"Ambil uang ini dan tinggalkan Raka Dewangga sekarang juga!" ucap mertua Nazwa lantang seraya meletakkan segenggam uang seratus ribuan di meja dekat Nazwa sedang duduk.
Tubuh Nazwa terdiam kaku di tempatnya. Ia tidak pernah menyangka jika mama mertuanya datang tiba-tiba dan memintanya meninggalkan sang suami tercinta."Apa salah Nazwa, Ma?" tanya wanita itu dengan menahan air matanya agar tidak terjatuh.Suasana malam itu berubah seketika. Harusnya Nazwa tengah berbahagia karena hari itu adalah hari anniversary pernikahannya dengan Raka—sang suami yang ke delapan.Namun yang terjadi sungguh di luar dugaannya. Mama Raka yang biasanya tidak ikut campur dengan hubungan rumah tangganya, kini dengan berani mencoba mengusirnya.Wanita paruh baya itu berjalan memutari menantunya yang mulai beranjak dari tempatnya. Ia bisa melihat menantunya yang lemah tak berkutik di dekatnya."Keluarga Dewangga membutuhkan seorang cucu laki-laki yang akan menjadi penerus kekayaan keluarga ini. Dan kamu tidak mampu memberikannya, Nazwa!" hardiknya kemudian.Nazwa masih terdiam. Ia tak mampu untuk menentang ucapan dari sang mama. Apa yang dikatakan wanita paruh baya itu memang benar. Hanya saja pernyataannya tersebut begitu menyakitkan baginya.Dengan langkah pelan penuh gaya elegan, Rosalia—sang mertua mendekat ke arah Nazwa. Berbisik lembut namun kata-katanya sangat menusuk."Ternyata selain miskin, kamu juga mandul. Rahimmu tidak berguna!" Wanita paruh baya itu tersenyum sinis. Merasa senang bisa mempermalukan menantunya.Bagai tertimpa reruntuhan, tubuh Nazwa terasa begitu lemah. Seolah tidak mampu lagi untuk menampung beban tubuhnya sendiri. Hatinya terasa hancur dihina oleh perempuan yang ia anggap sebagai mama kandungnya sendiri."Cukup, Ma. Hentikan!" Nazwa tidak tahu lagi harus berkata apa."Ambil ini!" Mama Raka mengambil kembali uang yang sudah diletakkannya. Ia memberikan uang itu kepada Nazwa. "Segera pergi dari sini sebelum Raka pulang. Seharusnya wanita sepertimu itu sadar diri."Nazwa terkesiap. Ia tak ingin lagi berdiam diri. Dengan cepat tangannya meraih uang itu. Kemudian ia lemparkan dengan sangat kasar di depan mama mertuanya yang sok kaya tersebut."Nazwa tidak butuh uang ini. Nazwa akan pergi dari rumah ini sekarang juga."Setelah Nazwa mengatakan kalimat itu, tiba-tiba pintu rumah terbuka."Sayang, aku pulang."Suara ramah dan lembut dari sang suami membuat Nazwa merasa sedih. Apakah ia sanggup jika harus meninggalkan Raka. Sementara dirinya sudah tidak kuat jika harus selalu direndahkan.Nazwa dan sang mertua beralih tatap ke arah Raka. Mereka kebingungan untuk menjelaskan apa yang telah terjadi."Nazwa, ada apa ini?" tanya Raka pelan. Lelaki itu menghampiri sang mama."Mama, kenapa ke sini tidak bilang-bilang? Harusnya Mama kabari Raka terlebih dahulu," protes Raka seraya mencium punggung tangan mamanya.Mama Raka mulai memperlihatkan wajah sedihnya. Ia mulai bersandiwara di depan putra semata wayangnya."Lihatlah, Raka. Kelakuan istrimu. Dia melemparkan uang yang mama berikan kepadanya. Sungguh tidak sopan."Wanita