"Apa karena dia masih muda hingga membuat kamu memilih dia?"
"Apa sih Om, aku gak ngerti."
"Aww... Sakit Om." Seketika tangannya terlepas dari pundakku.
"Maafkan aku sayang, aku khilaf. Aku cemburu melihat kamu makan dengan lelaki. Apa lagi dia lebih muda dariku. Aku takut kamu memilih dia."
Aku tersenyum melihat wajah sendunya. Om Bagas cemburu. Apa aku tak salah dengar?
Tanpa rasa malu ku peluk tubuhnya. Aku bahkan tak perduli ada di muka umum. Rasa bahagia membuat aku lupa jika diri ini hanyalah selingan.
"Nanti aku jelasin di apartemen!" ucapku seraya menggandeng tangan Om Bagas.
Bagai kerbau di cucuk hidungnya, Om Bagas hanya menurut tanpa banyak bicara.
"Mau bawa mobil sendiri-sendiri atau satu mobil?" tanyaku setelah kami tiba di basement.
"Naik mobilku saja. Mobil kamu biar di bawa orang suruhanku. Aku takut kamu menghilang lagi." Aku tersenyum melihat sikap lucu Om Bagas saat cemburu. Sungguh menggemaskan.
Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, tapi ini bukan arah apartemen. Aku tak tahu mau di bawa ke mana?
"Kita mau ke mana,sayang?" tanyaku manja. Ku elus tangan kirinya. Sontak Om Bagas melirik ke arahku.
"Liburan," jawabnya datar tanpa ekspresi. Rupanya dia masih marah padaku.
"Terima kasih Om." Ku kecup pipi kirinya.
"Kamu masih berhutang penjelasan, Yasmin."
"Oke, akan ku ceritakan...."
Aku mulai bercerita tentang awal bertemu dengan Gilang hingga tragedi ponsel hancur. Om Bagas mendengarkan dengan mata fokus ke depan.
"Kenapa tidak bilang jika ponselnya rusak? Hem?"
"Malu Om, nanti Om kira aku matre." Ku tundukkan kepala. Pura-pura bersalah.
Menjadi seorang simpanan harus pandai menarik ulur hati. Seperti aku ini.
"Harusnya kamu bilang sayang. Aku juga senang kamu meminta padaku. Aku tak ingin kamu bergantung pada lelaki lain. Kamu milikku. Jadi semua kebutuhan kamu, hanya aku yang boleh memberikannya."
"Aku hanya menuntut tanggung jawab. Tidak lebih. Bukankah lelaki harus bertanggung jawab," ucapku sedikit menyindir dirinya.
Om Bagus memilih diam hingga sampai di bandara. Apa susahnya tanggung jawab? Apa mungkin dia tak akan mau bertanggungjawab padaku?
Sudahlah, ini bukan saat yang tepat untuk berpikir ke sana terlalu jauh. Justru momen ini sangat tepat ku gunakan untuk menarik hati Om Bagas. Ya, akan ku lakukan itu.
Kami berjalan bergandengan, tak perduli beberapa pasang mata menatap tak suka. Ini hidupku, tak usah memikirkan apa yang mereka ucapkan. Asal aku bahagia semua tak masalah. Tak perduli jika yang ku lakukan hina.
Aku duduk di samping Om Bagas, bergelayut manja di pundaknya. Om Bagas tersenyum melihat tingkah manjaku.
***
"Kamu suka kamarnya, sayang?" tanyanya lalu menjatuhkan bobot di atas ranjang.
"Suka Om."
"Liburan masih beberapa hari lagi, Om. Tapi kenapa jadi hari ini?" tanyaku penasaran.
Liburan ini terlalu mendadak. Aku bahkan tak membawa koper. Hanya baju yang melekat dan sepatu berbeda warna ini.
Om Bagas menepuk ranjang di sebelahnya, mengisyaratkan agar aku tidur di sampingnya. Ku lepas sepatu kets berbeda warna lalu merebahkan tubuh di sampingnya. Lengan Om Bagas ku jadikan bantal. Ku tatap lekat manik hitam yang membuatku rindu.
