Aku menjalankan kendaraan roda empat meninggalkan apartemen. Menyetir mobil sembil menyanyikan lagu kesukaanku. Tak sengaja mata ini melihat ke spion. Sebuah mobil putih seperti mengikutiku dari belakang.
Ku tepis pikiran buruk yang sempat menghantui. Sedikit positif thinking, mungkin hanya sejalan denganku. Boleh jadi tujuan sama. Bukankah mall umum untuk siapa saja?
Sandra.
Seketika pikiran buruk menyelimuti hatiku. Bisa jadi dia suruhan Sandra untuk menculikku. Atau bahkan membunuhku.Bayangan tubuh dimutilasi lalu dibuang menari-nari di pelupuk mata. Istri yang sakit hati bisa berbuat hal di luar nalar.
Tanpa berpikir panjang ku lajukan kendaraan dengan kecepatan tinggi lalu membelokkan ke mall. Aku bernafas lega ketika mobil berwarna putih tak ada di belakangku.
Aku segera melangkah meninggalkan basement mall. Sedikit bernafas lega kala melihat sekeliling yang ramai. Penjahat tidak akan berani di situasi seperti ini. Jika mereka nekat tinggal teriak dan mereka akan terkena amukan masa. Benar kan?
Aku melangkah menuju restoran yang dimaksud lelaki itu. Penuh percaya diri melewati beberapa orang. Entah mengapa, semua mata menatapku dengan pandangan yang sulit untuk ku artikan.
Apa ada yang salah dengan penampilanku? Ah, ku rasa tidak. Mungkin mereka terpesona melihat wanita cantik seperti Yasmin Nabila Putri. Iya, kan?
Iya dong, Om Bagas saja sampai lupa daratan saat bersamaku. Itu bukti jika aku mempesona.
Aku masuk ke sebuah restoran di lantai satu. Aku mencari seorang lelaki berambut gondrong. Namun tak ada.
"Nabila!" Satu sentuhan di pundak membuatku tersentak.
Lelaki ini membuatku senam jantung. Pikiran sedang tak karuan dan dia membuatku terkejut. Hampir saja aku tinggal nama.
Oh, jangan dulu!
Aku tak mau Sandra bahagia mendengar kabar kematianku. Itu tidak akan terjadi! Sebelum aku menjadi nyonya Bagaskara maka itu tak boleh terjadi!"Bisa gak,gak buat orang jantungan!" Dia hanya tersenyum sembari mengusap rambutnya yang sudah tertutup topi hitam. Dasar aneh.
Dia menatapku dari atas lalu berpindah ke bawah. Bibir yang tadi tersenyum kini tertawa terbahak-bahak membuatku kebingungan.
Apa yang salah denganku?
"Apaan sih lo?" ucapku kesal.
"Lihat ke bawah! Lo gak sedang ngelindur kan? Ha ha ha...."
Spontan ku tundukkan kepala. Rona merah tegambar jelas di pipiku. Aku malu! Pantas saja semua mata menatapku sambil tertawa. Lha, aku pakai sepatu dengan warna berbeda.
Aku memang memiliki dua sepatu dengan model yang sama tapi warna berbeda.Namun kenapa juga sampai salah sepatu. Kanan warna putih dan kiri warna hitam. Ya ampun, sungguh memalukan.
Aku belum tua, tapi sudah lupa seperti ini.
"Ini fashion terbaru. Memang kamu gak tahu?" ucapku menutupi rasa malu.
"Bilang saja salah sepatu. Ha ha ha...." Tawa lelaki itu kembali pecah. Menyebalkan!
"Mana ponsel gue!" ucapku mengalihkan pembicaraan. Lelah menjadi bahan gunjingan. Bisa turun pamor aku gara-gara sepatu.
"Masuk dulu, gue laper!" Aku berjalan mengikuti Gilang.
Ku kuatkan mental menghadapi tatapan julid para pengunjung restoran. Anggap saja ini fashion terbaru. Dan akulah pencetusnya. Bisa jadi akan muncul tren baru seperti ini.