paruh baya itu kembali menatap sinis kepada Nazwa tanpa sepengetahuan Raka."Mama tidak tahu kenapa Nazwa marah dan berusaha untuk melukai Mama. Mama hanya ingin bertanya apakah dia sudah hamil atau belum. Itu saja, Raka. Untung kamu segera pulang."Raka mulai terpengaruh oleh ucapan mamanya. Padahal ia berharap kepulangannya disambut hangat oleh istrinya dengan sebuah senyuman yang menyejukkan hatinya."Apakah itu benar, Nazwa?" tanyanya meyakinkan."Tidak, Mas. Itu tidak benar. Aku bisa jelaskan semuanya." Nazwa berusaha membela diri.Raka sudah terbawa emosi. Ia tidak suka jika Nazwa bersikap kurang ajar terhadap mamanya. Ia pikir istrinya tersebut selalu hormat kepada mamanya."Seharusnya kamu tahu, Nazwa. Selama ini Mama sudah sabar menantikan kehadiran seorang cucu dari pernikahan kita. Harusnya kamu tidak marah-marah seperti itu."Raka menarik nafas dalam. Lalu menghembuskannya secara perlahan. Ia tidak ingin ada pertengkaran di antara mereka."Minta maaf kepada Mama. Lalu masuk kamar," perintah Raka."Sial! Raka tidak mengusir wanita itu," batin mama Raka. Ia benar-benar muak dengan menantunya. Diam-diam wanita paruh baya itu sudah memiliki calon istri baru untuk Raka.Dengan perlahan Rosalia mendekati putranya kembali. Ia tidak ingin Nazwa tetap tinggal di rumah itu."Kamu harus ingat Raka. Jika kamu tetap membiarkannya di sini, maka kamu harus bersiap untuk segalanya."Semua kekayaan Raka adalah fasilitas dari mamanya. Termasuk perusahaan yang sedang dipegangnya saat ini. Sehingga Raka harus tunduk kepada Rosalia."Mama sudah mendapatkan calon istri pengganti yang layak untukmu. Yang bisa hamil anak kamu. Tidak seperti wanita mandul ini," lirih mama Raka."Tapi, Ma?" protes Raka.Sebenarnya lelaki itu ikut merasakan sakit hati seperti istrinya. Apalagi Nazwa dikatai mandul oleh mamanya sendiri. Namun dirinya tidak bisa berbuat apa-apa.Sementara Nazwa sudah masuk ke dalam kamarnya untuk berkemas. Ia membawa baju beberapa potong. Wanita itu benar-benar akan pergi malam ini."Tidak ada tapi-tapian, Raka. Kamu harus nurut sama Mama. Biarkan saja wanita itu pergi dari rumah ini."Nazwa berpamitan dengan Raka dan mencium punggung tangan suaminya sebelum benar-benar pergi dari rumah itu.Raka hanya bisa diam melihat istrinya diusir dari rumah sendiri. Sungguh, ia tidak ingin berpisah dengan Nazwa. Tetapi Raka juga tidak bisa menentang keinginan mamanya."Aku pergi, Mas. Semoga Mas bahagia dengan istri baru Mas nanti."Nazwa berjalan pelan menuju pintu utama. Air matanya tidak mampu untuk dibendung lagi. Tangannya bergetar hebat ketika memegang gagang pintu rumah itu."Nazwa, jangan pergi!" teriak Raka kemudian. Lelaki itu masih sangat mencintai istrinya. Sungguh tidak rela jika Nazwa meninggalkannya begitu saja."Selangkah kamu keluar dari pintu rumah, maka jangan pernah kembali lagi ke rumah ini. Jika kamu mengejar Nazwa, maka semua fasilitas yang mama berikan akan mama cabut kembali," teriak Rosalia cukup keras.Raka hanya bisa pasrah. Dia tidak sanggup jika hidup miskin."Lebih baik untuk saat ini aku menurut