"Dia itu teman sesama arisan, Bu. Bisa di bilang kenal karena sering ngumpul bareng. Tiga bulan yang lalu minjam duit padaku. Bilangnya tempo sebulan. Sampai kini nggak tahu rimbanya ke mana?" jawabku asal. Aku mulai mengarang cerita bebas mengikuti imajinasiku. Seperti mengarang cerpen saja, membuatku ingin tertawa."Walah ... apa minjamnya banyak pula Mbak? Memang jaman sekarang hati-hati kalau mau minjamin orang uang Mbak. Enak ngasihnya saat minta lagi nyesek," balasnya. Aku menganggukkan kepala. Nyesek-nyeseknya uang nggak kembali lebih nyesek lagi suami yang direbut orang, Bu. sahutku di dalam hati.Oh ... ya, Bu. Rumah pagar hitam itu tampaknya ramai, ada acara apa ya, Bu?" "Pagar hitam yang ada kolam ikan kecil di depannya?" ucapnya memastikan. Aku kembali menganggukkan kepala."Oh itu ... mau ada acara syukuran nanti malam Mbak. Syukuran tujuh bulan usia anak pertama Mbak Sukma," jawabnya."Mbak Sukma? Orang mana dia, Bu. Tujuh bulan kandungan atau bagaimana?" tanyaku lagi m
Kita berdua mulai berjalan masuk melewati para bapak-bapak yang sedang duduk sambil merokok, karena waktu acara masih ba'da isya sedangkan bapak-bapak ini ba'da magrib sudah nongol. Itu artinya mereka melewatkan jam sholat isya. Kita berdua menggunakan gamis yang pantas. Bukan untuk menghadiri acara, tapi untuk menunjukkan kesan bahwa betapa bodohnya Mas Dika yang menduakan wanita anggun dan secantik diriku. Sesampainya di depan pintu rumah, tampak dengan jelas Mas Dika duduk sambil memangku seorang balita perempuan. Di antara para ibu-ibu yang memuji dan mencolek pipi tembem bayi tersebut. Sedangkan di sebelahnya duduk seorang wanita yang tersenyum manis melihat keakraban itu. Bisa jadi mereka adalah keluarga dari perempuan itu atau tetangga yang sangat dekat dengan mereka. Jangan ditanya bagaimana perasanku saat ini. Bagai tercincang dengan samurai panjang. Bukan lagi sakit, tapi serasa ingin mati."Mas Dika!" teriakku lantang. Membuat semua orang yang ada di sana terkejut. Begi
"Cukup! Semuanya diam! Aku bukan pelakor seperti yang dia katakan. Kami menikah secara baik-baik aku juga istri Mas Dika yang sah!" sergahnya. Aku berdecih dan tertawa mengejek mendengar ucapannya itu. "Menikah baik-baik?! Apa kamu bercanda?" Aku yang tadi hanya berdiri dekat pintu kini mulai berjalan mendekat. Ingin melihat wajahnya dari dekat lagi. Mas Dika langsung menghadangku. Ia berdiri tepat diantara aku dan simpanannya itu. "Sebegitu cintakah dirimu padanya, Mas. Hingga kamu membela dan takut aku menyakitinya?" batinku berteriak."Apa kalian memberi tahuku saat kalian menikah? Apa kalian meminta izin padaku? Tidak kan! Lalu menikah baik-baik seperti apa yang kamu katakan wahai wanita simpanan! Aku istri Mas Dika yang sah secara hukum secara agama. Aku tak memberi izin ataupun menerima Mas Dika menikah lagi. Pernikahan kalian tidak sah. Sama saja kalian berzina!" sungutku."Itu tidak bener! Pergi kamu dari sini! Pergi!" teriaknya lantang mengusirku. Bayi yang ia pegang mulai
"Mas mohon dengarkan Mas. Mas tahu kamu marah pada Mas saat ini. Mas minta maaf Intan. Mas khilaf," ujarnya membuatku seketika tertawa. "Khilaf? Enak sekali kamu ngomongnya Mas. Dengan kata khilaf kamu berharap aku akan mereda dan memaafkan kamu. Begitu?" jawabku sinis. Mas Dika diam, tatap matanya menatapku sendu. Aku yang dilukai, aku yang dikhianati, dan aku juga yang telah dibohongi. Tapi kenapa justru ia yang menatapku seolah-olah dirinya yang terluka. "Maafkan Mas, Intan!" pintanya padaku membuat aku kembali terkekeh. Namun air mata ini terus mengalir. Aku tertawa dalam kepedihan."Meminta maaf dan kata khilaf sepertinya sudah menjadi satu rangkaian kata yang menjadi senjata pamungkas ya, Mas. Tapi sayang, itu tak berlaku untukku! Aku tak cukup baik untuk memaafkan orang yang sudah mengkhianatiku!" ucapku tegas. Mas Dika kembali mendekat dan aku pun kembali mundur. Aku tahu ia pasti akan melakukan aksi yang lain. Berlutut ataupun mengemis-ngemis padaku. Aku tak sudi. Melihat
