"Berhenti!" Kuhentikan langkah setelah mendengar teriakan lantang seseorang. Sedikit ragu ku putar badan. Mati! Masalah baru menghampiriku. Bodyguard anak-anak itu sudah berdiri tepat di belakang sembari menatap nyalang ke arahku. Kutelan saliva dengan susah payah. Aku harus bagaimana ini? Dengan kekuatan penuh aku berlari meninggalkan tempat itu. Ku tahan rasa sakit saat kerikil tajam menghujam kakiku. Bahkan darah keluar dari jempol kaki kanan. Rasanya luar biasa perih. "Kejar!" Teriak lelaki berkulit hitam. Aku gelagapan, ku paksa kaki ini berlari lebih cepat lagi. Namun luka di jempol membuat aku tak bisa lari lebih cepat. Ku lirik belakang. Bodyguard mereka semakin mendekat. Ya, ampun! Bayangan diamuk orang-orang membuatku merinding. Luka goresan Gilang saja belum sembuh dan ini akan ditambah amukan warga. Oh, tidak! Jangan sampai aku dihajar mereka! Aku terus berlari tanpa memperhatikan jalan. Yang ada di pikiranku saat ini adalah lepas dari mereka. Sumpah, aku tidak
“Sakit ....” Aku meringis kesakitan sambil memegangi jempol kaki. Rasanya semakin berdenyut hingga ke kepala. “Saya bantu,Mbak!” Lelaki itu memapah tubuhku hingga ke dekat mobilnya. Aku duduk menyamping dengan kaki bergelantung di luar mobil. Dengan cepat ia mengambil kotak obat di dalam mobil. Ada rasa heran yang tiba-tiba singgah. Di dalam mobil kenapa ada kotak P3K? Sementara di dalam mobilku hanya ada perlegkapan kosmetik. Lelaki ini aneh! “Ditahan kalau sakit!” ucapnya seraya menyiram air mineral ke jempolku. Seketika rasa perih menjalar ke seluruh tubuh ini. Aku sampai meringis menahan rasa sakit itu. Dengan cekatan lelaki itu mengobati luka di kakiku. Dia seakan paham betul apa yang harus dilakukan untuk menutup luka ini. Aku saja belum tentu bisa. “Pelan-pelan!” ucapku seraya menahan rasa perih di ujung kaki. “Makannya kala jalan pakai alas kaki!” Aku menghembuskan nafas kasar. Bagaimana aku mau jalan kaki jika diusir dari hotel tempat menginap? Masih untung aku memaka
"Mbak ini pelakor itu kan!"DEGDari mana ibu itu tahu jika aku seorang pelakor? Jangan-jangan dia sudah melihat video viralku.Aduh! Aku harus bagaimana dong? Berpikir Yasmin! Ayo berpikir! "Iya kan, Mbak ini pelakor yang digrebek istri pertama di hotel. Lalu pingsan karena di lempari orang dengan vas bunga!" Wanita itu terus mendesakku untuk berkata iya. Ya ampun! Setelah video penggerebekan itu viral hidupku tak sedamai dulu. Semua orang sudah melihat wajah ini. "Mungkin ibu salah orang!" Hanya kalimat itu yang mampu keluar dari mulut ini. Ingin memberi alasan tapi mereka pasti tidak percaya. "Bohong, dia pasti pelakornya! Jelas-jelas wajahnya sama persis seperti di video itu. "Bedanya wajahnya tidak luka-luka.""Mungkin sudah dihajar oleh istri pertama. Memangnya enak? Salah sendiri jadi duri!" "Harusnya wanita seperti itu dikubur Hidup-hidup. Supaya dia merasakan siksa kubur. Lalu hangus di dalam neraka.""Hahaha ...."Berbagai caci dan maki keluar dari mulut para wanita i
