Aku berjalan mengendap-endap lalu bersembunyi di deretan baju tidur yang berjajar. Perasaanku semakin tak enak kala mendengar derap langkah kaki mendekat ke arahku.
"Kenapa sih?" bisik Cindy seraya meyenggol tanganku. Ku tempelkan jari telunjuk di bibir.
Ini bukan saat yang tepat untuk berbicara apa lagi cerita. Bisa ketahuan dan semua menjadi runyam.
Ku intip wanita yang semalam ku temui. Dia masih berdiri tak jauh dari tempatku bersembunyi. Jangan sampai istri Om Bagas tahu. Bisa gawat!
Kalau saja semalam aku tak ke hotel, mungkin semua tak akan seperti ini. Aku bisa berdiri di hadapannya dengan wajah sombong. Tapi sekarang? Aku hanya dapat bersembunyi.Kalau dibilang takut, iya jelas. Beberapa kali membaca berita saat istri pertama menghajar pelakor membuatku bergidik ngeri. Kalau hanya di tampar tak masalah, tapi jika sampai dilumuri sambal di bagian sensitif....Oh, tidak! Itu sangat mengerikan. Tak terbayang bagaimana rasanya. Aku pasti akan pingsan kepanasan.
"Kenapa di sana, Mbak? Saya cari-cari dari tadi. Ini kembaliannya. Terima kasih sudah berbelanja di toko kami," Seorang karyawan memberikan dua lembar uang sepuluh ribuan padaku.
Suara karyawan itu membuat beberapa pasang mata melihat ke arah kami. Termasuk istri Om Bagas. Masih untung ada deretan baju tidur yang menutupi keberadaanku. Ku terima uang itu lalu segera berjalan meninggalkan toko itu.
Ku tundukkan kepala saat melewatinya. Tak ku hiraukan keberadaan Cindy. Saat ini yang terpenting menyelamatkan diri sendiri. "Yasmin." Langkahku terhenti mendengar panggilan itu. Jantung kian berdetak tak menentu."Semoga saja bukan Sandra,istri Om Bagas yang memanggilku," batinku lalu menengok ke belakang.
Alangkah terkejutnya saat wanita yang kini menjadi musuh besarku sudah berada tepat di hadapanku. Ku tekan rasa gugup dan takut yang tiba-tiba menelusup. Aku tidak mau dia bangga karena aku ketakutan.
Melirik kanan dan kiri, mencari keberadaan Cindy. Tapi dia justru menghilang bak ditelan bumi. Di saat terdesak seperti ini dia justru kabur. Sial*n!"Kenapa Yasmin? Kamu mencari bala bantuan? Atau sedang mencari suamiku?"
DEG
Rupanya dugaanku kemarin benar. Dia yang menjebakku. Dia tahu betul jika aku adalah simpanan suaminya."Tenang Yasmin! Jangan takut! Semua akan baik-baik saja," ucapku pada diri sendiri.
"Apa kamu tak punya malu tidur dengan suami orang?" Pelan ia bicara. Namun menumbuhkan emosi di dada."Malu? Saya tidak salah dengar Bu Sandra? Harusnya anda yang yang malu pada diri anda sendiri. Malu karena suami anda lebih memilih tidur dengan saya dibandingkan istri sahnya!" ucapku pelan tapi penuh penekanan.
Wajah yang tadi tenang kini mulai memerah. Kepanasan atau justru tersinggung dengan ucapanku. Sudut bibirku tertarik ke atas melihat perubahan ekspresi istri kekasihku. Aku suka.
"Saya lebih baik darimu, jal**g!""Kalau anda lebih baik dari saya, kenapa Om Bagas justru memilih bersamaku?" Ku balikkan badan. Melangkah penuh percaya diri meninggalkannya.
Namun belum sampai pintu, ku putar tubuh ini kembali. Berjalan mendekat ke arah Bu Sandra yang masih berdiri dengan dada naik turun. Aku ingin mempermainkan hatinya. Akan ku balas rasa sakit hati di hotel semalam.