saja kepada mama," batin Raka tidak punya pilihan lain.Di malam yang sangat dingin, Nazwa benar-benar pergi dari rumah mewah yang selama delapan tahun sudah menemaninya. Ia berjalan seorang diri dengan hati yang telah hancur.Nazwa tidak tahu harus pergi ke mana malam-malam seperti itu. Ia terduduk di tepi jalan sambil menangis tersedu. Hingga tiba-tiba wanita itu menyadari ada seseorang yang mengulurkan sebuah saputangan kepadanya."Hapus air matamu Nazwa," lirih seorang lelaki kepadanya.Seketika Nazwa mendongakkan kepalanya. Ia seperti mengenali suara yang baru saja masuk melalui indera pendengarannya."Erland?" Kata itu keluar dari bibir mungil milik Nazwa begitu saja. Ia tidak pernah menyangka bisa bertemu kembali dengan sosok Erland Sanjaya. Sahabat masa SMA-nya."Maaf, aku harus segera pulang." Cepat-cepat Nazwa menghapus air mata dengan tangannya. Lalu berdiri dari tempatnya dan melangkah untuk pergi. Ia tidak mau orang lain tahu akan masalah yang sedang dialaminya."Nazwa, tunggu!" tahan Erland. Lelaki itu menyimpan kembali saputangan yang diabaikan oleh Nazwa.Entah mengapa tiba-tiba hati Nazwa merasa deg-degan. Wanita itu refleks menghentikan langkahnya."Ada apa Erland?" tanyanya penasaran."Apakah kita bisa bersahabat lagi seperti dulu?" Erland mengulurkan tangannya diiringi dengan sebuah senyuman yang tulus. Ia sangat berharap Nazwa membalas uluran tangannya.Nazwa menggeleng pelan tanpa menyambut uluran tangan dari Erland."Tidak untuk saat ini."Wanita itu melanjutkan langkahnya kembali. Ia memilih pergi dari Erland yang masih berdiri tenang di tempatnya tanpa bergeser sedikitpun."Ternyata kamu tidak pernah berubah Nazwa. Untuk berteman denganmu saja ... begitu sulit."Erland pun segera masuk ke dalam mobil. Diam-diam ia ingin mengetahui di mana Nazwa tinggal. Ia juga merasa penasaran, apakah mantan sahabatnya itu sudah menikah atau belum.Sementara Nazwa segera masuk ke dalam taksi yang kebetulan lewat di jalan. Ia tidak merasa bersalah sama sekali telah mengabaikan sebuah pertolongan dari lelaki yang dulu pernah singgah di hatinya."Kita mau ke mana, Bu?" tanya sopir taksi yang belum mendapatkan perintah apapun dari penumpangnya."Jalan saja dulu, Pak." Nazwa mulai mencari tempat kos terdekat dari tempat itu melalui ponselnya. Ia harus mencari tempat tinggal untuk berteduh malam itu.Sopir taksi pun hanya menurut. Ia mulai melajukan t
"Iya, aku di sini Nazwa. Aku tahu bukan amplop coklat itu yang membuatmu menangis. Tapi ada hal lain bukan?" tebak Erland.Nazwa hanya diam sambil menatap ke arah Erland yang masih mengulurkan sebuah saputangan untuknya. Di dalam hati wanita itu membenarkan apa kata lelaki di sampingnya tersebut."Baiklah aku tidak perlu ikut campur. Pakailah saputangan ini. Jangan mengotori tanganmu dengan air mata kesedihan itu."Akhirnya Nazwa memilih untuk menerima saputangan pemberian dari Erland. Lalu segera mengusap air mata yang sudah membanjiri wajahnya."Terima kasih, Erland. Maaf, kemarin aku telah mengabaikan pertolongan darimu." Nazwa masih sibuk mengusap sisa-sisa air mata yang masih terjatuh di pipinya.Sesaat suasana menjadi hening. Keduanya terdiam di bawah pohon itu. Hingga suasana jalan raya mulai terlihat ramai. Jam makan siang para pekerja kantor telah tiba."Oh, ya. Apakah kamu sudah makan siang?" tanya Erland mencoba mencari topik pembicaraan yang tepat. Ia tidak ingin menyia-nyi
