Aku duduk di samping Mas Dika. Kami mulai mengobrol santai. "Mas, nanti kita mampir ke toko Central yang ada di bawah ya!" ajakku pada Mas Dika manja. Dahi Mas Dika terangkat sebelah. "Central?! Kamu mau beli perhiasan, sayang? tanyanya. Aku mengangguk. "Iya, Mas. Soalnya aku lihat di market place mereka, ada keluaran model terbaru. Boleh ya?" pintaku padanya. Aku menggandeng tangannya dengan manja dan tersenyum manis. Manis sekali, saking manisnya membuat semut tergoda. "Apa sih yang tidak untuk istriku tersayang ini," balasnya tak kalah manis padaku. Setelah puas menemani Ammar bermain, aku dan Mas Dika pergi ke toko perhiasan yang aku incar tersebut. Central adalah toko perhiasan terbesar di kota ini. Jaraknya tak jauh dari moll tempat kami tadi. Namun sebelum keluar aku masih sempat memborong beberapa potong baju dan tas di outlet barang branded di moll tadi. Lumayan kan, jarang-jarang aku bisa memperdaya suami seperti ini. lagi pula dari pada hartanya habis sama selingkuha
Aku memang jarang meminta sesuatu pada Mas Dika. Apalagi jika berupa perhiasan. Perhiasan yang selama ini aku gunakan adalah perhiasan yang menjadi hantaran ataupun kado yang diberikan suamiku itu. Akan tetapi tidak kali ini. Jika wanita itu bisa dapat harga yang mahal, kenapa aku harus ambil yang murah. Aku kan ratunya! "Sayang, bagaimana kalau model yang lain saja. Model itu terlalu ramai menurut Mas. Cari yang agak kecil tapi manis," bisiknya di telingaku. Membujuk agar aku mau memilih cincin yang lebih kecil tapi manis, katanya. Bilang saja karena harganya mahal Mas ... Mas. Pakai alasan modelnya ramai."Tapi aku suka yang ini Mas. Serasi dengan kalung yang kamu berikan padaku," jawabku menolak. Aku tak mau lagi melepas cincin yang sudah tersemat cantik di jari tanganku ini. Pelayan toko menatap ke arah Mas Dika. Membuat mas Dika salah tingkah. Ia tak mungkin kan, mengatakan pada pemilik toko jika cincin yang aku pilih itu terlalu mahal baginya. Aku tahu Mas Dika itu harga diri
Aku berpindah ke kamar Ammar, berpikir siapa tahu suamiku itu tidur di kamar putranya. Namun nyatanya tetap saja, tak kutemui keberadaannya.Di tengah kepusingan memikirkan keberadaan suamiku itu. Aku merasakan tenggorokanku begitu kering, hingga menelan ludah saja terasa sakit. Aku melangkahkan kakiku menuruni tangga satu demi satu berniat turun ke dapur. Kubuka kulkas dan menuangkan sebotol air dingin ke dalam gelas. Dinginnya air itu mengalir lancar di tenggorokan hingga lambungku. Samar-samar telingaku menangkap deru mobil yang memasuki halaman rumah. "Seperti suara mobil Mas Dika. Dari mana ia jam segini? Sejak kapan ia ke luar rumah?" pikirku dengan dahi yang berkerut. Aku masih berdiri di dapur, namun menghadap ke arah pintu dapur yang berhadapan langsung pada tangga. Langkah kaki itu kian mendekat memecah kesunyian. Begitu ringan dan nyaris tak bersuara. Untung saja aku dianugerahi pendengaran yang cukup tajam. Aku melipat tanganku sambil menyandarkan punggungku pada pungg
