Aku berjalan mengendap-endap lalu bersembunyi di deretan baju tidur yang berjajar. Perasaanku semakin tak enak kala mendengar derap langkah kaki mendekat ke arahku.
"Kenapa sih?" bisik Cindy seraya meyenggol tanganku. Ku tempelkan jari telunjuk di bibir.
Ini bukan saat yang tepat untuk berbicara apa lagi cerita. Bisa ketahuan dan semua menjadi runyam.
Ku intip wanita yang semalam ku temui. Dia masih berdiri tak jauh dari tempatku bersembunyi. Jangan sampai istri Om Bagas tahu. Bisa gawat!
Kalau saja semalam aku tak ke hotel, mungkin semua tak akan seperti ini. Aku bisa berdiri di hadapannya dengan wajah sombong. Tapi sekarang? Aku hanya dapat bersembunyi.Kalau dibilang takut, iya jelas. Beberapa kali membaca berita saat istri pertama menghajar pelakor membuatku bergidik ngeri. Kalau hanya di tampar tak masalah, tapi jika sampai dilumuri sambal di bagian sensitif....Oh, tidak! Itu sangat mengerikan. Tak terbayang bagaimana rasanya. Aku pasti akan pingsan kepanasan.
"Kenapa di sana, Mbak? Saya cari-cari dari tadi. Ini kembaliannya. Terima kasih sudah berbelanja di toko kami," Seorang karyawan memberikan dua lembar uang sepuluh ribuan padaku.
Suara karyawan itu membuat beberapa pasang mata melihat ke arah kami. Termasuk istri Om Bagas. Masih untung ada deretan baju tidur yang menutupi keberadaanku. Ku terima uang itu lalu segera berjalan meninggalkan toko itu.
Ku tundukkan kepala saat melewatinya. Tak ku hiraukan keberadaan Cindy. Saat ini yang terpenting menyelamatkan diri sendiri. "Yasmin." Langkahku terhenti mendengar panggilan itu. Jantung kian berdetak tak menentu."Semoga saja bukan Sandra,istri Om Bagas yang memanggilku," batinku lalu menengok ke belakang.
Alangkah terkejutnya saat wanita yang kini menjadi musuh besarku sudah berada tepat di hadapanku. Ku tekan rasa gugup dan takut yang tiba-tiba menelusup. Aku tidak mau dia bangga karena aku ketakutan.
Melirik kanan dan kiri, mencari keberadaan Cindy. Tapi dia justru menghilang bak ditelan bumi. Di saat terdesak seperti ini dia justru kabur. Sial*n!"Kenapa Yasmin? Kamu mencari bala bantuan? Atau sedang mencari suamiku?"
DEG
Rupanya dugaanku kemarin benar. Dia yang menjebakku. Dia tahu betul jika aku adalah simpanan suaminya."Tenang Yasmin! Jangan takut! Semua akan baik-baik saja," ucapku pada diri sendiri.
"Apa kamu tak punya malu tidur dengan suami orang?" Pelan ia bicara. Namun menumbuhkan emosi di dada."Malu? Saya tidak salah dengar Bu Sandra? Harusnya anda yang yang malu pada diri anda sendiri. Malu karena suami anda lebih memilih tidur dengan saya dibandingkan istri sahnya!" ucapku pelan tapi penuh penekanan.
Wajah yang tadi tenang kini mulai memerah. Kepanasan atau justru tersinggung dengan ucapanku. Sudut bibirku tertarik ke atas melihat perubahan ekspresi istri kekasihku. Aku suka.
"Saya lebih baik darimu, jal**g!""Kalau anda lebih baik dari saya, kenapa Om Bagas justru memilih bersamaku?" Ku balikkan badan. Melangkah penuh percaya diri meninggalkannya.
Namun belum sampai pintu, ku putar tubuh ini kembali. Berjalan mendekat ke arah Bu Sandra yang masih berdiri dengan dada naik turun. Aku ingin mempermainkan hatinya. Akan ku balas rasa sakit hati di hotel semalam.
