"Bukankah ini yang kamu lakukan saat bersama kakak iparku?" ucapnya penuh penekanan. Aku melakukan dengan Om Bagas tanpa paksakan. Semua di dasari suka sama suka. Bahkan bukan hanya tubuh yang bermain, hati pun ikut bermain. Permainan yang membuatku tak bisa melepaskannya. Aku jatuh cinta pada lelaki beristri. Wajah Gilang semakin mendekat, dalam hitungan detik bibirnya telah menempel di tempat yang sama. Ku dorong wajahnya menjauh dari wajahku. Sialnya aku tak cukup kuat. Tenaga Gilang jauh lebih kuat. Sekuat apa pun aku melawan tetap saja tak bisa mengalahkannya. Air mata jatuh membasahi pipi. Aku merasa terhina. Dengan kasar Gilang menggendong tubuhku lalu membantingnya di atas kasur. "Brengs*k lo!" Gilang tak menjawab. Lelaki berambut panjang itu justru tersenyum menyeringai ke arahku. Seperti kesetanan dia melampiaskan hasratnya. Sakit luar biasa sakit.Bukan hanya hati yang sakit, tapi tubuhku juga. Tak pernah ku bayangkan jika akan mendapatkan perlakuan buruk seperti
"Hotel ini bukan untuk pemulung sepertimu!""Aku bukan pemulung!""Pergi! Jangan pernah menginjakkan kaki di sini!" Seorang satpam mendorongku keluar dari hotel. Hampir saja aku terhuyung dan jatuh. Untung saja aku bisa menyeimbangkan tubuh dengan baik. Dengan rasa kesal ku tinggalkan lobi. Marah dan kecewa mendominasi hati. Baru kali ini aku diperlakukan bak sampah dibiarkan lalu dibuang.Apa sebegitu hina berpakaian seperti ini di hotel bintang lima. Lalu apa kabar wanita yang memakai bagus kurang bahan?Sekali lagi ku tatap hotel bintang lima yang semalam ku tinggali. Bayang panasnya pergulatan dengan Om Bagas masih terasa. Namun kini aku di buang dengan hina. "Baru sebentar aku menikmati indah dunia tapi kini,Engkau jatuhkan aku ke dalam kubangan lagi," batinku kesal. Aku berjalan tanpa tujuan. Sesekali meringis kesakitan karena berjalan tanpa alas kaki. Mimpi apa aku semalam hingga jadi gelandangan di pulau orang. Sekarang aku harus ke mana? Ingin pulang tapi uang tidak cukup
"Berhenti!" Kuhentikan langkah setelah mendengar teriakan lantang seseorang. Sedikit ragu ku putar badan. Mati! Masalah baru menghampiriku. Bodyguard anak-anak itu sudah berdiri tepat di belakang sembari menatap nyalang ke arahku. Kutelan saliva dengan susah payah. Aku harus bagaimana ini? Dengan kekuatan penuh aku berlari meninggalkan tempat itu. Ku tahan rasa sakit saat kerikil tajam menghujam kakiku. Bahkan darah keluar dari jempol kaki kanan. Rasanya luar biasa perih. "Kejar!" Teriak lelaki berkulit hitam. Aku gelagapan, ku paksa kaki ini berlari lebih cepat lagi. Namun luka di jempol membuat aku tak bisa lari lebih cepat. Ku lirik belakang. Bodyguard mereka semakin mendekat. Ya, ampun! Bayangan diamuk orang-orang membuatku merinding. Luka goresan Gilang saja belum sembuh dan ini akan ditambah amukan warga. Oh, tidak! Jangan sampai aku dihajar mereka! Aku terus berlari tanpa memperhatikan jalan. Yang ada di pikiranku saat ini adalah lepas dari mereka. Sumpah, aku tidak
