Pagi itu Mayra terbangun dengan rasa sakit pada seluruh tubuhnya. "May, kamu tidak apa-apa?" Jaya bertanya khawatir."Tidak mengapa, ini adalah tugasku!""Aku akan segera konsultasi. Kita tidak bisa seperti ini terus menerus, May." Jaya membuka gaun tidur Mayra dan melihat bekas luka yang dibuatnya, memanjang dengan warna yang kemerahan. Pasti sakit. Rasanya Jaya juga turut merasakan kesakitan yang sama.Mayra bisa menahan semua itu. Rasanya Jaya tidak bisa. Mungkin, semalam mereka terbawa suasana. Seharusnya Mayra menolak ketika Jaya sudah di ambang gairah. Bukan malam menyodorkan peralatan yang membuat Jaya semakin ingin melakukannya."Jangan dipikirkan, luka ini tidak separah yang terlihat. Lagipula, kau sudah ada kemajuan. Lumayan, tidak ada robekan di gaunku!" kata Mayra tertawa renyah. Rasanya dunia Mayra sekarang baik-baik saja. Kondisi kesehatan sang ayah juga sudah lebih baik meskipun harus ditunjang dengan obat-obatan seumur hidupnya. Hal itu tidak masalah, Mayra lebih dar
"Seorang pengusaha terkenal berinisial JM disinyalir telah melakukan pernikahan tertutup dengan seorang wanita berinisial MA. Menurut kabar burung yang beredar, wanita berinisial MA adalah mantan wanita penghibur. Masih menurut kabar yang sampai ke redaksi kami, JM sangat tergila-gila dengan MA sehingga mengabaikan semua masa lalu MA. Apakah benar MA adalah wanita penghibur? Apakah pengusaha JM adalah salah satu kliennya? Kami akan terus menelusurinya untuk anda. Tetap bersama kami, berita viral antara fakta atau khayalan." Bersamaan dengan narasi yang disampaikan oleh pembawa acara yang energik itu juga ada foto Jaya yang diambil dari kejauhan. Hanya siluet dan latar belakang. Namun, siapapun yang mengenal Jaya pasti tahu sosok pengusaha berinisial JM adalah Jaya Mahendra. Tidak ada foto Mayra. Bahkan bayangannya pun tidak. Hanya ada kumpulan wanita-wanita cantik yang pernah secara tidak sengaja bertemu dengan Jaya di masa lalu. Kolase foto yang dimunculkan untuk membentuk opini mas
Jaya pulang dengan wajah kuyu dan terlihat sangat lelah. Setelah mengecup kening Mayra, Jaya memejamkan mata dan menyandarkan tubuhnya di sofa yang ada di ruang tengah. Sungguh, hari ini sangat melelahkan untuk Jaya."Kau terlihat lelah, aku akan memijat mu, Sayang!" Mayra berkata lembut di samping Jaya sambil memberikan satu cangkir teh dengan madu."Sedikit, tenanglah. Masalah bisa diatasi!" kata Jaya. Bau harum Mayra sungguh membuatnya melayang. "May, kemarilah. Rasanya aku bisa tenang hanya dengan mencium aroma darimu!""Jangan berlebihan, banyak wanita cantik di luar sana yang sepertinya sangat senang jika kau ada di pangkuan mereka!""Kau manis sekali!" Tanggapan Jaya yang sungguh membuat Mayra tidak habis pikir. Namun, dia tetap menuruti permintaan Jaya untuk bersandar di pelukan Jaya. Untuk beberapa saat tidak ada yang saling berbicara. Mayra dan Jaya larut dalam pikirannya masing-masing."Tuan, ada banyak spekulasi yang beredar di tengah masyarakat mengenai berita tadi. Ter