Nazwa masih menunggu sebuah kendaraan umum. Ia memilih naik sebuah angkot untuk menghemat biaya.Walau bagaimanapun tabungan Nazwa tidak begitu banyak. Uang sisa dari setiap belanja, selalu ia sisihkan. Sementara untuk kebutuhan lainnya, Raka selalu memenuhi dengan membelikan sendiri untuk istrinya.Beberapa saat kemudian, sebuah angkot lewat. Dengan semangat Nazwa naik ke mobil itu. Sepertinya ia merasa kekenyangan gara-gara makan terlalu banyak."Harusnya aku tidak makan berlebihan tadi. Sekarang jadi sakit perut."Tidak butuh waktu lama Nazwa sudah sampai di rumah kosnya. Saat memasuki daerah perumahan dengan banyaknya tempat kos-kosan itu, Nazwa sudah disapa oleh beberapa mahasiswi yang juga kos di tempat itu. Semuanya ramah-ramah, begitupun ibu pemilik kos-kosan.Wanita itu segera masuk ke dalam rumah. Kemudian menuju toilet untuk mengeluarkan kotoran yang sudah penuh di dalam perutnya."Ah ... lega rasanya," ucap Nazwa setelah keluar dari toilet seraya mengelus perutnya yang leb
"Bagaimana pekerjaanmu hari ini Nazwa? Apakah kamu bisa mengerjakannya dengan baik?" tanya lelaki itu pelan dan lembut sambil memperhatikan raut wajah Nazwa yang kebingungan."Erland?" lirih Nazwa tidak percaya jika yang didepannya adalah Erland Sanjaya yang sudah ia kenal sebelumnya.Semua karyawan di bagian marketing ikut melongo menyaksikan sang CEO menyambut karyawan baru dengan sangat spesial. Selama ini Pak Erland tidak pernah peduli dan perhatian seperti itu."Ya Tuhan. Padahal baru tadi siang dia mentraktir banyak makanan. Dan aku kabur begitu saja. Sekarang dia berada di depanku sebagai seorang CEO perusahaan yang aku tempati untuk bekerja," batin Nazwa. Dirinya sudah berasa mau pingsan."Kamu tidak perlu merasa takut. Jika ada yang tidak kamu pahami, kamu bisa bertanya langsung kepada saya. Have a nice today."Lelaki tampan itu tersenyum manis lalu pergi begitu saja. Meninggalkan Nazwa yang masih diam tak percaya.Langsung saja Mila mendekati Nazwa kembali. Dan berteriak his
"Kamu lucu sekali Nazwa. Siapa yang dengan berani memecat kamu maka saya akan memecatnya juga. Saya akan mengantarkan kamu sampai di ruangan kamu bekerja."Nazwa pun tak menghiraukan ucapan dari Erland. Ia memilih untuk segera beranjak dari tempat itu."Tunggu Nazwa! Keningmu berkeringat." Erland hendak menyapu keringat dingin di kening Nazwa, namun wanita itu menghindar dan bergerak mundur. Hingga tak sengaja kakinya menyentuh sesuatu."Nazwa, awas!" Dengan cepat Erland menopang tubuh Nazwa. Kedua mata mereka saling bertemu. Seakan detik waktu berhenti, mereka terdiam dengan pikirannya masing-masing."Kamu sangat cantik, Nazwa." Erland tidak bisa menahan ucapannya. Kalimat itu ke luar begitu saja dari mulutnya.Nazwa yang tersadar segera berdiri tegak. Melepaskan diri dari dekapan tangan Erland. "Sebaiknya saya segera kembali." Nazwa langsung berlari meninggalkan Erland yang masih terdiam kaku menatapnya."Ya, Tuhan. Seharusnya saya tidak mengatakannya."Nazwa telah berhasil kembal