“Sakit ....” Aku meringis kesakitan sambil memegangi jempol kaki. Rasanya semakin berdenyut hingga ke kepala. “Saya bantu,Mbak!” Lelaki itu memapah tubuhku hingga ke dekat mobilnya. Aku duduk menyamping dengan kaki bergelantung di luar mobil. Dengan cepat ia mengambil kotak obat di dalam mobil. Ada rasa heran yang tiba-tiba singgah. Di dalam mobil kenapa ada kotak P3K? Sementara di dalam mobilku hanya ada perlegkapan kosmetik. Lelaki ini aneh! “Ditahan kalau sakit!” ucapnya seraya menyiram air mineral ke jempolku. Seketika rasa perih menjalar ke seluruh tubuh ini. Aku sampai meringis menahan rasa sakit itu. Dengan cekatan lelaki itu mengobati luka di kakiku. Dia seakan paham betul apa yang harus dilakukan untuk menutup luka ini. Aku saja belum tentu bisa. “Pelan-pelan!” ucapku seraya menahan rasa perih di ujung kaki. “Makannya kala jalan pakai alas kaki!” Aku menghembuskan nafas kasar. Bagaimana aku mau jalan kaki jika diusir dari hotel tempat menginap? Masih untung aku memaka
"Mbak ini pelakor itu kan!"DEGDari mana ibu itu tahu jika aku seorang pelakor? Jangan-jangan dia sudah melihat video viralku.Aduh! Aku harus bagaimana dong? Berpikir Yasmin! Ayo berpikir! "Iya kan, Mbak ini pelakor yang digrebek istri pertama di hotel. Lalu pingsan karena di lempari orang dengan vas bunga!" Wanita itu terus mendesakku untuk berkata iya. Ya ampun! Setelah video penggerebekan itu viral hidupku tak sedamai dulu. Semua orang sudah melihat wajah ini. "Mungkin ibu salah orang!" Hanya kalimat itu yang mampu keluar dari mulut ini. Ingin memberi alasan tapi mereka pasti tidak percaya. "Bohong, dia pasti pelakornya! Jelas-jelas wajahnya sama persis seperti di video itu. "Bedanya wajahnya tidak luka-luka.""Mungkin sudah dihajar oleh istri pertama. Memangnya enak? Salah sendiri jadi duri!" "Harusnya wanita seperti itu dikubur Hidup-hidup. Supaya dia merasakan siksa kubur. Lalu hangus di dalam neraka.""Hahaha ...."Berbagai caci dan maki keluar dari mulut para wanita i
Kalau aku pergi bagaimana nasibku? Bisa saja dia pulang ke Jakarta tanpa mengajakku. Oh, tidak! Aku tidak mau berlama-lama di pulau ini! "Oke!" Farel berjalan menuju kamarnya. Tak mau ketinggalan aku segera berlari mengekor di belakangnya. Pintu kamar di buka. Aku menerobos tanpa meminta izin pemiliknya. Kini terlihat jelas isi dalam kamar Farel. Memang tak semewah seperti kamar yang disewa Om Bagas. Namun ini lebih dari cukup untuk mengistirahatkan tubuh. Kujatuhkan bobot di atas ranjang. Meluruskan tubuh yang rasanya mau remuk. "Mandi dulu sana! Bau banget badan kamu!" Aku mendengus kesal mendengar ucapan lelaki itu. Siapa dia sesuka hati menghinaku! "Aku mau beli makan! Kamu buruan mandi!" Tak berapa lama Farel keluar dari kamar ini. Aku mengambil benda pipih yang ada di saku celana. Memencet dua belas digit nomor Om Bagas. Aku ingin menanyakan alasannya meninggalkan aku bersama Gilang. Memangnya dia pikir aku barang? Seenak jidatnya melempar aku ke sana ke mari. Biar h
Wajah Yasmin memang mirip dengan Shanum, adik kandungku. Kalau dia masih hidup pasti sudah sebesar Yasmin. Sayang, Allah lebih menyayanginya hingga Shanum dipanggil terlebih dahulu. Bulir bening kembali menetes kala mengingat adik kandungku itu. Rasanya masih saja tak percaya jika dia telah tiada. Saat bertemu dengan Yasmin,aku seperti menemukan adikku kembali. Ya, meski watak mereka jauh bertentangan. Bahkan seperti langit dan bumi. Suara ketukan pintu menyentakku dari lamunan. Segera aku berdiri dan membukanya. "Selamat malam, Mas. Ini makanan pesanan anda." Aku mengangguk lalu membuka pintu lebar, membiarkan lelaki itu masuk. "Letakkan di meja saja, Mas!" Lelaki itu mengangguk tapi tatapan matanya selalu tertuju pada Yasmin. "Ini Mas, terima kasih." Ku berikan uang tips agar lelaki itu cepat pergi. Setelah nasi goreng dan secangkir cappucino masuk ke dalam perut, rasa kantuk mulai menyerang. Ku rebahkan tubuh di atas sofa hingga akhirnya terlelap ke alam mimpi. ***Notifikas
