“Eh Say, jangan ngelamun!”
Suara Riya mengagetkanku. Entah sejak kapan ia datang. Aku yang sedang termenung di kursi teras sampai tak menyadari kedatangannya.“Eh, tumben ke sini?” tanyaku dengan sedikit senyum, berusaha untuk tetap terlihat ramah. Padahal rasanya aku ingin mencakar wajah memuakkan perempuan itu.“Kan aku bilang, nanti mau ke sini buat cerita. Roni nggak ada kan?” tanya Riya sambil celingukan.“Nggak ada, aman.”Riya duduk di sampingku. Ia terlihat tak sabar untuk memuntahkan segala cerita busuknya.“Jadi gini Say, kamu tahu nggak kalau suami kamu tuh tergila-gila sama aku. Dia bucin banget. Roni bilang, sejak dekat sama aku dia nggak mau lagi ngelirik cewek lain. Dia Cuma mau fokus ke aku. Makanya, biarin aja dia berhubungan sama aku. Daripada dia selingkuh dengan cewek lain di luar sana, kan mending sama aku. Aku nggak mungkinlah merebut dia, karena aku udah punya suami. Kalau cewek lain, pasti nanti kamu dibikin cerai. Aku tuh bukanAku menangis tanpa suara. Sakit sekali rasanya. Rasa marahku seakan sudah sampai batas. Bang Roni benar-benar sudah tak bisa diselamatkan lagi.Padahal sebelum ia pergi, aku sudah memberi pilihan dan kesempatan padanya untuk mengakhirinya hubungan dengan Riya. Meski secara tersirat, seharusnya dia mengerti. Tapi kini aku mengetahui kalau ia masih saja menggoda Riya lewat chat.Kepalaku sakit berdenyut karena membaca chat mesra mereka yang masuk di ponselku. Bayangkan saja, mereka chat an sejak jam 9 malam tadi sampai kini hampir jam 2 pagi.Bang Roni sempat meneleponku, meminta izin untuk pulang larut malam, karena katanya ia sedang lembur tempat Mas Indra. Ternyata itu hanya alasan, agar ia bisa lebih leluasa chat an dengan Riya.[ Sayank tahu nggak, kalau sebenarnya Sayank itu jodoh aku, tapi untuk di akhirat nanti ]Itu adalah salah satu kalimat godaan yang dilontarkan Bang Roni untuk Riya, membuat hatiku sedih bukan kepalang.
“Jadi dia sendiri yang mengaku dan cerita ke Sayank? Dia ceritakan semua, tentang apa yang kulakukan, sampai sedetail itu?” tanya Bang Roni.“Menurutmu?! Kau dengar sendiri kan? Kalau dia nggak punya perasaan sama sekali padamu. Dia Cuma butuh kau untuk menyalurkan nafsunya. Makanya dia ceritakan semua padaku, mengadukan semua kelakuanmu. Karena setelah dia bosan denganmu, dia tinggal pergi melenggang mencari selingkuhan baru. Aku heran dan nggak habis pikir, kok bisa-bisanya kau mempertaruhkan masa depan rumah tangga kita, anak-anak kita, hanya demi seorang perempuan yang lebih murahan dari pada lon**? Lebih jahat dari pada pencuri? Ke mana akalmu Roni? Seharusnya kau pakai akal sehat, pakai logika! Jangan nafsu aja yang kau kedepankan!”BRAKKK...!!!Bang Roni meninju meja kecil yang ia buat untukku tadi. Untung saja tak ada laptop di atasnya, karena meja itu terbelah menjadi dua. “Dan satu lagi, kau bilang sekarang tak lagi bahagia hidup denganku, apalagi seja
Ponsel Bang Roni kini aku yang pegang. Dia sudah menyerahkan semua padaku dan menunggu apa pun itu instruksi dariku. Semua rencana sudah kusematkan di dalam kepala. Mulai hari ini, aku yang akan mempermainkan perasaan mereka.[ Ayank, kok tumben nggak ada nge-chat? ][ Yank, telfon sebentar dong. Pengen dengar suaranya ][ Ayank marah atau lagi sibuk? ]Berkali-kali chat masuk dari Riya sengaja tak ku balas. Tapi aku sengaja membukanya agar ia melihat dan merasa dicuekin. Sementara dari awal pagi, aku sudah menyuruh Bang Roni untuk pergi bekerja, tentunya tanpa membawa ponsel. Kini aku yang pegang kendali. Sejak kejadian semalam, aku sudah buat perjanjian dengan Bang Roni agar ia tak protes dengan apa pun yang akan aku lakukan. Dan tentu saja, ia mau tak mau harus setuju.“Kau jangan mengatakan apa pun pada Riya. Jangan bilang kalau aku sudah mengatakan semuanya padamu. Anggap saja tak terjadi apa-apa malam ini. HP kamu aku yang pegang, dan aku yang ak
