[Tiga hari lagi. Gilang]
Apa maksud pesan ini? Siapa yang pengirimnya? Jangan-jangan dia suruhan Sandra untuk mengusir ku dari sini.
Ya, ampun! Jangan sampai itu terjadi. Aku tidak ingin kembali terlunta-lunta di jalan. Angan kembali menerawang masa silam.
*flashback on
"Keluar kamu dari sini! Rumah ini sudah menjadi milikku!" ucap lelaki dengan perut membuncit itu.
"Ini rumahku, bukan rumahmu!" ucapku lantang. Namun seketika menciut saat melihat dua orang bodyguard menatapku nyalang.
"Baca!" Lelaki tambun itu melempar secarik kertas tepat mengenai wajahku.
Dengan dada bergemuruh ku baca setiap kata yang tertulis di sana. Kakiku terasa lemas hingga menopang tubuhku tidak kuat.
"Ini tidak asli kan?"
Aku masih mengelak meski sudah ku lihat tanda tangan papa di atas materai. Rasanya tak percaya jika papa dan mama meninggal lalu mewariskan hutang yang begitu besar padaku.
Kenapa selama ini aku tak tahu jika mereka telah menggadaikan sertifikat rumah serta ruko. Bahkan kontrakan melayang untuk melunasi hutang yang lain. Sebenarnya untuk apa mereka hutang sebanyak itu?
Ku pijit pelipis yang terasa berdenyut. Belum genap satu bulan mama dan papa meninggal dan sekarang aku harus kehilangan rumah beserta isinya.
"Ku beri waktu sepuluh menit untuk mengemasi barang-barangmu. Atau kamu angkat kaki hanya dengan baju yang melekat itu!"
Segera ku kumpulkan kekuatan. Aku berjalan lesu menuju kamar di lantai atas lalu mengambil koper dan memasukkan beberapa pakaian ke dalamnya. Ya, hanya pakaian karena perhiasanku pun teleh ludes untuk membayar hutang.
Ku tarik koper sambil menggendong ransel. Keluar rumah dengan perasaan yang entah, tak bisa ku gambarkan.
"Lelet!" ucapnya lalu menarik koper ditangan dan melemparkannya ke luar rumah. Untung saja koper itu tidak terbuka.
Air bah yang berusaha ku bendung akhirnya jebol juga. Aku terisak, menangisi nasib yang menyakitkan. Rasa di tinggal orang tua tak semenyakitkan ini. Sekarang aku harus ke mana?
Aku melangkah gontai ke luar rumah. Ku tarik koper. Mata masih tertuju ke bangunan bertingkat yang selama ini ku tinggali. Rasanya tak tega meninggalkan rumah itu. Namun mau apa lagi, aku tak punya daya untuk memilikinya.
Ya Tuhan, kenapa Engkau berikan masalah yang tak habis-habisnya padaku. Selama ini aku selalu memujamu. Namun bukan kebahagiaan yang ku dapat. Engkau selalu memberiku duka dan lara. Haruskah aku terus memuja-Mu?
Tak hentinya aku merutuki nasib. Tuhan seolah mempermainkan hidupku. Dari kehilangan kedua orang tua hingga tak memiliki apa-apa.
Lalu lalang kendaraan begitu ramai. Aku berjalan melewati beberapa orang yang tengah asyik bersenda gurau sambil menikmati makanan. Tidak ada rasa simpati,semua seolah mentertawakan nasibku.
Lalu untuk apa aku hidup jika seperti ini? Tak ada saudara dan teman yang membantu. Semua menghilang ketika aku tak memiliki harta. Mereka tertawa melihat penderitaanku.
Untuk apa aku hidup, Tuhan?
Aku lelah.Ku lihat jalanan yang ramai kendaraan berlalu lalang. Entah kenapa aku ingin ke sana. Berjalan di tengah-tengah lalu disambut truk atau mobil. Pasti menyenangkan. Aku bisa langsung ke surga tanpa harus merasakan siksa dunia.
Ya, aku akan ke sana.
"Woy, lihat-lihat kalau jalan!"
"Mau cari mati!"
"Wanita gila!"
