[Tiga hari lagi. Gilang]
Apa maksud pesan ini? Siapa yang pengirimnya? Jangan-jangan dia suruhan Sandra untuk mengusir ku dari sini.
Ya, ampun! Jangan sampai itu terjadi. Aku tidak ingin kembali terlunta-lunta di jalan. Angan kembali menerawang masa silam.
*flashback on
"Keluar kamu dari sini! Rumah ini sudah menjadi milikku!" ucap lelaki dengan perut membuncit itu.
"Ini rumahku, bukan rumahmu!" ucapku lantang. Namun seketika menciut saat melihat dua orang bodyguard menatapku nyalang.
"Baca!" Lelaki tambun itu melempar secarik kertas tepat mengenai wajahku.
Dengan dada bergemuruh ku baca setiap kata yang tertulis di sana. Kakiku terasa lemas hingga menopang tubuhku tidak kuat.
"Ini tidak asli kan?"
Aku masih mengelak meski sudah ku lihat tanda tangan papa di atas materai. Rasanya tak percaya jika papa dan mama meninggal lalu mewariskan hutang yang begitu besar padaku.
Kenapa selama ini aku tak tahu jika mereka telah menggadaikan sertifikat rumah serta ruko. Bahkan kontrakan melayang untuk melunasi hutang yang lain. Sebenarnya untuk apa mereka hutang sebanyak itu?
Ku pijit pelipis yang terasa berdenyut. Belum genap satu bulan mama dan papa meninggal dan sekarang aku harus kehilangan rumah beserta isinya.
"Ku beri waktu sepuluh menit untuk mengemasi barang-barangmu. Atau kamu angkat kaki hanya dengan baju yang melekat itu!"
Segera ku kumpulkan kekuatan. Aku berjalan lesu menuju kamar di lantai atas lalu mengambil koper dan memasukkan beberapa pakaian ke dalamnya. Ya, hanya pakaian karena perhiasanku pun teleh ludes untuk membayar hutang.
Ku tarik koper sambil menggendong ransel. Keluar rumah dengan perasaan yang entah, tak bisa ku gambarkan.
"Lelet!" ucapnya lalu menarik koper ditangan dan melemparkannya ke luar rumah. Untung saja koper itu tidak terbuka.
Air bah yang berusaha ku bendung akhirnya jebol juga. Aku terisak, menangisi nasib yang menyakitkan. Rasa di tinggal orang tua tak semenyakitkan ini. Sekarang aku harus ke mana?
Aku melangkah gontai ke luar rumah. Ku tarik koper. Mata masih tertuju ke bangunan bertingkat yang selama ini ku tinggali. Rasanya tak tega meninggalkan rumah itu. Namun mau apa lagi, aku tak punya daya untuk memilikinya.
Ya Tuhan, kenapa Engkau berikan masalah yang tak habis-habisnya padaku. Selama ini aku selalu memujamu. Namun bukan kebahagiaan yang ku dapat. Engkau selalu memberiku duka dan lara. Haruskah aku terus memuja-Mu?
Tak hentinya aku merutuki nasib. Tuhan seolah mempermainkan hidupku. Dari kehilangan kedua orang tua hingga tak memiliki apa-apa.
Lalu lalang kendaraan begitu ramai. Aku berjalan melewati beberapa orang yang tengah asyik bersenda gurau sambil menikmati makanan. Tidak ada rasa simpati,semua seolah mentertawakan nasibku.
Lalu untuk apa aku hidup jika seperti ini? Tak ada saudara dan teman yang membantu. Semua menghilang ketika aku tak memiliki harta. Mereka tertawa melihat penderitaanku.
Untuk apa aku hidup, Tuhan?
Aku lelah.Ku lihat jalanan yang ramai kendaraan berlalu lalang. Entah kenapa aku ingin ke sana. Berjalan di tengah-tengah lalu disambut truk atau mobil. Pasti menyenangkan. Aku bisa langsung ke surga tanpa harus merasakan siksa dunia.
Ya, aku akan ke sana.
"Woy, lihat-lihat kalau jalan!"
"Mau cari mati!"
"Wanita gila!"