"Bersiaplah menjanda Bu Sandra, akan ku ambil suami anda," bisikku tepat di telinganya."Akan ku buat kamu diusir dari apartemenmu!"
"Aku tidak takut, justru aku akan meminta yang lebih mewah lagi."
"Kamu!" Tangan Bu Sandra sudah melayang di udara. Namun sebelum sampai di pipi segera ku tepis. Jangan samakan Yasmin dengan pelakor lainnya.
Segera aku berjalan meninggalkannya. Perang akan segera di mulai. Bersiaplah untuk status baru Ibu Sarah. Karena Om Bagas akan memilihku menjadi wanita satu-satunya. Berjalan dengan mata awas mencari Cindy. Tangan asyik mengotak-atik deretan huruf di layar. Mengirim pesan padanya. Namun hanya centang satu."Ke mana Cindy, awas saja kalau pulang duluan!" rutukku.
Ting....
Sebuah pesan dari Cindy. Akhirnya anak ini membalas pesanku juga. Segera ku buka aplikasi berwarna hijau.
PyaarSuara ponsel yang berada dengan lantai mall. Benda pipih milikku jatuh dan hancur menjadi dua bagian.
"Kalau jalan pakai mata, ponsel gue jadi hancur gara-gara lo!" ucapku seraya mengambil ponsel yang sudah mati.
"Maaf Mbak, saya tidak sengaja. Saya buru-buru."
Buru-buru dan menghancurkan ponsel mahal yang baru dibelikan Om Bagas dua bulan lalu.
"Gak sengaja kepalamu peyang!" Aku menatap lelaki di hadapanku. Mulut ini tiba-tiba menjadi kelu. Astaga, kenapa harus ketemu dia lagi?
"Lo ... Lo yang semalam merusak mobil gue kan?"
"Iya gue kenapa? Mau minta ganti rugi? Yang ada lo yang harus ganti rugi. Lihat ponsel mahal gue hancur gara-gara lo! Gue gak mau tahu sekarang juga, lo harus ganti!" ucapku lantang hingga mengundang beberapa pasang mata ke arahku.
Biar, aku tak perduli. Justru aku sengaja melakukannya. Aku ingin lelaki itu mengganti ponsel mahal yang sudah hancur menjadi dua bagian.
"Lo juga harus ganti mobil gue lima juta!""Ponsel gue dua belas juta. Buruan ganti!"
Lelaki itu diam sembari menggaruk tengkuknya. Entah kemana hilangnya sikap menyebalkannya kemarin.
"Buruan ganti!" Ku todongkan tangan padanya.
"Gue gak ada duit. Anggap aja impas. Jadi lo gak usah benerin mobil gue!"
Apa? Impas? Dia bo-doh atau gimana sih? Anak SD juga tahu lima juta dan dua belas juta itu tidak sama.Jauh lebih banyak dua belas juta."Gila lo ya! Gue tekor. Bayar sekarang atau gue bakal teriak kalau lo mau berbuat mesum sama gue!"
"Lo gila!" lelaki gondrong itu menggelengkan kepala setelah mendengar ucapanku.
Biar saja dianggap gila tapi ponselku kembali. Dua belas juta bro! Dan itu banyak, aku harus merayu Om Bagas untuk mendapatkannya tapi dirusak oleh dia.
"Gue hitung satu sampai tiga. Kalau dalam hitungan tiga lo gak kasih ganti rugi. Gue bakal teriak sekencang-kencangnya!" ancamku.Dia belum tahu berurusan dengan siapa? Soal sandiwara aku jagonya. Dengan mudah ku buat orang percaya jika dia lelaki mesum.
"Satu ... Dua ... Ti ....""Iya gue tanggung jawab," ucapnya seraya mengusar rambut kasar. Begitu berat dan terpaksa.
Memang enak? Siapa suruh merusak ponsel aku!
Lelaki yang memakai kaos berwarna putih itu merogoh saku celananya. Mengambil dompet berwarna hitam. Dompetnya saja sudah mahal. Pasti lelaki ini dari keluarga kaya. Amanlah, ponselku akan kembali ke tangan.