Suara sahut menyahut terdengar jelas di telinga. Tak aku hiraukan. Aku lebih tertarik berada tepat di tengah jalan. Ya, sebentar lagi aku sampai.
Tiiin... Tiiin....
Suara klakson mengiringi langkah kematianku. Mereka menyambut ku bukan? Ini yang mereka inginkan, aku hilang dari muka bumi ini.
BRUUG
Sebuah tarikan membuat tubuhku terjatuh tepat di tepi jalan.Siapa yang menarik tanganku?
"Sadar lo, Yas! Jangan bunuh diri!" ucap wanita berambut pirang seraya mengguncang-guncangkan tubuhku.
Ku tatap lekat wanita itu. Cindy, ya, dia Cindy temanku. Tanpa bicara ku peluk tubuhnya. Menangis dalam pelukannya.
***
Dua bulan aku menumpang hidup di kos Cindy. Aku sudah berusaha mencari pekerjaan ke sana kemari. Namun tetap saja tidak ada hasil. Mengandalkan ijazah SMA tak ada yang menerima. Aku belum lulus kuliah, baru semester enam dan harus ku lepas karena tak ada biaya untuk melanjutkan.
Miris, hidup yang ku jalani saat ini. Sudah bisa makan saja masih untung. Kadang aku hanya makan satu kali sehari. Semua karena tak ada uang.
"Lo mau hidup begini terus, Yas?" tanya Cindy sambil menghisap rokok dari tangannya. Seketika kepulan asap rokok menyeruak ke seluruh kamar. Aku sampai terbatuk dibuatnya.
"Gue udah cari kerja tadi tak dapat-dapat. Kalau begini gue nyesel. Kenapa tidak jadi bunuh diri sekalian. Kalau mati hilang beban hidup gue. Gue juga gak bakalan nyusahin lo!"
Cindy menghembuskan nafas kasar. Netranya menatapku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tak berapa lama ia tersenyum menyeringai ke arahku.
"Lo mau dapat uang cepat dan mudah kan? Semalam lima juta, mau?"
Semalam lima juta? Jelas mau. Siapa yang bisa menolak uang sebanyak itu. Jika dalam semalam lima juta, seminggu tiga puluh lima juta. Wow...
"Gue mau,Cin. Emang kerja apaan?"
Cindy beranjak dari duduknya. Membuka almari lalu melemparkan sebuah dress berwarna hitam padaku.
"Pakai, setelah itu kita berangkat!"
Aku menggelengkan kepala melihat dress kurang bahan yang ia berikan padaku. Bagaimana bisa aku memakai baju seperti ini? Memegangnya saja baru sekali seumur hidup.
"Mau kaya gak lo? Sudah gak usah protes!"
Dengan sedikit ragu ku pakai dress itu. Hampir semua lekuk tubuhku terlihat jelas. Ya ampun! Pekerjaan macam apa yang dia tawarkan padaku.
Jarum jam sudah menunjukkan angka sepuluh malam. Cindy segera memesan sebuah taksi online. Entah dibawa ke mana aku ini? Apa aku akan menjadi kupu-kupu malam?
Sebuah taksi berwarna biru berhenti di depan kos. Aku segera menyambar jaket jeans. Menutupi bagian pundak yang terekspos. Cindy hanya tersenyum dengan pandangan mata yang sulit untuk ku artikan.
Di dalam taksi tak hentinya driver melirik ke bagian pahaku. Segera ku tutup dengan tas. Aku begitu risih memakai pakaian ini. Namun mau bagaimana lagi,aku sangat membutuhkan uang. Ku tepis rasa takut dan malu yang menyelimuti hati. Saat ini uang lebih penting dari sebuah harga diri. Percuma menjunjung tinggi itu jika pada akhirnya dipandang sebelah mata karena tak memiliki materi.
Kejam. Kehidupan memang kejam. Itu yang membuat aku memilih mengakhiri hidup. Sayang cindy menggagalkan rencanaku.
"Ayo turun!" ucapnya seraya membuka pintu mobil.
"Yakin ke sini?" Ku telan saliva dengan susah payah saat melihat bangunan dengan lampu menyala pada tulisan di atas. Ini diskotik.