Suara sahut menyahut terdengar jelas di telinga. Tak aku hiraukan. Aku lebih tertarik berada tepat di tengah jalan. Ya, sebentar lagi aku sampai.
Tiiin... Tiiin....
Suara klakson mengiringi langkah kematianku. Mereka menyambut ku bukan? Ini yang mereka inginkan, aku hilang dari muka bumi ini.
BRUUG
Sebuah tarikan membuat tubuhku terjatuh tepat di tepi jalan.Siapa yang menarik tanganku?
"Sadar lo, Yas! Jangan bunuh diri!" ucap wanita berambut pirang seraya mengguncang-guncangkan tubuhku.
Ku tatap lekat wanita itu. Cindy, ya, dia Cindy temanku. Tanpa bicara ku peluk tubuhnya. Menangis dalam pelukannya.
***
Dua bulan aku menumpang hidup di kos Cindy. Aku sudah berusaha mencari pekerjaan ke sana kemari. Namun tetap saja tidak ada hasil. Mengandalkan ijazah SMA tak ada yang menerima. Aku belum lulus kuliah, baru semester enam dan harus ku lepas karena tak ada biaya untuk melanjutkan.
Miris, hidup yang ku jalani saat ini. Sudah bisa makan saja masih untung. Kadang aku hanya makan satu kali sehari. Semua karena tak ada uang.
"Lo mau hidup begini terus, Yas?" tanya Cindy sambil menghisap rokok dari tangannya. Seketika kepulan asap rokok menyeruak ke seluruh kamar. Aku sampai terbatuk dibuatnya.
"Gue udah cari kerja tadi tak dapat-dapat. Kalau begini gue nyesel. Kenapa tidak jadi bunuh diri sekalian. Kalau mati hilang beban hidup gue. Gue juga gak bakalan nyusahin lo!"
Cindy menghembuskan nafas kasar. Netranya menatapku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tak berapa lama ia tersenyum menyeringai ke arahku.
"Lo mau dapat uang cepat dan mudah kan? Semalam lima juta, mau?"
Semalam lima juta? Jelas mau. Siapa yang bisa menolak uang sebanyak itu. Jika dalam semalam lima juta, seminggu tiga puluh lima juta. Wow...
"Gue mau,Cin. Emang kerja apaan?"
Cindy beranjak dari duduknya. Membuka almari lalu melemparkan sebuah dress berwarna hitam padaku.
"Pakai, setelah itu kita berangkat!"
Aku menggelengkan kepala melihat dress kurang bahan yang ia berikan padaku. Bagaimana bisa aku memakai baju seperti ini? Memegangnya saja baru sekali seumur hidup.
"Mau kaya gak lo? Sudah gak usah protes!"
Dengan sedikit ragu ku pakai dress itu. Hampir semua lekuk tubuhku terlihat jelas. Ya ampun! Pekerjaan macam apa yang dia tawarkan padaku.
Jarum jam sudah menunjukkan angka sepuluh malam. Cindy segera memesan sebuah taksi online. Entah dibawa ke mana aku ini? Apa aku akan menjadi kupu-kupu malam?
Sebuah taksi berwarna biru berhenti di depan kos. Aku segera menyambar jaket jeans. Menutupi bagian pundak yang terekspos. Cindy hanya tersenyum dengan pandangan mata yang sulit untuk ku artikan.
Di dalam taksi tak hentinya driver melirik ke bagian pahaku. Segera ku tutup dengan tas. Aku begitu risih memakai pakaian ini. Namun mau bagaimana lagi,aku sangat membutuhkan uang. Ku tepis rasa takut dan malu yang menyelimuti hati. Saat ini uang lebih penting dari sebuah harga diri. Percuma menjunjung tinggi itu jika pada akhirnya dipandang sebelah mata karena tak memiliki materi.
Kejam. Kehidupan memang kejam. Itu yang membuat aku memilih mengakhiri hidup. Sayang cindy menggagalkan rencanaku.
"Ayo turun!" ucapnya seraya membuka pintu mobil.
"Yakin ke sini?" Ku telan saliva dengan susah payah saat melihat bangunan dengan lampu menyala pada tulisan di atas. Ini diskotik.