“Say, semalam Roni bilang kalau dia nggak bisa lagi datang ke rumahku.” Kata Riya.Ia tiba-tiba saja duduk di sampingku yang sedang bersantai di teras rumah. Aku memang suka sekali menghabiskan waktu di kursi sofa butut pemberian mertuaku yang memang sengaja kami letakkan di teras. Selain karena rumah kami yang sempit, juga karena agar kami bisa menghirup udara segar di sore hari. Aku bahkan betah berlama-lama duduk di situ, kadang sampai malam.“Oh ya? Kok gitu? Kalian berantem apa gimana?” tanyaku pura-pura tidak tahu. Padahal aku suka melihat keadaannya kini yang mulai kalang kabut.“Nggak ada. Malah malam sebelumnya kami masih video call sambil chat an. Tahu-tahu besoknya dia nggak datang ke rumah seperti biasa. Pas aku tanyain, katanya dia nggak mau lagi ke rumahku diam-diam.”“Trus?”“Dia bilang, mau ngomong sesuatu sama aku. Pengen ketemuan di luar. Tapi mau ajak kamu juga.”“Loh kok gitu? Berani banget dia.”“Dia bilang, dia mau ngaku aja s
Aku sedang memakaikan bedak di wajah Erlan saat Bang Roni datang dan mengatakan kalau mobil yang akan kami pakai malam ini sudah siap. Mobil itu baru saja ia ambil dari rumah orang tuanya sebelum Maghrib tadi. Dan kini kami sedang bersiap-siap untuk pergi.Riya dan kedua anaknya belum datang. Dia pasti sedang bersolek di sana. Dan aku bisa menebak bagaimana penampilan dia malam ini. Pasti ia akan berdandan habis-habisan, untuk menunjukkan kalau ia jauh lebih cantik dan menarik dari pada aku. Tanpa sadar aku tersenyum sendiri memikirkannya.“Sayank dandan kan nanti?” Tanya Bang Roni pelan. Mungkin dia heran melihatku yang belum tersentuh bedak sama sekali. Aku memang selalu mendahulukan penampilan anak-anak setiap mau bepergian. Setelah mereka rapi, baru aku mengganti baju dan berdandan.“Kenapa? Takut matamu keseleo karena melihat kecantikan Riya? Sementara pas liat istrimu sendiri tampak layu seperti bunga kering?” sindirku pedas.“Bukan gitu. Takut Riya keburu
“Serius loh, nggak tahu suamiku malam ini kena apa, tiba-tiba ngajak jalan pake mobil sama anak-anak.”Aku bersandiwara. Tapi, entah siapa di sini sebenarnya yang sedang dipermainkan? Atau sesungguhnya kami ini saling mempermainkan?Ya, mungkin awalnya Bang Roni dan Riya mempermainkan aku dengan hubungan terlarang mereka. Kemudian aku yang membohongi Bang Roni dengan sempat pura-pura tak mengetahui perihal perselingkuhannya. Sekarang, giliran Riya yang kami bodohi. Yang mana aku dan Bang Roni kini bersikap seolah-olah tak tahu apa-apa, padahal kami bersekongkol untuk menjatuhkannya. Atau sebaliknya, apakah saat ini Riya yang sedang mempermainkan aku dan suamiku?Entahlah. Yang jelas, sekarang akulah yang pegang kendali. Aku yang akan mengarahkan ke mana haluan ini akan menuju. Aku yang akan menorehkan kisah untuk kami bertiga ke depannya.“Mungkin ada yang mau dia omongkan, Say.” “Mungkin. Mau ngomong apa emangnya, Sayank?” aku memandang Bang Roni yang kini