"Mas! Kenapa diam saja? Itu istrinya muntah! Jadi suami kok tidak tanggung jawab! Istri sakit malah dibiarkan saja!" umpat wanita yang ada di sebelahku. Sesaat Farel terdiam.Ucapan ibu itu membuat lelaki yang baru kukenal kebingungan. Bagaimana tidak bingung baru kenal sudah dikira suami. Ada-ada saja ibu itu? Aku tak menghiraukan ucapan wanita di sebelahku. Merasakan perut mual saja sudah sangat menyiksa. Mana bisa berdebat dalam keadaanku yang seperti ini? Menyesal, kenapa aku harus ikut naik kapal? Aku jadi menderita seperti ini. "Kamu tak apa-apa Yas?" tanya Farel yang sudah berdiri tepat di sampingku. Tangannya mulai memijit tengkukku. "Pengen muntah. Howeek... Howeek...." Kututup mulut dengan kedua tangan. Tak ada lagi isi perut yang keluar. Hanya tinggal rasa pahit yang menempel di lidah. "Kamu hamil, Yas?""Aw... Sakit!" ucapnya seraya memegang paha yang kucubit. Enak saja aku dibilang hamil? Selama aku bersama Om Bagas, aku selalu mengonsumsi pil KB secara rutin. Dan
"Makan ya, Rel," bujuk Mama seraya mendekatkan sendok ke arahku. Aku menoleh, kembali fokus menatap awan yang terlihat dari jendela kamar. Saat ini aku tengah terkulai lemas di atas ranjang khas rumah sakit. Beberapa hari yang lalu aku terpaksa dilarikan ke rumah sakit karena jatuh pingsan di kamar mandi. "Jangan dibiarkan kosong perutnya, Rel. Kamu tahu, kan harus bagaimana? Jangan hanya pandai menasihati pasien, sementara kamu sendiri tidak melalukan hal itu."Aku masih membisu. Netraku masih tertuju pada titik yang sama. Langit siang hari di Kota Jakarta. Bukan langit biru dengan burung yang menari di sana. Namun langit yang tertutup oleh awan putih akibatnya banyaknya pencemaran udara. "Rel, jangan seperti ini, Nak. Kamu harus sembuh demi ...""Demi siapa, Ma? Demi memenuhi obsesi Papa. Percuma aku sembuh jika hidupku terasa mati. Aku hidup tapi mati."Isak tangis kembali terdengar di telinga. Siapa lagi kalau buka Mama. Namun kali ini aku memilih bungkam. Tenggelam dalam ras
Yasmin luruh di lantai. Tangisnya pecah detik itu juga. Penyesalan pun hadir, bahkan menyesakkan dada. Maafkan aku, Rel. Aku salah mengira. Aku pikir kamu tega meninggalkan aku dan Naura hanya karena harta. Tapi justru kamu yang berkorban untuk Naura. Farel... Pulanglah. Butiran-butiran kristal telah membanjiri pipi. Bahkan surat pemberian Farel telah baca oleh air mata. Ya Allah, haruskah kami berpisah untuk kedua kalinya? Dipisahkan dengan orang kita sayangi itu memang berat. Apalagi jika perpisahan itu terjadi karena keadaan. Itu jauh lebih menyakitkan dari dikhianati. ***Hari demi hari Yasmin lewati dengan kesedihan. Tawanya memang terdengar, tapi hanya untuk menutupi sunyi dan luka dalam sanubari. Farel memang meninggalkan dirinya. Namun lelaki itu telah menyiapkan aset untuk Yasmin dan Naura. Tanggung jawab seorang ayah meski tak dapat terus bersama. "Owek... Oweek..."Tangis Naura menggema memenuhi setiap sudut ruangan. Semakin mendekati kamar, suara itu semakin keras.