"Ingin uang banyak kan? Ini cara tercepat. Menjadi pemuas nafsu lelaki hidung belang."
Ada rasa ragu yang menyelimuti hati. Namun segera ku tepis jauh-jauh. Uang segala-galanya.
Setelah menata hati ku putuskan masuk ke dalam. Bau minuman beralkohol menyambut kedatanganku.
"Minum!" Cindy memberikan gelas kecil berisi minuman beralkohol.
Ku ambil dengan tangan gemetar.
PYAAR....
Gelas itu terjatuh dan pecah saat seorang pria menyenggolku.
"Maaf saya tidak sengaja," ucapnya lalu menatap ke arahku.
Untuk beberapa saat dia diam melihatku dari setiap sudut. Hingga akhirnya kami berkenalan. Bagaskara nama lelaki itu.
*flashback off
Kriiingg....
Suara ponsel menyentak ku dari lamunan kelam masa lalu. Satu nama yang membuatku rindu tertera di layar ponsel.
"Sayang, kenapa pesanku tidak di balas. Kamu masih marah?" ucapnya tanpa mengucapkan hallo terlebih dahulu.
"Aku tadi betemu istri kamu, sayang. Hiks... Hiks...."
"Sandra ngapain kamu?" tanyanya panik.
Saatnya mempermainkan hati. Membuat Om Bagas membenci istrinya dan semakin tergila-gila padaku.
"Dia mau mengusirku dari apartemen ini, Om. Tadi saja aku mendapat kiriman pesan ancaman. Dia bilang tiga hari lagi aku harus meninggalkan apartemen ini. Aku harus tinggal di mana, Om?" ucapku dengan suara parau.
Untuk sesaat kami diam. Aku yakin Om Bagas tengah kebingungan. Mana mungkin dia tega menglihatku terlunta-lunta di jalan.
"Sayang... aku harus bagaimana?"
"Akan ku urus semuanya. Kamu tidak usah khawatir baby."
Benar kan apa yang aku bilang. Om Bagas pasti termakan dengan hasutanku. Tinggal tunggu bom mana yang akan meledak lebih dulu.
***
[Gue nunggu jam tiga di restoran lantai satu mall kemarin. KTP gue jangan lupa di bawa!]
Aku mengernyitkan dahi. Astaga, tenyata Gilang bukan suruhan Sandra. Melainkan orang yang telah menghancurkan ponselku.
Ya ampun. Aku salah sangka. Tapi ini belum tiga hari. Tapi kenapa dia memintaku bertemu? Untung apa aku memikirkan itu. Yang terpenting ponsel berada di tangan.
Aku diam, bingung harus membalas apa. Om Bagas akan kemari pukul lima sore. Namun ponsel itu juga penting. Selisih waktu dua jam. Cukuplah untuk bertemu lelaki itu.
[Oke.]
Jarum jam sudah menunjukkan angka dua. Segera aku mengganti hotpants dengan celana jeans panjang. Memakai jaket untuk menutupi tank top yang ku kenakan.
Ku jalankan kendaraan roda empat meninggalkan apartemen. Menyetir mobil sembil menyanyikan lagu kesukaanku. Tak sengaja mata melihat ke spion. Sebuah mobil putih seperti mengikutiku dari belakang.
Siapa ya yang mengikuti Yasmin?
Jangan lupa tinggalkan jejak. Like dan komen sayang.