Kanaya Arinda meletakkan ponselnya dengan gusar ke atas ranjang. Bastian Mahendra hanya menatap sang istri sambil tetap tersenyum."Ini semua karena idemu, Sayang. Seharusnya kita tetap berpegang teguh kepada rencana kita sejak awal untuk tidak merestui Jaya dan gadis itu, sekarang lihatlah apa yang terjadi! Sekarang Jaya menjadi pemberitaan!""Gadis itu adalah menantumu, Sayang. Mayra pasti sedih kalau mendengarmu mengatakan hal ini!" Bastian mengulurkan segelas air minum kepada Kanaya yang diterima Kanaya dengan wajah tetap ditekuk."Kita sebaiknya pergi ke luar negeri saja. Nama baik kita, Sayang. Dipertaruhkan di sini!" seru Kanaya lagi. Jemarinya yang lentik mempermainkan kukunya yang rapi dan cantik. Itu cara Kanaya untuk menutupi kegelisahannya."Hanya inisial nama saja dan siluet dari kejauhan. Kau tidak perlu terlalu merisaukan hal ini," ujar Bastian untuk kesekian kali. Untuk menenangkan sang istri, kalimat yang sama harus diulang berkali-kali."Hanya orang bodoh yang tidak
"Kenapa kau terlihat gelisah, May?" tanya Jaya. Mereka sedang bersiap untuk pulang ke kota. Tepatnya ke Apartemen Jaya barulah menuju ke rumah orang tua Jaya."Entahlah, pasti ada yang salah. Aku belum kedatangan tamu. Seharusnya sudah waktunya.""Kau minum pil selama ini?""I—iya, tapi beberapa waktu ini tidak. Astaga! Aku lupa membeli lagi. Pil ku hilang entah kemana dan aku tidak membeli lagi!""Apakah itu berbahaya?" tanya Jaya dengan nada polos. Tentu saja dia tahu apa yang terjadi, tetapi tidak mungkin mengaku kalau dia yang membuang pil-pil itu. Jadi, lebih baik berpura-pura bodoh saja!"Tidak, hanya saja aku bisa hamil. Astaga, aku sudah tidak minum sejak lama ternyata!" Sekali lagi Mayra berteriak menyatakan kebodohannya. Dan setelah berfikir selama beberapa waktu, Mayra ingat bahwa dia sejak bersama Jaya memang sama sekali tidak menggunakan pengaman."Tidak masalah, Sayang. Ada aku, suamimu. Kenapa kau gelisah?""Tapi, kalau memang benar aku hamil, usia kehamilannya yang aka
Sayang tersenyum puas melihat berita mengenai Jaya Mahendra. Tentu saja, dia adalah dalang di balik berita tentang pernikahan Jaya dan Mayra. Meskipun nama pasangan Jaya belum ada yang bisa menebaknya selain keluarga dan juga Nona Lolita. Keluarga Jaya tentunya."Aku mau kau memberikan berita ini kepada wartawan gosip!" Sayana melemparkan satu berkas dokumen ke atas meja. Leonard menautkan keningnya tanda dia masih belum mengerti, tetapi dengan patuh, dia mengambil dokumen tersebut dan membukanya."Aku bisa melakukannya, tapi pasti bisa dengan mudah dilacak. Apalagi ini menyangkut Tuan Jaya Mahendra," terang Leonard sedikit ragu.Sayana tersenyum licik sambil memandang partnernya itu dengan tatapan tajam."Lakukan dengan baik dan jangan pernah sangkutkan namaku. Terserah bagaimana caranya!" ucap Sayana. Sekarang dia mengambil sebuah amplop tebal dan diberikan kepada Leonard."Tenang, aku tidak akan memakai bantuanmu secara gratis. Uang di dalam sana cukup untuk memberi makan wartawan
Kanaya Arinda masuk ke dalam ruang santai bergandengan tangan dengan Bastian Mahendra. "Akhirnya kalian datang juga!" ucap Bastian Mahendra dengan ekspresi gembira yang tidak dapat disembunyikan. Kediamannya terlalu besar hanya untuk ditinggali dia dan istrinya sebagai keluarga inti. Belum ditambah dengan rumah dan jenis properti lain yang dikoleksi oleh Kanaya Arinda. Selain sebagai investasi, Kanaya Arinda juga menjadikannya ladang bisnis. Keluarga Mahendra memang memerlukan seorang pewaris. Keberadaan istri Jaya Mahendra merupakan angin segar untuk mendapatkan apa yang diinginkan oleh Bastian."Selamat Siang, Ibu, Ayah," ucap Mayra dengan santun. Meskipun sedikit gelisah dan rasa kalut yang terpancar di dalam hatinya, Mayra harus tetap menjaga adab dan sopan santun. Jaya sendiri langsung memeluk ibu dan ayahnya. Mayra masih belum berani melakukan sentuhan fisik kepada ibu mertuanya tersebut. Alasan terbesarnya tentu saja dia takut ditolak. Pasti akan sangat memalukan jika terjadi