"Bersiaplah menjanda Bu Sandra, akan ku ambil suami anda," bisikku tepat di telinganya."Akan ku buat kamu diusir dari apartemenmu!"
"Aku tidak takut, justru aku akan meminta yang lebih mewah lagi."
"Kamu!" Tangan Bu Sandra sudah melayang di udara. Namun sebelum sampai di pipi segera ku tepis. Jangan samakan Yasmin dengan pelakor lainnya.
Segera aku berjalan meninggalkannya. Perang akan segera di mulai. Bersiaplah untuk status baru Ibu Sarah. Karena Om Bagas akan memilihku menjadi wanita satu-satunya. Berjalan dengan mata awas mencari Cindy. Tangan asyik mengotak-atik deretan huruf di layar. Mengirim pesan padanya. Namun hanya centang satu."Ke mana Cindy, awas saja kalau pulang duluan!" rutukku.
Ting....
Sebuah pesan dari Cindy. Akhirnya anak ini membalas pesanku juga. Segera ku buka aplikasi berwarna hijau.
PyaarSuara ponsel yang berada dengan lantai mall. Benda pipih milikku jatuh dan hancur menjadi dua bagian.
"Kalau jalan pakai mata, ponsel gue jadi hancur gara-gara lo!" ucapku seraya mengambil ponsel yang sudah mati.
"Maaf Mbak, saya tidak sengaja. Saya buru-buru."
Buru-buru dan menghancurkan ponsel mahal yang baru dibelikan Om Bagas dua bulan lalu.
"Gak sengaja kepalamu peyang!" Aku menatap lelaki di hadapanku. Mulut ini tiba-tiba menjadi kelu. Astaga, kenapa harus ketemu dia lagi?
"Lo ... Lo yang semalam merusak mobil gue kan?"
"Iya gue kenapa? Mau minta ganti rugi? Yang ada lo yang harus ganti rugi. Lihat ponsel mahal gue hancur gara-gara lo! Gue gak mau tahu sekarang juga, lo harus ganti!" ucapku lantang hingga mengundang beberapa pasang mata ke arahku.
Biar, aku tak perduli. Justru aku sengaja melakukannya. Aku ingin lelaki itu mengganti ponsel mahal yang sudah hancur menjadi dua bagian.
"Lo juga harus ganti mobil gue lima juta!""Ponsel gue dua belas juta. Buruan ganti!"
Lelaki itu diam sembari menggaruk tengkuknya. Entah kemana hilangnya sikap menyebalkannya kemarin.
"Buruan ganti!" Ku todongkan tangan padanya.
"Gue gak ada duit. Anggap aja impas. Jadi lo gak usah benerin mobil gue!"
Apa? Impas? Dia bo-doh atau gimana sih? Anak SD juga tahu lima juta dan dua belas juta itu tidak sama.Jauh lebih banyak dua belas juta."Gila lo ya! Gue tekor. Bayar sekarang atau gue bakal teriak kalau lo mau berbuat mesum sama gue!"
"Lo gila!" lelaki gondrong itu menggelengkan kepala setelah mendengar ucapanku.
Biar saja dianggap gila tapi ponselku kembali. Dua belas juta bro! Dan itu banyak, aku harus merayu Om Bagas untuk mendapatkannya tapi dirusak oleh dia.
"Gue hitung satu sampai tiga. Kalau dalam hitungan tiga lo gak kasih ganti rugi. Gue bakal teriak sekencang-kencangnya!" ancamku.Dia belum tahu berurusan dengan siapa? Soal sandiwara aku jagonya. Dengan mudah ku buat orang percaya jika dia lelaki mesum.
"Satu ... Dua ... Ti ....""Iya gue tanggung jawab," ucapnya seraya mengusar rambut kasar. Begitu berat dan terpaksa.
Memang enak? Siapa suruh merusak ponsel aku!
Lelaki yang memakai kaos berwarna putih itu merogoh saku celananya. Mengambil dompet berwarna hitam. Dompetnya saja sudah mahal. Pasti lelaki ini dari keluarga kaya. Amanlah, ponselku akan kembali ke tangan.
