"Bagaimana, kamu puas, Sayang?" tanya Jaya membelai pipi Mayra dengan lembut. Dengan sayup, bibir Mayra menyunggingkan seulas senyum manis kepada Jaya. Apa yang harus dikatakan Mayra? Tidak puas? Kecewa? Tidak suka? Tentu saja tidak itu semua. Bisa-bisa Mayra pulang hanya tinggal nama saja jika berani melakukan hal itu.
Jaya tertawa terbahak-bahak melihat senyum yang tersungging di bibir Mayra. Sudah waktunya untuk bermain lagi. Senyum dingin mulai terukir di bibir Jaya. Senyum yang membuat Mayra sedikit menyesal menerima tawaran Nona Lolita kali ini.Jaya mengeluarkan sesuatu dari dalam tas hitamnya. Tas yang selalu dibawanya kemanapun dia pergi. Tidak ada yang menyangka bahwa didalam tas itu ada benda-benda aneh yang selalu dibawa Jaya kemanapun dia pergi.Jaya mengeluarkan cambuk yang berwarna hitam kecoklatan itu dengan netranya yang memandang nyalang ke Mayra disertai dengan tatapan yang penuh nafsu.Dengan semangat yang berkobar kembali, Jaya memegang cambuknya dan melecutkan ke tubuh Mayra tanpa belas kasihan."Arghh!!" Hanya terdengar teriakan dari Mayra. Teriakan yang pasti tidak akan terdengar kemana-mana karena keberadaan mereka di Apartemen Jaya. Apalagi Apartemen Jaya terletak di kawasan elit dengan sistem keamanan dan juga privasi yang tinggi. Ditambah dengan kamar Jaya yang kedap suara, menjadikan teriakan Mayra hanya menjadi suara yang memantul di dinding saja.Jaya kembali melecutkan cambuknya ke badan Mayra."Argh!!!" Teriakan Mayra kembali menggema ke seluruh penjuru ruangan. Tidak ada yang bisa menolong, karena siapa yang akan menolong? Itu sudah menjadi resiko pekerjaan Mayra. Apalagi motto Nona Lolita adalah kepuasan pelanggan merupakan kebanggaan kami. Motto itu juga yang diterapkan Nona Lolita kepada anak buahnya, termasuk Mayra. Jadi, semua kesakitan dan perih yang diderita Mayra kali ini memang sudah menjadi resiko yang harus diterimanya.Jaya berhenti sejenak, menatap tubuh polos Mayra yang sudah menimbulkan bekas kemerahan hasil cambukannya. Jaya hanya menggeleng, merasa belum puas dengan hasil karyanya, dia melangkah lagi ke sudut kamar.Dimana terletak lemari berwarna hitam dengan aksen minimalis. Jaya membuka lemari dan mengambil sesuatu dari dalamnya.Dengan selembar gaun tidur berwarna pink, Jaya tersenyum dan menghampiri kembali Mayra."Sayang, jangan takut, ini akan menyenangkan!" seru Jaya sambil membelai lembut pipi Mayra. Yang membuat Mayra bergidik dan memalingkan muka.Melihat reaksi dari Mayra, seketika netra Jaya dingin bagaikan es, dengan kasar Jaya memegang rahang Mayra dan dipegangnya agar tepat berada di hadapan Jaya."Jangan pernah memalingkan wajah cantikmu dari aku, kita akan bersenang-senang. Jadi, tersenyumlah!" Jaya mengatakan dengan ekspresi dingin yang membekukan, seolah-olah bersaing dengan suhu pendingin udara yang memang dipasang di suhu paling dingin."Oh, Sayang, kamu cantik sekali, apalagi dengan bekas-bekas seperti ini!" kata Jaya sambil tangannya menelusuri bekas cambukan di kulit Mayra."Tetapi, ini belum seberapa kelihatan. Aku akan membuatnya lebih indah lagi, Sayang!" kata Jaya lagi dengan binar-binar penuh kebahagiaan.Dengan lembut, Jaya memakaikan gaun itu ke tubuh Mayra. Mayra hanya bisa pasrah apalagi kakinya juga sudah diikat. Meskipun, dia bisa berguling untuk menyelamatkan diri, tetapi itu percuma, malah yang ada Jaya akan semakin menyiksanya. Mayra tahu perilaku Sadomasokisme yang dilakukan Jaya. Sebisa mungkin, Mayra tidak akan berteriak. Karena Mayra tahu, semakin dia berteriak, maka Jaya akan semakin puas dan melancarkan aksinya lebih gila lagi.Setelah selesai memakaikan gaun lembut itu ke tubuh Mayra dan melihat dengan puas hasil kerjanya, Jaya menampilkan senyumnya lagi. Senyum yang berhasil memikat para gadis di luar