Kalau aku pergi bagaimana nasibku? Bisa saja dia pulang ke Jakarta tanpa mengajakku. Oh, tidak! Aku tidak mau berlama-lama di pulau ini! "Oke!" Farel berjalan menuju kamarnya. Tak mau ketinggalan aku segera berlari mengekor di belakangnya. Pintu kamar di buka. Aku menerobos tanpa meminta izin pemiliknya. Kini terlihat jelas isi dalam kamar Farel. Memang tak semewah seperti kamar yang disewa Om Bagas. Namun ini lebih dari cukup untuk mengistirahatkan tubuh. Kujatuhkan bobot di atas ranjang. Meluruskan tubuh yang rasanya mau remuk. "Mandi dulu sana! Bau banget badan kamu!" Aku mendengus kesal mendengar ucapan lelaki itu. Siapa dia sesuka hati menghinaku! "Aku mau beli makan! Kamu buruan mandi!" Tak berapa lama Farel keluar dari kamar ini. Aku mengambil benda pipih yang ada di saku celana. Memencet dua belas digit nomor Om Bagas. Aku ingin menanyakan alasannya meninggalkan aku bersama Gilang. Memangnya dia pikir aku barang? Seenak jidatnya melempar aku ke sana ke mari. Biar h
Wajah Yasmin memang mirip dengan Shanum, adik kandungku. Kalau dia masih hidup pasti sudah sebesar Yasmin. Sayang, Allah lebih menyayanginya hingga Shanum dipanggil terlebih dahulu. Bulir bening kembali menetes kala mengingat adik kandungku itu. Rasanya masih saja tak percaya jika dia telah tiada. Saat bertemu dengan Yasmin,aku seperti menemukan adikku kembali. Ya, meski watak mereka jauh bertentangan. Bahkan seperti langit dan bumi. Suara ketukan pintu menyentakku dari lamunan. Segera aku berdiri dan membukanya. "Selamat malam, Mas. Ini makanan pesanan anda." Aku mengangguk lalu membuka pintu lebar, membiarkan lelaki itu masuk. "Letakkan di meja saja, Mas!" Lelaki itu mengangguk tapi tatapan matanya selalu tertuju pada Yasmin. "Ini Mas, terima kasih." Ku berikan uang tips agar lelaki itu cepat pergi. Setelah nasi goreng dan secangkir cappucino masuk ke dalam perut, rasa kantuk mulai menyerang. Ku rebahkan tubuh di atas sofa hingga akhirnya terlelap ke alam mimpi. ***Notifikas
"Mas! Kenapa diam saja? Itu istrinya muntah! Jadi suami kok tidak tanggung jawab! Istri sakit malah dibiarkan saja!" umpat wanita yang ada di sebelahku. Sesaat Farel terdiam.Ucapan ibu itu membuat lelaki yang baru kukenal kebingungan. Bagaimana tidak bingung baru kenal sudah dikira suami. Ada-ada saja ibu itu? Aku tak menghiraukan ucapan wanita di sebelahku. Merasakan perut mual saja sudah sangat menyiksa. Mana bisa berdebat dalam keadaanku yang seperti ini? Menyesal, kenapa aku harus ikut naik kapal? Aku jadi menderita seperti ini. "Kamu tak apa-apa Yas?" tanya Farel yang sudah berdiri tepat di sampingku. Tangannya mulai memijit tengkukku. "Pengen muntah. Howeek... Howeek...." Kututup mulut dengan kedua tangan. Tak ada lagi isi perut yang keluar. Hanya tinggal rasa pahit yang menempel di lidah. "Kamu hamil, Yas?""Aw... Sakit!" ucapnya seraya memegang paha yang kucubit. Enak saja aku dibilang hamil? Selama aku bersama Om Bagas, aku selalu mengonsumsi pil KB secara rutin. Dan
Dengan sikap masa bodoh aku kembali berjalan menuju lift. Kupaksa kaki ini melangkah dengan cepat. Saat ini bersembunyi dalam apartemen adalah solusi yang tepat. Mengamankan diri dari pandangan tidak mengenakkan dari mereka. Lambat laun semua akan baik-baik saja. Tak selamanya video itu akan menjadi buah bibir mereka. Kembali kuyakinkan diri sendiri. Bahwa semua akan baik-baik saja. Toh bukan aku saja yang mengalaminya. Artis papan atas juga sama. Justru mereka semakin terkenal. Bahkan job semakin lancar karena video viral mereka tersebar di dunia maya. "Itu penghuni apartemen sebelah kan? Berani dia ke sini lagi?" "Dia mencemarkan apartemen kita." "Dasar pelakor tidak tahu malu!" Hujatan demi hujatan terdengar olehku. Aku mencoba menutup telinga rapat. Ucapan mereka tak ku hiraukan. Menjadi wanita simpanan harus punya muka tembok. Biarlah mereka mau bicara apa. Toh, bukan mereka yang memenuhi semua kebutuhanku. Anggap saja angin lalu. Apartemenku tinggal beberapa langkah saj
