“Ya Allah, apa suamiku ciuman lagi dengan perempuan itu? Apa kalau aku tetap diam di sini, artinya aku membiarkan ia bermesraan dengan wanita lain? Apakah aku bodoh? Apakah aku datangi saja ke sana? Tapi sanggupkah aku menemukan kenyataannya? Apakah aku bisa menghilangkan trauma seandainya semua yang terjadi kulihat secara langsung dan terekam jelas dalam memori otakku? Ya Allah, gimana ini? Suamiku mencium perempuan lain...”Tanpa sadar aku sampai berjalan bolak-balik dari kamar, ke dapur, ke ruang tamu, sampai kembali ke kamar lagi sambil menutup mulut dan menangis. Sakit sekali. Suamiku sekarang sedang bersama wanita lain, melakukan tindakan tak bermoral. Sementara aku di sini tak bisa berbuat apa-apa.Aku gemetaran. Sebentar berdiri, sebentar duduk. Aku kembali mengintip melalui celah kecil jendela kamar anakku, memastikan kembali keberadaan Bang Roni di rumah Riya. Dia masih di sana, karena kulihat motornya masih terparkir.Aku berlari menuju ruang tengah, mengambil ponselku di atas TV. Ku telfon nomor Bang Roni, aku harus menyuruhnya pulang. Aku tak mau ia berlama-lama sana. Sumpah aku sakit dan cemburu.Tak ada jawaban. Berkali-kali panggilan teleponku tak diangkatnya. Aku semakin panik. Seasyik itukah mereka berciuman sampai-sampai Bang Roni tak mendengar panggilan telepon dariku? Apa mereka benar-benar sangat menikmati apa yang sedang mereka lakukan sekarang?Aku berlari keluar teras. Ingin rasanya aku turun dan berlari ke rumah Riya. Namun urung karena kulihat ada beberapa orang yang keluar dari masjid tak jauh dari rumah kami. Artinya, orang shalat Isya sudah pada pulang. Dan sebentar lagi suami Riya juga pulang.Akhirnya kuputuskan untuk duduk menunggu di kursi teras. Benar saja, tak lama Bang Roni keluar dari rumah Riya dengan terburu-buru. Ia menghidupkan motor dan kembali menuju rumah kami.Begitu sampai di depanku, kupandangi bibirnya sambil bertanya-tanya dalam hati. Apakah Riya baru saja menikmati bibir suamiku? Apakah Riya begitu menyukai Bang Roni dan tergila-gila padanya saat melihat bagaimana tampannya ia malam ini? Meski hanya dibalut kemeja hitam panjang dan sarung, ia terlihat rupawan.Aku baru sadar, ternyata suamiku ini sangat manis kalau sudah berdandan. Bang Roni memang sangat memperhatikan penampilan. Gayanya yang seperti anak muda meski sudah memasuki pertengahan usia kepala tiga, membuat ia tampak segar dan menawan. Aku bahkan kesengsem melihatnya malam ini.“Sayank kok ada di luar? Udah shalat Isya?” tanyanya heran.“Aku nungguin Sayank.” Jawabku sambil berusaha keras agar tak menangis lagi. “Dari mana? Katanya tempat Mas Indra. Kok malah keluar dari rumah Riya? Cepat sekali, sejak kapan ada di situ?” cecarku.“Jangan curiga gitu dong. Tadi aku ke tempat Mas Indra orangnya nggak ada. Nggak lama Riya nelfon nyuruh aku ke rumahnya. Katanya ada yang mau diberikan ke Sayank.”“Apa?”