Mata ini selalu membuatku terhipnotis. Aroma tubuh ini yang selalu membuat tidurku semakin nyaman.
"Besok Sandra akan mengusirmu dari apartemen. Namun sebelum dia bisa melakukannya, kita sudah terlebih dahulu liburan. Dia pasti kecewa. Bukankah itu menyenangkan?" Aku mengangguk mempererat pelukan. Rasa lelah membuatku terlelap di dalam dada bidangnya.
Aku menggeliat, meregangkan otot-otot yang terasa kaku karena tidak bergerak di pelukan Om Bagas. Lelaki itu memang tak pernah melepas pelukannya dari tubuh ini.
"Kamu sudah bangun, sayang?" Sebuah kecupan mendarat di keningku.Ini momen yang selalu aku rindukan. Bersama Om Bagas setiap waktu. Namun aku sadar ini hanya sesaat. Apa aku salah jika menginginkan ikatan yang jelas dengannya?
"Kenapa lihatin seperti itu? Hem!" Om Bagas mencubit gemas hidung bangirku.
"Aku bahagia dan ingin selamanya bersama Om, dari membuka mata hingga terlelap kembali."
"Sabar sayang. Tunggu sebentar lagi. Kita akan bersama."
Ku satukan bibir ini di tempat yang sama. Tubuhku menghangat seakan ada aliran listrik yang melewatinya. Kami terbuai, menyelami samudera dosa yang tidak ada habisnya.
***
Pov Sandra
Hatiku terasa terbakar saat membaca runtutan pesan Mas Bagas dan wanita sial*n itu. Peringatan kedua tak dihiraukan. Dia justru semakin gencar mendekati Mas Bagas.
Entah apa yang Yasmin berikan hingga Mas Bagas bertekuk lutut padanya. Kalau masalah cantik, aku tak kalah cantik darinya. Hanya umur saja yang berbeda.
[Dandan yang cantik sayang. Aku akan ke apartemen jam lima.]
Mas Bagas kembali mengirimkan pesan ke nomor Yasmin. Mungkin ini saat yang tepat untuk menangkap basah mereka. Kalau peringatan pertama dan kedua tidak berhasil. Maka aku harus bersikap tegas. Mungkin sangsi sosial akan membuat wanita itu jera.
Setelah azan dzuhur aku sengaja stand by di dekat apartemen wanita itu. Apartemen yang di sewa menggunakan uang Mas Bagas. Sungguh aku tak rela sepersen uang Mas Bagas yang digunakan untuk wanita itu.
Aku menunggu hingga rasa bosan hadir. Senyum di wajahku merekah saat melihat mobil merah keluar dari kawasan apartemen. Perlahan aku mengikutinya, memberi jarak agar keberadaanku tidak terendus olehnya.
Sayang, di pertengahan jalan dia melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Saat hendak mengejar justru sebuah truk menyalip kendaraanku. Sial.
Wanita itu seperti belut, sangat licin dan tak mudah ditangkap.
Beberapa kaki aku berputar-putar di jalan yang sama. Berharap menemukan mobil merah itu. Namun sial, dia lolos begitu saja. Ku putuskan kembali ke rumah.
Rasa lelah membuat aku ingin tidur lelap. Ku rebahkan tubuh ini di atas ranjang. Aku merebahkan tubuh di atas ranjang. Ku pejamkan mata ini, berharap rasa kantuk datang menyapa. Namun nyatanya tidak bisa. Bayang Mas Bagas menari-nari di pelupuk mata.
Aku menangis mengingat suamiku. Bohong jika aku baik-baik saja melihat pengkhianatan nya. Hati istri mana yang tidak terluka jika suami berbagi hati juga tubuh dengan wanita lain.
Ku elus ranjang sebelah, rasa rindu menyeruak dalam kalbu. Sudah begitu lama Mas Bagas mengabaikan aku. Hampir satu bulan dia tak pernah menyentuhku.
Apa aku begitu jelek di matanya?
Apa aku tak menarik lagi?