"Gue hanya punya ini?" Lelaki itu memberikan lima lembar uang berwarna merah.
Lima lembar? Dia tidak ngelantur kan? Yang benar saja iPhone 12 diganti uang lima ratus ribu rupiah. Dompetnya saja yang keren tapi isinya kosong melompong. Tampang doang yang oke, tapi kere. Jauh lebih bagus Om Bagas ke mana-mana.
"Gila lo, ini buat jajan saja kurang apa lagi buat gantiin ponsel gue!""Uang gue tinggal segitu. Kartu debit gue keblokir."
"Terus nasib ponsel gue gimana?" ucapku kesal.
Kesal dan marah bercampur menjadi satu. Kenapa hidupku selalu sial saat bertemu dengannya? Apes! Apes!
"Bawa KTP gue buat jaminan. Gak nyampek satu minggu gue ganti," ucapnya seraya memberikan kartu berwarna biru itu."Tar lo nipu gue!"
"Tulis nomor ponsel lo, satu jam lagi gue hubungin nomor lo." Ku ambil benda pipih milinya lalu menulis dua belas digit nomor ponselku.
"Awas kalau lo bohong!" ucapku sembari berjalan meninggalkannya.
"Siapa nama lo?" Teriaknya saat aku berjalan beberapa langkah menjauhinya.
"Nabila!"
Aku segera meninggalkan mall, niat untuk shopping hilang seketika. Tidak Sandra, tidak lelaki itu. Semuanya bikin aku kesal.
Cindy sudah berdiri di samping mobil saat aku tiba. Ini anak memang menyebalkan. Giliran tidak dibutuhkan muncul. Dari tadi kemana saja? Hilang diculik genderuwo?"Gue telepon kenapa nomor lo gak aktif sih, Yas?"
"Nih!" Ku berikan pecahan ponsel padanya. Cindy membuka mulut lebar kalau melihat ponselku sudah hancur menjadi dua.
Syok kan? Ponsel mahal itu hancur jadi dua? Sama, aku juga syok. Namun lebih syok saat bertemu istri kekasihku.Ku masukkan kartu sim ke ponsel lamaku. Terpaksa aku harus memakai ponsel lamaku. Semua gara-gara lelaki itu. Awas saja jika dia menghilang.
Ting... Ting....Beberapa pesan masuk di aplikasi berwarna hijau milikku. Aku yakin Om Bagas lah orangnya.
[Sayang kenapa nomornya tidak aktif?]
[Aku rindu kamu, Yasmin.]
[Kamu tidak sedang marah kan?]
Sudut bibirku tertarik ke atas saat Om Bagas mengirim sebuah foto gambar tiket liburan ke Bali minggu depan. Lelaki itu memang selalu menepati janjinya. Itu yang membuatku tak ingin melepaskannya.Bersiaplah Sandra, sebentar lagi kamu akan kalah dariku.
Suara notifikasi pesan masuk kembali terdengar. Sebuah pesan dari nomor baru.