“Nih...” Bang Roni mengulurkan sebuah kantong plastik hitam kecil. Kuambil dan kulihat isinya. Ternyata satu kilogram gula pasir.Tanpa sadar aku tertawa kecil. Suamiku habis dari sana dan pulang membawa gula sebagai sebuah alasan. Sementara tadi siang Riya mengakui hubungannya dengan Bang Roni dan memintaku untuk membiarkan setiap kali mereka bertemu. Jadi, ini adalah bayaran untukku? Satu kilogram gula? Segitu saja harga yang ku terima setelah aku meminjamkan suamiku padanya? Lucu sekali. Baik aku maupun Bang Roni, harga diri kami telah ia anggap murah. Padahal sebenarnya ia yang gampangan.“Kok ketawa?”“Nggak. Bilang sama dia makasih ya.” Kataku.“Sayank sendiri aja yang bilang, kan punya nomornya.”“Ya udah, nanti aku chat dia.” Kataku.“Eh, tadi Sayank ada nelfon aku kah?” tanya Bang Roni, ia baru saja mengeluarkan ponsel dari kocek kemejanya.“Iya. Tapi nggak Sayank angkat. Keasyikan kali.” Lagi-lagi aku menyindirnya.“Keasyikan apa?” tanyanya heran.“Nggak tahu. Emang Sayank tadi lagi ada di mana?”“Oh, aku tadi di jalan. Hp ku silent. Jadi nggak kedengaran kalau ada orang nelfon.”“Oh gitu. Ya udah.” Kataku malas. Bang Roni sekarang sudah pandai berbohong. Dan aku sengaja berpura-pura tak tahu. Hanya sekedar ingin melihat, sejauh mana ia mau menipuku.“Habis acara di TPQ langsung pulang?” tanyaku.“Nggak. Mau ke tempat Mas Indra dulu. Kan tadi nggak sempat ketemu.”“Jadi pulang malam lagi?” tanyaku.“Iya. Ngobrol sebentar aja. Nggak apa kan?”“Ya terserah sih. Kalau beneran ngobrol dengan Mas Indra sih nggak apa. Takutnya Sayank izin keluar, Cuma biar bisa bebas chat an dengan selingkuhan. Kalau di rumah kan nggak bisa.” Kataku sambil tersenyum.“Sayank ngomong apa lagi sih. Curiga terus.”“Nggak. Udah lupain aja. Aku Cuma bergurau.” Kataku sambil menyalim tangannya. Kode agar ia segera pergi. Sungguh aku muak dekat-dekat dengan pengkhianat seperti dia.Bang Roni berpamitan dengan mencium punggung tanganku seperti biasa, langsung pergi menuju arah TPQ. Tak lama, kulihat Riya keluar dari rumahnya dan menuju ke arah yang sama.Aku mendadak terkejut dan langsung membuka mata. Kulayangkan pandangan ke sekeliling kamar yang gelap. Tanganku meraba-raba ke bawah bantal, tempat di mana aku biasa menyimpan ponselku.Kulihat waktu menunjukkan hampir pukul tiga pagi. Ah, ternyata aku ketiduran. Padahal tadi niatku hanya akan menemani Erin dan Erlan sampai tidur. Dan setelah itu mau keluar menunggu Bang Roni pulang yang tadi izin ke rumah Mas Indra. Namun ternyata aku justru ikut terlelap. Mungkin saking lelahnya setelah beraktivitas seharian. Aku beringsut pelan dan turun dari tempat tidur. Aku mau mengecek apakah Bang Roni sudah pulang? Sebab biasanya dia kalau sudah nongkrong di tempat Mas Indra, bisa sampai menjejak ke subuh.Aku keluar dan kulihat Bang Roni sudah tertidur pulas di depan TV. Entah kapan ia pulang, aku tak mendengarnya. Ia pun tak membangunkanku. Aku duduk di samping ia tidur sambil memandangi Bang Roni lekat. Kejadian tadi siang mulai dari telepon dari Riy