Berbagai pertanyaan memenuhi kepalaku.
Ingin rasanya menyerah dan lari dari pernikahan ini. Namun rasa cinta dan kehadiran anak-anak membuatku bertahan dalam ikatan suci ini. Mungkin semua orang mengatakan aku bodoh. Tetapi aku tak bisa menepis rasa ini.Bagiku Mas Bagas adalah nafas. Dan sampai kapan pun tak akan aku lepaskan.
Kriingg
Suara panggilan masuk terdengar nyaring di telinga. Aku ambil benda pipih yang ada di dalam tas.
"Pak Bagas dan Yasmin sedang berlibur ke Bali. Saat ini mereka berada di bandara."
Dadaku bergemuruh hebat mendengar berita itu. Rasa sesak dan nyeri merasuk di sanubari. Di sini aku terluka, menangisi nasib pernikahanku tapi mereka justru asyik memadu kasih. Ini tidak bisa dibiarkan. Mereka harus ku beri pelajaran.
Dengan emosi membara ku sambar tas dan kunci mobil. Aku marah, benci dan kecewa,entah pada siapa? Aku hampir tak bisa bernafas kalah bayang Mas Bagas bergumal dengan Yasmin memenuhi isi kepala.
"Mami mau ke mana?" tanya Brian menghentikan langkah kakiku.
"Mami ada urusan, kamu tidak pergi kan?" Putra sulung ku menggelengkan kepala.
"Papi ke mana, mi?"
Aku gelagapan, bingung harus menjawab apa? Tak mungkin ku katakan jika ayahnya tengah bersama wanita lain. Aku harus bisa menjaga perasaan kedua putraku.
Di depan mereka kami adalah sepasang suami istri yang harmonis. Mereka tidak pernah tahu bagaimana hubungan kami di belakang mereka.
Kedua putraku selalu membanggakan ayahnya. Ayah yang mereka anggap sebagai imam yang baik. Nyatanya tega menorehkan luka di hati ibunya.
Ini alasanku memilih diam. Aku tak ingin hati mereka merasakan hal yang sama denganku. Biarlah mereka berpikir jika ayahnya lelaki sempurna.
"Mi, kenapa diam?"
"Em... Mami buru-buru. Titip adik kamu." Aku segera berjalan meninggalkan Brian yang menatapku dengan tatapan penuh selidik.
Ku hirup udara dalam lalu menghembuskan nafas perlahan. Ya Tuhan, ujian ini terlalu berat untukku. Rasanya aku ingin menyerah saja.
Aku masuk mobil lalu menguncinya dari dalam. Tanpa terasa bulir bening membasahi pipiku. Segera ku hapus air mata yang menempel di pipi. Aku harus kuat demi anak-anak.
Ku ambil benda pipih di dalam tas. Tangan ini menari di atas layar mencari nomor kontak adikku.
"Mbak mau ketemu! Ada yang ingin Mbak bicarakan."
Jangan lupa tinggalkan jejak.