Raka memberikan sebuah anggukan. Kemudian ikut masuk ke kamar setelah beberapa menit lamanya Nazwa belum juga menampakkan diri.Suami Nazwa tersebut menanti di ranjang kamar dengan tidak sabar. Ia sudah sangat merindukan sosok sang istri yang telah menemaninya hingga delapan tahun lamanya.Nazwa yang baru keluar dari kamar mandi merasa terkejut kala melihat sang suami tersenyum manis dan menghampirinya. Wanita itu masih terlihat canggung setelah kepergiannya malam itu. Meski dalam hati kecilnya pun sangat merindukan Raka."Mas, Raka? Mas mau mandi, juga?" tanya Nazwa salah tingkah. Sebenarnya bukan hal itu yang ingin ia tanyakan. Tentu saja Nazwa tahu jika Raka pasti sudah mandi saat memutuskan untuk menemuinya. apaTanpa menjawab pertanyaan dari sang istri, Raka semakin mendekat. "Aku sangat merindukanmu, Nazwa." Sekejap saja bibir Raka telah menempel di bibir Nazwa. "Nazwa belum pakai baju Mas," ucap Nazwa setelah berhasil menghentikan penyatuan bibir mereka."Untuk, apa?" Dengan c
"Maaf, ya Mas, kalau Nazwa masih kepikiran tentang ucapan Mama malam itu. Nazwa juga ingin memberikan seorang cucu untuk Mama. Tetapi Tuhan belum berkehendak."Raka menangkup kedua pipi sang istri agar menatapnya. "Cukup, sayang. Tidak perlu kamu memikirkan suatu hal yang membuatmu sakit hati. Yang penting kita sudah berusaha. Dan Mas janji, tidak akan menuntut hal itu kepadamu.""Makasih ya Mas," ucap Nazwa seraya memeluk Raka.Keduanya saling berpelukan cukup lama. Nazwa merasa lega karena Raka masih setia mendukungnya.Setelah Raka mampu menenangkan hati istrinya. Ia pun benar-benar menolong Nazwa untuk memasak dan menyiapkan sarapan di atas meja makan."Pelan-pelan saja, Mas. Tidak usah buru-buru." Nazwa memandangi suaminya sambil tersenyum. Raka terlihat sangat antusias berada di dapur. Padahal biasanya ia hanya duduk manis di kursi dan menunggu kedatangan Nazwa dengan semua masakannya.Pagi itu terasa sangat indah bagi Nazwa. Ia berangkat ke kantor diantarkan oleh sang suami. Dan
"Pak Erland? Saya sedang menunggu suami saya. Katanya Mas Raka mau jemput ke sini dan makan siang bersama Nazwa. Tetapi sampai sekarang belum ada kabar sama sekali," ungkap Nazwa.Wanita itu terlihat sedih. Demi Raka ia rela menahan rasa laparnya. Ia tidak ingin mengecewakan suaminya.Namun kenyataannya, justru Raka yang kembali mengecewakan hatinya. Tanpa memberi kabar sama sekali. Membuatnya hampir putus asa."Saya tidak mau jika nanti kamu, sakit. Makanlah ini." Erland memberikan nasi kotak lauk ayam panggang kepada Nazwa.Wanita itu masih terdiam. Ia ragu-ragu untuk menerima makanan itu. Bukan apa, hanya saja Nazwa takut suaminya nanti marah.'Bagaimana jika nanti Mas Raka ke sini dan mengetahui aku sudah makan dahulu," batin Nazwa. Masih saja ia berpikir bahwa suaminya akan datang menemuinya."Apa perlu saya suapi, agar kamu mau memakannya?" tanya Erland lagi. Ia tidak habis pikir dengan Nazwa. Masih setia menanti kehadiran suaminya. Jelas-jelas waktu semakin berlalu. Sudah pasti