“Antarkan aku ke toilet.” Kataku pada Bang Roni yang baru saja selesai membayar ke kasir.“Mau pipis?” tanyanya. Namun aku tak menjawab. Bang Roni mengikutiku dari belakang. Begitu sampai di depan pintu toilet aku membalikkan badan dan memandangnya dengan wajah penuh pertanyaan. “Masuk aja. Aku tunggu di sini.” Katanya sambil menunjuk ke arah pintu toilet.Aku menggeleng. “Aku nggak pengen ke toilet. Cuma mau ngomong dengan kamu.” Kataku dengan nada penuh kecurigaan.Bang Roni tampak waspada. “Sayank mau ngomong apa?”“Masih manggil aku Sayank? Sekarang Cuma ada kita berdua.” Kataku protes. Menunjukkan bahwa aku keberatan dengan cara ia memanggilku.“Oke...” Bang Roni mengangkat kedua tangannya, seolah mengatakan ‘terserah’. “Kamu mau ngomong apa?” tanyanya kagok. “Apa yang kalian lakukan saat berdua-duaan tadi?”“Nggak ada. Kami nggak ngapa-ngapain.” Jawabnya.“Aku nggak percaya. Perasaanku nggak enak.” “Bener, kami nggak a
Aku menutup pintu mobil dengan pelan. Di depan teras, kulihat Bang Sarip sudah menunggu. Rumah Riya gelap, semua lampu sudah dimatikan, kecuali lampu teras dan lampu dapur. Maklum saja, ini sudah hampir jam 10 malam, hanya kurang beberapa menit lagi. Sepertinya kami pulang tak sesuai jadwal. Tak ada sedikit pun senyum yang ditunjukkan Bang Sarip. Mungkin ia sebenarnya tak suka, kami membawa Riya dan anak-anaknya pulang semalam ini. “Langsung baringkan aja di kasur depan TV.” Kata Bang Sarip pada Bang Roni yang sedang menggendong Hilda yang sudah tertidur sejak di mobil tadi. Sementara Ola berada dalam gendongan Riya, lunglai karena mengantuk berat. Aku mengekor Bang Roni masuk ke dalam rumah Riya yang remang. Bagaimanapun, aku yang tadi minta izin membawa mereka. Jadi, aku juga yang harus unjuk muka mengantar Riya dan anak-anaknya sampai ke dalam. Perlahan Bang Roni meletakkan Hilda yang sudah pulas. Ola juga langsung mengambil tempat berbaring di samping kakakny
“Iya, ini aku dengar dari salah satu bestie-nya Riya. Kakak kenal sama yang namanya Maryana kan? Masih sepupu Roni juga. Riya pernah cerita sama dia, katanya pernah selingkuh dengan Roni. Mereka seharian di hotel Cuma berdua-duaan pas Riya kabur dari rumah gara-gara berantem sama Bang Sarip. Pikir aja coba, kalau Cuma berdua di hotel, mereka mau ngapain? Masa Cuma pandang-pandangan? Soal ini sih nggak banyak orang yang tahu, karena Riya cerita sama orang-orang terdekatnya aja. Tapi namanya dari mulut ke mulut, nyampai juga ke telingaku.” Kata Ayu menjelaskan. Aku sejenak terdiam beberapa saat.Apa maksud Riya menceritakan ke sana-sini soal dia yang berduaan dengan Bang Roni di losmen kemarin? Bukankah hal seperti itu harusnya ia tutupi karena menyangkut aib? Kenapa Riya sangat tak tahu malu jadi perempuan?“Jadi Riya baru-baru ini keguguran?” tanyaku memastikan.“Iya. Waktu kemarin aku masih di rumah sakit, Riya juga ke sana karena dikuret.”“Berarti baru beberap
Aku memarkir sepeda motor di samping rumah Ayu, di bawah sebuah pohon rambutan. Malam ini, aku hanya pergi bersama kedua anakku. Bang Roni kutinggal di rumah, dan aku tak peduli dia mau datang ke sini atau tidak.Dengan penuh percaya diri aku melangkah masuk ke dalam sambil mengucapkan salam. Terdengar beberapa orang membalas salamku. Dari ekor mata, dapat kulihat ada Riya yang sedang duduk bersama beberapa anggota keluarga yang lain.“Sini Kak....” Ayu melambai padaku sambil tetap menggendong bayi mungil yang baru saja ia lahirkan seminggu lalu.Aku duduk di depan Ayu sambil mengatur posisi duduk untuk Erin dan Erlan agar tak mengganggu orang lewat.“Lucunya.... Harum bayi emang enak ya...” kataku sambil menciumi bayi lelaki di pangkuan Ayu.“Eh, ini siapa ya? Kok kayak kenal?” tanya seorang kerabat jauh Bang Roni yang berbadan gemuk.“Ini loh istrinya Roni. Masa’ nggak ingat?” jawab Ayu.“Ah masa’? Perasaan istrinya Roni nggak secantik ini.” Pere