Aku duduk tepat di hadapan Gilang. Lelaki yang mengenakan kaos putih itu meletakkan paper bag di atas meja. Aku yakin isinya ponsel.
Seorang pelayan datang sembari membawa daftar menu dan memberikannya pada kami.
"Lo mau apa?"
"Samaain aja."
"Steak dua, orange juice dua." Pelayan mencatat pesanan Gilang.
"Sudah lama?" tanyanya basa-basi. Entah kenapa sikapnya sedikit lembut dari kemarin.
"Baru," jawabku singkat dan padat.
"Galak amat neng. Cantik-cantik mengerikan lho. Awas nanti gak ada cowok yang mau."
Dia belum tahu saja jika aku pacaran dengan suami orang. Jam terbangku jauh lebih tinggi dari dia. Tapi tidak mungkin kan aku jelaskan padanya.. Nanti dia meminta lebih lagi.
"Terserah lo mau bilang apa. Ponselku mana!"
"Sabar, kita makan dulu. Laper gue."
Sambil menunggu pesanan datang kami mulai berbincang. Rasa canggung dan kesal yang sempat menghampiri perlahan hilang. Gilang tidak semenyebalkan seperti awal bertemu. Lelaki berambut gondrong itu justru lucu dan humoris.
Kami menikmati makanan sambil berbincang ringan. Keramahan Gilang membuatku merasa nyaman. Tak butuh waktu lama kami semakin akrab. Mungkin orang lain kira kami ini teman dekat. Mereka tidak tahu saja kalau kami baru kenal. Itu pun karena kecelakaan.
"Ini ponsel kamu. Maaf untuk yang kemarin," ucapnya seraya memberikan paper bag padaku.
Aku membuka paper bag berwarna coklat itu. Sebuah ponsel dengan tipe dan warna yang sama seperti milikku. Ternyata dia hafal betul.
"Berapa nomor rekeningmu? Akan ku ganti kerusakan mobil tempo hari."
"Tak perlu, semua sudah beres kok." Aku mengangguk. Tak ada niat memaksanya untuk menerima uang ganti rugi. Justru aku bahagia tak harus kehilangan uang.
"Terima kasih."
"Sama-sama. Ngomong-ngomong gak ada yang marah kan jika kita makan berdua seperti ini?" tanyanya sembari mengaruk kepala.
Itu kepala kenapa selalu digaruk? Ada kutu atau ketombe? Ganteng-ganteng kok kutuan. Ih, memalukan!
"Maksudnya?"
"Em ... Itu ... Anu, maksudnya kamu sudah punya pacar? Aku tidak enak jika pacar kamu marah karena makan bersamaku."
Pacar? Aku dan Om Bagas lebih dari pacar. Bahkan sudah seperti suami istri. Entah hubungan macam apa yang aku jalani? Kami hanya mencari kepuasan tanpa dasar sebuah hubungan serius. Ya, walau sebenarnya aku menginginkan itu.
"Kalau menurut kamu,aku sudah memiliki kekasih belum?"
"Sudah, mana ada wanita secantik kamu tidak memiliki pacar. Orang yang baru bertemu saja bisa langsung suka. Termasuk a...." Gilang segera menutup mulutnya dengan kedua tangan.
"Termasuk kamu?"
Gilang kembali salah tingkah. Rona merah terlihat di wajah tampannya. Lucu. Namun sayang, bukan tipikalku. Aku tak suka lelaki muda karena kebanyakan mereka belum mapan. Tidak seperti lelaki berumur, seperti Om Bagas.
Hampir semua lelaki yang mengenalku seperti itu. Memuja,merayu agar aku luluh dan masuk ke dalam perangkapnya.
Apa yang diharapkan seorang lelaki pada lawan jenis kalau bukan untuk memenuhi nafsunya. Cinta? Adakah cinta yang tulus? Ku rasa tidak. Seperti Om Bagas. Berulang kali dia mengatakan cinta tapi kenyataannya dia tak kunjung memberiku kepastian. Dia hanya mencari kesenangan dariku saja.