Sepanjang perjalanan, di dalam mobil aku terus menangis. Kenangan kebersamaan serta kebahagian yang terjalin diantara aku dan suamiku berputar-putar di benakku seperti sebuah Vidio dukumenter dengan durasi yang panjang. Lima tahun, lima tahun ia menikah dengan perempuan lain dan aku tak tahu akan hal itu.Apa aku sebodoh itu?Atau Mas Dika yang terlalu pintar membodohiku? Pertanyaan itu kembali berputar di otakku.Irene menepikan mobilnya. Menatap ke arahku. Ia menarik tubuhku untuk menangis di pelukannya. Pelukannya yang hangat dan menenangkan membuatku rindu pada pelukan seseorang yang tak akan pernah lagi bisa aku temui. Bagaikan anak kecil yang menangis dan mengadu pada pelukan seorang ibu. Aku terisak kecil melampiaskan segala sesak di dadaku.Tak apa Intan, menangislah ... semua akan baik-baik saja!" ucapnya sambil menepuk-nepuk pelan punggungku. Satu bait kalimat itu bagaikan mantra yang mujarab. Menenangkan hatiku yang rapuh. Aku menghapus air mataku. Mengangkat kepala menat
Pov. Sukma"Lepaskan aku Sukma. Aku harus pulang dan bicarakan masalah ini baik-baik dengan, Intan," Mas Dika melepas tanganku. Namun aku tak hingga akal. Aku langsung berlari ke arah pintu. Mengunci pintu itu dengan rapat dan langsung mencabut kuncinya dan menyimpannya. Mata Mas Dika terbuka lebar. Ia menatapku tak suka dengan apa yang aku lakukan. Tapi aku tak peduli. Pokoknya hari ini Mas Dika harus bersamaku. Toh ... Intan juga sudah mengetahui semuanya. Justru jika Mas Dika tidak datang malam ini menjelaskan semuanya dan membujuk wanita sialan itu. Mungkin saja dia akan semakin marah dan memaksa bercerai. Bukankah itu semakin menguntungkan buatku.Dengan begitu aku bisa menjadi satu-satunya Nyonya Dika Mahendra yang sah. Baik di mata hukum dan agama. "Apa-apaan kamu Sukma! Cepat berikan kunci itu. Aku harus segera pulang ke rumah menemui Intan!" ucapnya lantang. Membuat dadaku semakin sesak saja. "Tidak! Aku tidak akan memberikannya padamu. Disini aku yang dipermalukan oleh is
Tok! Tok! Tok!"Intan ... buka pintunya! Cepat buka pintunya atau nanti aku dobrak!" Aku yang telah tertidur akhirnya terbangun saat mendengarkan suara seseorang yang menggedor pintu kamarku dengan keras. Mataku terbuka, namun masih dalam posisi semula, tak bergeming. Aku tahu suara siapa itu, aku juga tahu apa yang mau dibahas olehnya."Intan ... buka pintu. Mas mohon, buka pintunya!" teriaknya lagi. Menggema dari luar."Pergi Mas! Pergilah! Aku tak mau mendengar penjelasan apa pun lagi dari kamu. Pergi!" Buk! Pyarrrr!Aku melempar gelas yang berada di atas nakas ke arah pintu kamar. Membuat gelas itu pecah berderai. Aku benci mendengar suaranya. Aku benci melihat ia di hadapanku. Hati manusia adalah laut dalam yang paling sulit untuk diselami. Dapat berubah seiring berjalannya waktu. Kadang bisa sangat saling mencintai, tertiup hembusan angin berubah menjadi sangat membenci. Kepercayaan diri seorang istri timbul saat suaminya begitu mencintai dan menyayanginya. Seakan hanya ial
"Apa yang sedang kamu lakukan Intan?" teriak Mas Dika yang telah pulang dari mengantar Ammar. Dia masuk ke dalam kamar kami. Ia tampak terkejut dengan apa yang sedang aku lakukan saat ini. Namun aku tak peduli. Lagi-lagi aku tak menjawab pertanyaannya. Aku hanya diam dan fokus melakukan apa yang sedang aku kerjakan. Mas Dika melangkah dengan cepat ke arahku. Setelah semuanya selesai aku menutup koper dan ingin mengancingkannya. Tangan Mas Dika menahan pergelangan tanganku. Membuat aku menoleh dan menepis tangannya kasar. Tatapan mata kami bertemu. Aku menatapnya tajam menantang. "Apa maksud dari semua ini?! Kenapa semua pakaianmu kamu bereskan?" tanyanya heran padaku. Aku tersenyum tipis seakan mengejek dirinya. "Kamu masih punya mata untuk melihatnya dengan jelas kan, Mas! Aku akan pergi dari rumah ini, aku tak mau lagi tinggal satu rumah denganmu!" Mata Mas Dika melebar sempurna. "Maksudmu, kamu akan meminta pisah dariku? Apa kamu yakin Intan? Ayolah ... tak bisakah kita hidup