Kepalaku pusing bukan kepalang. Sakit hatiku terasa memuncak. Kini, tak ada lagi alasan bagiku untuk meragukan kata-kata Riya. Semua benar adanya. Bang Roni main gila di belakangku.Ku tutup layar laptopku. Aku tak mampu lagi untuk melanjutkan pekerjaan yang baru kuterima beberapa hari yang lalu itu. Otakku sudah tak bisa berpikir. Penuh akan pikiran tentang ini. Aku memilih untuk tidur siang demi mendinginkan hati. Tapi semakin aku mencoba untuk memejamkan mata, semakin aku tak bisa tidur karena menangis.Tapi sungguh, aku menangis bukan karena takut kehilangan Bang Roni. Aku menangis karena sedih telah dibohongi dan dibodoh-bodohi oleh dua orang yang begitu sangat kupercaya. Seandainya mereka memang saling menyukai, kenapa tak bilang langsung di depanku? Pasti akan aku ikhlaskan.Aku memang mencintai suamiku, tapi aku bukanlah orang bodoh yang hanya menggantungkan diri pada satu orang. Aku masih bisa mencari laki-laki yang seribu kali lebih baik darinya di lua
“Eh Say, jangan ngelamun!”Suara Riya mengagetkanku. Entah sejak kapan ia datang. Aku yang sedang termenung di kursi teras sampai tak menyadari kedatangannya.“Eh, tumben ke sini?” tanyaku dengan sedikit senyum, berusaha untuk tetap terlihat ramah. Padahal rasanya aku ingin mencakar wajah memuakkan perempuan itu.“Kan aku bilang, nanti mau ke sini buat cerita. Roni nggak ada kan?” tanya Riya sambil celingukan.“Nggak ada, aman.” Riya duduk di sampingku. Ia terlihat tak sabar untuk memuntahkan segala cerita busuknya.“Jadi gini Say, kamu tahu nggak kalau suami kamu tuh tergila-gila sama aku. Dia bucin banget. Roni bilang, sejak dekat sama aku dia nggak mau lagi ngelirik cewek lain. Dia Cuma mau fokus ke aku. Makanya, biarin aja dia berhubungan sama aku. Daripada dia selingkuh dengan cewek lain di luar sana, kan mending sama aku. Aku nggak mungkinlah merebut dia, karena aku udah punya suami. Kalau cewek lain, pasti nanti kamu dibikin cerai. Aku tuh bukan
Aku menangis tanpa suara. Sakit sekali rasanya. Rasa marahku seakan sudah sampai batas. Bang Roni benar-benar sudah tak bisa diselamatkan lagi.Padahal sebelum ia pergi, aku sudah memberi pilihan dan kesempatan padanya untuk mengakhirinya hubungan dengan Riya. Meski secara tersirat, seharusnya dia mengerti. Tapi kini aku mengetahui kalau ia masih saja menggoda Riya lewat chat.Kepalaku sakit berdenyut karena membaca chat mesra mereka yang masuk di ponselku. Bayangkan saja, mereka chat an sejak jam 9 malam tadi sampai kini hampir jam 2 pagi.Bang Roni sempat meneleponku, meminta izin untuk pulang larut malam, karena katanya ia sedang lembur tempat Mas Indra. Ternyata itu hanya alasan, agar ia bisa lebih leluasa chat an dengan Riya.[ Sayank tahu nggak, kalau sebenarnya Sayank itu jodoh aku, tapi untuk di akhirat nanti ]Itu adalah salah satu kalimat godaan yang dilontarkan Bang Roni untuk Riya, membuat hatiku sedih bukan kepalang.