[Tiga hari lagi. Gilang]
Apa maksud pesan ini? Siapa yang pengirimnya? Jangan-jangan dia suruhan Sandra untuk mengusir ku dari sini.Suara notifikasi pesan masuk kembali terdengar. Sebuah pesan dari nomor baru. [Tiga hari lagi. Gilang]Apa maksud pesan ini? Siapa yang pengirimnya? Jangan-jangan dia suruhan Sandra untuk mengusir ku dari sini. Ya, ampun! Jangan sampai itu terjadi. Aku tidak ingin kembali terlunta-lunta di jalan. Angan kembali menerawang masa silam. *flashback on"Keluar kamu dari sini! Rumah ini sudah menjadi milikku!" ucap lelaki dengan perut membuncit itu. "Ini rumahku, bukan rumahmu!" ucapku lantang. Namun seketika menciut saat melihat dua orang bodyguard menatapku nyalang. "Baca!" Lelaki tambun itu melempar secarik kertas tepat mengenai wajahku. Dengan dada bergemuruh ku baca setiap kata yang tertulis di sana. Kakiku terasa lemas hingga menopang tubuhku tidak kuat. "Ini tidak asli kan?" Aku masih mengelak meski sudah ku lihat tanda tangan papa di atas materai. Rasanya tak percaya jika papa dan mama meninggal lalu mewariskan hutang yang begitu besar padaku. Kenapa selama ini aku tak tahu
Aku menjalankan kendaraan roda empat meninggalkan apartemen. Menyetir mobil sembil menyanyikan lagu kesukaanku. Tak sengaja mata ini melihat ke spion. Sebuah mobil putih seperti mengikutiku dari belakang. Ku tepis pikiran buruk yang sempat menghantui. Sedikit positif thinking, mungkin hanya sejalan denganku. Boleh jadi tujuan sama. Bukankah mall umum untuk siapa saja? Sandra. Seketika pikiran buruk menyelimuti hatiku. Bisa jadi dia suruhan Sandra untuk menculikku. Atau bahkan membunuhku.Bayangan tubuh dimutilasi lalu dibuang menari-nari di pelupuk mata. Istri yang sakit hati bisa berbuat hal di luar nalar. Tanpa berpikir panjang ku lajukan kendaraan dengan kecepatan tinggi lalu membelokkan ke mall. Aku bernafas lega ketika mobil berwarna putih tak ada di belakangku. Aku segera melangkah meninggalkan basement mall. Sedikit bernafas lega kala melihat sekeliling yang ramai. Penjahat tidak akan berani di situasi seperti ini. Jika mereka nekat tinggal teriak dan mereka akan terkena a
Pov Yasmin"Apa karena dia masih muda hingga membuat kamu memilih dia?""Apa sih Om, aku gak ngerti.""Aww... Sakit Om." Seketika tangannya terlepas dari pundakku. "Maafkan aku sayang, aku khilaf. Aku cemburu melihat kamu makan dengan lelaki. Apa lagi dia lebih muda dariku. Aku takut kamu memilih dia."Aku tersenyum melihat wajah sendunya. Om Bagas cemburu. Apa aku tak salah dengar? Tanpa rasa malu ku peluk tubuhnya. Aku bahkan tak perduli ada di muka umum. Rasa bahagia membuat aku lupa jika diri ini hanyalah selingan. "Nanti aku jelasin di apartemen!" ucapku seraya menggandeng tangan Om Bagas. Bagai kerbau di cucuk hidungnya, Om Bagas hanya menurut tanpa banyak bicara. "Mau bawa mobil sendiri-sendiri atau satu mobil?" tanyaku setelah kami tiba di basement. "Naik mobilku saja. Mobil kamu biar di bawa orang suruhanku. Aku takut kamu menghilang lagi." Aku tersenyum melihat sikap lucu Om Bagas saat cemburu. Sungguh menggemaskan. Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, tapi ini bukan