"Gue hanya punya ini?" Lelaki itu memberikan lima lembar uang berwarna merah.
Lima lembar? Dia tidak ngelantur kan? Yang benar saja iPhone 12 diganti uang lima ratus ribu rupiah. Dompetnya saja yang keren tapi isinya kosong melompong. Tampang doang yang oke, tapi kere. Jauh lebih bagus Om Bagas ke mana-mana.
"Gila lo, ini buat jajan saja kurang apa lagi buat gantiin ponsel gue!""Uang gue tinggal segitu. Kartu debit gue keblokir."
"Terus nasib ponsel gue gimana?" ucapku kesal.
Kesal dan marah bercampur menjadi satu. Kenapa hidupku selalu sial saat bertemu dengannya? Apes! Apes!
"Bawa KTP gue buat jaminan. Gak nyampek satu minggu gue ganti," ucapnya seraya memberikan kartu berwarna biru itu."Tar lo nipu gue!"
"Tulis nomor ponsel lo, satu jam lagi gue hubungin nomor lo." Ku ambil benda pipih milinya lalu menulis dua belas digit nomor ponselku.
"Awas kalau lo bohong!" ucapku sembari berjalan meninggalkannya.
"Siapa nama lo?" Teriaknya saat aku berjalan beberapa langkah menjauhinya.
"Nabila!"
Aku segera meninggalkan mall, niat untuk shopping hilang seketika. Tidak Sandra, tidak lelaki itu. Semuanya bikin aku kesal.
Cindy sudah berdiri di samping mobil saat aku tiba. Ini anak memang menyebalkan. Giliran tidak dibutuhkan muncul. Dari tadi kemana saja? Hilang diculik genderuwo?"Gue telepon kenapa nomor lo gak aktif sih, Yas?"
"Nih!" Ku berikan pecahan ponsel padanya. Cindy membuka mulut lebar kalau melihat ponselku sudah hancur menjadi dua.
Syok kan? Ponsel mahal itu hancur jadi dua? Sama, aku juga syok. Namun lebih syok saat bertemu istri kekasihku.Ku masukkan kartu sim ke ponsel lamaku. Terpaksa aku harus memakai ponsel lamaku. Semua gara-gara lelaki itu. Awas saja jika dia menghilang.
Ting... Ting....Beberapa pesan masuk di aplikasi berwarna hijau milikku. Aku yakin Om Bagas lah orangnya.
[Sayang kenapa nomornya tidak aktif?]
[Aku rindu kamu, Yasmin.]
[Kamu tidak sedang marah kan?]
Sudut bibirku tertarik ke atas saat Om Bagas mengirim sebuah foto gambar tiket liburan ke Bali minggu depan. Lelaki itu memang selalu menepati janjinya. Itu yang membuatku tak ingin melepaskannya.Bersiaplah Sandra, sebentar lagi kamu akan kalah dariku.
Suara notifikasi pesan masuk kembali terdengar. Sebuah pesan dari nomor baru.