Mayra mengikuti pelayan yang membawanya ke arah ruang baca, tempat dimana Kanaya sedang menunggunya. Atau dia yang harus menunggu?"Bagus, kurang tiga menit lagi, maka kau tidak tepat waktu!" Suara teguran yang terdengar tetap anggun menyapa pendengaran Mayra. "Maaf, Ibu. Kalau Ibu menungguku," balas Mayra mendekati ibu mertuanya dan mencium punggung tangan Kanaya. "Duduklah!" Dengan patuh, Mayra duduk di depan Kanaya. Dia tidak bisa menatap sekeliling ruang baca yang dia masuki. Hanya melihat yang ada di belakang Kanaya saja. Dari aroma ruangan, Mayra bisa menilai bahwa buku-buku di ruang ini selalu dipelihara dan dijaga dengan maksimal. "Ini untuk kau pelajari," kata Kanaya menyodorkan satu tumpukan buku tebal ke arah Mayra. Tidak hanya satu atau dua buku. Kira-kira ada enam buah buku di hadapan Mayra."Baik, Bu." Tetaplah patuh dan tanpa membantah. Demi kebaikan bersama. Kebaikannya dan juga Jaya. "Kau tidak bertanya apapun juga?""Saya akan mempelajarinya nanti, saya takut pe
Jaya tersenyum dan memeluk Mayra dari belakang dengan mesra. Dia sama sekali tidak peduli dengan adanya Madam Sonia yang masih berada di hadapan mereka."Apa maksudnya, Sayang?" tanya Mayra kepada Jaya."Apa tadi yang aku dengar? Kamu mengatakan bahwa ada yang tidak boleh aku tahu. Ah! Kau pasti menyembunyikan sesuatu dariku, Sayang." Jaya dengan lembut bertanya kepada Mayra. Madam Sonia yang mendengar pertanyaan Jaya hanya bisa tersenyum kaku. Mayra tersenyum lembut dan menangkap tangan Jaya lalu menariknya kehadapannya dengan penuh kelembutan."Sayang, kau pasti mendengarnya hanya sepotong saja. Tapi ... memang benar ada yang aku rahasiakan darimu," kata Mayra menatap Jaya dengan jenaka. Jaya kembali memandang Mayra dengan gemas. Kalau tidak ada Madam Sonia disana, pasti dia akan menggendong Mayra ke kamar mereka dan melucuti pakaiannya langsung. Apalagi ekspresi Mayra sungguh membuatnya menahan sesuatu yang bergelora di dalamnya."Sayang!" tegur Mayra keras, melihat Jaya yang te
"Bagaimana kandunganmu, May?" tanya Kanaya kepada Mayra ketika putra dan menantunya itu berkunjung ke rumah. "Cukup baik, Ibu. Kami, terutama calon cucu ibu tumbuh dengan baik di dalam sana," jawab Maira tersenyum. Setidaknya dia sudah bisa menerima fakta bahwa dia memang benar hamil anak Jaya, buah hati mereka berdua. Dia harus melupakan misinya itu dan harus menerima keadaan dengan sepenuh hati. Bukan! Bukan sepenuh sebenarnya karena Mayra sendiri masih belum menemukan waktu yang tepat untuk melakukannya. Maira teringat lagi dengan pertanyaannya yang dijawab Jaya dengan senyuman penuh misterius."Aku rasa kita sudah pernah membicarakan tentang hal ini. Apa kau lupa. Apa yang kau tunggu? Kau bisa melakukannya sekarang juga," kata Jaya sambil membuka bajunya. Pada saat itu yang tampak di mata Mayra adalah tubuh Jaya yang kokoh dan dada bidangnya sungguh membuat Mayra tergoda. Ternyata dia sebagai wanita juga tidak bisa membiarkan pesona menggoda di hadapannya itu. "Aku hanya berc