"Mbak mau ketemu! Ada yang ingin Mbak bicarakan." "Aku di bengkel. Mbak ke sini saja," jawab Ray. Seketika panggilan telepon terputus. Dengan emosi yang meletup-letup di dada, Sandra segera menyalakan mesin mobil. Perlahan kendaraan roda empat miliknya berjalan meninggalkan halaman rumah mewah Bagaskara. Rumah yang telah dihuni dua puluh dua tahun yang lalu. Sandra tidak menyadari jika sedari tadi Brian sedang mengawasi gerak-geriknya. Sebagai anak sulung, Brian sadar jika ibunya tengah memiliki masalah. Saat berhadapan dengannya Sandra seolah menghindar.Bahkan dia enggan bertatap muka dengannya. Sikap seperti itu yang membuat dia yakin, jika ada sesuatu yang ibunya rahasiakan. Mobil berwarna putih itu melaju dengan kecepatan tinggi. Sandra kesetanan, dia bahkan tak perduli dengan nyawanya sendiri. Yang ada di kepalanya ialah rasa marah, benci, dan kecewa kepada Bagaskara dan Yasmin. Janji setia yang terlontar dari mulut Bagaskara ternyata hanya bualan semata. Nyatanya lelaki yan
Sandra dan Ray telah sampai di pulau Bali. Sebuah pulau yang terkenal dengan pariwisatanya yang sangat indah. Situasi bandara sangat ramai kala Sandra dan Ray menginjakkan kaki di pulau Dewata.Banyak turis luar negeri yang berada di sana. Bali merupakan salah satu destinasi pariwisata favorit di kalangan turis luar negeri. Tidak heran jika kita akan bertemu orang berkulit putih di sana. Sandra melepas kaca mata hitam yang sedari tadi menutupi mata indahnya. Wanita berambut panjang itu menghirup nafas dalam, mencari pasokan oksigen agar bisa berpikir jernih. Sandra berusaha menata hati, menghilangkan keraguan yang sempat singgah di hati. Sebagai seorang istri dia harus bisa menutup aib suami. Namun yang akan ia lakukan justru kebalikannya. "Kita mau ke mana, Mbak?" tanya Ray menyentak lamunan sang kakak. Sandra mengambil benda pipih di dalam tas, lalu menyalakannya. Beberapa pesan masuk di aplikasi berwarna hijau miliknya. Tangan Sandra begitu cekatan bermain di atas layar. "Kita
Ceklik.... Pintu di buka sedikit dari dalam. Bagas membulat sempurna melihat wanita yang kini berdiri di depan pintu kamarnya. "Sandra," ucapnya lirih.Sandra mengedipkan mata pada Ray. Dengan sekali dorong pintu itu terbuka lebar. Terlihat jelas wanita yang tidur di balik selimut khas hotel mewah itu. "Papi bisa jelaskan, mi," ucap Bagas seraya menyentuh pundak istrinya. Sandra menepis kasar tangan sang suami seraya menatap tajam ke arahnya. Tidak ada sorot kelembutan yang biasa tampak di manik hitamnya. Yang ada hanya pancaran kebencian dan amarah di sana. Bagaskara menelan ludah dengan susah payah. Dia sadar masalah besar sedang ada di depan mata. Kemarahan Sandra layaknya sebuah kutukan, mematikan. "Papi khilaf, mi." Bagaskara kembali menyentuh sang istri.Sayang usahanya meluluhkan hati Sandra sia-sia. Sandra justru semakin murka dengan ucapannya. Khilaf hanya dilakukan satu kali tapi Bagaskara melakukannya berkali-kali,bahkan sudah satu tahun. Sandra dan Ray menerobos ma