Pov Sandra "Ini kan yang kamu cari, Yasmin?" Yasmin menoleh ke belakang, matanya membulat sempurna melihat aku dan Mas Bagas yang bergandengan tangan. Senam jantung kan? Memang enak? Kukira wanita jal*ng itu akan menjadi gelandangan di pulau orang. Tapi dugaanku salah. Dia bisa juga kembali ke Jakarta. Heran juga, semua orang bisa iba dengannya. Apa jangan-jangan dia menggunakan pelet? Ah, entahlah! Yang terpenting adalah melempar Yasmin dari hidup Mas Bagas. "Ayo kita pulang, Mi!" Mas Bagas menarik tangan ini. Namun secepat kilat kutepis. Permainan baru di mulai tapi kenapa harus tergesa-gesa pulang? Apa Mas Bagas takut aku berbuat nekad? Atau takut gundik kesayangannya menangis? "Aku mau di sini sebentar, kalau papi mau pulang. Silakan!" Seketika Mas Bagas berhenti. "Maaf Mbak, apartemen atas nama Yasmin memang sengaja dikosongkan. Itu perintah dari Pak Bagas selaku penyewa apartemen ini." Aku tersenyum puas mendengar ucapan resepsionis itu. Namun tidak dengan Yasmi
"Mbak Hazna gak salah ngomong?""Apa wajahku terlihat bercanda? Sejak kapan aku ngawur saat membahas masalah penting ini?"Mulutku kembali bungkam. Perkataan kakaku tak bisa diganggu gugat. Aku tahu betul, dia tak pernah main-main jika membahas masalah pernikahan. "Apa alasan Mbak Hazna menerima Yasmin?"Mbak Yasmin menghela napas. Air putih dalam gelas ia habiskan dalam sekali teguk. Kemudian tatapan tajam ia layangkan padaku. Ini masalah serius. "Itu perkataan sebelum mama masuk rumah sakit."Seketika perasaan bersalah tumbuh dan mendominasi. Keegoisanku membuat mama jatuh sakit. Anak macam apa aku ini? "Ini bukan salahmu, Rel. Kamu pantas bahagia. Mbak tahu, banyak keinginan yang terpaksa kamu tinggalkan demi mematuhi perintah papa. Sudah saatnya kamu bahagia, Farel."Setelah percakapan itu, aku segera pergi menuju apartemen Mbak Hazna. Apalagi yang akan kulakukan selain bertemu Yasmin. Baru beberapa jam tapi rindu terus membelenggu. Aku tak bisa jauh dari perempuan itu. Siulan
"Stop, Farel!"Seketika aku dan Yasmin menoleh ke belakang. Pintu lift yang semula tertutup kini sudah terbuka lebar. Seorang lelaki dengan jas dokter berdiri sambil menatap tajam padaku. Dokter Akbar, pemilik rumah sakit sekaligus ayah kandungku. "Ikut Papa!"Yasmin semakin mempererat genggaman tangannya saat kami keluar dari lift. Keringat dingin meluncur bebas dari kening. Wanitaku ketakutan. "Semua akan baik-baik saja, Yas."Aku pererat genggaman ini. Memberi kekuatan jika semua akan baik-baik saja. Aku akan selalu di depan untuk memberinya perlindungan. Sepanjang kaki melangkah semua mata menatap ke arah kami. Lebih tepatnya ke arah Yasmin. Bisik-bisik dan ucapan tak mengenakan mewarnai langkah kami. Sesekali Yasmin mengalihkan pandangan, tangan kirinya menyeka sudut netra. Dia menangis tanpa bersuara. Pintu ruang direktur utama terbuka lebar. Papa melangkah masuk, diikuti kami di belakang. Jantungku berdetak kencang kala pintu itu tertutup rapat. Kini kami saling diam deng