"Mbak mau ketemu! Ada yang ingin Mbak bicarakan." "Aku di bengkel. Mbak ke sini saja," jawab Ray. Seketika panggilan telepon terputus. Dengan emosi yang meletup-letup di dada, Sandra segera menyalakan mesin mobil. Perlahan kendaraan roda empat miliknya berjalan meninggalkan halaman rumah mewah Bagaskara. Rumah yang telah dihuni dua puluh dua tahun yang lalu. Sandra tidak menyadari jika sedari tadi Brian sedang mengawasi gerak-geriknya. Sebagai anak sulung, Brian sadar jika ibunya tengah memiliki masalah. Saat berhadapan dengannya Sandra seolah menghindar.Bahkan dia enggan bertatap muka dengannya. Sikap seperti itu yang membuat dia yakin, jika ada sesuatu yang ibunya rahasiakan. Mobil berwarna putih itu melaju dengan kecepatan tinggi. Sandra kesetanan, dia bahkan tak perduli dengan nyawanya sendiri. Yang ada di kepalanya ialah rasa marah, benci, dan kecewa kepada Bagaskara dan Yasmin. Janji setia yang terlontar dari mulut Bagaskara ternyata hanya bualan semata. Nyatanya lelaki yan
Sandra dan Ray telah sampai di pulau Bali. Sebuah pulau yang terkenal dengan pariwisatanya yang sangat indah. Situasi bandara sangat ramai kala Sandra dan Ray menginjakkan kaki di pulau Dewata.Banyak turis luar negeri yang berada di sana. Bali merupakan salah satu destinasi pariwisata favorit di kalangan turis luar negeri. Tidak heran jika kita akan bertemu orang berkulit putih di sana. Sandra melepas kaca mata hitam yang sedari tadi menutupi mata indahnya. Wanita berambut panjang itu menghirup nafas dalam, mencari pasokan oksigen agar bisa berpikir jernih. Sandra berusaha menata hati, menghilangkan keraguan yang sempat singgah di hati. Sebagai seorang istri dia harus bisa menutup aib suami. Namun yang akan ia lakukan justru kebalikannya. "Kita mau ke mana, Mbak?" tanya Ray menyentak lamunan sang kakak. Sandra mengambil benda pipih di dalam tas, lalu menyalakannya. Beberapa pesan masuk di aplikasi berwarna hijau miliknya. Tangan Sandra begitu cekatan bermain di atas layar. "Kita
Ceklik.... Pintu di buka sedikit dari dalam. Bagas membulat sempurna melihat wanita yang kini berdiri di depan pintu kamarnya. "Sandra," ucapnya lirih.Sandra mengedipkan mata pada Ray. Dengan sekali dorong pintu itu terbuka lebar. Terlihat jelas wanita yang tidur di balik selimut khas hotel mewah itu. "Papi bisa jelaskan, mi," ucap Bagas seraya menyentuh pundak istrinya. Sandra menepis kasar tangan sang suami seraya menatap tajam ke arahnya. Tidak ada sorot kelembutan yang biasa tampak di manik hitamnya. Yang ada hanya pancaran kebencian dan amarah di sana. Bagaskara menelan ludah dengan susah payah. Dia sadar masalah besar sedang ada di depan mata. Kemarahan Sandra layaknya sebuah kutukan, mematikan. "Papi khilaf, mi." Bagaskara kembali menyentuh sang istri.Sayang usahanya meluluhkan hati Sandra sia-sia. Sandra justru semakin murka dengan ucapannya. Khilaf hanya dilakukan satu kali tapi Bagaskara melakukannya berkali-kali,bahkan sudah satu tahun. Sandra dan Ray menerobos ma
Pov AuthorDi dalam hati lelaki berambut gondrong itu tak menyukai kejadian seperti ini. Namun ia juga benci dengan kelakuan Yasmin. "Mi, tolong jangan seperti ini. Malu, mi," ucapnya seraya memakai pakaian yang sempat berceceran di lantai. Bagaskara murka dengan tingkah istrinya. Dia merasa masalah ini bisa dibicarakan di rumah. Bukan justru dibuka di muka umum. Harga dirinya sebagian pengusaha properti hancur karena ulah istrinya. Dia tetap tak sadar jika ini adalah buah dari pengkhianatan yang ia lakukan. Kebanyakan manusia memang begitu. Mencari pembenaran dari kesalahan yang ia perbuat. Bahkan hingga Tuhan memberi sedikit teguran. Mereka tak kunjung sandar tapi justru semakin liar. Sandra semakin murka. Bagaskara terus saja memintanya mengalah. Dia terkesan masih melindungi Yasmin meski hanya dalam ucapan. Dengan emosi meletup-letup Sandra mendekat ke arah Yasmin. Di tarinya tangan Yasmin dengan kasar. Tak perduli jika Yasmin terus meronta meminta belas kasihan.Hari ini San