Apa karena aku seorang wanita simpanan? Hingga sebuah ikatan pasti tak kunjung ku dapat.
"Em, iya. Jadi benar kan, jika kamu telah memiliki kekasih?" Aku tersenyum melihat tingkah konyolnya.
"Aku sesuai apa yang kamu pikirkan saja. Jika kamu berpikir aku punya kekasih. Berarti aku memiliki kekasih. Dan begitu sebaliknya." Gilang menyatukan dua alis, berusaha mencerna setiap kata yang aku ucapkan.
"Tak usah dipikirkan."
Tak terasa satu jam berlalu begitu cepat. Berbincang dengan Gilang membuatku lupa waktu. Berkali-kali ponselku bernyanyi. Tentu panggilan dari Om Bagas. Kali ini aku mengabaikannya. Entahlah,tiba-tiba rasa jenuh menghampiri. Ada rasa lelah saat aku menjalani hubungan tanpa status.
"Sepertinya sibuk. Aku pulang dulu, Bil. Lain kali boleh kan jika kita bertemu seperti ini lagi?" tanyanya seraya berdiri.
"Tentu."
Gilang melambaikan tangan lalu berjalan meninggalkanku. Aku masih melihatnya hinga menghilang di balik pintu.
Aku berjalan dengan senyum merekah. Aku sampai lupa dengan masalah besar yang ada di depan mata. Bersama dengan Gilang membuat jiwa mudaku bersemi kembali.
"Habis jalan dengan siapa, Yasmin?" Ku hentikan langkah saat mendengar suara seseorang yang ku kenal.
Aku membalikkan badan. Sebuah senyuman kuberikan untuk menyambutnya.
"Sayang, kenapa bisa ada di sini?" tanyaku sambil menyentuh pundaknya.
"Sejak kapan kamu menduakan aku? Apa kurangnya diri ini hingga kamu tega berpaling!" ucapnya lantang dengan sorot mata menatapku nyalang.
Aku justru kebingungan dengan ucapannya. Mendua? Siapa yang mendua? Bukankah dia sendiri yang mendua? Tapi kenapa aku yang dikira selingkuh?
"Kamu kenapa sih sayang, gak ada hujan gak ada badai kamu marah padaku."
"Siapa lelaki itu?" Om Bagas mencengkeram pundakku hingga membuatku meringis kesakitan.
"Apa karena dia masih muda hingga membuat kamu memilih dia?"
"Apa sih Om, aku gak ngerti."
"Aww ... Sakit Om."
Om Bagasnya kenapa ya?
Jangan lupa tinggalkan jejak.
Pov Yasmin"Apa karena dia masih muda hingga membuat kamu memilih dia?""Apa sih Om, aku gak ngerti.""Aww... Sakit Om." Seketika tangannya terlepas dari pundakku. "Maafkan aku sayang, aku khilaf. Aku cemburu melihat kamu makan dengan lelaki. Apa lagi dia lebih muda dariku. Aku takut kamu memilih dia."Aku tersenyum melihat wajah sendunya. Om Bagas cemburu. Apa aku tak salah dengar? Tanpa rasa malu ku peluk tubuhnya. Aku bahkan tak perduli ada di muka umum. Rasa bahagia membuat aku lupa jika diri ini hanyalah selingan. "Nanti aku jelasin di apartemen!" ucapku seraya menggandeng tangan Om Bagas. Bagai kerbau di cucuk hidungnya, Om Bagas hanya menurut tanpa banyak bicara. "Mau bawa mobil sendiri-sendiri atau satu mobil?" tanyaku setelah kami tiba di basement. "Naik mobilku saja. Mobil kamu biar di bawa orang suruhanku. Aku takut kamu menghilang lagi." Aku tersenyum melihat sikap lucu Om Bagas saat cemburu. Sungguh menggemaskan. Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, tapi ini bukan
