Aku memang jarang meminta sesuatu pada Mas Dika. Apalagi jika berupa perhiasan. Perhiasan yang selama ini aku gunakan adalah perhiasan yang menjadi hantaran ataupun kado yang diberikan suamiku itu. Akan tetapi tidak kali ini. Jika wanita itu bisa dapat harga yang mahal, kenapa aku harus ambil yang murah. Aku kan ratunya! "Sayang, bagaimana kalau model yang lain saja. Model itu terlalu ramai menurut Mas. Cari yang agak kecil tapi manis," bisiknya di telingaku. Membujuk agar aku mau memilih cincin yang lebih kecil tapi manis, katanya. Bilang saja karena harganya mahal Mas ... Mas. Pakai alasan modelnya ramai."Tapi aku suka yang ini Mas. Serasi dengan kalung yang kamu berikan padaku," jawabku menolak. Aku tak mau lagi melepas cincin yang sudah tersemat cantik di jari tanganku ini. Pelayan toko menatap ke arah Mas Dika. Membuat mas Dika salah tingkah. Ia tak mungkin kan, mengatakan pada pemilik toko jika cincin yang aku pilih itu terlalu mahal baginya. Aku tahu Mas Dika itu harga diri
Aku berpindah ke kamar Ammar, berpikir siapa tahu suamiku itu tidur di kamar putranya. Namun nyatanya tetap saja, tak kutemui keberadaannya.Di tengah kepusingan memikirkan keberadaan suamiku itu. Aku merasakan tenggorokanku begitu kering, hingga menelan ludah saja terasa sakit. Aku melangkahkan kakiku menuruni tangga satu demi satu berniat turun ke dapur. Kubuka kulkas dan menuangkan sebotol air dingin ke dalam gelas. Dinginnya air itu mengalir lancar di tenggorokan hingga lambungku. Samar-samar telingaku menangkap deru mobil yang memasuki halaman rumah. "Seperti suara mobil Mas Dika. Dari mana ia jam segini? Sejak kapan ia ke luar rumah?" pikirku dengan dahi yang berkerut. Aku masih berdiri di dapur, namun menghadap ke arah pintu dapur yang berhadapan langsung pada tangga. Langkah kaki itu kian mendekat memecah kesunyian. Begitu ringan dan nyaris tak bersuara. Untung saja aku dianugerahi pendengaran yang cukup tajam. Aku melipat tanganku sambil menyandarkan punggungku pada pungg
Sejak pertengkaran malam itu, selama dua hari aku dan Mas Dika hanya diam-diaman. Saat makan Mas Dika menatap sekilas layar ponselnya yang menyala. Sedangkan aku yang berada di seberangnya hanya bisa melirik tanpa tahu apa yang sedang ia lihat. Jantungku berdentum. Hening! Aku merasa tertikam oleh kesunyian yang tercipta di antara kami. Tanpa ada satu orang pun di antara kami berdua yang mau membuka suara. Baru kali ini Mas Dika begitu marah padaku. Sikapnya padaku seakan aku lah yang bersalah saat ini. Setelah pertengkaranku dengannya malam itu. Siangnya Mas Yoga mengirimkan chat padaku. Ia mengirimkan bukti yang selama ini aku tunggu-tunggu. Foto Mas Dika duduk mesra dengan seorang wanita yang menggendong seorang anak kecil. Wajah wanita itu memang tidak terlihat jelas karena diambil dari jarak yang cukup jauh. Dalam chat Mas Yoga juga menjelaskan dengan detail nama dan alamat wanita itu. Sukma Rahayu Ningsih–wanita muda yang umurnya jauh lebih muda dariku. Jika dilihat postur tu
"Dia itu teman sesama arisan, Bu. Bisa di bilang kenal karena sering ngumpul bareng. Tiga bulan yang lalu minjam duit padaku. Bilangnya tempo sebulan. Sampai kini nggak tahu rimbanya ke mana?" jawabku asal. Aku mulai mengarang cerita bebas mengikuti imajinasiku. Seperti mengarang cerpen saja, membuatku ingin tertawa."Walah ... apa minjamnya banyak pula Mbak? Memang jaman sekarang hati-hati kalau mau minjamin orang uang Mbak. Enak ngasihnya saat minta lagi nyesek," balasnya. Aku menganggukkan kepala. Nyesek-nyeseknya uang nggak kembali lebih nyesek lagi suami yang direbut orang, Bu. sahutku di dalam hati.Oh ... ya, Bu. Rumah pagar hitam itu tampaknya ramai, ada acara apa ya, Bu?" "Pagar hitam yang ada kolam ikan kecil di depannya?" ucapnya memastikan. Aku kembali menganggukkan kepala."Oh itu ... mau ada acara syukuran nanti malam Mbak. Syukuran tujuh bulan usia anak pertama Mbak Sukma," jawabnya."Mbak Sukma? Orang mana dia, Bu. Tujuh bulan kandungan atau bagaimana?" tanyaku lagi m