Sejak pertengkaran malam itu, selama dua hari aku dan Mas Dika hanya diam-diaman. Saat makan Mas Dika menatap sekilas layar ponselnya yang menyala. Sedangkan aku yang berada di seberangnya hanya bisa melirik tanpa tahu apa yang sedang ia lihat. Jantungku berdentum. Hening! Aku merasa tertikam oleh kesunyian yang tercipta di antara kami. Tanpa ada satu orang pun di antara kami berdua yang mau membuka suara. Baru kali ini Mas Dika begitu marah padaku. Sikapnya padaku seakan aku lah yang bersalah saat ini. Setelah pertengkaranku dengannya malam itu. Siangnya Mas Yoga mengirimkan chat padaku. Ia mengirimkan bukti yang selama ini aku tunggu-tunggu. Foto Mas Dika duduk mesra dengan seorang wanita yang menggendong seorang anak kecil. Wajah wanita itu memang tidak terlihat jelas karena diambil dari jarak yang cukup jauh. Dalam chat Mas Yoga juga menjelaskan dengan detail nama dan alamat wanita itu. Sukma Rahayu Ningsih–wanita muda yang umurnya jauh lebih muda dariku. Jika dilihat postur tu
"Dia itu teman sesama arisan, Bu. Bisa di bilang kenal karena sering ngumpul bareng. Tiga bulan yang lalu minjam duit padaku. Bilangnya tempo sebulan. Sampai kini nggak tahu rimbanya ke mana?" jawabku asal. Aku mulai mengarang cerita bebas mengikuti imajinasiku. Seperti mengarang cerpen saja, membuatku ingin tertawa."Walah ... apa minjamnya banyak pula Mbak? Memang jaman sekarang hati-hati kalau mau minjamin orang uang Mbak. Enak ngasihnya saat minta lagi nyesek," balasnya. Aku menganggukkan kepala. Nyesek-nyeseknya uang nggak kembali lebih nyesek lagi suami yang direbut orang, Bu. sahutku di dalam hati.Oh ... ya, Bu. Rumah pagar hitam itu tampaknya ramai, ada acara apa ya, Bu?" "Pagar hitam yang ada kolam ikan kecil di depannya?" ucapnya memastikan. Aku kembali menganggukkan kepala."Oh itu ... mau ada acara syukuran nanti malam Mbak. Syukuran tujuh bulan usia anak pertama Mbak Sukma," jawabnya."Mbak Sukma? Orang mana dia, Bu. Tujuh bulan kandungan atau bagaimana?" tanyaku lagi m
Kita berdua mulai berjalan masuk melewati para bapak-bapak yang sedang duduk sambil merokok, karena waktu acara masih ba'da isya sedangkan bapak-bapak ini ba'da magrib sudah nongol. Itu artinya mereka melewatkan jam sholat isya. Kita berdua menggunakan gamis yang pantas. Bukan untuk menghadiri acara, tapi untuk menunjukkan kesan bahwa betapa bodohnya Mas Dika yang menduakan wanita anggun dan secantik diriku. Sesampainya di depan pintu rumah, tampak dengan jelas Mas Dika duduk sambil memangku seorang balita perempuan. Di antara para ibu-ibu yang memuji dan mencolek pipi tembem bayi tersebut. Sedangkan di sebelahnya duduk seorang wanita yang tersenyum manis melihat keakraban itu. Bisa jadi mereka adalah keluarga dari perempuan itu atau tetangga yang sangat dekat dengan mereka. Jangan ditanya bagaimana perasanku saat ini. Bagai tercincang dengan samurai panjang. Bukan lagi sakit, tapi serasa ingin mati."Mas Dika!" teriakku lantang. Membuat semua orang yang ada di sana terkejut. Begi
"Cukup! Semuanya diam! Aku bukan pelakor seperti yang dia katakan. Kami menikah secara baik-baik aku juga istri Mas Dika yang sah!" sergahnya. Aku berdecih dan tertawa mengejek mendengar ucapannya itu. "Menikah baik-baik?! Apa kamu bercanda?" Aku yang tadi hanya berdiri dekat pintu kini mulai berjalan mendekat. Ingin melihat wajahnya dari dekat lagi. Mas Dika langsung menghadangku. Ia berdiri tepat diantara aku dan simpanannya itu. "Sebegitu cintakah dirimu padanya, Mas. Hingga kamu membela dan takut aku menyakitinya?" batinku berteriak."Apa kalian memberi tahuku saat kalian menikah? Apa kalian meminta izin padaku? Tidak kan! Lalu menikah baik-baik seperti apa yang kamu katakan wahai wanita simpanan! Aku istri Mas Dika yang sah secara hukum secara agama. Aku tak memberi izin ataupun menerima Mas Dika menikah lagi. Pernikahan kalian tidak sah. Sama saja kalian berzina!" sungutku."Itu tidak bener! Pergi kamu dari sini! Pergi!" teriaknya lantang mengusirku. Bayi yang ia pegang mulai