"Bukankah ini yang kamu lakukan saat bersama kakak iparku?" ucapnya penuh penekanan. Aku melakukan dengan Om Bagas tanpa paksakan. Semua di dasari suka sama suka. Bahkan bukan hanya tubuh yang bermain, hati pun ikut bermain. Permainan yang membuatku tak bisa melepaskannya. Aku jatuh cinta pada lelaki beristri. Wajah Gilang semakin mendekat, dalam hitungan detik bibirnya telah menempel di tempat yang sama. Ku dorong wajahnya menjauh dari wajahku. Sialnya aku tak cukup kuat. Tenaga Gilang jauh lebih kuat. Sekuat apa pun aku melawan tetap saja tak bisa mengalahkannya. Air mata jatuh membasahi pipi. Aku merasa terhina. Dengan kasar Gilang menggendong tubuhku lalu membantingnya di atas kasur. "Brengs*k lo!" Gilang tak menjawab. Lelaki berambut panjang itu justru tersenyum menyeringai ke arahku. Seperti kesetanan dia melampiaskan hasratnya. Sakit luar biasa sakit.Bukan hanya hati yang sakit, tapi tubuhku juga. Tak pernah ku bayangkan jika akan mendapatkan perlakuan buruk seperti
"Makan ya, Rel," bujuk Mama seraya mendekatkan sendok ke arahku. Aku menoleh, kembali fokus menatap awan yang terlihat dari jendela kamar. Saat ini aku tengah terkulai lemas di atas ranjang khas rumah sakit. Beberapa hari yang lalu aku terpaksa dilarikan ke rumah sakit karena jatuh pingsan di kamar mandi. "Jangan dibiarkan kosong perutnya, Rel. Kamu tahu, kan harus bagaimana? Jangan hanya pandai menasihati pasien, sementara kamu sendiri tidak melalukan hal itu."Aku masih membisu. Netraku masih tertuju pada titik yang sama. Langit siang hari di Kota Jakarta. Bukan langit biru dengan burung yang menari di sana. Namun langit yang tertutup oleh awan putih akibatnya banyaknya pencemaran udara. "Rel, jangan seperti ini, Nak. Kamu harus sembuh demi ...""Demi siapa, Ma? Demi memenuhi obsesi Papa. Percuma aku sembuh jika hidupku terasa mati. Aku hidup tapi mati."Isak tangis kembali terdengar di telinga. Siapa lagi kalau buka Mama. Namun kali ini aku memilih bungkam. Tenggelam dalam ras
Yasmin luruh di lantai. Tangisnya pecah detik itu juga. Penyesalan pun hadir, bahkan menyesakkan dada. Maafkan aku, Rel. Aku salah mengira. Aku pikir kamu tega meninggalkan aku dan Naura hanya karena harta. Tapi justru kamu yang berkorban untuk Naura. Farel... Pulanglah. Butiran-butiran kristal telah membanjiri pipi. Bahkan surat pemberian Farel telah baca oleh air mata. Ya Allah, haruskah kami berpisah untuk kedua kalinya? Dipisahkan dengan orang kita sayangi itu memang berat. Apalagi jika perpisahan itu terjadi karena keadaan. Itu jauh lebih menyakitkan dari dikhianati. ***Hari demi hari Yasmin lewati dengan kesedihan. Tawanya memang terdengar, tapi hanya untuk menutupi sunyi dan luka dalam sanubari. Farel memang meninggalkan dirinya. Namun lelaki itu telah menyiapkan aset untuk Yasmin dan Naura. Tanggung jawab seorang ayah meski tak dapat terus bersama. "Owek... Oweek..."Tangis Naura menggema memenuhi setiap sudut ruangan. Semakin mendekati kamar, suara itu semakin keras.