sana, tetapi merupakan senyum maut bagi Mayra. Karena, Mayra tahu, setelah ini penyiksaan yang dilakukan oleh Jaya akan lebih sadis lagi.Jaya berjalan mundur, melihat penampilan Mayra yang sedang berbaring pasrah dengan kaki terikat. Mungkin, Jaya harus mengikat juga kedua tangan Mayra agar Jaya bisa lebih terpuaskan. Benar, harus seperti itu. Tidak asik jika tangan Mayra masih bergerak bebas. Jadi, Jaya melaksanakan niatnya dengan segera.Jaya menekan tombol di balik tempat tidurnya. Serta merta kepala ranjang mengelurkan rantai hitam di kedua sisinya, tepat di bagian tangan Mayra. Mayra semakin bergidik memandang rantai itu. Yang bisa dilakukannya hanyalah pasrah kali ini. Dan juga berdoa. Ah, berdoa. Rasanya Mayra terlalu kotor hanya untuk bisa menyebut kata itu. Kata berdoa sungguh tidak pantas diucapkan oleh pendosa seperti dirinya."Tersenyum kataku!" seru Jaya dengan tertahan dan tetap mempertahankan tatapannya yang dingin.Dengan susah payah, Mayra menyunggingkan seulas senyum tipis di balik ketakutannya. Tangannya sudah terikat dengan rantai sekarang. Entah apa yang akan terjadi nanti. Biarkan saja, anggap saja ini adalah pembalasan untuknya.Jaya memegang cambuknya lagi dan melecutkan cambuk itu ke lantai kamar.Suara cambuk seakan berdenging memilukan di telinga Mayra, membuat Mayra merasa ngilu sebadan-badan.Jaya tersenyum lagi dan menghampiri Mayra yang masih menatapnya dengan penuh ketakutan."Tuan Jaya, jangan lakukan itu lagi, saya mohon, lepaskan saya!" kata Mayra dengan menghiba. Hanya ini satu-satunya cara sepertinya. Memohon belas kasihan Jaya.Sama sekali tidak ada jawaban, badan kokoh dan berotot milik Jaya sudah maju ke dekat ranjang. Dengan sekuat tenaga, Jaya melecutkan kembali cambuk itu ke arah Mayra. Dengan sekali lecutan, cambuk itu mengoyak gaun Mayra. Membuatnya robek di bagian depan sekarang, tidak ketinggalan pula tanda merah yang memanjang tampak di bagian depan tubuh Mayra."Arghhh!!" Tidak tahan dengan kesakitan yang mendera, Mayra berteriak panjang yang membuat sinar mata Jaya lebih hidup lagi.Jaya meraih gaun Mayra yang sobek dan menghirup aromanya dengan dalam. Tidak cukup sampai disitu, jemarinya dengan lembut meneluri bekas luka Mayra."Ampun, Tuan Jaya, sakit sekali!" Dengan lirih Mayra bersuara sekaligus diiringi dengan air mata yang mengalir dengan sendirinya."Menangislah, maka aku akan menyiksamu lebih dari ini!" seru Jaya tetap dengan senyum dinginnya. Dengan kasar, Jaya menyentakkan kembali cambuk yang berada di tangannya.Melihat dengan gembira ketika melihat ada warna merah yang samar-samar membayang di gaun tidur Mayra yang sudah tidak jelas bentuknya itu. Tangan Mayra sendiri sudah terkulai lemah. Bahkan suaranya sudah tidak terdengar lagi, hanya aliran air mata dan nafasnya saja yang menunjukkan bahwa gadis itu masih hidup.Jaya mencium netra Mayra yang sekarang sudah terpejam."Jangan tidur dulu, Sayang, ini masih awal. Kamu pasti akan menerima dengan penuh terima kasih!" kata Jaya lagi dan bangkit dari tubuh Mayra dengan wajah dingin tapi netra yang memancarkan semangat tinggi.Bunyi cambukan yang terdengar untuk kesekian kalinya menorehkan luka di kulit putih Mayra sekarang tidak terdengar lagi. Yang ada hanya kegelapan yang pekat, mungkin segelap kehidupan Mayra.Mayra membuka matanya perlahan. Mencoba merasakan udara sekeliling yang familier dan juga nyaman. Meskipun rasa perih menjalar di sekujur tubuhnya, Mayra memejamkan matanya lagi. Mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi. Ingatannya rasanya kabur. Mayra hanya ingat bahwa pertemuannya dengan Jaya, klien terakhir yang membuatnya tersiksa. Setelah itu, semuanya hilang. Lenyap dan menghilang.Mayra menatap sekelilingnya. Dia saat ini berada dalam kamarnya di rumah pribadinya. Entah siapa yang membawa Mayra ke rumah. Bagaimana dia bisa disini juga Mayra tidak peduli. "Nduk, sudah sadar?" Parfum seorang wanita samar-samar tercium ke seluruh penjuru kamar, berpadu dengan aroma dari pewangi ruangan otomatis yang menyemprotkan wangi vanila setiap 10 menit sekali.Mayra membuka matanya kembali dan mendapati Nona Lolita yang tersenyum dengan ramah ke arahnya sambil membawa secangkir teh dan sepiring makanan."Sudah, Nona, saya ....." Mayra hendak duduk ketika ternyata tubuhnya tidak mengizinkan