Aku menjalankan kendaraan roda empat meninggalkan apartemen. Menyetir mobil sembil menyanyikan lagu kesukaanku. Tak sengaja mata ini melihat ke spion. Sebuah mobil putih seperti mengikutiku dari belakang. Ku tepis pikiran buruk yang sempat menghantui. Sedikit positif thinking, mungkin hanya sejalan denganku. Boleh jadi tujuan sama. Bukankah mall umum untuk siapa saja? Sandra. Seketika pikiran buruk menyelimuti hatiku. Bisa jadi dia suruhan Sandra untuk menculikku. Atau bahkan membunuhku.Bayangan tubuh dimutilasi lalu dibuang menari-nari di pelupuk mata. Istri yang sakit hati bisa berbuat hal di luar nalar. Tanpa berpikir panjang ku lajukan kendaraan dengan kecepatan tinggi lalu membelokkan ke mall. Aku bernafas lega ketika mobil berwarna putih tak ada di belakangku. Aku segera melangkah meninggalkan basement mall. Sedikit bernafas lega kala melihat sekeliling yang ramai. Penjahat tidak akan berani di situasi seperti ini. Jika mereka nekat tinggal teriak dan mereka akan terkena a
Pov Yasmin"Apa karena dia masih muda hingga membuat kamu memilih dia?""Apa sih Om, aku gak ngerti.""Aww... Sakit Om." Seketika tangannya terlepas dari pundakku. "Maafkan aku sayang, aku khilaf. Aku cemburu melihat kamu makan dengan lelaki. Apa lagi dia lebih muda dariku. Aku takut kamu memilih dia."Aku tersenyum melihat wajah sendunya. Om Bagas cemburu. Apa aku tak salah dengar? Tanpa rasa malu ku peluk tubuhnya. Aku bahkan tak perduli ada di muka umum. Rasa bahagia membuat aku lupa jika diri ini hanyalah selingan. "Nanti aku jelasin di apartemen!" ucapku seraya menggandeng tangan Om Bagas. Bagai kerbau di cucuk hidungnya, Om Bagas hanya menurut tanpa banyak bicara. "Mau bawa mobil sendiri-sendiri atau satu mobil?" tanyaku setelah kami tiba di basement. "Naik mobilku saja. Mobil kamu biar di bawa orang suruhanku. Aku takut kamu menghilang lagi." Aku tersenyum melihat sikap lucu Om Bagas saat cemburu. Sungguh menggemaskan. Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, tapi ini bukan
"Mbak mau ketemu! Ada yang ingin Mbak bicarakan." "Aku di bengkel. Mbak ke sini saja," jawab Ray. Seketika panggilan telepon terputus. Dengan emosi yang meletup-letup di dada, Sandra segera menyalakan mesin mobil. Perlahan kendaraan roda empat miliknya berjalan meninggalkan halaman rumah mewah Bagaskara. Rumah yang telah dihuni dua puluh dua tahun yang lalu. Sandra tidak menyadari jika sedari tadi Brian sedang mengawasi gerak-geriknya. Sebagai anak sulung, Brian sadar jika ibunya tengah memiliki masalah. Saat berhadapan dengannya Sandra seolah menghindar.Bahkan dia enggan bertatap muka dengannya. Sikap seperti itu yang membuat dia yakin, jika ada sesuatu yang ibunya rahasiakan. Mobil berwarna putih itu melaju dengan kecepatan tinggi. Sandra kesetanan, dia bahkan tak perduli dengan nyawanya sendiri. Yang ada di kepalanya ialah rasa marah, benci, dan kecewa kepada Bagaskara dan Yasmin. Janji setia yang terlontar dari mulut Bagaskara ternyata hanya bualan semata. Nyatanya lelaki yan