[Tiga hari lagi. Gilang]
Apa maksud pesan ini? Siapa yang pengirimnya? Jangan-jangan dia suruhan Sandra untuk mengusir ku dari sini.Suara notifikasi pesan masuk kembali terdengar. Sebuah pesan dari nomor baru. [Tiga hari lagi. Gilang]Apa maksud pesan ini? Siapa yang pengirimnya? Jangan-jangan dia suruhan Sandra untuk mengusir ku dari sini. Ya, ampun! Jangan sampai itu terjadi. Aku tidak ingin kembali terlunta-lunta di jalan. Angan kembali menerawang masa silam. *flashback on"Keluar kamu dari sini! Rumah ini sudah menjadi milikku!" ucap lelaki dengan perut membuncit itu. "Ini rumahku, bukan rumahmu!" ucapku lantang. Namun seketika menciut saat melihat dua orang bodyguard menatapku nyalang. "Baca!" Lelaki tambun itu melempar secarik kertas tepat mengenai wajahku. Dengan dada bergemuruh ku baca setiap kata yang tertulis di sana. Kakiku terasa lemas hingga menopang tubuhku tidak kuat. "Ini tidak asli kan?" Aku masih mengelak meski sudah ku lihat tanda tangan papa di atas materai. Rasanya tak percaya jika papa dan mama meninggal lalu mewariskan hutang yang begitu besar padaku. Kenapa selama ini aku tak tahu
Aku menjalankan kendaraan roda empat meninggalkan apartemen. Menyetir mobil sembil menyanyikan lagu kesukaanku. Tak sengaja mata ini melihat ke spion. Sebuah mobil putih seperti mengikutiku dari belakang. Ku tepis pikiran buruk yang sempat menghantui. Sedikit positif thinking, mungkin hanya sejalan denganku. Boleh jadi tujuan sama. Bukankah mall umum untuk siapa saja? Sandra. Seketika pikiran buruk menyelimuti hatiku. Bisa jadi dia suruhan Sandra untuk menculikku. Atau bahkan membunuhku.Bayangan tubuh dimutilasi lalu dibuang menari-nari di pelupuk mata. Istri yang sakit hati bisa berbuat hal di luar nalar. Tanpa berpikir panjang ku lajukan kendaraan dengan kecepatan tinggi lalu membelokkan ke mall. Aku bernafas lega ketika mobil berwarna putih tak ada di belakangku. Aku segera melangkah meninggalkan basement mall. Sedikit bernafas lega kala melihat sekeliling yang ramai. Penjahat tidak akan berani di situasi seperti ini. Jika mereka nekat tinggal teriak dan mereka akan terkena a
Pov Yasmin"Apa karena dia masih muda hingga membuat kamu memilih dia?""Apa sih Om, aku gak ngerti.""Aww... Sakit Om." Seketika tangannya terlepas dari pundakku. "Maafkan aku sayang, aku khilaf. Aku cemburu melihat kamu makan dengan lelaki. Apa lagi dia lebih muda dariku. Aku takut kamu memilih dia."Aku tersenyum melihat wajah sendunya. Om Bagas cemburu. Apa aku tak salah dengar? Tanpa rasa malu ku peluk tubuhnya. Aku bahkan tak perduli ada di muka umum. Rasa bahagia membuat aku lupa jika diri ini hanyalah selingan. "Nanti aku jelasin di apartemen!" ucapku seraya menggandeng tangan Om Bagas. Bagai kerbau di cucuk hidungnya, Om Bagas hanya menurut tanpa banyak bicara. "Mau bawa mobil sendiri-sendiri atau satu mobil?" tanyaku setelah kami tiba di basement. "Naik mobilku saja. Mobil kamu biar di bawa orang suruhanku. Aku takut kamu menghilang lagi." Aku tersenyum melihat sikap lucu Om Bagas saat cemburu. Sungguh menggemaskan. Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, tapi ini bukan