Mayra menutup ponselnya dengan hati gundah. Yang menghubungi Mayra tadi adalah sang Ibu tercinta. Ibunya menghubunginya seperti biasa meminta uang untuk biaya pengobatan ayah mereka. Mayra melihat ponselnya untuk memeriksa rekeningnya dan setelah itu bergegas mengirimkan uang sebesar 20 juta kepada sang ibu.Mayra menghela nafas lagi. Apapun yang dipikirkannya tidak bisa merubah kenyataan dan fakta bahwa memang Mayra memerlukan uang. Jadi satu-satunya jalan yang harus dilakukannya memang masih ada di jalan ini. Namun, dengan siksaan yang dilakukan salah satu pelanggannya kemarin, sepertinya Mayra harus memutuskan lagi untuk meneruskan pekerjaannya ini atau tidak. Apakah Mayra akan sanggup bertahan? Mayra sendiri juga tidak tahu apa yang terjadi di kehidupannya kali ini. Sungguh membuat dilema, tetapi mau bagaimana lagi? Mayra juga membutuhkan uang yang jumlahnya tidak sedikit. Pengobatan sang ayah yang harus cuci darah setiap dua minggu sekali menyebabkan Mayra tidak pikir panjang lagi
Jaya melihat foto Mayra sambil tersenyum. Perasaannya membuncah seketika dan langsung teringat Mayra dengan hati bahagia. Sejak pertama melihat gadis itu, Jaya yakin telah jatuh hati pada Mayra. Bahkan dia nekat menyelidiki kehidupan Mayra. Tidak ada yang membuat Jaya lebih terkejut selain ketika mendapati bahwa Mayra berprofesi sebagai kupu-kupu malam. Namun, semua itu tidak menyurutkan perasaannya kepada Mayra. Jaya dengan nekat meminta kepada Nona Lolita agar Mayra sendiri yang melayaninya. Sungguh, semua menjadi indah. Perasaannya sungguh berharga. Jaya sudah jatuh cinta kepada Mayra sejak pandangan pertama. Tidak ada yang bisa mengubah perasaannya itu. Meskipun profesi Mayra sendiri sebagai seorang kupu-kupu malam.Entah sejak kapan, perasaan Jaya menjadi sebuah obsesi. Dia memang benar-benar sudah jatuh cinta. Tidak pernah ada seorang pun wanita yang membuat Jaya seperti ini. Perasaannya sungguh melambung tinggi. Dia akan secepatnya memberi tahu Mayra mengenai perasaannya ini.
"Maaf sebelumnya, Tuan Jaya. Gadis yang tuan pilih sebelumnya tidak pernah melakukan pelayanan yang diluar batas kewajaran, jadi saya takut kalau Mayra tidak bisa membuat anda puas, Tuan," ujar Lolita dengan menampilkan senyum yang menawan."Tidak masalah, biar aku yang mengajarinya," jawab Jaya dengan senyuman dingin."Saya akan pastikan dulu kepada Mayra, Tuan. Apakah Tuan bisa menunggu?" tanya Lolita. Masa bodoh dengan semua bisnisnya. Dia tidak akan mengedepankan uang sekarang. Perasaan Mayra juga harus dia tanyakan terlebih dahulu."Lima menit, kalau lima menit tidak ada jawaban, aku bisa membuat bisnis anda hancur, Nona Lolita!" kata Jaya Mahendra dingin.Lolita mengangguk dan segera beranjak keluar, tentu saja dia tidak ingin Jaya mendengar apa yang dibicarakannya nanti. Hanya lima menit, tidak mengapa, dia hanya perlu waktu dua menit."May, untunglah kau segera mengangkat!" Lolita menghela nafas lega begitu Mayra mengangkat sambungannya."Ada apa, Nona Lolita?"Segera lolita m