"Mbak mau ketemu! Ada yang ingin Mbak bicarakan." "Aku di bengkel. Mbak ke sini saja," jawab Ray. Seketika panggilan telepon terputus. Dengan emosi yang meletup-letup di dada, Sandra segera menyalakan mesin mobil. Perlahan kendaraan roda empat miliknya berjalan meninggalkan halaman rumah mewah Bagaskara. Rumah yang telah dihuni dua puluh dua tahun yang lalu. Sandra tidak menyadari jika sedari tadi Brian sedang mengawasi gerak-geriknya. Sebagai anak sulung, Brian sadar jika ibunya tengah memiliki masalah. Saat berhadapan dengannya Sandra seolah menghindar.Bahkan dia enggan bertatap muka dengannya. Sikap seperti itu yang membuat dia yakin, jika ada sesuatu yang ibunya rahasiakan. Mobil berwarna putih itu melaju dengan kecepatan tinggi. Sandra kesetanan, dia bahkan tak perduli dengan nyawanya sendiri. Yang ada di kepalanya ialah rasa marah, benci, dan kecewa kepada Bagaskara dan Yasmin. Janji setia yang terlontar dari mulut Bagaskara ternyata hanya bualan semata. Nyatanya lelaki yan
Sandra dan Ray telah sampai di pulau Bali. Sebuah pulau yang terkenal dengan pariwisatanya yang sangat indah. Situasi bandara sangat ramai kala Sandra dan Ray menginjakkan kaki di pulau Dewata.Banyak turis luar negeri yang berada di sana. Bali merupakan salah satu destinasi pariwisata favorit di kalangan turis luar negeri. Tidak heran jika kita akan bertemu orang berkulit putih di sana. Sandra melepas kaca mata hitam yang sedari tadi menutupi mata indahnya. Wanita berambut panjang itu menghirup nafas dalam, mencari pasokan oksigen agar bisa berpikir jernih. Sandra berusaha menata hati, menghilangkan keraguan yang sempat singgah di hati. Sebagai seorang istri dia harus bisa menutup aib suami. Namun yang akan ia lakukan justru kebalikannya. "Kita mau ke mana, Mbak?" tanya Ray menyentak lamunan sang kakak. Sandra mengambil benda pipih di dalam tas, lalu menyalakannya. Beberapa pesan masuk di aplikasi berwarna hijau miliknya. Tangan Sandra begitu cekatan bermain di atas layar. "Kita
Ceklik.... Pintu di buka sedikit dari dalam. Bagas membulat sempurna melihat wanita yang kini berdiri di depan pintu kamarnya. "Sandra," ucapnya lirih.Sandra mengedipkan mata pada Ray. Dengan sekali dorong pintu itu terbuka lebar. Terlihat jelas wanita yang tidur di balik selimut khas hotel mewah itu. "Papi bisa jelaskan, mi," ucap Bagas seraya menyentuh pundak istrinya. Sandra menepis kasar tangan sang suami seraya menatap tajam ke arahnya. Tidak ada sorot kelembutan yang biasa tampak di manik hitamnya. Yang ada hanya pancaran kebencian dan amarah di sana. Bagaskara menelan ludah dengan susah payah. Dia sadar masalah besar sedang ada di depan mata. Kemarahan Sandra layaknya sebuah kutukan, mematikan. "Papi khilaf, mi." Bagaskara kembali menyentuh sang istri.Sayang usahanya meluluhkan hati Sandra sia-sia. Sandra justru semakin murka dengan ucapannya. Khilaf hanya dilakukan satu kali tapi Bagaskara melakukannya berkali-kali,bahkan sudah satu tahun. Sandra dan Ray menerobos ma