"Ingin uang banyak kan? Ini cara tercepat. Menjadi pemuas nafsu lelaki hidung belang."
Ada rasa ragu yang menyelimuti hati. Namun segera ku tepis jauh-jauh. Uang segala-galanya.
Setelah menata hati ku putuskan masuk ke dalam. Bau minuman beralkohol menyambut kedatanganku.
"Minum!" Cindy memberikan gelas kecil berisi minuman beralkohol.
Ku ambil dengan tangan gemetar.
PYAAR....
Gelas itu terjatuh dan pecah saat seorang pria menyenggolku.
"Maaf saya tidak sengaja," ucapnya lalu menatap ke arahku.
Untuk beberapa saat dia diam melihatku dari setiap sudut. Hingga akhirnya kami berkenalan. Bagaskara nama lelaki itu.
*flashback off
Kriiingg....
Suara ponsel menyentak ku dari lamunan kelam masa lalu. Satu nama yang membuatku rindu tertera di layar ponsel.
"Sayang, kenapa pesanku tidak di balas. Kamu masih marah?" ucapnya tanpa mengucapkan hallo terlebih dahulu.
"Aku tadi betemu istri kamu, sayang. Hiks... Hiks...."
"Sandra ngapain kamu?" tanyanya panik.
Saatnya mempermainkan hati. Membuat Om Bagas membenci istrinya dan semakin tergila-gila padaku.
"Dia mau mengusirku dari apartemen ini, Om. Tadi saja aku mendapat kiriman pesan ancaman. Dia bilang tiga hari lagi aku harus meninggalkan apartemen ini. Aku harus tinggal di mana, Om?" ucapku dengan suara parau.
Untuk sesaat kami diam. Aku yakin Om Bagas tengah kebingungan. Mana mungkin dia tega menglihatku terlunta-lunta di jalan.
"Sayang... aku harus bagaimana?"
"Akan ku urus semuanya. Kamu tidak usah khawatir baby."
Benar kan apa yang aku bilang. Om Bagas pasti termakan dengan hasutanku. Tinggal tunggu bom mana yang akan meledak lebih dulu.
***
[Gue nunggu jam tiga di restoran lantai satu mall kemarin. KTP gue jangan lupa di bawa!]
Aku mengernyitkan dahi. Astaga, tenyata Gilang bukan suruhan Sandra. Melainkan orang yang telah menghancurkan ponselku.
Ya ampun. Aku salah sangka. Tapi ini belum tiga hari. Tapi kenapa dia memintaku bertemu? Untung apa aku memikirkan itu. Yang terpenting ponsel berada di tangan.
Aku diam, bingung harus membalas apa. Om Bagas akan kemari pukul lima sore. Namun ponsel itu juga penting. Selisih waktu dua jam. Cukuplah untuk bertemu lelaki itu.
[Oke.]
Jarum jam sudah menunjukkan angka dua. Segera aku mengganti hotpants dengan celana jeans panjang. Memakai jaket untuk menutupi tank top yang ku kenakan.
Ku jalankan kendaraan roda empat meninggalkan apartemen. Menyetir mobil sembil menyanyikan lagu kesukaanku. Tak sengaja mata melihat ke spion. Sebuah mobil putih seperti mengikutiku dari belakang.
Siapa ya yang mengikuti Yasmin?
Jangan lupa tinggalkan jejak. Like dan komen sayang.