“Emangnya apa yang udah pernah kamu kasih ke dia? Kalau dia iya, banyak belikan kamu makanan enak!”“Oh mau mengungkit?! Oke, sekarang bayar upahku merawat dan mengasuh Hilda sama Ola selama ini! Kalau kalian bayar Baby Sitter, sebulan seenggaknya satu setengah juta. Hilda dan Ola dititipkan di rumah ini dari pagi sampai malam, udah hampir setahun. Jadi bayar upah baby sitter buatku. Trus upah masak. Riya tiap nyuruh masak Cuma ngasih bahan. Tapi rempah, minyak, bumbu, dan gas nggak pernah ngasih. Dan terakhir, aku minta kembalikan ciuman suamiku. Kembalikan keutuhan rumah tanggaku, kembalikan rasa percaya dan cintaku untuk suamiku. Bisa nggak dia mengganti itu semua?! Bisa?! Sini bayar sama aku! Kalau sampai aku bercerai sama Roni gara-gara dia, aku minta ganti rugi karena udah membuat masa depan anak-anakku jadi suram. Jadi, jangan sok-sokan mengungkit pemberian Riya. Apa yang anak kamu berikan ke aku itu nggak ada apa-apanya Bi. Masih bisa diganti semua. Tapi apa yang udah dia lak
“Sartika, sini dulu....” Bi Rabiah memanggilku yang sedang menimba air sumur di depan rumah. Sementara ia melambaikan tangan dari jendela dapurnya.Aku mendekat dan bertanya,” kenapa Bi?”“Roni mana?” tanyanya setengah berbisik.“Masih tidur kali, di kamar depan.” Jawabku malas. Aku sungguh tak mau tahu lagi soal lelaki itu. “Eh sini deh...” ia melambai lagi, menyuruhku untuk lebih mendekat. Sepertinya transfer data akan dimulai. Dia mulai menggosip. “Ada apa lagi Bi? Apa ini tentang semalam?” tebakku.“Iya. Kamu tahu nggak, tadi pagi Riya dilabrak sama Bibinya sendiri.”Aku mengerutkan kening. “Bibi yang mana?” tanyaku lagi. Karena Bang Roni memang punya banyak Bibi. Mama mertuaku punya empat saudara perempuan.“Si Yati yang ngelabrak.”“Ngapain Bi Yati ngelabrak Riya?”“Semalam habis dari rumah kalian, mertua kamu tuh singgah ke tempat Yati. Mungkin ngomongin soal ini. Jadi tadi sekitar jam enam, Yati datang ke rumah Riya. Nanyai
Kuputar rekaman suara Riya dengan volume suara paling besar. Tampak sekali keterkejutan di wajah semua orang yang ada dalam ruangan ini. Hanya Bang Roni yang tertunduk sambil menutupi wajah. Ia pasti sangat malu, karena pengakuan Riya yang ada di dalam rekaman suara itu benar-benar menceritakan tentang semua kelakuan mesumnya.“Ini pengakuan Riya. Apa Ayah dan Mama juga mau baca isi chat mesra mereka?” tanyaku dingin. Sekarang mereka sudah tahu kelakuan anaknya.Ayah, Bi Rabiah dan kedua Paman yang lain hanya menggelengkan kepala. Sementara Mama sudah menangis.“Nggak perlu, Sar. Kami percaya aja sama kamu. Lagi pula itu adalah aib suami kamu, yang kalau bisa ditutupi hingga akhir. Cuma Ayah mau tahu aja, mereka sudah sejauh mana?” tanya Ayah padaku.“Ayah tanya aja sendiri sama Roni. Dia yang melakukannya.” Kataku datar sambil melirik Bang Roni.“Roni....??” Ayah memanggil Bang Roni, memaksa untuk mengaku.“Kami nggak pernah melakukan hal di luar batas