Sandra dan Ray telah sampai di pulau Bali. Sebuah pulau yang terkenal dengan pariwisatanya yang sangat indah. Situasi bandara sangat ramai kala Sandra dan Ray menginjakkan kaki di pulau Dewata.Banyak turis luar negeri yang berada di sana. Bali merupakan salah satu destinasi pariwisata favorit di kalangan turis luar negeri. Tidak heran jika kita akan bertemu orang berkulit putih di sana. Sandra melepas kaca mata hitam yang sedari tadi menutupi mata indahnya. Wanita berambut panjang itu menghirup nafas dalam, mencari pasokan oksigen agar bisa berpikir jernih. Sandra berusaha menata hati, menghilangkan keraguan yang sempat singgah di hati. Sebagai seorang istri dia harus bisa menutup aib suami. Namun yang akan ia lakukan justru kebalikannya. "Kita mau ke mana, Mbak?" tanya Ray menyentak lamunan sang kakak. Sandra mengambil benda pipih di dalam tas, lalu menyalakannya. Beberapa pesan masuk di aplikasi berwarna hijau miliknya. Tangan Sandra begitu cekatan bermain di atas layar. "Kita
Ceklik.... Pintu di buka sedikit dari dalam. Bagas membulat sempurna melihat wanita yang kini berdiri di depan pintu kamarnya. "Sandra," ucapnya lirih.Sandra mengedipkan mata pada Ray. Dengan sekali dorong pintu itu terbuka lebar. Terlihat jelas wanita yang tidur di balik selimut khas hotel mewah itu. "Papi bisa jelaskan, mi," ucap Bagas seraya menyentuh pundak istrinya. Sandra menepis kasar tangan sang suami seraya menatap tajam ke arahnya. Tidak ada sorot kelembutan yang biasa tampak di manik hitamnya. Yang ada hanya pancaran kebencian dan amarah di sana. Bagaskara menelan ludah dengan susah payah. Dia sadar masalah besar sedang ada di depan mata. Kemarahan Sandra layaknya sebuah kutukan, mematikan. "Papi khilaf, mi." Bagaskara kembali menyentuh sang istri.Sayang usahanya meluluhkan hati Sandra sia-sia. Sandra justru semakin murka dengan ucapannya. Khilaf hanya dilakukan satu kali tapi Bagaskara melakukannya berkali-kali,bahkan sudah satu tahun. Sandra dan Ray menerobos ma
Pov AuthorDi dalam hati lelaki berambut gondrong itu tak menyukai kejadian seperti ini. Namun ia juga benci dengan kelakuan Yasmin. "Mi, tolong jangan seperti ini. Malu, mi," ucapnya seraya memakai pakaian yang sempat berceceran di lantai. Bagaskara murka dengan tingkah istrinya. Dia merasa masalah ini bisa dibicarakan di rumah. Bukan justru dibuka di muka umum. Harga dirinya sebagian pengusaha properti hancur karena ulah istrinya. Dia tetap tak sadar jika ini adalah buah dari pengkhianatan yang ia lakukan. Kebanyakan manusia memang begitu. Mencari pembenaran dari kesalahan yang ia perbuat. Bahkan hingga Tuhan memberi sedikit teguran. Mereka tak kunjung sandar tapi justru semakin liar. Sandra semakin murka. Bagaskara terus saja memintanya mengalah. Dia terkesan masih melindungi Yasmin meski hanya dalam ucapan. Dengan emosi meletup-letup Sandra mendekat ke arah Yasmin. Di tarinya tangan Yasmin dengan kasar. Tak perduli jika Yasmin terus meronta meminta belas kasihan.Hari ini San
"Bukankah ini yang kamu lakukan saat bersama kakak iparku?" ucapnya penuh penekanan. Aku melakukan dengan Om Bagas tanpa paksakan. Semua di dasari suka sama suka. Bahkan bukan hanya tubuh yang bermain, hati pun ikut bermain. Permainan yang membuatku tak bisa melepaskannya. Aku jatuh cinta pada lelaki beristri. Wajah Gilang semakin mendekat, dalam hitungan detik bibirnya telah menempel di tempat yang sama. Ku dorong wajahnya menjauh dari wajahku. Sialnya aku tak cukup kuat. Tenaga Gilang jauh lebih kuat. Sekuat apa pun aku melawan tetap saja tak bisa mengalahkan kegarangannya. Air mata jatuh membasahi pipi. Aku merasa terhina. Dengan kasar Gilang menggendong tubuhku lalu membantingnya di atas kasur. "Brengs*k lo!" Gilang tak menjawab. Lelaki berambut panjang itu justru tersenyum menyeringai ke arahku. Seperti kesetanan dia melampiaskan hasratnya. Sakit luar biasa sakit.Bukan hanya hati yang sakit, tapi tubuhku juga. Tak pernah ku bayangkan jika akan mendapatkan perlakuan b