Aku menjalankan kendaraan roda empat meninggalkan apartemen. Menyetir mobil sembil menyanyikan lagu kesukaanku. Tak sengaja mata ini melihat ke spion. Sebuah mobil putih seperti mengikutiku dari belakang. Ku tepis pikiran buruk yang sempat menghantui. Sedikit positif thinking, mungkin hanya sejalan denganku. Boleh jadi tujuan sama. Bukankah mall umum untuk siapa saja? Sandra. Seketika pikiran buruk menyelimuti hatiku. Bisa jadi dia suruhan Sandra untuk menculikku. Atau bahkan membunuhku.Bayangan tubuh dimutilasi lalu dibuang menari-nari di pelupuk mata. Istri yang sakit hati bisa berbuat hal di luar nalar. Tanpa berpikir panjang ku lajukan kendaraan dengan kecepatan tinggi lalu membelokkan ke mall. Aku bernafas lega ketika mobil berwarna putih tak ada di belakangku. Aku segera melangkah meninggalkan basement mall. Sedikit bernafas lega kala melihat sekeliling yang ramai. Penjahat tidak akan berani di situasi seperti ini. Jika mereka nekat tinggal teriak dan mereka akan terkena a
Pov Yasmin"Apa karena dia masih muda hingga membuat kamu memilih dia?""Apa sih Om, aku gak ngerti.""Aww... Sakit Om." Seketika tangannya terlepas dari pundakku. "Maafkan aku sayang, aku khilaf. Aku cemburu melihat kamu makan dengan lelaki. Apa lagi dia lebih muda dariku. Aku takut kamu memilih dia."Aku tersenyum melihat wajah sendunya. Om Bagas cemburu. Apa aku tak salah dengar? Tanpa rasa malu ku peluk tubuhnya. Aku bahkan tak perduli ada di muka umum. Rasa bahagia membuat aku lupa jika diri ini hanyalah selingan. "Nanti aku jelasin di apartemen!" ucapku seraya menggandeng tangan Om Bagas. Bagai kerbau di cucuk hidungnya, Om Bagas hanya menurut tanpa banyak bicara. "Mau bawa mobil sendiri-sendiri atau satu mobil?" tanyaku setelah kami tiba di basement. "Naik mobilku saja. Mobil kamu biar di bawa orang suruhanku. Aku takut kamu menghilang lagi." Aku tersenyum melihat sikap lucu Om Bagas saat cemburu. Sungguh menggemaskan. Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, tapi ini bukan
"Mbak mau ketemu! Ada yang ingin Mbak bicarakan." "Aku di bengkel. Mbak ke sini saja," jawab Ray. Seketika panggilan telepon terputus. Dengan emosi yang meletup-letup di dada, Sandra segera menyalakan mesin mobil. Perlahan kendaraan roda empat miliknya berjalan meninggalkan halaman rumah mewah Bagaskara. Rumah yang telah dihuni dua puluh dua tahun yang lalu. Sandra tidak menyadari jika sedari tadi Brian sedang mengawasi gerak-geriknya. Sebagai anak sulung, Brian sadar jika ibunya tengah memiliki masalah. Saat berhadapan dengannya Sandra seolah menghindar.Bahkan dia enggan bertatap muka dengannya. Sikap seperti itu yang membuat dia yakin, jika ada sesuatu yang ibunya rahasiakan. Mobil berwarna putih itu melaju dengan kecepatan tinggi. Sandra kesetanan, dia bahkan tak perduli dengan nyawanya sendiri. Yang ada di kepalanya ialah rasa marah, benci, dan kecewa kepada Bagaskara dan Yasmin. Janji setia yang terlontar dari mulut Bagaskara ternyata hanya bualan semata. Nyatanya lelaki yan