"Mas mohon dengarkan Mas. Mas tahu kamu marah pada Mas saat ini. Mas minta maaf Intan. Mas khilaf," ujarnya membuatku seketika tertawa. "Khilaf? Enak sekali kamu ngomongnya Mas. Dengan kata khilaf kamu berharap aku akan mereda dan memaafkan kamu. Begitu?" jawabku sinis. Mas Dika diam, tatap matanya menatapku sendu. Aku yang dilukai, aku yang dikhianati, dan aku juga yang telah dibohongi. Tapi kenapa justru ia yang menatapku seolah-olah dirinya yang terluka. "Maafkan Mas, Intan!" pintanya padaku membuat aku kembali terkekeh. Namun air mata ini terus mengalir. Aku tertawa dalam kepedihan."Meminta maaf dan kata khilaf sepertinya sudah menjadi satu rangkaian kata yang menjadi senjata pamungkas ya, Mas. Tapi sayang, itu tak berlaku untukku! Aku tak cukup baik untuk memaafkan orang yang sudah mengkhianatiku!" ucapku tegas. Mas Dika kembali mendekat dan aku pun kembali mundur. Aku tahu ia pasti akan melakukan aksi yang lain. Berlutut ataupun mengemis-ngemis padaku. Aku tak sudi. Melihat
Lagi-lagi aku dibuat tercengang dengan ide gila pria ini. Setelah aku menyetujui untuk menikah dengannya. Pernikahan kami di gelar dalam waktu tiga hari. Terdengar sangat tiba-tiba memang. Namun semuanya tampak siap, seolah sudah di persiapkan sebelumnya. Hanya tinggal mulutku berkata ia. Maka semuanya terlaksana bagai sulap.Bahkan sempat beredar rumor tak sedap yang mengatakan aku hamil duluan. Hanya karena pernikahanku yang di gelar begitu mendadak. Aku juga tak tahu dari mana rumor itu berasal. Namanya juga hidup bertetangga. Ada saja komentar yang terdengar. Aku menatap pantulan diriku di dalam cermin. Kebaya putih yang indah dengan hijab berwarna senada. Make up yang bagus membuat wajahku cantik sempurna. "Kamu cantik sekali, Nak!" puji Mama padaku. Aku menatap dan tersenyum padanya dari balik pantulan cermin. Aku gengam erat tangannya yang memegang pundakku. Ini memang pernikahan keduaku. Tapi gugupnya hampir sama dengan pernikahanku dulu. Bahkan lebih kentara lagi. Pintu
Aku tersentak kaget saat tangan Nini menggoyang tubuhku. Membuyarkan pikiran yang sejak tadi melayang entah kemana. "Mbak ... Mbak Intan! Mbak mikirin apa sih, Mbak?!" serunya padaku. Aku menoleh, menarik napasku yang terasa berat. "Nggak ada," jawabku singkat. Aku yang duduk di meja makan ini hanya menatapi makanan yang sudah Nini siapkan untukku. Tak ada yang aku sentuh. Selera makanku hilang entah kemana. "Mbak pasti mikirin Mas Langit, ya? Udah Mbak, kalau rindu bilang saja. Dari pada bengong gitu. Ayam tetanggaku di kampung, gara-gara bengong gitu selama tiga hari. Besoknya mati loh, Mbak. Kalau cinta bilang aja ok. Gitu aja kok susah Mbak," komentarnya padaku. Mataku melebar. "Kamu ngomong apa sih, Ni? Mbak nggak ngerti," elakku. Aku mengalihkan pandanganku darinya. Aku lagi malas beradu argumen dengan asisten rumah tanggaku ini. "Udah Mbak jangan malu sama Nini. Nini tu sebenarnya tahu. Sebenarnya Mbak tu cinta kan sama Mas Langit. Cuma Mbak Intan tu takut aja kalau Mas La