Pov AuthorDi dalam hati lelaki berambut gondrong itu tak menyukai kejadian seperti ini. Namun ia juga benci dengan kelakuan Yasmin. "Mi, tolong jangan seperti ini. Malu, mi," ucapnya seraya memakai pakaian yang sempat berceceran di lantai. Bagaskara murka dengan tingkah istrinya. Dia merasa masalah ini bisa dibicarakan di rumah. Bukan justru dibuka di muka umum. Harga dirinya sebagian pengusaha properti hancur karena ulah istrinya. Dia tetap tak sadar jika ini adalah buah dari pengkhianatan yang ia lakukan. Kebanyakan manusia memang begitu. Mencari pembenaran dari kesalahan yang ia perbuat. Bahkan hingga Tuhan memberi sedikit teguran. Mereka tak kunjung sandar tapi justru semakin liar. Sandra semakin murka. Bagaskara terus saja memintanya mengalah. Dia terkesan masih melindungi Yasmin meski hanya dalam ucapan. Dengan emosi meletup-letup Sandra mendekat ke arah Yasmin. Di tarinya tangan Yasmin dengan kasar. Tak perduli jika Yasmin terus meronta meminta belas kasihan.Hari ini San
"Bukankah ini yang kamu lakukan saat bersama kakak iparku?" ucapnya penuh penekanan. Aku melakukan dengan Om Bagas tanpa paksakan. Semua di dasari suka sama suka. Bahkan bukan hanya tubuh yang bermain, hati pun ikut bermain. Permainan yang membuatku tak bisa melepaskannya. Aku jatuh cinta pada lelaki beristri. Wajah Gilang semakin mendekat, dalam hitungan detik bibirnya telah menempel di tempat yang sama. Ku dorong wajahnya menjauh dari wajahku. Sialnya aku tak cukup kuat. Tenaga Gilang jauh lebih kuat. Sekuat apa pun aku melawan tetap saja tak bisa mengalahkannya. Air mata jatuh membasahi pipi. Aku merasa terhina. Dengan kasar Gilang menggendong tubuhku lalu membantingnya di atas kasur. "Brengs*k lo!" Gilang tak menjawab. Lelaki berambut panjang itu justru tersenyum menyeringai ke arahku. Seperti kesetanan dia melampiaskan hasratnya. Sakit luar biasa sakit.Bukan hanya hati yang sakit, tapi tubuhku juga. Tak pernah ku bayangkan jika akan mendapatkan perlakuan buruk seperti
"Hotel ini bukan untuk pemulung sepertimu!""Aku bukan pemulung!""Pergi! Jangan pernah menginjakkan kaki di sini!" Seorang satpam mendorongku keluar dari hotel. Hampir saja aku terhuyung dan jatuh. Untung saja aku bisa menyeimbangkan tubuh dengan baik. Dengan rasa kesal ku tinggalkan lobi. Marah dan kecewa mendominasi hati. Baru kali ini aku diperlakukan bak sampah dibiarkan lalu dibuang.Apa sebegitu hina berpakaian seperti ini di hotel bintang lima. Lalu apa kabar wanita yang memakai bagus kurang bahan?Sekali lagi ku tatap hotel bintang lima yang semalam ku tinggali. Bayang panasnya pergulatan dengan Om Bagas masih terasa. Namun kini aku di buang dengan hina. "Baru sebentar aku menikmati indah dunia tapi kini,Engkau jatuhkan aku ke dalam kubangan lagi," batinku kesal. Aku berjalan tanpa tujuan. Sesekali meringis kesakitan karena berjalan tanpa alas kaki. Mimpi apa aku semalam hingga jadi gelandangan di pulau orang. Sekarang aku harus ke mana? Ingin pulang tapi uang tidak cukup
"Berhenti!" Kuhentikan langkah setelah mendengar teriakan lantang seseorang. Sedikit ragu ku putar badan. Mati! Masalah baru menghampiriku. Bodyguard anak-anak itu sudah berdiri tepat di belakang sembari menatap nyalang ke arahku. Kutelan saliva dengan susah payah. Aku harus bagaimana ini? Dengan kekuatan penuh aku berlari meninggalkan tempat itu. Ku tahan rasa sakit saat kerikil tajam menghujam kakiku. Bahkan darah keluar dari jempol kaki kanan. Rasanya luar biasa perih. "Kejar!" Teriak lelaki berkulit hitam. Aku gelagapan, ku paksa kaki ini berlari lebih cepat lagi. Namun luka di jempol membuat aku tak bisa lari lebih cepat. Ku lirik belakang. Bodyguard mereka semakin mendekat. Ya, ampun! Bayangan diamuk orang-orang membuatku merinding. Luka goresan Gilang saja belum sembuh dan ini akan ditambah amukan warga. Oh, tidak! Jangan sampai aku dihajar mereka! Aku terus berlari tanpa memperhatikan jalan. Yang ada di pikiranku saat ini adalah lepas dari mereka. Sumpah, aku tidak