Sandra dan Ray telah sampai di pulau Bali. Sebuah pulau yang terkenal dengan pariwisatanya yang sangat indah. Situasi bandara sangat ramai kala Sandra dan Ray menginjakkan kaki di pulau Dewata.Banyak turis luar negeri yang berada di sana. Bali merupakan salah satu destinasi pariwisata favorit di kalangan turis luar negeri. Tidak heran jika kita akan bertemu orang berkulit putih di sana. Sandra melepas kaca mata hitam yang sedari tadi menutupi mata indahnya. Wanita berambut panjang itu menghirup nafas dalam, mencari pasokan oksigen agar bisa berpikir jernih. Sandra berusaha menata hati, menghilangkan keraguan yang sempat singgah di hati. Sebagai seorang istri dia harus bisa menutup aib suami. Namun yang akan ia lakukan justru kebalikannya. "Kita mau ke mana, Mbak?" tanya Ray menyentak lamunan sang kakak. Sandra mengambil benda pipih di dalam tas, lalu menyalakannya. Beberapa pesan masuk di aplikasi berwarna hijau miliknya. Tangan Sandra begitu cekatan bermain di atas layar. "Kita
Ceklik.... Pintu di buka sedikit dari dalam. Bagas membulat sempurna melihat wanita yang kini berdiri di depan pintu kamarnya. "Sandra," ucapnya lirih.Sandra mengedipkan mata pada Ray. Dengan sekali dorong pintu itu terbuka lebar. Terlihat jelas wanita yang tidur di balik selimut khas hotel mewah itu. "Papi bisa jelaskan, mi," ucap Bagas seraya menyentuh pundak istrinya. Sandra menepis kasar tangan sang suami seraya menatap tajam ke arahnya. Tidak ada sorot kelembutan yang biasa tampak di manik hitamnya. Yang ada hanya pancaran kebencian dan amarah di sana. Bagaskara menelan ludah dengan susah payah. Dia sadar masalah besar sedang ada di depan mata. Kemarahan Sandra layaknya sebuah kutukan, mematikan. "Papi khilaf, mi." Bagaskara kembali menyentuh sang istri.Sayang usahanya meluluhkan hati Sandra sia-sia. Sandra justru semakin murka dengan ucapannya. Khilaf hanya dilakukan satu kali tapi Bagaskara melakukannya berkali-kali,bahkan sudah satu tahun. Sandra dan Ray menerobos ma
Pov AuthorDi dalam hati lelaki berambut gondrong itu tak menyukai kejadian seperti ini. Namun ia juga benci dengan kelakuan Yasmin. "Mi, tolong jangan seperti ini. Malu, mi," ucapnya seraya memakai pakaian yang sempat berceceran di lantai. Bagaskara murka dengan tingkah istrinya. Dia merasa masalah ini bisa dibicarakan di rumah. Bukan justru dibuka di muka umum. Harga dirinya sebagian pengusaha properti hancur karena ulah istrinya. Dia tetap tak sadar jika ini adalah buah dari pengkhianatan yang ia lakukan. Kebanyakan manusia memang begitu. Mencari pembenaran dari kesalahan yang ia perbuat. Bahkan hingga Tuhan memberi sedikit teguran. Mereka tak kunjung sandar tapi justru semakin liar. Sandra semakin murka. Bagaskara terus saja memintanya mengalah. Dia terkesan masih melindungi Yasmin meski hanya dalam ucapan. Dengan emosi meletup-letup Sandra mendekat ke arah Yasmin. Di tarinya tangan Yasmin dengan kasar. Tak perduli jika Yasmin terus meronta meminta belas kasihan.Hari ini San
"Bukankah ini yang kamu lakukan saat bersama kakak iparku?" ucapnya penuh penekanan. Aku melakukan dengan Om Bagas tanpa paksakan. Semua di dasari suka sama suka. Bahkan bukan hanya tubuh yang bermain, hati pun ikut bermain. Permainan yang membuatku tak bisa melepaskannya. Aku jatuh cinta pada lelaki beristri. Wajah Gilang semakin mendekat, dalam hitungan detik bibirnya telah menempel di tempat yang sama. Ku dorong wajahnya menjauh dari wajahku. Sialnya aku tak cukup kuat. Tenaga Gilang jauh lebih kuat. Sekuat apa pun aku melawan tetap saja tak bisa mengalahkannya. Air mata jatuh membasahi pipi. Aku merasa terhina. Dengan kasar Gilang menggendong tubuhku lalu membantingnya di atas kasur. "Brengs*k lo!" Gilang tak menjawab. Lelaki berambut panjang itu justru tersenyum menyeringai ke arahku. Seperti kesetanan dia melampiaskan hasratnya. Sakit luar biasa sakit.Bukan hanya hati yang sakit, tapi tubuhku juga. Tak pernah ku bayangkan jika akan mendapatkan perlakuan buruk seperti