“Jadi dia sendiri yang mengaku dan cerita ke Sayank? Dia ceritakan semua, tentang apa yang kulakukan, sampai sedetail itu?” tanya Bang Roni.“Menurutmu?! Kau dengar sendiri kan? Kalau dia nggak punya perasaan sama sekali padamu. Dia Cuma butuh kau untuk menyalurkan nafsunya. Makanya dia ceritakan semua padaku, mengadukan semua kelakuanmu. Karena setelah dia bosan denganmu, dia tinggal pergi melenggang mencari selingkuhan baru. Aku heran dan nggak habis pikir, kok bisa-bisanya kau mempertaruhkan masa depan rumah tangga kita, anak-anak kita, hanya demi seorang perempuan yang lebih murahan dari pada lon**? Lebih jahat dari pada pencuri? Ke mana akalmu Roni? Seharusnya kau pakai akal sehat, pakai logika! Jangan nafsu aja yang kau kedepankan!”BRAKKK...!!!Bang Roni meninju meja kecil yang ia buat untukku tadi. Untung saja tak ada laptop di atasnya, karena meja itu terbelah menjadi dua. “Dan satu lagi, kau bilang sekarang tak lagi bahagia hidup denganku, apalagi seja
Ponsel Bang Roni kini aku yang pegang. Dia sudah menyerahkan semua padaku dan menunggu apa pun itu instruksi dariku. Semua rencana sudah kusematkan di dalam kepala. Mulai hari ini, aku yang akan mempermainkan perasaan mereka.[ Ayank, kok tumben nggak ada nge-chat? ][ Yank, telfon sebentar dong. Pengen dengar suaranya ][ Ayank marah atau lagi sibuk? ]Berkali-kali chat masuk dari Riya sengaja tak ku balas. Tapi aku sengaja membukanya agar ia melihat dan merasa dicuekin. Sementara dari awal pagi, aku sudah menyuruh Bang Roni untuk pergi bekerja, tentunya tanpa membawa ponsel. Kini aku yang pegang kendali. Sejak kejadian semalam, aku sudah buat perjanjian dengan Bang Roni agar ia tak protes dengan apa pun yang akan aku lakukan. Dan tentu saja, ia mau tak mau harus setuju.“Kau jangan mengatakan apa pun pada Riya. Jangan bilang kalau aku sudah mengatakan semuanya padamu. Anggap saja tak terjadi apa-apa malam ini. HP kamu aku yang pegang, dan aku yang ak
“Say, semalam Roni bilang kalau dia nggak bisa lagi datang ke rumahku.” Kata Riya.Ia tiba-tiba saja duduk di sampingku yang sedang bersantai di teras rumah. Aku memang suka sekali menghabiskan waktu di kursi sofa butut pemberian mertuaku yang memang sengaja kami letakkan di teras. Selain karena rumah kami yang sempit, juga karena agar kami bisa menghirup udara segar di sore hari. Aku bahkan betah berlama-lama duduk di situ, kadang sampai malam.“Oh ya? Kok gitu? Kalian berantem apa gimana?” tanyaku pura-pura tidak tahu. Padahal aku suka melihat keadaannya kini yang mulai kalang kabut.“Nggak ada. Malah malam sebelumnya kami masih video call sambil chat an. Tahu-tahu besoknya dia nggak datang ke rumah seperti biasa. Pas aku tanyain, katanya dia nggak mau lagi ke rumahku diam-diam.”“Trus?”“Dia bilang, mau ngomong sesuatu sama aku. Pengen ketemuan di luar. Tapi mau ajak kamu juga.”“Loh kok gitu? Berani banget dia.”“Dia bilang, dia mau ngaku aja s