Hingga pagi menjelang, aku memaksa untuk pulang ke rumah. Demamku sudah turun. Sesampainya di rumah Mama menemaniku hingga ke kamar."Terima kasih, Ma," ucapku tulus. Aku duduk di pinggir ranjang menatapnya sayang. Tak ada amarah ataupun sakit hati. Semuanya sirna dengan kasih sayangnya. Mama menghela napas. Ia duduk di sampingku dan mengusap wajahku lembut. "Tak ada kata terima kasih untuk cinta seorang Ibu untuk anaknya. Sekarang istirahatlah ... jangan lagi menangis seperti itu Intan. Apalagi di makam Papamu sendirian seperti itu. Jika terjadi sesuatu padamu bagaimana?" "Bagaimana Mama bisa tahu aku ada di makam Papa?" tanyaku mulai mengingat kejadian itu. "Penjaga makam menelpon Mama dan memberitahukan keberadaanmu yang tergeletak pingsan di makam," jelas Mama. Ya, penjaga makam memang selalu aku bayar setiap bulan untuk menjaga Makam Papa. Itu sebabnya makam Papa bersih dan terawat. "Intan ... Mama dengar dari Nini, kamu akan pindah dalam minggu ini?" "Iya," jawabku singka
Pukul dua siang, langkah kakiku terhenti di sebuah gapura tinggi. Berdiri kokoh dan bersanding dengan sebatang pohon beringin yang berdiri menantang memamerkan tubuhnya yang tinggi serta rimbun. Daun kering tertiup angin jatuh berguguran. Beberapa lembar jatuh di hadapanku. Lembarannya yang rapuh terinjak di kakiku meninggalkan bunyi patah.Bisikan nyanyian rindu menuntun langkah kakiku untuk terus melangkah maju. Menyusuri setiap jengkal tanah pemakaman melati. Rintik hujan yang mulai turun membasahi pipi bagai iring-iringan yang menyambut kedatanganku. Langit mendung seakan ikut merasakan kehampaan hati ini.Sebuah batu nisan yang di kelilingi keramik berwarna biru menjadi ujung tujuan langkah kakiku. Aku terdiam dengan mata yang berkaca-kaca. Kutekukkan kakiku, duduk di sudut pusara yang terawat ini. Setelah sekian lama, aku datang menemui cinta pertama yang selalu ada untukku di masa hidupnya. Dulu aku rutin datang kesini, minimal tiga bulan atau enam bulan sekali. Namun sejak d
Dari rumah sakit aku mampir sejenak ke perusahaan. Menyelesaikan sebagian pekerjaanku. Sebagai pemilik sebuah perusahaan, aku masih memiliki tanggung jawab yang tak bisa aku tinggalkan. Pukul tujuh malam, mobilku terparkir cantik di halaman rumah. Aku turun dari mobil dan masuk ke rumah besar dengan bangunan arsitektur klasik. Rumah yang aku tempati selama puluhan tahun. Tak ada yang berubah dari rumah ini. Semuanya sama, dari dinding cat yang mendominasi warna-warna pastel dan putih. Kecuali bunga-bunga yang ditanam Mama yang berganti sesuai trend yang sedang hits saat ini.Aku memasuki rumah dan berjalan cepat ke ruang makan. Aku yakin semua sudah berkumpul di meja makan. "Selamat malam?" sapaku. "Kamu terlambat lagi, Kak?" ujar Elia padaku. Semuanya sedang makan dan menatap ke arahku yang baru saja tiba. Di samping Elia ada Emil–suaminya. Lelaki itu kerja sebagai pegawai bank swasta. Lalu di hadapan mereka, duduk seorang gadis kecil cantik yang tampak merenggut padaku. Aku mem
Pov. Langit"Langit lepaskan!" ujarnya saat tautan bibir kami terlepas. Dekapan tangan ini masih sangat erat dan tak ingin terlepas. Deru nafas yang naik turun begitu memburu. Seakan berlomba-lomba meraup pasokan oksigen sebanyak-banyaknya. Aku tahu ini salah, aku tahu tak sepantasnya kau melakukan ini padanya. Tapi aku tak bisa mengalihkan pandanganku dari wajah cantiknya. Tak bertemu dengannya beberapa hari belakangan ini membuatku kehilangan nalarku saat ini. Apa pun yang berhubungan dengannya membuatku gila. Hanya ada namanya dan wajahnya yang memenuhi kepalaku saat ini. Detak jantungku dan dirinya kian berpacu berirama saling sahut-sahutan, membangkitkan gejolak rasa yang selama ini aku pendam dan kujaga dengan sangat hati-hati. Getaran itu masih sama, iramanya juga masih sama. Kubiarkan kupu-kupu menggelitikku. Membuatku terbuai dalam romansa indah, terbuai dengan irama asmara.Aku dekatkan keningnya dan keningku. Membiarkan punggungnya bersandar dengan pintu mobil. Bulu mat