Pov AuthorDi dalam hati lelaki berambut gondrong itu tak menyukai kejadian seperti ini. Namun ia juga benci dengan kelakuan Yasmin. "Mi, tolong jangan seperti ini. Malu, mi," ucapnya seraya memakai pakaian yang sempat berceceran di lantai. Bagaskara murka dengan tingkah istrinya. Dia merasa masalah ini bisa dibicarakan di rumah. Bukan justru dibuka di muka umum. Harga dirinya sebagian pengusaha properti hancur karena ulah istrinya. Dia tetap tak sadar jika ini adalah buah dari pengkhianatan yang ia lakukan. Kebanyakan manusia memang begitu. Mencari pembenaran dari kesalahan yang ia perbuat. Bahkan hingga Tuhan memberi sedikit teguran. Mereka tak kunjung sandar tapi justru semakin liar. Sandra semakin murka. Bagaskara terus saja memintanya mengalah. Dia terkesan masih melindungi Yasmin meski hanya dalam ucapan. Dengan emosi meletup-letup Sandra mendekat ke arah Yasmin. Di tarinya tangan Yasmin dengan kasar. Tak perduli jika Yasmin terus meronta meminta belas kasihan.Hari ini San
"Bukankah ini yang kamu lakukan saat bersama kakak iparku?" ucapnya penuh penekanan. Aku melakukan dengan Om Bagas tanpa paksakan. Semua di dasari suka sama suka. Bahkan bukan hanya tubuh yang bermain, hati pun ikut bermain. Permainan yang membuatku tak bisa melepaskannya. Aku jatuh cinta pada lelaki beristri. Wajah Gilang semakin mendekat, dalam hitungan detik bibirnya telah menempel di tempat yang sama. Ku dorong wajahnya menjauh dari wajahku. Sialnya aku tak cukup kuat. Tenaga Gilang jauh lebih kuat. Sekuat apa pun aku melawan tetap saja tak bisa mengalahkan kegarangannya. Air mata jatuh membasahi pipi. Aku merasa terhina. Dengan kasar Gilang menggendong tubuhku lalu membantingnya di atas kasur. "Brengs*k lo!" Gilang tak menjawab. Lelaki berambut panjang itu justru tersenyum menyeringai ke arahku. Seperti kesetanan dia melampiaskan hasratnya. Sakit luar biasa sakit.Bukan hanya hati yang sakit, tapi tubuhku juga. Tak pernah ku bayangkan jika akan mendapatkan perlakuan b
"Hotel ini bukan untuk pemulung sepertimu!""Aku bukan pemulung!""Pergi! Jangan pernah menginjakkan kaki di sini!" Seorang satpam mendorongku keluar dari hotel. Hampir saja aku terhuyung dan jatuh. Untung saja aku bisa menyeimbangkan tubuh dengan baik. Dengan rasa kesal ku tinggalkan lobi. Marah dan kecewa mendominasi hati. Baru kali ini aku diperlakukan bak sampah dibiarkan lalu dibuang.Apa sebegitu hina berpakaian seperti ini di hotel bintang lima. Lalu apa kabar wanita yang memakai bagus kurang bahan?Sekali lagi ku tatap hotel bintang lima yang semalam ku tinggali. Bayang panasnya pergulatan dengan Om Bagas masih terasa. Namun kini aku di buang dengan hina. "Baru sebentar aku menikmati indah dunia tapi kini,Engkau jatuhkan aku ke dalam kubangan lagi," batinku kesal. Aku berjalan tanpa tujuan. Sesekali meringis kesakitan karena berjalan tanpa alas kaki. Mimpi apa aku semalam hingga jadi gelandangan di pulau orang. Sekarang aku harus ke mana? Ingin pulang tapi uang tidak cukup
"Berhenti!" Kuhentikan langkah setelah mendengar teriakan lantang seseorang. Sedikit ragu ku putar badan. Mati! Masalah baru menghampiriku. Bodyguard anak-anak itu sudah berdiri tepat di belakang sembari menatap nyalang ke arahku. Kutelan saliva dengan susah payah. Aku harus bagaimana ini? Dengan kekuatan penuh aku berlari meninggalkan tempat itu. Ku tahan rasa sakit saat kerikil tajam menghujam kakiku. Bahkan darah keluar dari jempol kaki kanan. Rasanya luar biasa perih. "Kejar!" Teriak