Aku sedang memakaikan bedak di wajah Erlan saat Bang Roni datang dan mengatakan kalau mobil yang akan kami pakai malam ini sudah siap. Mobil itu baru saja ia ambil dari rumah orang tuanya sebelum Maghrib tadi. Dan kini kami sedang bersiap-siap untuk pergi.Riya dan kedua anaknya belum datang. Dia pasti sedang bersolek di sana. Dan aku bisa menebak bagaimana penampilan dia malam ini. Pasti ia akan berdandan habis-habisan, untuk menunjukkan kalau ia jauh lebih cantik dan menarik dari pada aku. Tanpa sadar aku tersenyum sendiri memikirkannya.“Sayank dandan kan nanti?” Tanya Bang Roni pelan. Mungkin dia heran melihatku yang belum tersentuh bedak sama sekali. Aku memang selalu mendahulukan penampilan anak-anak setiap mau bepergian. Setelah mereka rapi, baru aku mengganti baju dan berdandan.“Kenapa? Takut matamu keseleo karena melihat kecantikan Riya? Sementara pas liat istrimu sendiri tampak layu seperti bunga kering?” sindirku pedas.“Bukan gitu. Takut Riya keburu
“Iya, ini aku dengar dari salah satu bestie-nya Riya. Kakak kenal sama yang namanya Maryana kan? Masih sepupu Roni juga. Riya pernah cerita sama dia, katanya pernah selingkuh dengan Roni. Mereka seharian di hotel Cuma berdua-duaan pas Riya kabur dari rumah gara-gara berantem sama Bang Sarip. Pikir aja coba, kalau Cuma berdua di hotel, mereka mau ngapain? Masa Cuma pandang-pandangan? Soal ini sih nggak banyak orang yang tahu, karena Riya cerita sama orang-orang terdekatnya aja. Tapi namanya dari mulut ke mulut, nyampai juga ke telingaku.” Kata Ayu menjelaskan. Aku sejenak terdiam beberapa saat.Apa maksud Riya menceritakan ke sana-sini soal dia yang berduaan dengan Bang Roni di losmen kemarin? Bukankah hal seperti itu harusnya ia tutupi karena menyangkut aib? Kenapa Riya sangat tak tahu malu jadi perempuan?“Jadi Riya baru-baru ini keguguran?” tanyaku memastikan.“Iya. Waktu kemarin aku masih di rumah sakit, Riya juga ke sana karena dikuret.”“Berarti baru beberap
Aku memarkir sepeda motor di samping rumah Ayu, di bawah sebuah pohon rambutan. Malam ini, aku hanya pergi bersama kedua anakku. Bang Roni kutinggal di rumah, dan aku tak peduli dia mau datang ke sini atau tidak.Dengan penuh percaya diri aku melangkah masuk ke dalam sambil mengucapkan salam. Terdengar beberapa orang membalas salamku. Dari ekor mata, dapat kulihat ada Riya yang sedang duduk bersama beberapa anggota keluarga yang lain.“Sini Kak....” Ayu melambai padaku sambil tetap menggendong bayi mungil yang baru saja ia lahirkan seminggu lalu.Aku duduk di depan Ayu sambil mengatur posisi duduk untuk Erin dan Erlan agar tak mengganggu orang lewat.“Lucunya.... Harum bayi emang enak ya...” kataku sambil menciumi bayi lelaki di pangkuan Ayu.“Eh, ini siapa ya? Kok kayak kenal?” tanya seorang kerabat jauh Bang Roni yang berbadan gemuk.“Ini loh istrinya Roni. Masa’ nggak ingat?” jawab Ayu.“Ah masa’? Perasaan istrinya Roni nggak secantik ini.” Pere
“Emangnya apa yang udah pernah kamu kasih ke dia? Kalau dia iya, banyak belikan kamu makanan enak!”