"Hotel ini bukan untuk pemulung sepertimu!""Aku bukan pemulung!""Pergi! Jangan pernah menginjakkan kaki di sini!" Seorang satpam mendorongku keluar dari hotel. Hampir saja aku terhuyung dan jatuh. Untung saja aku bisa menyeimbangkan tubuh dengan baik. Dengan rasa kesal ku tinggalkan lobi. Marah dan kecewa mendominasi hati. Baru kali ini aku diperlakukan bak sampah dibiarkan lalu dibuang.Apa sebegitu hina berpakaian seperti ini di hotel bintang lima. Lalu apa kabar wanita yang memakai bagus kurang bahan?Sekali lagi ku tatap hotel bintang lima yang semalam ku tinggali. Bayang panasnya pergulatan dengan Om Bagas masih terasa. Namun kini aku di buang dengan hina. "Baru sebentar aku menikmati indah dunia tapi kini,Engkau jatuhkan aku ke dalam kubangan lagi," batinku kesal. Aku berjalan tanpa tujuan. Sesekali meringis kesakitan karena berjalan tanpa alas kaki. Mimpi apa aku semalam hingga jadi gelandangan di pulau orang. Sekarang aku harus ke mana? Ingin pulang tapi uang tidak cukup
"Mbak Hazna gak salah ngomong?""Apa wajahku terlihat bercanda? Sejak kapan aku ngawur saat membahas masalah penting ini?"Mulutku kembali bungkam. Perkataan kakaku tak bisa diganggu gugat. Aku tahu betul, dia tak pernah main-main jika membahas masalah pernikahan. "Apa alasan Mbak Hazna menerima Yasmin?"Mbak Yasmin menghela napas. Air putih dalam gelas ia habiskan dalam sekali teguk. Kemudian tatapan tajam ia layangkan padaku. Ini masalah serius. "Itu perkataan sebelum mama masuk rumah sakit."Seketika perasaan bersalah tumbuh dan mendominasi. Keegoisanku membuat mama jatuh sakit. Anak macam apa aku ini? "Ini bukan salahmu, Rel. Kamu pantas bahagia. Mbak tahu, banyak keinginan yang terpaksa kamu tinggalkan demi mematuhi perintah papa. Sudah saatnya kamu bahagia, Farel."Setelah percakapan itu, aku segera pergi menuju apartemen Mbak Hazna. Apalagi yang akan kulakukan selain bertemu Yasmin. Baru beberapa jam tapi rindu terus membelenggu. Aku tak bisa jauh dari perempuan itu. Siulan
"Stop, Farel!"Seketika aku dan Yasmin menoleh ke belakang. Pintu lift yang semula tertutup kini sudah terbuka lebar. Seorang lelaki dengan jas dokter berdiri sambil menatap tajam padaku. Dokter Akbar, pemilik rumah sakit sekaligus ayah kandungku. "Ikut Papa!"Yasmin semakin mempererat genggaman tangannya saat kami keluar dari lift. Keringat dingin meluncur bebas dari kening. Wanitaku ketakutan. "Semua akan baik-baik saja, Yas."Aku pererat genggaman ini. Memberi kekuatan jika semua akan baik-baik saja. Aku akan selalu di depan untuk memberinya perlindungan. Sepanjang kaki melangkah semua mata menatap ke arah kami. Lebih tepatnya ke arah Yasmin. Bisik-bisik dan ucapan tak mengenakan mewarnai langkah kami. Sesekali Yasmin mengalihkan pandangan, tangan kirinya menyeka sudut netra. Dia menangis tanpa bersuara. Pintu ruang direktur utama terbuka lebar. Papa melangkah masuk, diikuti kami di belakang. Jantungku berdetak kencang kala pintu itu tertutup rapat. Kini kami saling diam deng