Melihat Erland datang, Nazwa segera menegakkan tubuhnya dan menjauh dari Raka."Mas Erland, ini tidak seperti yang kamu pikirkan?" terang Nazwa bernada sendu."Iya, Erland. Tadi Nazwa hampir terjatuh. Dan aku hanya berusaha untuk menolongnya." Terpaksa Raka mengatakan yang sebenarnya. Ia tidak ingin dianggap sebagai lelaki yang memanfaatkan keadaan.Seketika raut wajah Erland berubah menjadi khawatir."Kamu tidak apa-apa 'kan, Sayang. Maafkan aku baru bisa pulang." Erland mengecup kening Nazwa dan segera mendekapnya dengan erat. Tidak peduli jika ada Raka di sana."Nazwa baik-baik saja, Mas."Wanita itu melirik ke arah Raka. Merasa tidak enak hati atas sikap Erland yang seolah sengaja memanas-manasinya.Di saat Erland masih memeluk Nazwa, bayi kembar kembali menangis kencang."Oh, iya, Mas. Sejak tadi Dafa dan Devano menangis. Mereka sudah haus."Nazwa segera berjalan ke arah Dafa dan menggendongnya. Sementara Erland mengambil alih botol susu yang hendak diambil oleh Raka."Biar aku s
Seperti dugaannya Nazwa bahwa yang mengirim pesan adalah Bi Nanik. Wanita paruh baya itu mengatakan jika tidak bisa datang karena anaknya sedang sakit dan tidak mau ditinggal.Seketika raut wajah Nazwa berubah menjadi sedih. Ia tahu bagaimana perasaan seorang Ibu jika anak mendadak sakit."Semoga anaknya cepat sembuh ya, Bi. Bibi fokus saja sama anak Bibi. Nazwa tidak masalah kok."Setelah mengirimkan pesan itu Nazwa mengabari Erland. Lelaki tampan itu berjanji akan segera pulang jika pekerjaan di kantor telah selesai dan bisa dilimpahkan kepada sang sekretaris.Nazwa merasa lega. Ia meletakkan ponselnya. Namun kali ini handphone itu berbunyi lagi. Sebuah telepon dari nomor baru."Hallo, dengan siapa di sana?" sapa Nazwa ramah.Namun beberapa detik lamanya hanya sebuah kesenyapan yang ada."Maaf, kalau begitu saya tutup teleponnya.""Nazwa tunggu. Ini aku. Maaf ....""Mas Raka?" lirih Nazwa kemudian. Sudah lama ia tidak bercakap-cakap dengan mantan suaminya tersebut."Hari ini aku dan
"Sebenarnya Nazwa tidak masalah, Mas. Tapi Nazwa sibuk mengurus Dafa dengan Devano." Mendengar apa yang dikatakan Nazwa, Rosalia justru merasa semakin antusias. Ia ingin menemui wanita itu di rumahnya sekaligus menjenguk bayi kembar Nazwa dan Erland. Karena Rosalia memang belum sempat mengucapkan selamat kepada Nazwa. Begitupun dengan Raka. Betapa dirinya sangat merindukan seorang anak. Tetapi sayangnya ia tidak bisa memberikan keturunan kepada mamanya. "Nazwa, Tante ingin bertemu dengan baby kembar kamu. Boleh ‘kan, Sayang? Siapa nama mereka?" tanya Rosalia berterus terang. "Boleh, Tante. Kalau mau bertemu dengan Dafa dan Devano, Tante boleh ke sini kapanpun Tante mau." Rosalia melihat ke arah Raka dan Erland secara bergantian. Niatnya untuk pergi ke luar negeri sepertinya akan ia urungkan. "Apakah boleh Nak Erland?" tanyanya kepada Erland kemudian. "Jika Nazwa sudah mengizinkan, saya juga tidak bisa membantahnya." Rosalia tersenyum senang. Kemudian mereka mengakhiri percakapa