“Oh mau mengungkit?! Oke, sekarang bayar upahku merawat dan mengasuh Hilda sama Ola selama ini! Kalau kalian bayar Baby Sitter, sebulan seenggaknya satu setengah juta. Hilda dan Ola dititipkan di rumah ini dari pagi sampai malam, udah hampir setahun. Jadi bayar upah baby sitter buatku. Trus upah masak. Riya tiap nyuruh masak Cuma ngasih bahan. Tapi rempah, minyak, bumbu, dan gas nggak pernah ngasih. Dan terakhir, aku minta kembalikan ciuman suamiku. Kembalikan keutuhan rumah tanggaku, kembalikan rasa percaya dan cintaku untuk suamiku. Bisa nggak dia mengganti itu semua?! Bisa?! Sini bayar sama aku! Kalau sampai aku bercerai sama Roni gara-gara dia, aku minta ganti rugi karena udah membuat masa depan anak-anakku jadi suram. Jadi, jangan sok-sokan mengungkit pemberian Riya. Apa yang anak kamu berikan ke aku itu nggak ada apa-apanya Bi. Masih bisa diganti semua. Tapi apa yang udah dia lak
“Sartika, sini dulu....” Bi Rabiah memanggilku yang sedang menimba air sumur di depan rumah. Sementara ia melambaikan tangan dari jendela dapurnya.Aku mendekat dan bertanya,” kenapa Bi?”“Roni mana?” tanyanya setengah berbisik.“Masih tidur kali, di kamar depan.” Jawabku malas. Aku sungguh tak mau tahu lagi soal lelaki itu. “Eh sini deh...” ia melambai lagi, menyuruhku untuk lebih mendekat. Sepertinya transfer data akan dimulai. Dia mulai menggosip. “Ada apa lagi Bi? Apa ini tentang semalam?” tebakku.“Iya. Kamu tahu nggak, tadi pagi Riya dilabrak sama Bibinya sendiri.”Aku mengerutkan kening. “Bibi yang mana?” tanyaku lagi. Karena Bang Roni memang punya banyak Bibi. Mama mertuaku punya empat saudara perempuan.“Si Yati yang ngelabrak.”“Ngapain Bi Yati ngelabrak Riya?”“Semalam habis dari rumah kalian, mertua kamu tuh singgah ke tempat Yati. Mungkin ngomongin soal ini. Jadi tadi sekitar jam enam, Yati datang ke rumah Riya. Nanyai
Kuputar rekaman suara Riya dengan volume suara paling besar. Tampak sekali keterkejutan di wajah semua orang yang ada dalam ruangan ini. Hanya Bang Roni yang tertunduk sambil menutupi wajah. Ia pasti sangat malu, karena pengakuan Riya yang ada di dalam rekaman suara itu benar-benar menceritakan tentang semua kelakuan mesumnya.“Ini pengakuan Riya. Apa Ayah dan Mama juga mau baca isi chat mesra mereka?” tanyaku dingin. Sekarang mereka sudah tahu kelakuan anaknya.Ayah, Bi Rabiah dan kedua Paman yang lain hanya menggelengkan kepala. Sementara Mama sudah menangis.“Nggak perlu, Sar. Kami percaya aja sama kamu. Lagi pula itu adalah aib suami kamu, yang kalau bisa ditutupi hingga akhir. Cuma Ayah mau tahu aja, mereka sudah sejauh mana?” tanya Ayah padaku.“Ayah tanya aja sendiri sama Roni. Dia yang melakukannya.” Kataku datar sambil melirik Bang Roni.“Roni....??” Ayah memanggil Bang Roni, memaksa untuk mengaku.“Kami nggak pernah melakukan hal di luar batas
“Sartika, tolong jangan keras kepala! Kalau dibiarkan, Roni bisa membunuh orang!” Teriak Paman Fauzi, masih berusaha membujukku untuk mengambil pisau di tangan Bang Roni. Mereka sungguh tampak kewalahan.“Lepasin aja Paman. Biarkan apa maunya. Aku nggak yakin dia akan benar-benar mendatangi rumah Riya. Percayalah, Roni itu Cuma menggertak. Dia nggak mungkin berani membunuh orang.” Kataku sambil meninggalkan mereka ke dapur. Tenggorokanku kering, ingin minum.Benar dugaanku, Bang Roni tak lagi mencak-mencak seperti tadi. Kudengar suasana sudah agak tenang. Dan begitu aku kembali, kulihat Paman Ardi dan Paman Fauzi sudah melonggarkan pegangannya pada Bang Roni. Meski mereka masih tampak waspada.Aku yang melihatnya hanya bisa menyeringai sambil menggelengkan kepala. Ternyata Bang Roni hanya gertak sambal. Jangankan membunuh, mendatangi Riya ke rumahnya pun tak berani. Laki-laki seperti apa dia?“Duduk dulu sama-sama Sar. Bicarakan baik-baik dengan kepala dingin.” B