"Mbak mau ketemu! Ada yang ingin Mbak bicarakan." "Aku di bengkel. Mbak ke sini saja," jawab Ray. Seketika panggilan telepon terputus. Dengan emosi yang meletup-letup di dada, Sandra segera menyalakan mesin mobil. Perlahan kendaraan roda empat miliknya berjalan meninggalkan halaman rumah mewah Bagaskara. Rumah yang telah dihuni dua puluh dua tahun yang lalu. Sandra tidak menyadari jika sedari tadi Brian sedang mengawasi gerak-geriknya. Sebagai anak sulung, Brian sadar jika ibunya tengah memiliki masalah. Saat berhadapan dengannya Sandra seolah menghindar.Bahkan dia enggan bertatap muka dengannya. Sikap seperti itu yang membuat dia yakin, jika ada sesuatu yang ibunya rahasiakan. Mobil berwarna putih itu melaju dengan kecepatan tinggi. Sandra kesetanan, dia bahkan tak perduli dengan nyawanya sendiri. Yang ada di kepalanya ialah rasa marah, benci, dan kecewa kepada Bagaskara dan Yasmin. Janji setia yang terlontar dari mulut Bagaskara ternyata hanya bualan semata. Nyatanya lelaki yan
Sandra dan Ray telah sampai di pulau Bali. Sebuah pulau yang terkenal dengan pariwisatanya yang sangat indah. Situasi bandara sangat ramai kala Sandra dan Ray menginjakkan kaki di pulau Dewata.Banyak turis luar negeri yang berada di sana. Bali merupakan salah satu destinasi pariwisata favorit di kalangan turis luar negeri. Tidak heran jika kita akan bertemu orang berkulit putih di sana. Sandra melepas kaca mata hitam yang sedari tadi menutupi mata indahnya. Wanita berambut panjang itu menghirup nafas dalam, mencari pasokan oksigen agar bisa berpikir jernih. Sandra berusaha menata hati, menghilangkan keraguan yang sempat singgah di hati. Sebagai seorang istri dia harus bisa menutup aib suami. Namun yang akan ia lakukan justru kebalikannya. "Kita mau ke mana, Mbak?" tanya Ray menyentak lamunan sang kakak. Sandra mengambil benda pipih di dalam tas, lalu menyalakannya. Beberapa pesan masuk di aplikasi berwarna hijau miliknya. Tangan Sandra begitu cekatan bermain di atas layar. "Kita
Ceklik.... Pintu di buka sedikit dari dalam. Bagas membulat sempurna melihat wanita yang kini berdiri di depan pintu kamarnya. "Sandra," ucapnya lirih.Sandra mengedipkan mata pada Ray. Dengan sekali dorong pintu itu terbuka lebar. Terlihat jelas wanita yang tidur di balik selimut khas hotel mewah itu. "Papi bisa jelaskan, mi," ucap Bagas seraya menyentuh pundak istrinya. Sandra menepis kasar tangan sang suami seraya menatap tajam ke arahnya. Tidak ada sorot kelembutan yang biasa tampak di manik hitamnya. Yang ada hanya pancaran kebencian dan amarah di sana. Bagaskara menelan ludah dengan susah payah. Dia sadar masalah besar sedang ada di depan mata. Kemarahan Sandra layaknya sebuah kutukan, mematikan. "Papi khilaf, mi." Bagaskara kembali menyentuh sang istri.Sayang usahanya meluluhkan hati Sandra sia-sia. Sandra justru semakin murka dengan ucapannya. Khilaf hanya dilakukan satu kali tapi Bagaskara melakukannya berkali-kali,bahkan sudah satu tahun. Sandra dan Ray menerobos ma
Pov AuthorDi dalam hati lelaki berambut gondrong itu tak menyukai kejadian seperti ini. Namun ia juga benci dengan kelakuan Yasmin. "Mi, tolong jangan seperti ini. Malu, mi," ucapnya seraya memakai pakaian yang sempat berceceran di lantai. Bagaskara murka dengan tingkah istrinya. Dia merasa masalah ini bisa dibicarakan di rumah. Bukan justru dibuka di muka umum. Harga dirinya sebagian pengusaha properti hancur karena ulah istrinya. Dia tetap tak sadar jika ini adalah buah dari pengkhianatan yang ia lakukan. Kebanyakan manusia memang begitu. Mencari pembenaran dari kesalahan yang ia perbuat. Bahkan hingga Tuhan memberi sedikit teguran. Mereka tak kunjung sandar tapi justru semakin liar. Sandra semakin murka. Bagaskara terus saja memintanya mengalah. Dia terkesan masih melindungi Yasmin meski hanya dalam ucapan. Dengan emosi meletup-letup Sandra mendekat ke arah Yasmin. Di tarinya tangan Yasmin dengan kasar. Tak perduli jika Yasmin terus meronta meminta belas kasihan.Hari ini San