'Seila?' batin Erland kemudian. Erland melihat wanita itu datang bersama anaknya yang merengek meminta kue donat. "Sebentar Alin, kamu harus sabar." Seila mencoba menenangkan anaknya. Gadis kecil itu terdiam sejenak. Kemudian memandangi Erland. Alin yakin jika lelaki tampan yang ia lihat adalah papanya. Karena sang mama pernah memperlihatkan fotonya. "Papa? Dia Papa 'kan, Ma?" ucap Alin dengan wajah yang berseri. Seila tidak tahu harus menjawab apa. Ia berharap jika Erland mau berkata bohong demi seorang anak kecil yang tidak berdosa dan tidak tahu apa-apa. Erland yang tidak paham pun terlihat kebingungan. Bagaimana bisa gadis kecil itu menganggapnya sebagai papa. Sungguh sangat tidak masuk akal baginya. "Kenapa Papa diam saja, Ma? Kenapa tidak menyapaku?" Alin menarik-narik baju mamanya. Seila pun ikut kebingungan. Selama ini ia membohongi putrinya dengan mengatakan bahwa Erland adalah papa dari anaknya tersebut. Sedangkan yang sebenarnya adalah papa kandung Alin sudah pergi e
"Baby twins pup lagi Sayang," jawab Erland dengan memasang wajah kesal. Niatnya ingin bercanda agar mengundang tawa. Sedangkan bayi di depannya tersenyum-senyum setelah sisa kotorannya berhasil dibersihkan oleh papanya. "Lihatlah, dia mengejekku." Erland merasa gemas dengan putrinya. "Iya, Bu Nazwa. Yang ini juga. Hehehe. Mereka selalu sehati." Bi Nanik terkekeh. Ia ikut merasa gemas dengan tingkah si baby kembar yang belum memiliki nama tersebut. Nazwa pun tertawa. Namun lirih dan pelan. Ia merasakan perutnya masih sakit. Rasanya seperti ingin terbelah saja saat ia refleks tertawa. "Sayang, kamu baik-baik saja 'kan?" tanya Erland khawatir karena melihat istrinya meringis menahan rasa sakitnya. "Aku baik-baik saja. Aku mau ke toilet sebentar." "Aku akan mengantarkan kamu." "Tidak perlu, Mas. Kamu harus menjaga anak kita. Kasihan Bi Nanik nanti pasti kerepotan." Dengan berat hati Erland harus mengalah. Sejujurnya ia tidak tega kepada Nazwa. Tetapi baby kecil yang lucu itu juga
Erland merasa kikuk. Ia tidak ada niat sama sekali untuk berhubungan dengan Cintya. Baginya, wanita itu sangat berani."Kok diam aja? Come on, Erland. Saya hanya meminta tolong saja. Tidak lebih," ujar Cintya yang nada bicaranya terdengar lain di telinga Erland.Lelaki itu tidak ingin mengecewakan Cintya. Ia takut jika wanita itu akan membatalkan kerjasamanya jika Erland tidak mau membantunya."Ba–baiklah."Erland beranjak dari duduknya. Ia berharap jika Ridwan segera datang dari arah toilet.Benar saja. Sahabat Erland tersebut telah kembali dari toilet."Erland mau ngapain?"Pandangan mata Erland beralih ke Ridwan. Ia memberikan sebuah kode agar lelaki itu segera menghampiri mereka."Em, Cintya. Maaf. Tiba-tiba perut saya terasa sakit. Itu Ridwan telah kembali. Kamu bisa meminta tolong kepadanya."Dengan cepat Erland meninggalkan tempat itu. Ia segera berjalan menuju toilet."Cintya, apa yang kamu lakukan kepada Erland? Kamu mencoba untuk menggodanya?""Kenapa kamu harus kembali secep