"Siapa yang coba kau lindungi?" Suara teriakan Jaya ditambah dengan cambuk yang terkena kulit, menimbulkan kengerian luar biasa bagi yang mendengarnya.Pria itu hanya menyeringai sinis mendengar pertanyaan Jaya. Namun, tidak ada sedikitpun gelagat dia akan menjawab pertanyaan Jaya. "Dengarkan aku! Kau akan mati perlahan kalau tetap membisu! Tidak! Kematian terlalu bagus untukmu! Aku akan menyiksamu perlahan sampai kau juga ingin kematian. Begitu lebih baik!" kata Jaya dingin. Dia memberi isyarat kepada penjaga kamar hukuman agar melanjutkan siksaan bagi pria itu. Pria yang telah menembak Mayra. Sedangkan orang yang mulai membuat kekacauan masih belum ditemukan. "Bagaimana kamera pengawas?" "Semua berjalan normal, Tuan. Tidak ada yang bertingkah mencurigakan bahkan semua orang sudah kami awasi satu persatu." Andrian yang maju menjawab."Berarti ada pengkhianat dari dalam. Siapa yang berani mengkhianatiku?" gumam Jaya."Tuan, kami menyampaikan informasi baru," kata pengawal lain yan
Mayra menatap Jaya dengan penuh tanda tanya di wajahnya. Apa yang dimaksud Jaya?"Tahu tentang apa, Sayang?" tanya Mayra. Dia mencoba menutupi perubahan wajahnya. Dia tahu pasti, Jaya tidak akan tinggal diam jika tahu tentang semua yang dia sembunyikan."Orang tuamu dan semua tetangga akan pulang besok. Aku belum memberitahukan tentang keadaanmu," jawab Jaya mengalihkan pembicaraan. Dia masih mengusap lembut tangan Mayra yang bebas."Ah, tolong jangan beritahu mereka. Kejadian di pesta tadi pasti sudah membuat mereka khawatir.""Tentu, sesuai permintaanmu. Dan kau harus lebih menjaga diri lagi. Ada nyawa lain di dalam tubuh ini," kata Jaya mengusap selimut Mayra yang menutupi perutnya. "Ka—u, apa maksudmu, Sayang?" Mayra menelan ludah mendengar pertanyaan itu. Sesuatu yang ingin ditutupinya ternyata harus terbongkar juga."Jangan ditutupi lagi. Kau tidak ingin menjalani kehamilan dengan nyaman? Dengan perhatian dari suamimu ini?" Jaya menatap wajah Mayra dengan penuh kelembutan."Da
Jaya tidak bisa mencegah ketika badan Mayra dengan gagah berani menghadang peluru yang hendak ditembakkan kepadanya. Bahkan pengawal yang seharusnya menjadi pasukan berani mati dan siap menjalani resiko apapun hanya bisa terpaku di tempatnya. Mereka sama-sama terdiam ketika melihat kejadian yang begitu cepat. Untungnya di detik terakhir, Ava sempat mendorong badan Mayra sehingga peluru yang hendak menembus jantung Mayra meleset dan hanya mengenai bahu bagian atas. Meskipun begitu, pasti rasanya sakit sekali. Darah yang mengucur ditambah dengan Mayra yang pingsan sudah cukup menjadi jawaban. Jaya menghampiri Mayra yang pingsan dan terkulai lemah di dalam pelukan Ava. Gaunnya yang berwarna putih tulang sudah berubah warna sekarang. Darah itu cukup pekat, membuat Jaya ketakutan."Minggir, Ava, biar aku yang menggendong istriku," kata Jaya menahan amarah. Dia akan pastikan orang yang melakukan ini akan menerima akibatnya. Beraninya dia melukai Mayra di depan matanya sendiri! Pengawal ya
Suara tembakan itu berdesing ke atas, tepat ke arah lampu gantung yang menghiasi pelaminan tempat Jaya dan Mayra sedang duduk. Jaya dengan cekatan mendorong Mayra ke samping tepat ketika lampu itu akan jatuh menimpa mereka. Suara teriakan sudah terdengar ditambah dengan kesibukan pihak WO dan pengawal keluarga Adiguna menenangkan para tamu."Sepertinya ada yang membuat kekacauan dan menganggu acara makan istriku," gumam Jaya kesal. Mayra menatap serpihan lampu gantung yang hampir saja mengenai mereka kalau Jaya tidak sigap menghindar. Sepertinya sekarang waktunya untuk beraksi. Mayra mencoba mengambil pisau yang ada di balik bajunya, tetapi tangan Jaya lebih cepat menahannya."Tidak baik bagi mempelai bermain dengan benda tajam!" kata Jaya tegas. Ada riak tanda terkejut di sinar mata Mayra. Bagaimana Jaya bisa tahu apa yang hendak Mayra lakukan? Dia menarik tangannya kembali dan fokus kepada Jaya. Bahkan dia mengabaikan apa yang terjadi di sekelilingnya. "Bawa keluarga istriku ke te