lelaki berkulit hitam. Aku gelagapan, ku paksa kaki ini berlari lebih cepat lagi. Namun luka di jempol membuat aku tak bisa lari lebih cepat. Ku lirik belakang. Bodyguard mereka semakin mendekat. Ya, ampun! Bayangan diamuk orang-orang membuatku merinding. Luka goresan Gilang saja belum sembuh dan ini akan ditambah amukan warga. Oh, tidak! Jangan sampai aku dihajar mereka! Aku terus berlari tanpa memperhatikan jalan. Yang ada di pikiranku saat ini adalah lepas dari mereka. Sumpah, aku tidak
"Mbak Hazna gak salah ngomong?""Apa wajahku terlihat bercanda? Sejak kapan aku ngawur saat membahas masalah penting ini?"Mulutku kembali bungkam. Perkataan kakaku tak bisa diganggu gugat. Aku tahu betul, dia tak pernah main-main jika membahas masalah pernikahan. "Apa alasan Mbak Hazna menerima Yasmin?"Mbak Yasmin menghela napas. Air putih dalam gelas ia habiskan dalam sekali teguk. Kemudian tatapan tajam ia layangkan padaku. Ini masalah serius. "Itu perkataan sebelum mama masuk rumah sakit."Seketika perasaan bersalah tumbuh dan mendominasi. Keegoisanku membuat mama jatuh sakit. Anak macam apa aku ini? "Ini bukan salahmu, Rel. Kamu pantas bahagia. Mbak tahu, banyak keinginan yang terpaksa kamu tinggalkan demi mematuhi perintah papa. Sudah saatnya kamu bahagia, Farel."Setelah percakapan itu, aku segera pergi menuju apartemen Mbak Hazna. Apalagi yang akan kulakukan selain bertemu Yasmin. Baru beberapa jam tapi rindu terus membelenggu. Aku tak bisa jauh dari perempuan itu. Siulan
"Stop, Farel!"Seketika aku dan Yasmin menoleh ke belakang. Pintu lift yang semula tertutup kini sudah terbuka lebar. Seorang lelaki dengan jas dokter berdiri sambil menatap tajam padaku. Dokter Akbar, pemilik rumah sakit sekaligus ayah kandungku. "Ikut Papa!"Yasmin semakin mempererat genggaman tangannya saat kami keluar dari lift. Keringat dingin meluncur bebas dari kening. Wanitaku ketakutan. "Semua akan baik-baik saja, Yas."Aku pererat genggaman ini. Memberi kekuatan jika semua akan baik-baik saja. Aku akan selalu di depan untuk memberinya perlindungan. Sepanjang kaki melangkah semua mata menatap ke arah kami. Lebih tepatnya ke arah Yasmin. Bisik-bisik dan ucapan tak mengenakan mewarnai langkah kami. Sesekali Yasmin mengalihkan pandangan, tangan kirinya menyeka sudut netra. Dia menangis tanpa bersuara. Pintu ruang direktur utama terbuka lebar. Papa melangkah masuk, diikuti kami di belakang. Jantungku berdetak kencang kala pintu itu tertutup rapat. Kini kami saling diam deng
"Azizah!" Mataku terbuka lebar kala melihat wanita yang berdiri di hadapan. Dia masih sama seperti saat aku menolaknya. Senyum manis penuh ketulusan dia berikan padaku, lelaki yang membencinya karena sebuah perjodohan. "Kalian?" Aku menatap Azizah dan Arman bergantian. Sebuah kecurigaan tampak jelas di netra ini. "Boleh aku duduk, Bang Farel?" tanyanya menghentikan pertanyaan yang belum sempat aku ucapkan. Sebuah anggukan kuberikan sebagai jawaban saat mulut tak sanggup mengeluarkan kata. Azizah pun tersenyum, lalu menarik kursi dan duduk di antara kami. Sungguh keadaan ini membuatku tak nyaman, aku ingin pergi dan menghilang dari sini. "Kenapa kamu tahu aku ada di sini, Za?""Dia tahu dariku, Rel."Aku menghela napas kasar, mengeluarkan rasa kesal yang sempat memenuhi rongga dada. Aku sudah menduga, kedatangan Azizah pasti ada hubungannya dengan Arman. Apa ini rencana Arman untuk memisahkan aku dan Yasmin? "Amara alasan kamu melakukan ini?" Aku tatap tajam lelaki yang masih be