"Azizah!" Mataku terbuka lebar kala melihat wanita yang berdiri di hadapan. Dia masih sama seperti saat aku menolaknya. Senyum manis penuh ketulusan dia berikan padaku, lelaki yang membencinya karena sebuah perjodohan. "Kalian?" Aku menatap Azizah dan Arman bergantian. Sebuah kecurigaan tampak jelas di netra ini. "Boleh aku duduk, Bang Farel?" tanyanya menghentikan pertanyaan yang belum sempat aku ucapkan. Sebuah anggukan kuberikan sebagai jawaban saat mulut tak sanggup mengeluarkan kata. Azizah pun tersenyum, lalu menarik kursi dan duduk di antara kami. Sungguh keadaan ini membuatku tak nyaman, aku ingin pergi dan menghilang dari sini. "Kenapa kamu tahu aku ada di sini, Za?""Dia tahu dariku, Rel."Aku menghela napas kasar, mengeluarkan rasa kesal yang sempat memenuhi rongga dada. Aku sudah menduga, kedatangan Azizah pasti ada hubungannya dengan Arman. Apa ini rencana Arman untuk memisahkan aku dan Yasmin? "Amara alasan kamu melakukan ini?" Aku tatap tajam lelaki yang masih be
Aku menelan ludah dengan susah payah. Aku membenci keadaan ini. Kenapa selalu berada di situasi seperti ini? "Maaf, Bu Zazkia. Saya akan segera menikah."Wajah yang semula antusias mendadak berubah masam. Senyum yang tadi hadir sirna dalam sekejap mata. Dia kecewa. "Oh, menikah? Maaf, saya tidak tahu jika kamu sudah memiliki calon istri, Rel. Saya hanya ingin mengungkapkan perasaan ini. Maaf jika lancang dan membuatmu tak nyaman."Seulas senyum keterpaksaan nampak di wajahnya. Dia pura-pura tersenyum meski hati tersiksa. Lagi-lagi dunia penuh dengan drama dan sandiwara. Namun beruntung karena dia tak memaksaku untuk mengatakan iya. "Tak apa, Bu. Lagi pula semua orang bebas mengeluarkan pendapat, bukan? Negara ini saja mengikuti paham demokrasi, apa lagi kita yang hidup berdampingan satu dan lainnya.""Sekali lagi selamat, Rel."Aku mengangguk lalu segera berpamitan dengan wanita itu. Pergi secepat mungkin adalah pilihan yang tepat. Karena terus menerus bertemu dengan dia akan menci
"Kamu....""Iya aku, pelanggan yang kamu tinggal sebelum sempat memesan." Wanita itu berjalan mendekat, terdengar sepatu yang beradu dengan lantai."Dia pemilik restoran ini." Mati. Kali ini aku akan dipecat. Tamatlah riwayatku! Ternyata begitu sulit bekerja sebagai pelayanan. Salah sedikit berdampak pemecatan. "Maaf, Bu. Saya tidak bermaksud mengabaikan pelanggan. Saya hanya ingin menolong pelanggan yang lain. Tolong, jangan pecat saya, Bu."Wanita itu tersenyum hingga tampak gigi kelinci. "Siapa yang mau memecat kamu, Farel?"Aku menautkan dua alis, dari mana wanita itu tahu namaku? "Saya justru berterima kasih karena kamu sudah menyelamatkan orang itu.""Ja-jadi saya tidak dipecat?""Jelas tidak, mana mungkin saya memecat karyawan yang rajin seperti kamu." Aku mengangguk, seulas senyum terbit dari bibir ini. "Saya heran, kenapa kamu bisa tahu jika lelaki itu tersedak? Sementara jarak meja saya dengan lelaki itu cukup jauh."Aku hanya tersenyum, tidak mungkin aku jelaskan si
Aku berlari menuju kerumunan. Perasaanku semakin tak enak. Semoga saja itu bukan Yasmin. Semoga bukan dia. "Permisi!""Permisi!"Aku menelusup masuk ke kerumunan. Darah berceceran di trotoar dan jalan sekitarnya. Wanita yang lelaki itu maksud sudah terbujur kaku dengan koran sebagai penutup tubuhnya. Rambut hitam wanita itu sama persis dengan Yasmin. Jangan-jangan dia memang wanitaku. Tidak... Tidak, itu tidak boleh terjadi. Yasmin tidak boleh meninggalkan diriku. "Ya... Yasmin, kenapa kamu tinggalin aku," isakku. Perlahan kubuka koran yang menutupi wajahnya. Jantungku berdetak, rasa takut kembali hadir. Bagaimana jika ini benar-benar Yasmin? Apa yang akan kulakukan? Bisakah aku menerima kenyataan pahit ini? "Mas kenal mayat itu?" tanya seseorang menghentikan gerakan tangan ini."Dia Yasmin, kekasih saya." "Sejak kapan aku jadi kekasihmu, Rel?" Aku mendongak, Yasmin berdiri di belakang sambil menyilangkan kedua tangan di dada. Perlahan aku berdiri, niat untuk membuka koran itu