"Dokter, ada yang ingin saya bicarakan.""Langsung saja, Dok!" jawab Harun dengan mata fokus menatap layar laptop. "Dokter Farel melakukan kesalahan lagi, Dok."Harun mengalihkan pandangannya. "Maksudnya?""Dokter Farel salah memberikan resep, Dok.""Apa!" pekik Harun. Seketika Harun menutup laptopnya. Dia bergegas menuju ruangan putranya. Sepanjang jalan dia mengumpat dalam hati. Lagi-lagi merutuki kecerobohan putranya. "Percuma kuliah tinggi-tinggi, ngasih resep saja gak becus!" BRAK! Pintu berwarna abu itu didorong kasar. Suara keras sontak membuat Farel tersentak, kaget. Lelaki yang tengah fokus itu membawa artikel seketika mengalihkan pandangan. "Bisa-bisanya kamu salah memberikan resep, Rel! Apa gunanya kuliah tinggi, obat asma saja gak ngerti!"Farel masih diam, dia enggan membalas makian Harun. Pikirannya sudah lelah karena terus memikirkan keadaan istri dan putri semata wayangnya. Berpisah dengan keluarga membuat hidupnya mati. Ya, dia hidup tapi mati. Harun terus mema
"Sayang, titip Naura ya," ucap Farel sebelum mobil yang membawa Yasmin dan Naura pergi dari hadapannya. "Doakan Naura sembuh agar kita dapat berkumpul kembali."Farel mengangguk dan tersenyum datar. Sebisa mungkin ia tutupi kemelut dalam rongga dadanya. Lelaki itu tak ingin istrinya curiga dan membatalkan keberangkatannya ke Singapura. * Flashback *Satu bulan yang lalu. "Yas," panggil Farel lirih. Saat ini mereka berada di ruang rawat inap. Suasana sunyi membuat suara lirih terdengar begitu jelas. Yasmin pun menoleh, menatap lelaki yang duduk di kursi, tepat di hadapannya. "Aku sudah mencari donasi untuk pengobatan Naura.""Sudah dapat, Rel?"Farel mengangguk pelan. Detik itu mulutnya begitu kelu. Kalimat yang sedari tadi menari di kepalanya mendadak hilang, meninggalkan mulut yang tertutup, membisu. "Secepat ini, Rel? Yakin ini bantuan dari yayasan?""Iya. Aku dapat dari teman lama. Kamu tahu, kan. Aku mantan dokter, jadi tahu akses untuk mendapatkan bantuan dari yayasan." Fa
Satu minggu kemudian"Rel, gendongnya gimana?" Yasmin melirikku, dia nampak bingung bagaimana cara menggendong Naura. "Kamu bawa tasnya saja, Yas."Aku meletakkan tas berisi keperluan Naura selama di rumah sakit. Dengan hati-hati, aku gendong bayi mungil ini. Yasmin hanya diam, memperhatikan caraku menggendong bayi yang baru berusia 12 hari. "Kamu pinter banget, Rel.""Hem!""Iya lupa, kamu lebih jago dari aku." Yasmin tersenyum samar. Setelah semua urusan selesai, kami pun segera meninggal rumah sakit. Sepanjang jalan tak henti-hentinya Yasmin menatap wajah mungil yang ada di dalam pangkuanku. Senyum tergambar jelas di wajah ayunya. Yasmin bahagia, begitu pula diriku. "Dia cantik ya, Pa."Aku tersenyum mendengar kata itu. Papa... entah kenapa aku tergelitik kala Yasmin memanggilku dengan sebutan itu. Ternyata aku sudah benar-benar tua. Sudah ada ekor ke mana pun aku pergi. "Kenapa mesem begitu? Aku salah ngomong ya?""Enggak.""Lalu kenapa kamu tertawa? Aku tersenyum lebar. "
"Boleh, tapi ada syaratnya, Rel.""Papa.""Iya ini Papa.""Tolong bantu Farel, Pa."Aku mengiba, dengan sengaja menurunkan harga diri yang sempat kujunjung tinggi. Aku menyerah, mengalah demi Yasmin dan putri kecil kami. "Ada syaratnya, Farel.""Syarat... Maksud Papa?""Farel... Farel, kamu lupa... di dunia ini tidak ada yang gratis! Semua hal harus ada timbal baliknya, bukan?"Aku diam, kepala mencoba mencerna setiap kata yang terucap dari mulut Papa. Entah setan apa yang kini mendiami kepala Papa. Pola pikirnya tak seperti dulu. Papa telah berubah. "Apa yang Papa mau?""Papa akan kirimkan sejumlah uang. Kamu kirimkan no rekening sekarang!""Lalu apa yang Papa mau dariku?""Nanti Papa beritahu.""Tapi, Pa.""Pikirkan dulu kesehatan anak dan istrimu, Farel."Sambungan dimatikan sepihak. Meski belum puas dengan penjelasan Papa, aku memilih diam dan menerima penawarannya. Karena hanya itu satu-satunya harapan yang aku punya. Setelah mengirimkan nomor rekening yang baru. Aku segera m