Kita berdua mulai berjalan masuk melewati para bapak-bapak yang sedang duduk sambil merokok, karena waktu acara masih ba'da isya sedangkan bapak-bapak ini ba'da magrib sudah nongol. Itu artinya mereka melewatkan jam sholat isya. Kita berdua menggunakan gamis yang pantas. Bukan untuk menghadiri acara, tapi untuk menunjukkan kesan bahwa betapa bodohnya Mas Dika yang menduakan wanita anggun dan secantik diriku. Sesampainya di depan pintu rumah, tampak dengan jelas Mas Dika duduk sambil memangku seorang balita perempuan. Di antara para ibu-ibu yang memuji dan mencolek pipi tembem bayi tersebut. Sedangkan di sebelahnya duduk seorang wanita yang tersenyum manis melihat keakraban itu. Bisa jadi mereka adalah keluarga dari perempuan itu atau tetangga yang sangat dekat dengan mereka. Jangan ditanya bagaimana perasanku saat ini. Bagai tercincang dengan samurai panjang. Bukan lagi sakit, tapi serasa ingin mati."Mas Dika!" teriakku lantang. Membuat semua orang yang ada di sana terkejut. Begi
"Cukup! Semuanya diam! Aku bukan pelakor seperti yang dia katakan. Kami menikah secara baik-baik aku juga istri Mas Dika yang sah!" sergahnya. Aku berdecih dan tertawa mengejek mendengar ucapannya itu. "Menikah baik-baik?! Apa kamu bercanda?" Aku yang tadi hanya berdiri dekat pintu kini mulai berjalan mendekat. Ingin melihat wajahnya dari dekat lagi. Mas Dika langsung menghadangku. Ia berdiri tepat diantara aku dan simpanannya itu. "Sebegitu cintakah dirimu padanya, Mas. Hingga kamu membela dan takut aku menyakitinya?" batinku berteriak."Apa kalian memberi tahuku saat kalian menikah? Apa kalian meminta izin padaku? Tidak kan! Lalu menikah baik-baik seperti apa yang kamu katakan wahai wanita simpanan! Aku istri Mas Dika yang sah secara hukum secara agama. Aku tak memberi izin ataupun menerima Mas Dika menikah lagi. Pernikahan kalian tidak sah. Sama saja kalian berzina!" sungutku."Itu tidak bener! Pergi kamu dari sini! Pergi!" teriaknya lantang mengusirku. Bayi yang ia pegang mulai
"Mas mohon dengarkan Mas. Mas tahu kamu marah pada Mas saat ini. Mas minta maaf Intan. Mas khilaf," ujarnya membuatku seketika tertawa. "Khilaf? Enak sekali kamu ngomongnya Mas. Dengan kata khilaf kamu berharap aku akan mereda dan memaafkan kamu. Begitu?" jawabku sinis. Mas Dika diam, tatap matanya menatapku sendu. Aku yang dilukai, aku yang dikhianati, dan aku juga yang telah dibohongi. Tapi kenapa justru ia yang menatapku seolah-olah dirinya yang terluka. "Maafkan Mas, Intan!" pintanya padaku membuat aku kembali terkekeh. Namun air mata ini terus mengalir. Aku tertawa dalam kepedihan."Meminta maaf dan kata khilaf sepertinya sudah menjadi satu rangkaian kata yang menjadi senjata pamungkas ya, Mas. Tapi sayang, itu tak berlaku untukku! Aku tak cukup baik untuk memaafkan orang yang sudah mengkhianatiku!" ucapku tegas. Mas Dika kembali mendekat dan aku pun kembali mundur. Aku tahu ia pasti akan melakukan aksi yang lain. Berlutut ataupun mengemis-ngemis padaku. Aku tak sudi. Melihat
Sepanjang perjalanan, di dalam mobil aku terus menangis. Kenangan kebersamaan serta kebahagian yang terjalin diantara aku dan suamiku berputar-putar di benakku seperti sebuah Vidio dukumenter dengan durasi yang panjang. Lima tahun, lima tahun ia menikah dengan perempuan lain dan aku tak tahu akan hal itu.Apa aku sebodoh itu?Atau Mas Dika yang terlalu pintar membodohiku? Pertanyaan itu kembali berputar di otakku.Irene menepikan mobilnya. Menatap ke arahku. Ia menarik tubuhku untuk menangis di pelukannya. Pelukannya yang hangat dan menenangkan membuatku rindu pada pelukan seseorang yang tak akan pernah lagi bisa aku temui. Bagaikan anak kecil yang menangis dan mengadu pada pelukan seorang ibu. Aku terisak kecil melampiaskan segala sesak di dadaku.Tak apa Intan, menangislah ... semua akan baik-baik saja!" ucapnya sambil menepuk-nepuk pelan punggungku. Satu bait kalimat itu bagaikan mantra yang mujarab. Menenangkan hatiku yang rapuh. Aku menghapus air mataku. Mengangkat kepala menat