Aku menelan ludah dengan susah payah. Aku membenci keadaan ini. Kenapa selalu berada di situasi seperti ini? "Maaf, Bu Zazkia. Saya akan segera menikah."Wajah yang semula antusias mendadak berubah masam. Senyum yang tadi hadir sirna dalam sekejap mata. Dia kecewa. "Oh, menikah? Maaf, saya tidak tahu jika kamu sudah memiliki calon istri, Rel. Saya hanya ingin mengungkapkan perasaan ini. Maaf jika lancang dan membuatmu tak nyaman."Seulas senyum keterpaksaan nampak di wajahnya. Dia pura-pura tersenyum meski hati tersiksa. Lagi-lagi dunia penuh dengan drama dan sandiwara. Namun beruntung karena dia tak memaksaku untuk mengatakan iya. "Tak apa, Bu. Lagi pula semua orang bebas mengeluarkan pendapat, bukan? Negara ini saja mengikuti paham demokrasi, apa lagi kita yang hidup berdampingan satu dan lainnya.""Sekali lagi selamat, Rel."Aku mengangguk lalu segera berpamitan dengan wanita itu. Pergi secepat mungkin adalah pilihan yang tepat. Karena terus menerus bertemu dengan dia akan menci
"Kamu....""Iya aku, pelanggan yang kamu tinggal sebelum sempat memesan." Wanita itu berjalan mendekat, terdengar sepatu yang beradu dengan lantai."Dia pemilik restoran ini." Mati. Kali ini aku akan dipecat. Tamatlah riwayatku! Ternyata begitu sulit bekerja sebagai pelayanan. Salah sedikit berdampak pemecatan. "Maaf, Bu. Saya tidak bermaksud mengabaikan pelanggan. Saya hanya ingin menolong pelanggan yang lain. Tolong, jangan pecat saya, Bu."Wanita itu tersenyum hingga tampak gigi kelinci. "Siapa yang mau memecat kamu, Farel?"Aku menautkan dua alis, dari mana wanita itu tahu namaku? "Saya justru berterima kasih karena kamu sudah menyelamatkan orang itu.""Ja-jadi saya tidak dipecat?""Jelas tidak, mana mungkin saya memecat karyawan yang rajin seperti kamu." Aku mengangguk, seulas senyum terbit dari bibir ini. "Saya heran, kenapa kamu bisa tahu jika lelaki itu tersedak? Sementara jarak meja saya dengan lelaki itu cukup jauh."Aku hanya tersenyum, tidak mungkin aku jelaskan si
Aku berlari menuju kerumunan. Perasaanku semakin tak enak. Semoga saja itu bukan Yasmin. Semoga bukan dia. "Permisi!""Permisi!"Aku menelusup masuk ke kerumunan. Darah berceceran di trotoar dan jalan sekitarnya. Wanita yang lelaki itu maksud sudah terbujur kaku dengan koran sebagai penutup tubuhnya. Rambut hitam wanita itu sama persis dengan Yasmin. Jangan-jangan dia memang wanitaku. Tidak... Tidak, itu tidak boleh terjadi. Yasmin tidak boleh meninggalkan diriku. "Ya... Yasmin, kenapa kamu tinggalin aku," isakku. Perlahan kubuka koran yang menutupi wajahnya. Jantungku berdetak, rasa takut kembali hadir. Bagaimana jika ini benar-benar Yasmin? Apa yang akan kulakukan? Bisakah aku menerima kenyataan pahit ini? "Mas kenal mayat itu?" tanya seseorang menghentikan gerakan tangan ini."Dia Yasmin, kekasih saya." "Sejak kapan aku jadi kekasihmu, Rel?" Aku mendongak, Yasmin berdiri di belakang sambil menyilangkan kedua tangan di dada. Perlahan aku berdiri, niat untuk membuka koran itu