"Hotel ini bukan untuk pemulung sepertimu!""Aku bukan pemulung!""Pergi! Jangan pernah menginjakkan kaki di sini!" Seorang satpam mendorongku keluar dari hotel. Hampir saja aku terhuyung dan jatuh. Untung saja aku bisa menyeimbangkan tubuh dengan baik. Dengan rasa kesal ku tinggalkan lobi. Marah dan kecewa mendominasi hati. Baru kali ini aku diperlakukan bak sampah dibiarkan lalu dibuang.Apa sebegitu hina berpakaian seperti ini di hotel bintang lima. Lalu apa kabar wanita yang memakai bagus kurang bahan?Sekali lagi ku tatap hotel bintang lima yang semalam ku tinggali. Bayang panasnya pergulatan dengan Om Bagas masih terasa. Namun kini aku di buang dengan hina. "Baru sebentar aku menikmati indah dunia tapi kini,Engkau jatuhkan aku ke dalam kubangan lagi," batinku kesal. Aku berjalan tanpa tujuan. Sesekali meringis kesakitan karena berjalan tanpa alas kaki. Mimpi apa aku semalam hingga jadi gelandangan di pulau orang. Sekarang aku harus ke mana? Ingin pulang tapi uang tidak cukup
"Makan ya, Rel," bujuk Mama seraya mendekatkan sendok ke arahku. Aku menoleh, kembali fokus menatap awan yang terlihat dari jendela kamar. Saat ini aku tengah terkulai lemas di atas ranjang khas rumah sakit. Beberapa hari yang lalu aku terpaksa dilarikan ke rumah sakit karena jatuh pingsan di kamar mandi. "Jangan dibiarkan kosong perutnya, Rel. Kamu tahu, kan harus bagaimana? Jangan hanya pandai menasihati pasien, sementara kamu sendiri tidak melalukan hal itu."Aku masih membisu. Netraku masih tertuju pada titik yang sama. Langit siang hari di Kota Jakarta. Bukan langit biru dengan burung yang menari di sana. Namun langit yang tertutup oleh awan putih akibatnya banyaknya pencemaran udara. "Rel, jangan seperti ini, Nak. Kamu harus sembuh demi ...""Demi siapa, Ma? Demi memenuhi obsesi Papa. Percuma aku sembuh jika hidupku terasa mati. Aku hidup tapi mati."Isak tangis kembali terdengar di telinga. Siapa lagi kalau buka Mama. Namun kali ini aku memilih bungkam. Tenggelam dalam ras
Yasmin luruh di lantai. Tangisnya pecah detik itu juga. Penyesalan pun hadir, bahkan menyesakkan dada. Maafkan aku, Rel. Aku salah mengira. Aku pikir kamu tega meninggalkan aku dan Naura hanya karena harta. Tapi justru kamu yang berkorban untuk Naura. Farel... Pulanglah. Butiran-butiran kristal telah membanjiri pipi. Bahkan surat pemberian Farel telah baca oleh air mata. Ya Allah, haruskah kami berpisah untuk kedua kalinya? Dipisahkan dengan orang kita sayangi itu memang berat. Apalagi jika perpisahan itu terjadi karena keadaan. Itu jauh lebih menyakitkan dari dikhianati. ***Hari demi hari Yasmin lewati dengan kesedihan. Tawanya memang terdengar, tapi hanya untuk menutupi sunyi dan luka dalam sanubari. Farel memang meninggalkan dirinya. Namun lelaki itu telah menyiapkan aset untuk Yasmin dan Naura. Tanggung jawab seorang ayah meski tak dapat terus bersama. "Owek... Oweek..."Tangis Naura menggema memenuhi setiap sudut ruangan. Semakin mendekati kamar, suara itu semakin keras.