"Yasmin!"Farel segera berlari mendekati istrinya yang tergeletak di lantai tepat di depan kamar mandi. Yasmin pingsan beberapa saat yang lalu. "Yasmin, kamu kenapa?" Farel kebingungan melihat Yasmin tak bergerak. Farel menyentuh pipi istrinya, tapi Yasmin masih diam saja. Refleks Farel mengangkat tubuh Yasmin. Tertatih ia membopong tubuh Yasmin ke dalam kamar. Farel berusaha menguasai diri. Dia tepis rasa khawatir yang bersemayam dalam dadanya. Suami mana yang tak khawatir dan panik melihat istrinya tak sadarkan diri. Apalagi dalam kondisi mengandung. Dengan cekatan Farel memeriksa denyut nadi perempuan di hadapannya. Seketika wajah lelaki menegang kala melihat cairan merah yang mengalir di kaki istrinya. Tanpa pikir panjang, Farel berlari ke luar. Dia berusaha meminta bantuan tetangganya. Tidak lama sebuah mobil berhenti di jalan depan rumah Farel. Farel dan seorang lelaki dengan hati-hati membopong tubuh Yasmin. Mereka merebahkan Yasmin di jok bagian tengah."Tolong cepat ya,
"Papa."Mataku melotot melihat lelaki yang kini berdiri di hadapanku. Lelaki yang sejak semalam kupikirkan kini berdiri di depan mata. Namun dengan wajah merah padam. "Siapa tamunya, Rel?"Aku masih diam, pertanyaan Yasmin bagi angin lalu. Hanya lewat tanpa singgah apalagi menetap. "Mama dan Hazna mana?" tanyanya dengan netra menelisik setiap sudut ruangan ini. "Ada di dalam, Pa. Papa masuk dulu!""Gak sudi! Suruh mama dan Hazna keluar, sekarang!" pekiknya. "Kok lama, siapa tamunya, Mas?"Aku menoleh ke belakang. Yasmin sudah berdiri dengan wajah menunduk, ketakutan. "Papa," ucap Mama dan Mbak Hazna serempak. Hening menyelimuti ruangan ini beberapa saat. Ada takut dan tegang yang membuat suasana tidak lagi kondusif. Tatapan papa mampu membuat semua orang menciut, terutama Yasmin. "Ayo pulang, Ma, Hazna!""Dari mana Papa tahu aku dan mama berada di sini?" tanya Mbak Hazna ketika berada di sampingku. "Tak penting, pulang sekarang!""Sabar, Pa! Semua bisa dibicarakan dengan baik-
"Mama... Mbak Hazna."Aku tak mampu lagi berkata-kata, hanya sebuah pelukan yang mampu melukiskan betapa rindu hatiku ini. "Lepas, Rel!" Mbak Hazna mendorong tubuhku hingga menjauh. "Kamu mau Mbakmu ini mati kehabisan napas?"Aku tersenyum sambil menggaruk kepala yang tak gatal. Aku terlalu bahagia hingga mengapresiasikan rasa itu secara berlebihan. Mbak Hazna tak tahu, betapa aku sangat merindukan dia dan mama. "Ma, Mbak," panggil Yasmin seraya mencium penggung kedua wanitaku dengan khitmad. Sempat kulihat keraguan yang nampak di wajah istriku. Namun seketika berubah kala mama dan Mbak Hazna menyambut dengan pelukan hangat. Ini adalah momen yang selalu aku nantikan. Kami berkumpul tanpa rasa benci dan amarah. Kami hidup menjadi keluarga yang utuh dan bahagia. Namun perjuangan kami belumlah selesai. Aku dan Yasmin harus berusaha keras melunakkan hati papa yang sekeras baja. "Disuruh diem di situ, Rel? Tante sama Mbak Hazna capek berdiri begitu."Seketika aku terkesiap kemudian se