"Bukankah ini yang kamu lakukan saat bersama kakak iparku?" ucapnya penuh penekanan. Aku melakukan dengan Om Bagas tanpa paksakan. Semua di dasari suka sama suka. Bahkan bukan hanya tubuh yang bermain, hati pun ikut bermain. Permainan yang membuatku tak bisa melepaskannya. Aku jatuh cinta pada lelaki beristri. Wajah Gilang semakin mendekat, dalam hitungan detik bibirnya telah menempel di tempat yang sama. Ku dorong wajahnya menjauh dari wajahku. Sialnya aku tak cukup kuat. Tenaga Gilang jauh lebih kuat. Sekuat apa pun aku melawan tetap saja tak bisa mengalahkan kegarangannya. Air mata jatuh membasahi pipi. Aku merasa terhina. Dengan kasar Gilang menggendong tubuhku lalu membantingnya di atas kasur. "Brengs*k lo!" Gilang tak menjawab. Lelaki berambut panjang itu justru tersenyum menyeringai ke arahku. Seperti kesetanan dia melampiaskan hasratnya. Sakit luar biasa sakit.Bukan hanya hati yang sakit, tapi tubuhku juga. Tak pernah ku bayangkan jika akan mendapatkan perlakuan b
"Mbak Hazna gak salah ngomong?""Apa wajahku terlihat bercanda? Sejak kapan aku ngawur saat membahas masalah penting ini?"Mulutku kembali bungkam. Perkataan kakaku tak bisa diganggu gugat. Aku tahu betul, dia tak pernah main-main jika membahas masalah pernikahan. "Apa alasan Mbak Hazna menerima Yasmin?"Mbak Yasmin menghela napas. Air putih dalam gelas ia habiskan dalam sekali teguk. Kemudian tatapan tajam ia layangkan padaku. Ini masalah serius. "Itu perkataan sebelum mama masuk rumah sakit."Seketika perasaan bersalah tumbuh dan mendominasi. Keegoisanku membuat mama jatuh sakit. Anak macam apa aku ini? "Ini bukan salahmu, Rel. Kamu pantas bahagia. Mbak tahu, banyak keinginan yang terpaksa kamu tinggalkan demi mematuhi perintah papa. Sudah saatnya kamu bahagia, Farel."Setelah percakapan itu, aku segera pergi menuju apartemen Mbak Hazna. Apalagi yang akan kulakukan selain bertemu Yasmin. Baru beberapa jam tapi rindu terus membelenggu. Aku tak bisa jauh dari perempuan itu. Siulan
"Stop, Farel!"Seketika aku dan Yasmin menoleh ke belakang. Pintu lift yang semula tertutup kini sudah terbuka lebar. Seorang lelaki dengan jas dokter berdiri sambil menatap tajam padaku. Dokter Akbar, pemilik rumah sakit sekaligus ayah kandungku. "Ikut Papa!"Yasmin semakin mempererat genggaman tangannya saat kami keluar dari lift. Keringat dingin meluncur bebas dari kening. Wanitaku ketakutan. "Semua akan baik-baik saja, Yas."Aku pererat genggaman ini. Memberi kekuatan jika semua akan baik-baik saja. Aku akan selalu di depan untuk memberinya perlindungan. Sepanjang kaki melangkah semua mata menatap ke arah kami. Lebih tepatnya ke arah Yasmin. Bisik-bisik dan ucapan tak mengenakan mewarnai langkah kami. Sesekali Yasmin mengalihkan pandangan, tangan kirinya menyeka sudut netra. Dia menangis tanpa bersuara. Pintu ruang direktur utama terbuka lebar. Papa melangkah masuk, diikuti kami di belakang. Jantungku berdetak kencang kala pintu itu tertutup rapat. Kini kami saling diam deng