"Dokter, ada yang ingin saya bicarakan.""Langsung saja, Dok!" jawab Harun dengan mata fokus menatap layar laptop. "Dokter Farel melakukan kesalahan lagi, Dok."Harun mengalihkan pandangannya. "Maksudnya?""Dokter Farel salah memberikan resep, Dok.""Apa!" pekik Harun. Seketika Harun menutup laptopnya. Dia bergegas menuju ruangan putranya. Sepanjang jalan dia mengumpat dalam hati. Lagi-lagi merutuki kecerobohan putranya. "Percuma kuliah tinggi-tinggi, ngasih resep saja gak becus!" BRAK! Pintu berwarna abu itu didorong kasar. Suara keras sontak membuat Farel tersentak, kaget. Lelaki yang tengah fokus itu membawa artikel seketika mengalihkan pandangan. "Bisa-bisanya kamu salah memberikan resep, Rel! Apa gunanya kuliah tinggi, obat asma saja gak ngerti!"Farel masih diam, dia enggan membalas makian Harun. Pikirannya sudah lelah karena terus memikirkan keadaan istri dan putri semata wayangnya. Berpisah dengan keluarga membuat hidupnya mati. Ya, dia hidup tapi mati. Harun terus mema
"Sayang, titip Naura ya," ucap Farel sebelum mobil yang membawa Yasmin dan Naura pergi dari hadapannya. "Doakan Naura sembuh agar kita dapat berkumpul kembali."Farel mengangguk dan tersenyum datar. Sebisa mungkin ia tutupi kemelut dalam rongga dadanya. Lelaki itu tak ingin istrinya curiga dan membatalkan keberangkatannya ke Singapura. * Flashback *Satu bulan yang lalu. "Yas," panggil Farel lirih. Saat ini mereka berada di ruang rawat inap. Suasana sunyi membuat suara lirih terdengar begitu jelas. Yasmin pun menoleh, menatap lelaki yang duduk di kursi, tepat di hadapannya. "Aku sudah mencari donasi untuk pengobatan Naura.""Sudah dapat, Rel?"Farel mengangguk pelan. Detik itu mulutnya begitu kelu. Kalimat yang sedari tadi menari di kepalanya mendadak hilang, meninggalkan mulut yang tertutup, membisu. "Secepat ini, Rel? Yakin ini bantuan dari yayasan?""Iya. Aku dapat dari teman lama. Kamu tahu, kan. Aku mantan dokter, jadi tahu akses untuk mendapatkan bantuan dari yayasan." Fa
Satu minggu kemudian"Rel, gendongnya gimana?" Yasmin melirikku, dia nampak bingung bagaimana cara menggendong Naura. "Kamu bawa tasnya saja, Yas."Aku meletakkan tas berisi keperluan Naura selama di rumah sakit. Dengan hati-hati, aku gendong bayi mungil ini. Yasmin hanya diam, memperhatikan caraku menggendong bayi yang baru berusia 12 hari. "Kamu pinter banget, Rel.""Hem!""Iya lupa, kamu lebih jago dari aku." Yasmin tersenyum samar. Setelah semua urusan selesai, kami pun segera meninggal rumah sakit. Sepanjang jalan tak henti-hentinya Yasmin menatap wajah mungil yang ada di dalam pangkuanku. Senyum tergambar jelas di wajah ayunya. Yasmin bahagia, begitu pula diriku. "Dia cantik ya, Pa."Aku tersenyum mendengar kata itu. Papa... entah kenapa aku tergelitik kala Yasmin memanggilku dengan sebutan itu. Ternyata aku sudah benar-benar tua. Sudah ada ekor ke mana pun aku pergi. "Kenapa mesem begitu? Aku salah ngomong ya?""Enggak.""Lalu kenapa kamu tertawa? Aku tersenyum lebar. "
"Boleh, tapi ada syaratnya, Rel.""Papa.""Iya ini Papa.""Tolong bantu Farel, Pa."Aku mengiba, dengan sengaja menurunkan harga diri yang sempat kujunjung tinggi. Aku menyerah, mengalah demi Yasmin dan putri kecil kami. "Ada syaratnya, Farel.""Syarat... Maksud Papa?""Farel... Farel, kamu lupa... di dunia ini tidak ada yang gratis! Semua hal harus ada timbal baliknya, bukan?"Aku diam, kepala mencoba mencerna setiap kata yang terucap dari mulut Papa. Entah setan apa yang kini mendiami kepala Papa. Pola pikirnya tak seperti dulu. Papa telah berubah. "Apa yang Papa mau?""Papa akan kirimkan sejumlah uang. Kamu kirimkan no rekening sekarang!""Lalu apa yang Papa mau dariku?""Nanti Papa beritahu.""Tapi, Pa.""Pikirkan dulu kesehatan anak dan istrimu, Farel."Sambungan dimatikan sepihak. Meski belum puas dengan penjelasan Papa, aku memilih diam dan menerima penawarannya. Karena hanya itu satu-satunya harapan yang aku punya. Setelah mengirimkan nomor rekening yang baru. Aku segera m