“Sakit ....” Aku meringis kesakitan sambil memegangi jempol kaki. Rasanya semakin berdenyut hingga ke kepala. “Saya bantu,Mbak!” Lelaki itu memapah tubuhku hingga ke dekat mobilnya. Aku duduk menyamping dengan kaki bergelantung di luar mobil. Dengan cepat ia mengambil kotak obat di dalam mobil. Ada rasa heran yang tiba-tiba singgah. Di dalam mobil kenapa ada kotak P3K? Sementara di dalam mobilku hanya ada perlegkapan kosmetik. Lelaki ini aneh! “Ditahan kalau sakit!” ucapnya seraya menyiram air mineral ke jempolku. Seketika rasa perih menjalar ke seluruh tubuh ini. Aku sampai meringis menahan rasa sakit itu. Dengan cekatan lelaki itu mengobati luka di kakiku. Dia seakan paham betul apa yang harus dilakukan untuk menutup luka ini. Aku saja belum tentu bisa. “Pelan-pelan!” ucapku seraya menahan rasa perih di ujung kaki. “Makannya kala jalan pakai alas kaki!” Aku menghembuskan nafas kasar. Bagaimana aku mau jalan kaki jika diusir dari hotel tempat menginap? Masih untung aku memaka
"Makan ya, Rel," bujuk Mama seraya mendekatkan sendok ke arahku. Aku menoleh, kembali fokus menatap awan yang terlihat dari jendela kamar. Saat ini aku tengah terkulai lemas di atas ranjang khas rumah sakit. Beberapa hari yang lalu aku terpaksa dilarikan ke rumah sakit karena jatuh pingsan di kamar mandi. "Jangan dibiarkan kosong perutnya, Rel. Kamu tahu, kan harus bagaimana? Jangan hanya pandai menasihati pasien, sementara kamu sendiri tidak melalukan hal itu."Aku masih membisu. Netraku masih tertuju pada titik yang sama. Langit siang hari di Kota Jakarta. Bukan langit biru dengan burung yang menari di sana. Namun langit yang tertutup oleh awan putih akibatnya banyaknya pencemaran udara. "Rel, jangan seperti ini, Nak. Kamu harus sembuh demi ...""Demi siapa, Ma? Demi memenuhi obsesi Papa. Percuma aku sembuh jika hidupku terasa mati. Aku hidup tapi mati."Isak tangis kembali terdengar di telinga. Siapa lagi kalau buka Mama. Namun kali ini aku memilih bungkam. Tenggelam dalam ras
Yasmin luruh di lantai. Tangisnya pecah detik itu juga. Penyesalan pun hadir, bahkan menyesakkan dada. Maafkan aku, Rel. Aku salah mengira. Aku pikir kamu tega meninggalkan aku dan Naura hanya karena harta. Tapi justru kamu yang berkorban untuk Naura. Farel... Pulanglah. Butiran-butiran kristal telah membanjiri pipi. Bahkan surat pemberian Farel telah baca oleh air mata. Ya Allah, haruskah kami berpisah untuk kedua kalinya? Dipisahkan dengan orang kita sayangi itu memang berat. Apalagi jika perpisahan itu terjadi karena keadaan. Itu jauh lebih menyakitkan dari dikhianati. ***Hari demi hari Yasmin lewati dengan kesedihan. Tawanya memang terdengar, tapi hanya untuk menutupi sunyi dan luka dalam sanubari. Farel memang meninggalkan dirinya. Namun lelaki itu telah menyiapkan aset untuk Yasmin dan Naura. Tanggung jawab seorang ayah meski tak dapat terus bersama. "Owek... Oweek..."Tangis Naura menggema memenuhi setiap sudut ruangan. Semakin mendekati kamar, suara itu semakin keras.