"Dokter, ada yang ingin saya bicarakan.""Langsung saja, Dok!" jawab Harun dengan mata fokus menatap layar laptop. "Dokter Farel melakukan kesalahan lagi, Dok."Harun mengalihkan pandangannya. "Maksudnya?""Dokter Farel salah memberikan resep, Dok.""Apa!" pekik Harun. Seketika Harun menutup laptopnya. Dia bergegas menuju ruangan putranya. Sepanjang jalan dia mengumpat dalam hati. Lagi-lagi merutuki kecerobohan putranya. "Percuma kuliah tinggi-tinggi, ngasih resep saja gak becus!" BRAK! Pintu berwarna abu itu didorong kasar. Suara keras sontak membuat Farel tersentak, kaget. Lelaki yang tengah fokus itu membawa artikel seketika mengalihkan pandangan. "Bisa-bisanya kamu salah memberikan resep, Rel! Apa gunanya kuliah tinggi, obat asma saja gak ngerti!"Farel masih diam, dia enggan membalas makian Harun. Pikirannya sudah lelah karena terus memikirkan keadaan istri dan putri semata wayangnya. Berpisah dengan keluarga membuat hidupnya mati. Ya, dia hidup tapi mati. Harun terus mema
"Sayang, titip Naura ya," ucap Farel sebelum mobil yang membawa Yasmin dan Naura pergi dari hadapannya. "Doakan Naura sembuh agar kita dapat berkumpul kembali."Farel mengangguk dan tersenyum datar. Sebisa mungkin ia tutupi kemelut dalam rongga dadanya. Lelaki itu tak ingin istrinya curiga dan membatalkan keberangkatannya ke Singapura. * Flashback *Satu bulan yang lalu. "Yas," panggil Farel lirih. Saat ini mereka berada di ruang rawat inap. Suasana sunyi membuat suara lirih terdengar begitu jelas. Yasmin pun menoleh, menatap lelaki yang duduk di kursi, tepat di hadapannya. "Aku sudah mencari donasi untuk pengobatan Naura.""Sudah dapat, Rel?"Farel mengangguk pelan. Detik itu mulutnya begitu kelu. Kalimat yang sedari tadi menari di kepalanya mendadak hilang, meninggalkan mulut yang tertutup, membisu. "Secepat ini, Rel? Yakin ini bantuan dari yayasan?""Iya. Aku dapat dari teman lama. Kamu tahu, kan. Aku mantan dokter, jadi tahu akses untuk mendapatkan bantuan dari yayasan." Fa
Satu minggu kemudian"Rel, gendongnya gimana?" Yasmin melirikku, dia nampak bingung bagaimana cara menggendong Naura. "Kamu bawa tasnya saja, Yas."Aku meletakkan tas berisi keperluan Naura selama di rumah sakit. Dengan hati-hati, aku gendong bayi mungil ini. Yasmin hanya diam, memperhatikan caraku menggendong bayi yang baru berusia 12 hari. "Kamu pinter banget, Rel.""Hem!""Iya lupa, kamu lebih jago dari aku." Yasmin tersenyum samar. Setelah semua urusan selesai, kami pun segera meninggal rumah sakit. Sepanjang jalan tak henti-hentinya Yasmin menatap wajah mungil yang ada di dalam pangkuanku. Senyum tergambar jelas di wajah ayunya. Yasmin bahagia, begitu pula diriku. "Dia cantik ya, Pa."Aku tersenyum mendengar kata itu. Papa... entah kenapa aku tergelitik kala Yasmin memanggilku dengan sebutan itu. Ternyata aku sudah benar-benar tua. Sudah ada ekor ke mana pun aku pergi. "Kenapa mesem begitu? Aku salah ngomong ya?""Enggak.""Lalu kenapa kamu tertawa? Aku tersenyum lebar. "
"Boleh, tapi ada syaratnya, Rel.""Papa.""Iya ini Papa.""Tolong bantu Farel, Pa."Aku mengiba, dengan sengaja menurunkan harga diri yang sempat kujunjung tinggi. Aku menyerah, mengalah demi Yasmin dan putri kecil kami. "Ada syaratnya, Farel.""Syarat... Maksud Papa?""Farel... Farel, kamu lupa... di dunia ini tidak ada yang gratis! Semua hal harus ada timbal baliknya, bukan?"Aku diam, kepala mencoba mencerna setiap kata yang terucap dari mulut Papa. Entah setan apa yang kini mendiami kepala Papa. Pola pikirnya tak seperti dulu. Papa telah berubah. "Apa yang Papa mau?""Papa akan kirimkan sejumlah uang. Kamu kirimkan no rekening sekarang!""Lalu apa yang Papa mau dariku?""Nanti Papa beritahu.""Tapi, Pa.""Pikirkan dulu kesehatan anak dan istrimu, Farel."Sambungan dimatikan sepihak. Meski belum puas dengan penjelasan Papa, aku memilih diam dan menerima penawarannya. Karena hanya itu satu-satunya harapan yang aku punya. Setelah mengirimkan nomor rekening yang baru. Aku segera m