"Yasmin!"Farel segera berlari mendekati istrinya yang tergeletak di lantai tepat di depan kamar mandi. Yasmin pingsan beberapa saat yang lalu. "Yasmin, kamu kenapa?" Farel kebingungan melihat Yasmin tak bergerak. Farel menyentuh pipi istrinya, tapi Yasmin masih diam saja. Refleks Farel mengangkat tubuh Yasmin. Tertatih ia membopong tubuh Yasmin ke dalam kamar. Farel berusaha menguasai diri. Dia tepis rasa khawatir yang bersemayam dalam dadanya. Suami mana yang tak khawatir dan panik melihat istrinya tak sadarkan diri. Apalagi dalam kondisi mengandung. Dengan cekatan Farel memeriksa denyut nadi perempuan di hadapannya. Seketika wajah lelaki menegang kala melihat cairan merah yang mengalir di kaki istrinya. Tanpa pikir panjang, Farel berlari ke luar. Dia berusaha meminta bantuan tetangganya. Tidak lama sebuah mobil berhenti di jalan depan rumah Farel. Farel dan seorang lelaki dengan hati-hati membopong tubuh Yasmin. Mereka merebahkan Yasmin di jok bagian tengah."Tolong cepat ya,
"Papa."Mataku melotot melihat lelaki yang kini berdiri di hadapanku. Lelaki yang sejak semalam kupikirkan kini berdiri di depan mata. Namun dengan wajah merah padam. "Siapa tamunya, Rel?"Aku masih diam, pertanyaan Yasmin bagi angin lalu. Hanya lewat tanpa singgah apalagi menetap. "Mama dan Hazna mana?" tanyanya dengan netra menelisik setiap sudut ruangan ini. "Ada di dalam, Pa. Papa masuk dulu!""Gak sudi! Suruh mama dan Hazna keluar, sekarang!" pekiknya. "Kok lama, siapa tamunya, Mas?"Aku menoleh ke belakang. Yasmin sudah berdiri dengan wajah menunduk, ketakutan. "Papa," ucap Mama dan Mbak Hazna serempak. Hening menyelimuti ruangan ini beberapa saat. Ada takut dan tegang yang membuat suasana tidak lagi kondusif. Tatapan papa mampu membuat semua orang menciut, terutama Yasmin. "Ayo pulang, Ma, Hazna!""Dari mana Papa tahu aku dan mama berada di sini?" tanya Mbak Hazna ketika berada di sampingku. "Tak penting, pulang sekarang!""Sabar, Pa! Semua bisa dibicarakan dengan baik-
"Mama... Mbak Hazna."Aku tak mampu lagi berkata-kata, hanya sebuah pelukan yang mampu melukiskan betapa rindu hatiku ini. "Lepas, Rel!" Mbak Hazna mendorong tubuhku hingga menjauh. "Kamu mau Mbakmu ini mati kehabisan napas?"Aku tersenyum sambil menggaruk kepala yang tak gatal. Aku terlalu bahagia hingga mengapresiasikan rasa itu secara berlebihan. Mbak Hazna tak tahu, betapa aku sangat merindukan dia dan mama. "Ma, Mbak," panggil Yasmin seraya mencium penggung kedua wanitaku dengan khitmad. Sempat kulihat keraguan yang nampak di wajah istriku. Namun seketika berubah kala mama dan Mbak Hazna menyambut dengan pelukan hangat. Ini adalah momen yang selalu aku nantikan. Kami berkumpul tanpa rasa benci dan amarah. Kami hidup menjadi keluarga yang utuh dan bahagia. Namun perjuangan kami belumlah selesai. Aku dan Yasmin harus berusaha keras melunakkan hati papa yang sekeras baja. "Disuruh diem di situ, Rel? Tante sama Mbak Hazna capek berdiri begitu."Seketika aku terkesiap kemudian se