Sudah berkali-kali dan berhari-hari Mama mencoba meminta Maaf padaku. Berkali-kali aku juga diam. Kini keputusanku untuk pindah semakin kuat. Taka ada lagi yang perlu aku pertahankan lagi tinggal disini. Hidupku juga sudah selesai, resmi dengan status janda yang tersemat.Ammar juga kondisinya sudah semakin pulih. Ia juga sudah mulai bisa beraktivitas seperti biasanya. Hari ini aku bersiap-siap di depan cermin. Memoles sedikit make-up di wajahku yang pucat. Hari ini adalah jadwal control rutin Ammar. Kali ini aku tidak datang ke rumah sakit dimana Ammar operasi kemarin. Tapi pindah ke rumah sakit yang lain. Tentunya rumah sakit yang sama besarnya dan fasilitas yang lengkap tentunya. Setelah dirasa pantas, aku keluar kamar. Membantu Ammar untuk berjalan menuju mobil. Walaupun ia sudah agak mendingan, namun sesekali putraku kerap merasa nyeri di bagian dadanya. Untuk Langit, aku memang tidak dapat menjenguknya. Bukan berarti aku tidak terima kasih atas apa yang ia lakukan pada putrak
"Kalau tidak kenapa, Ma?" Aku keluar dari persembunyianku menatap tajam Mama yang terkejut dan langsung mematikan sambungan telponnya. Kedua tanganku terkepal di kedua sisi tubuhku. "Intan ... sejak kapan kamu berada di situ, sayang?" tanya Mama gugup. Seperti penciri yang tertangkap basah dengan hasil curiannya. "Cukup lama untuk mendengar semua kebohongan Mama. Jadi benar apa yang dikatakan Bu Dahlia itu. Kenapa Mama lakukan ini padaku, Ma. Kenapa?!" teriakku penuh amarah. "Bukan begitu Intan, Maafkan Mama. Mama khilaf melakukan semua itu. Maafkan Mama, Nak. Kamu tahu sendiri saat itu Papa kamu mengalami krisis keuangan. Uang hasil panen sawit yang biasanya melimpah, tiba-tiba berkurang hampir setengahnya karena harga sawit turun. Sedangkan Mama saat itu tidak tahu kalau Papamu punya kebun lain yang dialihkan atas namamu. Uang yang di berikan Papamu tidak cukup,""Tidak cukup memenuhi keinginan Mama untuk foya-foya!" selaku sinis. "Bukan begitu, Intan. Dika menyukaimu sejak pe
Kuusap kepala Ammar dengan lembut. Menemaninya hingga ia terbuai mimpi. Bocahku ini sangat suka diusap-usap kepalanya. Bahkan ia akan cepat tertidur jika aku perlakukan demikian.Setelah Ammar tidur, aku kembali keluar. Merenggangkan tangan serta badanku yang terasa remuk. Perutku juga lapar tapi aku tak mungkin pergi meninggalkan anakku seorang diri di kamar. Aku yang baru saja keluar dari kamar langsung beradu hidung dengan Mas Yoga."Apa aku mengganggumu. Kamu mau kemana? Mau membeli makanan?" tebaknya tepat. Setidaknya aku bisa meminta bantuannya untuk menjaga Ammar. "Iya Mas, aku lapar. Bisa minta tolong nggak, Mas? Tolong jagain Ammar sebentar," pintaku. "Untuk apa keluar ... ini aku bawakan makanan untukmu," Mas Yoga mengangkat plastik putih yang ia bawa ke dapan wajahku. Bau wangi dari bungkusan itu menggoda indra penciumanku. Membuat cacing di perutku semakin berdendang. Kata orang, jika rezeki tak akan lari walau hujan menerpa. Seperti itu juga lah rezekiku hari ini. P