"Azizah!" Mataku terbuka lebar kala melihat wanita yang berdiri di hadapan. Dia masih sama seperti saat aku menolaknya. Senyum manis penuh ketulusan dia berikan padaku, lelaki yang membencinya karena sebuah perjodohan. "Kalian?" Aku menatap Azizah dan Arman bergantian. Sebuah kecurigaan tampak jelas di netra ini. "Boleh aku duduk, Bang Farel?" tanyanya menghentikan pertanyaan yang belum sempat aku ucapkan. Sebuah anggukan kuberikan sebagai jawaban saat mulut tak sanggup mengeluarkan kata. Azizah pun tersenyum, lalu menarik kursi dan duduk di antara kami. Sungguh keadaan ini membuatku tak nyaman, aku ingin pergi dan menghilang dari sini. "Kenapa kamu tahu aku ada di sini, Za?""Dia tahu dariku, Rel."Aku menghela napas kasar, mengeluarkan rasa kesal yang sempat memenuhi rongga dada. Aku sudah menduga, kedatangan Azizah pasti ada hubungannya dengan Arman. Apa ini rencana Arman untuk memisahkan aku dan Yasmin? "Amara alasan kamu melakukan ini?" Aku tatap tajam lelaki yang masih be
Aku menelan ludah dengan susah payah. Aku membenci keadaan ini. Kenapa selalu berada di situasi seperti ini? "Maaf, Bu Zazkia. Saya akan segera menikah."Wajah yang semula antusias mendadak berubah masam. Senyum yang tadi hadir sirna dalam sekejap mata. Dia kecewa. "Oh, menikah? Maaf, saya tidak tahu jika kamu sudah memiliki calon istri, Rel. Saya hanya ingin mengungkapkan perasaan ini. Maaf jika lancang dan membuatmu tak nyaman."Seulas senyum keterpaksaan nampak di wajahnya. Dia pura-pura tersenyum meski hati tersiksa. Lagi-lagi dunia penuh dengan drama dan sandiwara. Namun beruntung karena dia tak memaksaku untuk mengatakan iya. "Tak apa, Bu. Lagi pula semua orang bebas mengeluarkan pendapat, bukan? Negara ini saja mengikuti paham demokrasi, apa lagi kita yang hidup berdampingan satu dan lainnya.""Sekali lagi selamat, Rel."Aku mengangguk lalu segera berpamitan dengan wanita itu. Pergi secepat mungkin adalah pilihan yang tepat. Karena terus menerus bertemu dengan dia akan menci
"Kamu....""Iya aku, pelanggan yang kamu tinggal sebelum sempat memesan." Wanita itu berjalan mendekat, terdengar sepatu yang beradu dengan lantai."Dia pemilik restoran ini." Mati. Kali ini aku akan dipecat. Tamatlah riwayatku! Ternyata begitu sulit bekerja sebagai pelayanan. Salah sedikit berdampak pemecatan. "Maaf, Bu. Saya tidak bermaksud mengabaikan pelanggan. Saya hanya ingin menolong pelanggan yang lain. Tolong, jangan pecat saya, Bu."Wanita itu tersenyum hingga tampak gigi kelinci. "Siapa yang mau memecat kamu, Farel?"Aku menautkan dua alis, dari mana wanita itu tahu namaku? "Saya justru berterima kasih karena kamu sudah menyelamatkan orang itu.""Ja-jadi saya tidak dipecat?""Jelas tidak, mana mungkin saya memecat karyawan yang rajin seperti kamu." Aku mengangguk, seulas senyum terbit dari bibir ini. "Saya heran, kenapa kamu bisa tahu jika lelaki itu tersedak? Sementara jarak meja saya dengan lelaki itu cukup jauh."Aku hanya tersenyum, tidak mungkin aku jelaskan si
Aku berlari menuju kerumunan. Perasaanku semakin tak enak. Semoga saja itu bukan Yasmin. Semoga bukan dia. "Permisi!""Permisi!"Aku menelusup masuk ke kerumunan. Darah berceceran di trotoar dan jalan sekitarnya. Wanita yang lelaki itu maksud sudah terbujur kaku dengan koran sebagai penutup tubuhnya. Rambut hitam wanita itu sama persis dengan Yasmin. Jangan-jangan dia memang wanitaku. Tidak... Tidak, itu tidak boleh terjadi. Yasmin tidak boleh meninggalkan diriku. "Ya... Yasmin, kenapa kamu tinggalin aku," isakku. Perlahan kubuka koran yang menutupi wajahnya. Jantungku berdetak, rasa takut kembali hadir. Bagaimana jika ini benar-benar Yasmin? Apa yang akan kulakukan? Bisakah aku menerima kenyataan pahit ini? "Mas kenal mayat itu?" tanya seseorang menghentikan gerakan tangan ini."Dia Yasmin, kekasih saya." "Sejak kapan aku jadi kekasihmu, Rel?" Aku mendongak, Yasmin berdiri di belakang sambil menyilangkan kedua tangan di dada. Perlahan aku berdiri, niat untuk membuka koran itu