"Azizah!" Mataku terbuka lebar kala melihat wanita yang berdiri di hadapan. Dia masih sama seperti saat aku menolaknya. Senyum manis penuh ketulusan dia berikan padaku, lelaki yang membencinya karena sebuah perjodohan. "Kalian?" Aku menatap Azizah dan Arman bergantian. Sebuah kecurigaan tampak jelas di netra ini. "Boleh aku duduk, Bang Farel?" tanyanya menghentikan pertanyaan yang belum sempat aku ucapkan. Sebuah anggukan kuberikan sebagai jawaban saat mulut tak sanggup mengeluarkan kata. Azizah pun tersenyum, lalu menarik kursi dan duduk di antara kami. Sungguh keadaan ini membuatku tak nyaman, aku ingin pergi dan menghilang dari sini. "Kenapa kamu tahu aku ada di sini, Za?""Dia tahu dariku, Rel."Aku menghela napas kasar, mengeluarkan rasa kesal yang sempat memenuhi rongga dada. Aku sudah menduga, kedatangan Azizah pasti ada hubungannya dengan Arman. Apa ini rencana Arman untuk memisahkan aku dan Yasmin? "Amara alasan kamu melakukan ini?" Aku tatap tajam lelaki yang masih be
Aku menelan ludah dengan susah payah. Aku membenci keadaan ini. Kenapa selalu berada di situasi seperti ini? "Maaf, Bu Zazkia. Saya akan segera menikah."Wajah yang semula antusias mendadak berubah masam. Senyum yang tadi hadir sirna dalam sekejap mata. Dia kecewa. "Oh, menikah? Maaf, saya tidak tahu jika kamu sudah memiliki calon istri, Rel. Saya hanya ingin mengungkapkan perasaan ini. Maaf jika lancang dan membuatmu tak nyaman."Seulas senyum keterpaksaan nampak di wajahnya. Dia pura-pura tersenyum meski hati tersiksa. Lagi-lagi dunia penuh dengan drama dan sandiwara. Namun beruntung karena dia tak memaksaku untuk mengatakan iya. "Tak apa, Bu. Lagi pula semua orang bebas mengeluarkan pendapat, bukan? Negara ini saja mengikuti paham demokrasi, apa lagi kita yang hidup berdampingan satu dan lainnya.""Sekali lagi selamat, Rel."Aku mengangguk lalu segera berpamitan dengan wanita itu. Pergi secepat mungkin adalah pilihan yang tepat. Karena terus menerus bertemu dengan dia akan menci
"Kamu....""Iya aku, pelanggan yang kamu tinggal sebelum sempat memesan." Wanita itu berjalan mendekat, terdengar sepatu yang beradu dengan lantai."Dia pemilik restoran ini." Mati. Kali ini aku akan dipecat. Tamatlah riwayatku! Ternyata begitu sulit bekerja sebagai pelayanan. Salah sedikit berdampak pemecatan. "Maaf, Bu. Saya tidak bermaksud mengabaikan pelanggan. Saya hanya ingin menolong pelanggan yang lain. Tolong, jangan pecat saya, Bu."Wanita itu tersenyum hingga tampak gigi kelinci. "Siapa yang mau memecat kamu, Farel?"Aku menautkan dua alis, dari mana wanita itu tahu namaku? "Saya justru berterima kasih karena kamu sudah menyelamatkan orang itu.""Ja-jadi saya tidak dipecat?""Jelas tidak, mana mungkin saya memecat karyawan yang rajin seperti kamu." Aku mengangguk, seulas senyum terbit dari bibir ini. "Saya heran, kenapa kamu bisa tahu jika lelaki itu tersedak? Sementara jarak meja saya dengan lelaki itu cukup jauh."Aku hanya tersenyum, tidak mungkin aku jelaskan si
Aku berlari menuju kerumunan. Perasaanku semakin tak enak. Semoga saja itu bukan Yasmin. Semoga bukan dia. "Permisi!""Permisi!"Aku menelusup masuk ke kerumunan. Darah berceceran di trotoar dan jalan sekitarnya. Wanita yang lelaki itu maksud sudah terbujur kaku dengan koran sebagai penutup tubuhnya. Rambut hitam wanita itu sama persis dengan Yasmin. Jangan-jangan dia memang wanitaku. Tidak... Tidak, itu tidak boleh terjadi. Yasmin tidak boleh meninggalkan diriku. "Ya... Yasmin, kenapa kamu tinggalin aku," isakku. Perlahan kubuka koran yang menutupi wajahnya. Jantungku berdetak, rasa takut kembali hadir. Bagaimana jika ini benar-benar Yasmin? Apa yang akan kulakukan? Bisakah aku menerima kenyataan pahit ini? "Mas kenal mayat itu?" tanya seseorang menghentikan gerakan tangan ini."Dia Yasmin, kekasih saya." "Sejak kapan aku jadi kekasihmu, Rel?" Aku mendongak, Yasmin berdiri di belakang sambil menyilangkan kedua tangan di dada. Perlahan aku berdiri, niat untuk membuka koran itu