Jaya terkesiap mendengar pertanyaan sang Ibu. Namun, hanya sekejab saja, karena Jaya begitu pandai menyembunyikan perasaannya. Kanaya Arinda hanya menyunggingkan senyum sinis melihat ekspresi terkejut Jaya. Hanya sepintas, tetapi Kanaya sudah melihatnya."Apa yang ada dalam pikiranmu, Jaya?""Selama ini ibu memberikan kebebasan penuh kepadamu untuk memuaskan kebutuhanmu dengan semua wanita itu! Tapi jangan gunakan perasaanmu!" Kanaya mulai memberi nasehat. Sedikit kejam, tetapi harus dia utarakan. Dia tidak akan rela keluarga Mahendra dimasuki oleh wanita malam. Jaya hanya terdiam membisu. Tidak ada sepatah katapun keluar dari bibirnya. Nanti kalau sudah saatnya, maka pasti dia akan melontarkan pembelaan. Bukan sekarang, belum waktunya."Kalau ayahmu tahu bahwa kau sudah mulai bermain dengan perasaan, pasti ayah akan marah besar! Sudahkah kau pikir semuanya, Jaya?" "Kenapa kau hanya diam? Semua yang Ibu katakan benar bukan?" tanya Kanaya lagi. Meskipun merasa kesal kepada Jaya yang
Mayra mengeliat pelan. Hari masih gelap ketika dia membuka mata, tetapi sayup-sayup suara kokok ayam sudah terdengar dari kejauhan. Sedikit tertatih, dia menuju ke kamar mandi. Melihat dengan helaan nafas panjang bekas luka cambukan yang sudah terlihat samar sekarang. "Mayra, semangat! Ini bukanlah akhir dunia. Masih banyak yang bisa dilakukan!" Mayra menatap cermin dan memberi sugesti kepada dirinya sendiri.Banyak yang Mayra pikirkan, tetapi rasa ngilu di tubuhnya membuat Mayra harus mengenyahkan sementara beban pikirannya. Hari ini meskipun masih terasa nyeri, Mayra harus bekerja. Dia harus menghubungi nona Lolita segera. Ada seribu rencana jangka panjang yang sudah tergambar dalam benaknya. Bekerja dengan giat dan penuh semangat menjadi awal dari semua rencananya tersebut.Suara bel yang berdering menggugah kesadaran Mayra yang sedang melamun."Jam enam. Siapa yang datang sepagi ini?" Segera Mayra berjalan ke arah ruang tamu. Bel itu berbunyi semakin sering, pertanda tamu Mayra
Mayra seketika menggigil mengetahui bahwa Jaya Mahendra menginginkannya kembali. Namun, tujuan Mayra dan rencana jangka panjangnya berkelebat. Membuat Mayra menyingkirkan semua perasaan takutnya."Harga diri? Rasa sakit? Tidak, May! Kamu bisa menanggung itu semua!" ucap Mayra di depan cermin.Entah kenapa Jaya menginginkannya lagi? Ataukah memang Mayra memberikan kepuasan tersendiri untuk Jaya? "Sudahlah, Mayra Anjani! Kapan lagi kau akan mendapatkan uang sebanyak itu dalam satu malam?" Kembali Mayra bergumam.Mayra menghembuskan nafas panjang. Sebenarnya apa yang dia cari? Uang tentu saja! Tabungannya dirasa masih belum cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh keluarga besarnya. Jadi, Mayra akan mengerahkan keringat sampai tetes terakhir untuk mengumpulkan uang. Keringat yang bercampur dengan darah rasanya sangat tepat untuk menyatakan kondisinya saat ini.Taxi online membawa Mayra ke sebuah rumah di pinggiran kota, berbeda dengan pertemuan yang lalu, kali ini Jaya meminta untuk berte
Sejak kedatangan Mayra, Jaya sudah membayangkan yang tidak-tidak. Fantasinya menguar, memenuhi benaknya dengan bayangan liar."Jangan dulu, Jaya! Jangan buat Mayra menangis atau takut melihatmu!" gumam Jaya.Dia sudah melihat sorot mata ketakutan yang terpancar dari sinar mata Mayra tadi. Jaya tentu tidak ingin rencananya berantakan. Dia harus segera menjelaskan kepada Mayra. Kalau perlu mereka segera menikah."May," desisnya lirih melihat Mayra yang tertidur pulas di atas kursi panjang yang memang diletakkan di samping kolam renang.Dadanya bahkan berdegub kencang ketika melepas jaket Mayra perlahan. Hanya bersentuhan seperti ini saja, fantasi Jaya sudah berkembang liar. Dia harus cepat. Jaya tidak ingin ada orang lain lagi yang menyentuh Mayra. Tidak seorang pun yang boleh melakukan hal itu kecuali dia seorang.Jaya mengamati deretan lemari putih yang mengelilingi ruang ganti pakaiannya. Lemari yang memang khusus disiapkan Jaya untuk semua pakaian Mayra. Bukan hanya gaun semata. Tas