“Sartika, tolong jangan keras kepala! Kalau dibiarkan, Roni bisa membunuh orang!” Teriak Paman Fauzi, masih berusaha membujukku untuk mengambil pisau di tangan Bang Roni. Mereka sungguh tampak kewalahan.“Lepasin aja Paman. Biarkan apa maunya. Aku nggak yakin dia akan benar-benar mendatangi rumah Riya. Percayalah, Roni itu Cuma menggertak. Dia nggak mungkin berani membunuh orang.” Kataku sambil meninggalkan mereka ke dapur. Tenggorokanku kering, ingin minum.Benar dugaanku, Bang Roni tak lagi mencak-mencak seperti tadi. Kudengar suasana sudah agak tenang. Dan begitu aku kembali, kulihat Paman Ardi dan Paman Fauzi sudah melonggarkan pegangannya pada Bang Roni. Meski mereka masih tampak waspada.Aku yang melihatnya hanya bisa menyeringai sambil menggelengkan kepala. Ternyata Bang Roni hanya gertak sambal. Jangankan membunuh, mendatangi Riya ke rumahnya pun tak berani. Laki-laki seperti apa dia?“Duduk dulu sama-sama Sar. Bicarakan baik-baik dengan kepala dingin.” B
Aku mengepalkan tanganku diam-diam. Gigiku sudah gemeretak menahan emosi yang sedikit lagi nyaris meluap. Ingin rasanya aku mencakar wajah Bang Roni dan Riya saat ini, seandainya saja mereka berdua sedang berada di depanku.Sekali lagi, aku telah dibohongi mentah-mentah. Benar firasatku malam itu yang mengatakan, kalau mereka keluar berdua, pasti berciuman untuk yang terakhir kalinya. Mereka pasti sama-sama tak mau rugi. Hubungan berakhir paksa, setidaknya mereka masih bisa saling mencicipi bibir masing-masing.Dan Bang Roni, padahal sudah berjanji padaku tak akan mengulangi lagi, ia bahkan seolah benci pada Riya. Nyatanya, mereka berciuman dan ia bahkan menutupinya hingga saat ini. Untungnya Riya keceplosan dan aku bisa mengetahui kebenarannya.Baiklah, ini akhir dari semua. Akan aku sudahi kali ini. Sudah cukup aku dibohongi dan dipermainkan. Saatnya mengambil tindakan. Aku akan tunggu Bang Roni pulang, dan memberi pelajaran pada lelaki jahat itu.“Oh jadi kali
“Roni belum pulang kerja ya Say?” Tanya Riya begitu ia datang dan duduk bersamaku di teras rumah.Selalu saja setiap dia datang, yang ditanyakan pasti Bang Roni. Yang dicari pasti Bang Roni. Bahkan datang dengan membawa makanan pun, dia selalu menyisihkan untuk Bang Roni terlebih dulu, baru kami boleh memakannya.Aku kadang tak habis pikir. Riya bilang tak punya perasaan dengan Bang Roni, tapi selalu caper dan seolah minta dikejar-kejar. Tapi saat kemarin aku suruh mereka melanjutkan hubungan dan menikah, dia tak mau. Jadi apa sebenarnya tujuan dia mendekati Bang Roni? Hanya untuk menghancurkan rumah tanggaku dan bersenang-senang?“Belum. Paling nanti dekat mau Maghrib.” Jawabku singkat.“Dia masih sering keluar malam?” “Masihlah seperti biasa.”“Dia bilang sama aku udah nggak. Kemarin pas aku dekat sama dia tuh aku nasehatin, biar di rumah aja. Kalau malam nggak usah ke mana-mana. Dan kamu liat sendiri kan, kemarin waktu masih berhubungan sama aku, di
Sudah beberapa hari, sejak aku memblokir akses WhatsApp dan Facebook Riya di ponsel Bang Roni. Belum ada tanda-tanda kalau Riya protes atau marah. Entah karena dia memang belum menghubungi Bang Roni, atau karena dia sudah tahu, namun tak mau bertanya. Biar saja, setidaknya aku lega karena ia tak bisa lagi menggoda suamiku. Riya masih sesekali menghubungiku lewat chat, namun Cuma sekedar minta dimasakkan sesuatu atau menyuruhku untuk menjaga kedua anaknya.Ponselku berdering saat sedang melipat pakaian. Kulihat di layar, ternyata ibu mertuaku yang menelepon.“Assalamualaikum Ma. Ada apa?” tanyaku begitu mengangkat panggilan telepon.“Roni ke mana Sar?”“Bang Roni masih kerja, belum pulang. Paling nanti sore.” Kataku. “Emang kenapa Ma?”“Tolong sampaikan ke Roni ya. Paman Aryo yang rumahnya di kampung seberang lagi sakit parah. Nanti malam insya Allah kami mau jenguk. Roni suruh siap-siap, dia harus ikut. Biar bisa gantian bawa mobil sama Ayahnya.”