Aku dan Yasmin saling pandang. Kami bingung harus menjawab apa. Situasi ini di luar dugaan kami. "Tante mendengar percakapan kami?" tanyaku sedikit ragu. "Jadi kamu mantan wanita simpanan?" Tante Mayang menatap tajam mata Yasmin. "I-iya, Bu. Sebenarnya nama asli saya Yasmin bukan Amara. Saya man... mantan wanita simpanan pengusaha terkenal. Saya pernah diperkosa dan dilecehkan," ucapnya dengan suara bergetar. Tak berapa lama cairan bening berlomba-lomba turun hingga membasahi pipinya. Mengungkapkan kenyataan pahit tidaklah mudah. Tetapi Yasmin mampu meski keadaan yang menuntutnya untuk melakukan itu. "Astagfirullah ... Ya Allah." Tante Mayang mengelus dadanya. Terkejut, marah dan benci melebur menjadi satu di hatinya. "Maafkan saya, Bu. Saya tidak bermaksud berbohong. Hanya....""Kamu ingin mendapatkan Arman lalu menutupi semuanya. Bukan begitu, Amara?""Ti-tidak seperti itu, Bu. Sa-saya hanya ingin....""Maaf, Amara. Mulai hari ini kamu saya pecat. Tolong tinggalkan rumah seka
"Bagaimana Amara, apa kamu menerima lamaran Bapak?" tanya Om Sugiyono. Aku tak sanggup mendengar jawaban Yasmin. Aku tidak ingin terluka untuk kesekian kalinya. Mengetahui wanita yang kita cintai bersama lelaki lain itu menyakitkan. Lebih baik aku pergi, melarikan diri dari kenyataan pahit ini. Pengecut, tapi hanya itu yang bisa kulakukan saat ini. "Maaf, Om, Tante, semuanya saya masuk kamar dulu." Aku beranjak berdiri. "Kamu belum selesai makan, Rel.""Saya tidak enak badan, Tante." Terpaksa aku berbohong. "Mau aku periksa, Rel?""Gak perlu, Ar. Aman, kok. Aku hanya butuh waktu untuk istirahat."Aku melangkah pergi, meninggalkan ruang makan dengan berjuta perasaan kecewa di dalamnya. Pintu kamar kututup rapat, lalu menjatuhkan bobot di atas ranjang. Lagi wajah Yasmin dan Arman menari-nari di pelupuk mata. Seketika amarah menyeruak memenuhi rongga dada. Ini tidak baik, aku harus secepatnya pergi dari sini. Aku tidak sanggup melihat mereka bermesraan. Aku mengacak rambut, frusta
"Arman mau melamar siapa, Tante?" tanyaku memastikan. "Arman belum cerita sama kamu, Rel?"Aku menggeleng, pura-pura tidak tahu. Meski aku yakin nama Amara yang akan ia sebutkan. Namun aku masih berharap bukan dia, bukan wanitaku. "Amara, asisten rumah tangga kami.'JLEPJantung ini seakan berhenti berdetak. Aku sudah mengira kata Amara akan muncul dari mulut mereka. Namun sakitnya tetap saja terasa. Ya Robb, haruskah aku terluka untuk kedua kalinya? Haruskah aku mengalah untuk lelaki lain? Sakit, aku tersiksa. Bahkan hampir tidak sanggup berbicara. Kenapa harus aku yang mengalah, Ya Robb. Tidak bisakah orang lain saja? Dulu Brian sekarang Arman, apa aku tak berjodoh dengan Yasmin? Hingga selalu Engkau datangkan orang lain di kehidupannya atau mungkin hatinya. "Kok diam, Rel. Kamu kenal Amara, kan?"Aku mengangguk, susah payah kutahan air mata yang hampir terjatuh. Payah, kenapa harus menangis jika aku mengetahui kenyataan pahitnya. "Kamu pasti kaget kenapa Tante setuju mesk