"Yasmin!"Farel segera berlari mendekati istrinya yang tergeletak di lantai tepat di depan kamar mandi. Yasmin pingsan beberapa saat yang lalu. "Yasmin, kamu kenapa?" Farel kebingungan melihat Yasmin tak bergerak. Farel menyentuh pipi istrinya, tapi Yasmin masih diam saja. Refleks Farel mengangkat tubuh Yasmin. Tertatih ia membopong tubuh Yasmin ke dalam kamar. Farel berusaha menguasai diri. Dia tepis rasa khawatir yang bersemayam dalam dadanya. Suami mana yang tak khawatir dan panik melihat istrinya tak sadarkan diri. Apalagi dalam kondisi mengandung. Dengan cekatan Farel memeriksa denyut nadi perempuan di hadapannya. Seketika wajah lelaki menegang kala melihat cairan merah yang mengalir di kaki istrinya. Tanpa pikir panjang, Farel berlari ke luar. Dia berusaha meminta bantuan tetangganya. Tidak lama sebuah mobil berhenti di jalan depan rumah Farel. Farel dan seorang lelaki dengan hati-hati membopong tubuh Yasmin. Mereka merebahkan Yasmin di jok bagian tengah."Tolong cepat ya,
"Papa."Mataku melotot melihat lelaki yang kini berdiri di hadapanku. Lelaki yang sejak semalam kupikirkan kini berdiri di depan mata. Namun dengan wajah merah padam. "Siapa tamunya, Rel?"Aku masih diam, pertanyaan Yasmin bagi angin lalu. Hanya lewat tanpa singgah apalagi menetap. "Mama dan Hazna mana?" tanyanya dengan netra menelisik setiap sudut ruangan ini. "Ada di dalam, Pa. Papa masuk dulu!""Gak sudi! Suruh mama dan Hazna keluar, sekarang!" pekiknya. "Kok lama, siapa tamunya, Mas?"Aku menoleh ke belakang. Yasmin sudah berdiri dengan wajah menunduk, ketakutan. "Papa," ucap Mama dan Mbak Hazna serempak. Hening menyelimuti ruangan ini beberapa saat. Ada takut dan tegang yang membuat suasana tidak lagi kondusif. Tatapan papa mampu membuat semua orang menciut, terutama Yasmin. "Ayo pulang, Ma, Hazna!""Dari mana Papa tahu aku dan mama berada di sini?" tanya Mbak Hazna ketika berada di sampingku. "Tak penting, pulang sekarang!""Sabar, Pa! Semua bisa dibicarakan dengan baik-
"Mama... Mbak Hazna."Aku tak mampu lagi berkata-kata, hanya sebuah pelukan yang mampu melukiskan betapa rindu hatiku ini. "Lepas, Rel!" Mbak Hazna mendorong tubuhku hingga menjauh. "Kamu mau Mbakmu ini mati kehabisan napas?"Aku tersenyum sambil menggaruk kepala yang tak gatal. Aku terlalu bahagia hingga mengapresiasikan rasa itu secara berlebihan. Mbak Hazna tak tahu, betapa aku sangat merindukan dia dan mama. "Ma, Mbak," panggil Yasmin seraya mencium penggung kedua wanitaku dengan khitmad. Sempat kulihat keraguan yang nampak di wajah istriku. Namun seketika berubah kala mama dan Mbak Hazna menyambut dengan pelukan hangat. Ini adalah momen yang selalu aku nantikan. Kami berkumpul tanpa rasa benci dan amarah. Kami hidup menjadi keluarga yang utuh dan bahagia. Namun perjuangan kami belumlah selesai. Aku dan Yasmin harus berusaha keras melunakkan hati papa yang sekeras baja. "Disuruh diem di situ, Rel? Tante sama Mbak Hazna capek berdiri begitu."Seketika aku terkesiap kemudian se