Mayra sontak terkejut mendapati kegelapan yang menerjangnya ditambah jeritan di sekitarnya."Tenang, tidak apa-apa, suasana masih terkendali," kata Jaya membelai punggung tangan Mayra lembut. Suara musik yang memanjakan telinga terdengar. Cukup untuk menenangkan jerit suara di sekitar mereka. Dari arah sudut ruangan, terlihat cahaya yang berangsur-angsur menerangi mereka."Mohon maaf untuk kejutannya. Kami mohon tamu undangan untuk tenang. Karena kedua mempelai akan mempersembahkan tarian ke hadapan hadirin semua," kata pembawa acara yang muncul dari belakang tamu yang berdiri. Kalimat yang membuat Mayra tercekat. Kejutan macam apalagi ini? Jantungnya sungguh tidak aman malam ini!"Sayang ...."Protes Mayra harus berhenti karena jari telunjuk Jaya membungkam bibirnya."Rileks, tunjukkan kepada semua orang bahwa kau dan aku bahagia," kata Jaya."Memang aku bahagia.""Aku percaya."Jaya mulai merengkuh pinggang Mayra dan membimbing Mayra melakukan dansa sederhana sesuai dengan iringan
Mayra mengenali tangan yang memegang tangannya. Dia memegang erat tangan Jaya. Tidak ada sepatah katapun yang keluar dari bibir Mayra. Mayra tahu, sebanyak apapun dia bertanya, jika Jaya tidak ingin menjawabnya, maka dia tidak akan memberi jawaban."Kau sungguh cantik. Kenapa kau begitu cantik, Sayang," ucap Jaya. Dia membelai pipi Mayra dengan lembut sekaligus menyentuh sekilas penutup mata Mayra."Daripada kau mengucapkan kalimat yang sudah seribu kali kau ucapkan, lebih baik kalau kau membuka penutup mataku dan menjelaskan apa yang terjadi," ucap Mayra menahan kekesalan yang sudah mendominasi di dalam hatinya. Bahkan dia tidak bisa menahan kekesalannya sekarang. Dia bersumpah pada dirinya sendiri, jika Jaya tidak kunjung memberikan jawaban, maka dia sendiri yang akan mengakhiri semuanya."Aku sangat suka kalau kau marah! Dan satu lagi, kau terlihat lebih cantik.""Kau tahu, aku masih memujimu sebanyak 895 kali. Jadi belum sampai seribu kali, Sayang," papar Jaya yang membuat Mayra s
"Sayang, kau masuklah, aku akan menunggumu disini," kata Jaya tersenyum manis. Senyum yang jarang tampak di depan publik tetapi selalu tampak jika bersama dengan Mayra.Mayra hendak bertanya tetapi dia segera mengurungkan niatnya. Sepertinya dia tidak akan mendapatkan jawaban seperti kebiasaan Jaya. Jadi, yang harus dilakukannya adalah menuruti permintaan Jaya. Mayra masuk ke dalam kamar hotel tersebut. Kamar yang memiliki ruang pribadi khusus sebelum menuju kamar tidur. Tidak ada pertanyaan yang terlontar, meskipun begitu banyak tanya yang bertebaran di dalam benaknya. Kalau Jaya ingin, pasti dia sudah menjelaskan apa maksudnya tanpa perlu Mayra bertanya-tanya seperti ini. Sepanjang perjalanan tadi, mereka juga menikmati dalam keadaan lebih banyak berdiam diri. Hanya ada sesekali pembicaraan yang terlontar. Hanya sekedar mengisi suasana sepi yang mendera.Seseorang mengetuk pintu lalu masuk dan menghampiri Mayra yang masih termenung dan berdiam diri. "Silahkan, Nona. Kami yang aka