"Dokter, ada yang ingin saya bicarakan.""Langsung saja, Dok!" jawab Harun dengan mata fokus menatap layar laptop. "Dokter Farel melakukan kesalahan lagi, Dok."Harun mengalihkan pandangannya. "Maksudnya?""Dokter Farel salah memberikan resep, Dok.""Apa!" pekik Harun. Seketika Harun menutup laptopnya. Dia bergegas menuju ruangan putranya. Sepanjang jalan dia mengumpat dalam hati. Lagi-lagi merutuki kecerobohan putranya. "Percuma kuliah tinggi-tinggi, ngasih resep saja gak becus!" BRAK! Pintu berwarna abu itu didorong kasar. Suara keras sontak membuat Farel tersentak, kaget. Lelaki yang tengah fokus itu membawa artikel seketika mengalihkan pandangan. "Bisa-bisanya kamu salah memberikan resep, Rel! Apa gunanya kuliah tinggi, obat asma saja gak ngerti!"Farel masih diam, dia enggan membalas makian Harun. Pikirannya sudah lelah karena terus memikirkan keadaan istri dan putri semata wayangnya. Berpisah dengan keluarga membuat hidupnya mati. Ya, dia hidup tapi mati. Harun terus mema
"Sayang, titip Naura ya," ucap Farel sebelum mobil yang membawa Yasmin dan Naura pergi dari hadapannya. "Doakan Naura sembuh agar kita dapat berkumpul kembali."Farel mengangguk dan tersenyum datar. Sebisa mungkin ia tutupi kemelut dalam rongga dadanya. Lelaki itu tak ingin istrinya curiga dan membatalkan keberangkatannya ke Singapura. * Flashback *Satu bulan yang lalu. "Yas," panggil Farel lirih. Saat ini mereka berada di ruang rawat inap. Suasana sunyi membuat suara lirih terdengar begitu jelas. Yasmin pun menoleh, menatap lelaki yang duduk di kursi, tepat di hadapannya. "Aku sudah mencari donasi untuk pengobatan Naura.""Sudah dapat, Rel?"Farel mengangguk pelan. Detik itu mulutnya begitu kelu. Kalimat yang sedari tadi menari di kepalanya mendadak hilang, meninggalkan mulut yang tertutup, membisu. "Secepat ini, Rel? Yakin ini bantuan dari yayasan?""Iya. Aku dapat dari teman lama. Kamu tahu, kan. Aku mantan dokter, jadi tahu akses untuk mendapatkan bantuan dari yayasan." Fa
Satu minggu kemudian"Rel, gendongnya gimana?" Yasmin melirikku, dia nampak bingung bagaimana cara menggendong Naura. "Kamu bawa tasnya saja, Yas."Aku meletakkan tas berisi keperluan Naura selama di rumah sakit. Dengan hati-hati, aku gendong bayi mungil ini. Yasmin hanya diam, memperhatikan caraku menggendong bayi yang baru berusia 12 hari. "Kamu pinter banget, Rel.""Hem!""Iya lupa, kamu lebih jago dari aku." Yasmin tersenyum samar. Setelah semua urusan selesai, kami pun segera meninggal rumah sakit. Sepanjang jalan tak henti-hentinya Yasmin menatap wajah mungil yang ada di dalam pangkuanku. Senyum tergambar jelas di wajah ayunya. Yasmin bahagia, begitu pula diriku. "Dia cantik ya, Pa."Aku tersenyum mendengar kata itu. Papa... entah kenapa aku tergelitik kala Yasmin memanggilku dengan sebutan itu. Ternyata aku sudah benar-benar tua. Sudah ada ekor ke mana pun aku pergi. "Kenapa mesem begitu? Aku salah ngomong ya?""Enggak.""Lalu kenapa kamu tertawa? Aku tersenyum lebar. "
"Boleh, tapi ada syaratnya, Rel.""Papa.""Iya ini Papa.""Tolong bantu Farel, Pa."Aku mengiba, dengan sengaja menurunkan harga diri yang sempat kujunjung tinggi. Aku menyerah, mengalah demi Yasmin dan putri kecil kami. "Ada syaratnya, Farel.""Syarat... Maksud Papa?""Farel... Farel, kamu lupa... di dunia ini tidak ada yang gratis! Semua hal harus ada timbal baliknya, bukan?"Aku diam, kepala mencoba mencerna setiap kata yang terucap dari mulut Papa. Entah setan apa yang kini mendiami kepala Papa. Pola pikirnya tak seperti dulu. Papa telah berubah. "Apa yang Papa mau?""Papa akan kirimkan sejumlah uang. Kamu kirimkan no rekening sekarang!""Lalu apa yang Papa mau dariku?""Nanti Papa beritahu.""Tapi, Pa.""Pikirkan dulu kesehatan anak dan istrimu, Farel."Sambungan dimatikan sepihak. Meski belum puas dengan penjelasan Papa, aku memilih diam dan menerima penawarannya. Karena hanya itu satu-satunya harapan yang aku punya. Setelah mengirimkan nomor rekening yang baru. Aku segera m