Aku dan Yasmin saling pandang. Kami bingung harus menjawab apa. Situasi ini di luar dugaan kami. "Tante mendengar percakapan kami?" tanyaku sedikit ragu. "Jadi kamu mantan wanita simpanan?" Tante Mayang menatap tajam mata Yasmin. "I-iya, Bu. Sebenarnya nama asli saya Yasmin bukan Amara. Saya man... mantan wanita simpanan pengusaha terkenal. Saya pernah diperkosa dan dilecehkan," ucapnya dengan suara bergetar. Tak berapa lama cairan bening berlomba-lomba turun hingga membasahi pipinya. Mengungkapkan kenyataan pahit tidaklah mudah. Tetapi Yasmin mampu meski keadaan yang menuntutnya untuk melakukan itu. "Astagfirullah ... Ya Allah." Tante Mayang mengelus dadanya. Terkejut, marah dan benci melebur menjadi satu di hatinya. "Maafkan saya, Bu. Saya tidak bermaksud berbohong. Hanya....""Kamu ingin mendapatkan Arman lalu menutupi semuanya. Bukan begitu, Amara?""Ti-tidak seperti itu, Bu. Sa-saya hanya ingin....""Maaf, Amara. Mulai hari ini kamu saya pecat. Tolong tinggalkan rumah seka
"Bagaimana Amara, apa kamu menerima lamaran Bapak?" tanya Om Sugiyono. Aku tak sanggup mendengar jawaban Yasmin. Aku tidak ingin terluka untuk kesekian kalinya. Mengetahui wanita yang kita cintai bersama lelaki lain itu menyakitkan. Lebih baik aku pergi, melarikan diri dari kenyataan pahit ini. Pengecut, tapi hanya itu yang bisa kulakukan saat ini. "Maaf, Om, Tante, semuanya saya masuk kamar dulu." Aku beranjak berdiri. "Kamu belum selesai makan, Rel.""Saya tidak enak badan, Tante." Terpaksa aku berbohong. "Mau aku periksa, Rel?""Gak perlu, Ar. Aman, kok. Aku hanya butuh waktu untuk istirahat."Aku melangkah pergi, meninggalkan ruang makan dengan berjuta perasaan kecewa di dalamnya. Pintu kamar kututup rapat, lalu menjatuhkan bobot di atas ranjang. Lagi wajah Yasmin dan Arman menari-nari di pelupuk mata. Seketika amarah menyeruak memenuhi rongga dada. Ini tidak baik, aku harus secepatnya pergi dari sini. Aku tidak sanggup melihat mereka bermesraan. Aku mengacak rambut, frusta
"Arman mau melamar siapa, Tante?" tanyaku memastikan. "Arman belum cerita sama kamu, Rel?"Aku menggeleng, pura-pura tidak tahu. Meski aku yakin nama Amara yang akan ia sebutkan. Namun aku masih berharap bukan dia, bukan wanitaku. "Amara, asisten rumah tangga kami.'JLEPJantung ini seakan berhenti berdetak. Aku sudah mengira kata Amara akan muncul dari mulut mereka. Namun sakitnya tetap saja terasa. Ya Robb, haruskah aku terluka untuk kedua kalinya? Haruskah aku mengalah untuk lelaki lain? Sakit, aku tersiksa. Bahkan hampir tidak sanggup berbicara. Kenapa harus aku yang mengalah, Ya Robb. Tidak bisakah orang lain saja? Dulu Brian sekarang Arman, apa aku tak berjodoh dengan Yasmin? Hingga selalu Engkau datangkan orang lain di kehidupannya atau mungkin hatinya. "Kok diam, Rel. Kamu kenal Amara, kan?"Aku mengangguk, susah payah kutahan air mata yang hampir terjatuh. Payah, kenapa harus menangis jika aku mengetahui kenyataan pahitnya. "Kamu pasti kaget kenapa Tante setuju mesk