Aku mengepalkan tanganku diam-diam. Gigiku sudah gemeretak menahan emosi yang sedikit lagi nyaris meluap. Ingin rasanya aku mencakar wajah Bang Roni dan Riya saat ini, seandainya saja mereka berdua sedang berada di depanku.Sekali lagi, aku telah dibohongi mentah-mentah. Benar firasatku malam itu yang mengatakan, kalau mereka keluar berdua, pasti berciuman untuk yang terakhir kalinya. Mereka pasti sama-sama tak mau rugi. Hubungan berakhir paksa, setidaknya mereka masih bisa saling mencicipi bibir masing-masing.Dan Bang Roni, padahal sudah berjanji padaku tak akan mengulangi lagi, ia bahkan seolah benci pada Riya. Nyatanya, mereka berciuman dan ia bahkan menutupinya hingga saat ini. Untungnya Riya keceplosan dan aku bisa mengetahui kebenarannya.Baiklah, ini akhir dari semua. Akan aku sudahi kali ini. Sudah cukup aku dibohongi dan dipermainkan. Saatnya mengambil tindakan. Aku akan tunggu Bang Roni pulang, dan memberi pelajaran pada lelaki jahat itu.“Oh jadi kali
“Roni belum pulang kerja ya Say?” Tanya Riya begitu ia datang dan duduk bersamaku di teras rumah.Selalu saja setiap dia datang, yang ditanyakan pasti Bang Roni. Yang dicari pasti Bang Roni. Bahkan datang dengan membawa makanan pun, dia selalu menyisihkan untuk Bang Roni terlebih dulu, baru kami boleh memakannya.Aku kadang tak habis pikir. Riya bilang tak punya perasaan dengan Bang Roni, tapi selalu caper dan seolah minta dikejar-kejar. Tapi saat kemarin aku suruh mereka melanjutkan hubungan dan menikah, dia tak mau. Jadi apa sebenarnya tujuan dia mendekati Bang Roni? Hanya untuk menghancurkan rumah tanggaku dan bersenang-senang?“Belum. Paling nanti dekat mau Maghrib.” Jawabku singkat.“Dia masih sering keluar malam?” “Masihlah seperti biasa.”“Dia bilang sama aku udah nggak. Kemarin pas aku dekat sama dia tuh aku nasehatin, biar di rumah aja. Kalau malam nggak usah ke mana-mana. Dan kamu liat sendiri kan, kemarin waktu masih berhubungan sama aku, di
Sudah beberapa hari, sejak aku memblokir akses WhatsApp dan Facebook Riya di ponsel Bang Roni. Belum ada tanda-tanda kalau Riya protes atau marah. Entah karena dia memang belum menghubungi Bang Roni, atau karena dia sudah tahu, namun tak mau bertanya. Biar saja, setidaknya aku lega karena ia tak bisa lagi menggoda suamiku. Riya masih sesekali menghubungiku lewat chat, namun Cuma sekedar minta dimasakkan sesuatu atau menyuruhku untuk menjaga kedua anaknya.Ponselku berdering saat sedang melipat pakaian. Kulihat di layar, ternyata ibu mertuaku yang menelepon.“Assalamualaikum Ma. Ada apa?” tanyaku begitu mengangkat panggilan telepon.“Roni ke mana Sar?”“Bang Roni masih kerja, belum pulang. Paling nanti sore.” Kataku. “Emang kenapa Ma?”“Tolong sampaikan ke Roni ya. Paman Aryo yang rumahnya di kampung seberang lagi sakit parah. Nanti malam insya Allah kami mau jenguk. Roni suruh siap-siap, dia harus ikut. Biar bisa gantian bawa mobil sama Ayahnya.”