"Yasmin!"Farel segera berlari mendekati istrinya yang tergeletak di lantai tepat di depan kamar mandi. Yasmin pingsan beberapa saat yang lalu. "Yasmin, kamu kenapa?" Farel kebingungan melihat Yasmin tak bergerak. Farel menyentuh pipi istrinya, tapi Yasmin masih diam saja. Refleks Farel mengangkat tubuh Yasmin. Tertatih ia membopong tubuh Yasmin ke dalam kamar. Farel berusaha menguasai diri. Dia tepis rasa khawatir yang bersemayam dalam dadanya. Suami mana yang tak khawatir dan panik melihat istrinya tak sadarkan diri. Apalagi dalam kondisi mengandung. Dengan cekatan Farel memeriksa denyut nadi perempuan di hadapannya. Seketika wajah lelaki menegang kala melihat cairan merah yang mengalir di kaki istrinya. Tanpa pikir panjang, Farel berlari ke luar. Dia berusaha meminta bantuan tetangganya. Tidak lama sebuah mobil berhenti di jalan depan rumah Farel. Farel dan seorang lelaki dengan hati-hati membopong tubuh Yasmin. Mereka merebahkan Yasmin di jok bagian tengah."Tolong cepat ya,
"Papa."Mataku melotot melihat lelaki yang kini berdiri di hadapanku. Lelaki yang sejak semalam kupikirkan kini berdiri di depan mata. Namun dengan wajah merah padam. "Siapa tamunya, Rel?"Aku masih diam, pertanyaan Yasmin bagi angin lalu. Hanya lewat tanpa singgah apalagi menetap. "Mama dan Hazna mana?" tanyanya dengan netra menelisik setiap sudut ruangan ini. "Ada di dalam, Pa. Papa masuk dulu!""Gak sudi! Suruh mama dan Hazna keluar, sekarang!" pekiknya. "Kok lama, siapa tamunya, Mas?"Aku menoleh ke belakang. Yasmin sudah berdiri dengan wajah menunduk, ketakutan. "Papa," ucap Mama dan Mbak Hazna serempak. Hening menyelimuti ruangan ini beberapa saat. Ada takut dan tegang yang membuat suasana tidak lagi kondusif. Tatapan papa mampu membuat semua orang menciut, terutama Yasmin. "Ayo pulang, Ma, Hazna!""Dari mana Papa tahu aku dan mama berada di sini?" tanya Mbak Hazna ketika berada di sampingku. "Tak penting, pulang sekarang!""Sabar, Pa! Semua bisa dibicarakan dengan baik-
"Mama... Mbak Hazna."Aku tak mampu lagi berkata-kata, hanya sebuah pelukan yang mampu melukiskan betapa rindu hatiku ini. "Lepas, Rel!" Mbak Hazna mendorong tubuhku hingga menjauh. "Kamu mau Mbakmu ini mati kehabisan napas?"Aku tersenyum sambil menggaruk kepala yang tak gatal. Aku terlalu bahagia hingga mengapresiasikan rasa itu secara berlebihan. Mbak Hazna tak tahu, betapa aku sangat merindukan dia dan mama. "Ma, Mbak," panggil Yasmin seraya mencium penggung kedua wanitaku dengan khitmad. Sempat kulihat keraguan yang nampak di wajah istriku. Namun seketika berubah kala mama dan Mbak Hazna menyambut dengan pelukan hangat. Ini adalah momen yang selalu aku nantikan. Kami berkumpul tanpa rasa benci dan amarah. Kami hidup menjadi keluarga yang utuh dan bahagia. Namun perjuangan kami belumlah selesai. Aku dan Yasmin harus berusaha keras melunakkan hati papa yang sekeras baja. "Disuruh diem di situ, Rel? Tante sama Mbak Hazna capek berdiri begitu."Seketika aku terkesiap kemudian se