Aku dan Yasmin saling pandang. Kami bingung harus menjawab apa. Situasi ini di luar dugaan kami. "Tante mendengar percakapan kami?" tanyaku sedikit ragu. "Jadi kamu mantan wanita simpanan?" Tante Mayang menatap tajam mata Yasmin. "I-iya, Bu. Sebenarnya nama asli saya Yasmin bukan Amara. Saya man... mantan wanita simpanan pengusaha terkenal. Saya pernah diperkosa dan dilecehkan," ucapnya dengan suara bergetar. Tak berapa lama cairan bening berlomba-lomba turun hingga membasahi pipinya. Mengungkapkan kenyataan pahit tidaklah mudah. Tetapi Yasmin mampu meski keadaan yang menuntutnya untuk melakukan itu. "Astagfirullah ... Ya Allah." Tante Mayang mengelus dadanya. Terkejut, marah dan benci melebur menjadi satu di hatinya. "Maafkan saya, Bu. Saya tidak bermaksud berbohong. Hanya....""Kamu ingin mendapatkan Arman lalu menutupi semuanya. Bukan begitu, Amara?""Ti-tidak seperti itu, Bu. Sa-saya hanya ingin....""Maaf, Amara. Mulai hari ini kamu saya pecat. Tolong tinggalkan rumah seka
"Bagaimana Amara, apa kamu menerima lamaran Bapak?" tanya Om Sugiyono. Aku tak sanggup mendengar jawaban Yasmin. Aku tidak ingin terluka untuk kesekian kalinya. Mengetahui wanita yang kita cintai bersama lelaki lain itu menyakitkan. Lebih baik aku pergi, melarikan diri dari kenyataan pahit ini. Pengecut, tapi hanya itu yang bisa kulakukan saat ini. "Maaf, Om, Tante, semuanya saya masuk kamar dulu." Aku beranjak berdiri. "Kamu belum selesai makan, Rel.""Saya tidak enak badan, Tante." Terpaksa aku berbohong. "Mau aku periksa, Rel?""Gak perlu, Ar. Aman, kok. Aku hanya butuh waktu untuk istirahat."Aku melangkah pergi, meninggalkan ruang makan dengan berjuta perasaan kecewa di dalamnya. Pintu kamar kututup rapat, lalu menjatuhkan bobot di atas ranjang. Lagi wajah Yasmin dan Arman menari-nari di pelupuk mata. Seketika amarah menyeruak memenuhi rongga dada. Ini tidak baik, aku harus secepatnya pergi dari sini. Aku tidak sanggup melihat mereka bermesraan. Aku mengacak rambut, frusta
"Arman mau melamar siapa, Tante?" tanyaku memastikan. "Arman belum cerita sama kamu, Rel?"Aku menggeleng, pura-pura tidak tahu. Meski aku yakin nama Amara yang akan ia sebutkan. Namun aku masih berharap bukan dia, bukan wanitaku. "Amara, asisten rumah tangga kami.'JLEPJantung ini seakan berhenti berdetak. Aku sudah mengira kata Amara akan muncul dari mulut mereka. Namun sakitnya tetap saja terasa. Ya Robb, haruskah aku terluka untuk kedua kalinya? Haruskah aku mengalah untuk lelaki lain? Sakit, aku tersiksa. Bahkan hampir tidak sanggup berbicara. Kenapa harus aku yang mengalah, Ya Robb. Tidak bisakah orang lain saja? Dulu Brian sekarang Arman, apa aku tak berjodoh dengan Yasmin? Hingga selalu Engkau datangkan orang lain di kehidupannya atau mungkin hatinya. "Kok diam, Rel. Kamu kenal Amara, kan?"Aku mengangguk, susah payah kutahan air mata yang hampir terjatuh. Payah, kenapa harus menangis jika aku mengetahui kenyataan pahitnya. "Kamu pasti kaget kenapa Tante setuju mesk