Aku dan Yasmin saling pandang. Kami bingung harus menjawab apa. Situasi ini di luar dugaan kami. "Tante mendengar percakapan kami?" tanyaku sedikit ragu. "Jadi kamu mantan wanita simpanan?" Tante Mayang menatap tajam mata Yasmin. "I-iya, Bu. Sebenarnya nama asli saya Yasmin bukan Amara. Saya man... mantan wanita simpanan pengusaha terkenal. Saya pernah diperkosa dan dilecehkan," ucapnya dengan suara bergetar. Tak berapa lama cairan bening berlomba-lomba turun hingga membasahi pipinya. Mengungkapkan kenyataan pahit tidaklah mudah. Tetapi Yasmin mampu meski keadaan yang menuntutnya untuk melakukan itu. "Astagfirullah ... Ya Allah." Tante Mayang mengelus dadanya. Terkejut, marah dan benci melebur menjadi satu di hatinya. "Maafkan saya, Bu. Saya tidak bermaksud berbohong. Hanya....""Kamu ingin mendapatkan Arman lalu menutupi semuanya. Bukan begitu, Amara?""Ti-tidak seperti itu, Bu. Sa-saya hanya ingin....""Maaf, Amara. Mulai hari ini kamu saya pecat. Tolong tinggalkan rumah seka
"Bagaimana Amara, apa kamu menerima lamaran Bapak?" tanya Om Sugiyono. Aku tak sanggup mendengar jawaban Yasmin. Aku tidak ingin terluka untuk kesekian kalinya. Mengetahui wanita yang kita cintai bersama lelaki lain itu menyakitkan. Lebih baik aku pergi, melarikan diri dari kenyataan pahit ini. Pengecut, tapi hanya itu yang bisa kulakukan saat ini. "Maaf, Om, Tante, semuanya saya masuk kamar dulu." Aku beranjak berdiri. "Kamu belum selesai makan, Rel.""Saya tidak enak badan, Tante." Terpaksa aku berbohong. "Mau aku periksa, Rel?""Gak perlu, Ar. Aman, kok. Aku hanya butuh waktu untuk istirahat."Aku melangkah pergi, meninggalkan ruang makan dengan berjuta perasaan kecewa di dalamnya. Pintu kamar kututup rapat, lalu menjatuhkan bobot di atas ranjang. Lagi wajah Yasmin dan Arman menari-nari di pelupuk mata. Seketika amarah menyeruak memenuhi rongga dada. Ini tidak baik, aku harus secepatnya pergi dari sini. Aku tidak sanggup melihat mereka bermesraan. Aku mengacak rambut, frusta
"Arman mau melamar siapa, Tante?" tanyaku memastikan. "Arman belum cerita sama kamu, Rel?"Aku menggeleng, pura-pura tidak tahu. Meski aku yakin nama Amara yang akan ia sebutkan. Namun aku masih berharap bukan dia, bukan wanitaku. "Amara, asisten rumah tangga kami.'JLEPJantung ini seakan berhenti berdetak. Aku sudah mengira kata Amara akan muncul dari mulut mereka. Namun sakitnya tetap saja terasa. Ya Robb, haruskah aku terluka untuk kedua kalinya? Haruskah aku mengalah untuk lelaki lain? Sakit, aku tersiksa. Bahkan hampir tidak sanggup berbicara. Kenapa harus aku yang mengalah, Ya Robb. Tidak bisakah orang lain saja? Dulu Brian sekarang Arman, apa aku tak berjodoh dengan Yasmin? Hingga selalu Engkau datangkan orang lain di kehidupannya atau mungkin hatinya. "Kok diam, Rel. Kamu kenal Amara, kan?"Aku mengangguk, susah payah kutahan air mata yang hampir terjatuh. Payah, kenapa harus menangis jika aku mengetahui kenyataan pahitnya. "Kamu pasti kaget kenapa Tante setuju mesk