Nazwa masih mencari keberadaan perempuan itu, tetapi ia gagal menemukannya."Sepertinya ia sudah pergi. Apakah aku harus menceritakan tentang hal ini kepada Mas Erland. Apakah mungkin ada hubungannya dengan ya?"Dengan berat hati Nazwa mengurungkan niatnya untuk membuntuti perempuan itu. Ia memilih untuk ke ruangan suaminya. Niatnya dari semalam adalah ingin cepat-cepat bertemu Erland. Giliran sekarang sudah berada di rumah sakit, ia justru menginginkan hal lain.Nazwa berjalan santai ke ruangan yang tafi sempat ditunjukkan oleh Ridwan. Dengan perlahan wanita itu membuka pintu ruangan Erland.Seketika Ridwan dan Erland melihat ke arah pintu secara bersamaan."Em, yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga!" ujar Ridwan menyindir.Nazwa terlihat kikuk. Ia terlalu lama jika tadi beralasan ke toilet. Wanita itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal."Em, kalian belum makan?" tanyanya ragu-ragu."Maaf, saya sudah makan duluan. Hehehe. Habisnya Pak Erland tidak mau makan kalau bukan Ibu Na
"Tunggu!" teriak seseorang kepada Nazwa.Nazwa, Raka, dan Rosalia menoleh ke arah sumber suara."Ridwan?" lirih Nazwa."Ma, kenapa dia bisa ada di sini? Jadi dia juga belum mati?" ujar Raka kepada mamanya.Lelaki itu menganggap bahwa Ridwan ikut meninggal bersama pesawat yang kecelakaan waktu itu. Karena memang Ridwan dan Erland sempat terpisah di perjalanan."Ibu Nazwa. Aku hanya ingin mengatakan jika Raka lah penyebab Pak Erland kalah tender. Dia yang telah berbuat curang. Mencuri semua ide Pak Erland dengan cara yang licik. Dia bertaruh dengan Pak Erland.""Mas Erland taruhan?" Nazwa tampak kecewa. Tetapi semua sudah terlanjur."Nanti saya akan jelaskan semuanya. Tolong Ibu Nazwa jangan menandatangani surat perjanjian itu."Rosalia berjalan mendekati Ridwan. "Kamu tidak perlu ikut campur Ridwan.""Cukup, Tante! Pergi dari sini saya tidak butuh ini." Nazwa melemparkan surat perjanjian berserta bolpoin itu kepada Rosalia."Awas saja kalian. Aku tidak akan tinggal diam."Raka dan Rosa
"Kenapa Mas Raka ke sini? Kita sudah tidak ada urusan lagi."Nazwa merasa geram. Ingin sekali ia mengusir Raka dengan cara kekerasan. Namun lelaki itu justru menunjukkan wajah yang penuh kesedihan."Nazwa, kamu sekarang tinggal di sini?" tanya Raka kemudian. Ia melihat ke arah atas sejenak agar air matanya tidak menetes."Iya, Nazwa tinggal di sini. Mas Raka senang 'kan? Mas Raka puas 'kan? Sebaiknya Mas Raka segera pulang."Nazwa memutar tubuhnya. Ia akan meninggalkan Raka seorang diri."Nazwa, aku rindu kamu!" Tiba-tiba tangan Raka menahan pergelangan tangan Nazwa.Nazwa mencoba melepaskan genggaman tangan Raka, tetapi lelaki itu justru mendorong kedua bahu mantan istrinya hingga tubuh Nazwa menyentuh dinding rumahnya.Raka mendekatkan bibirnya. Ia sangat merindukan momen bersama Nazwa dulu saat awal-awal menikah."Cukup, Mas Raka. Jangan seperti ini." Nazwa mengalihkan wajahnya."Aku masih mencintaimu, Nazwa. Mengertilah. Kamu sebenarnya juga masih cinta kepadaku 'kan? Katakan, Naz