Walau hati sesak dan amarah yang berkumpul di dalam hati, seperti bom yang telah tertarik sumbunya siap untuk diledakkan saat ini juga. Tapi aku tak ingin gegabah. Aku mundur dan memutar. Jika tadi aku berniat masuk lewat pintu samping, kini aku memutar ke arah depan. Masuk ke pintu yang seharusnya aku lalui. Berjalan tergesa-gesa menyamarkan deru amarah dengan deru napas yang capek karena setengah berlari. "Loh ... Nyonya kok sudah pulang?!" tanya Bi Susi kaget melihatku datang. Wajahnya terlihat sedikit kaget. Namun dengan cepat ia netralkan. Aku tersenyum kecut. Sungguh lihat para serigala yang aku pelihara di rumah ini. "Iya, Bi. Dompet saya ketinggalan di kamar, makanya balik lagi," jawabku datar sambil berlalu pergi. Hatiku masih panas melihat wajahnya. Aku takut jika berlama-lama, nanti aku tak sanggup mengontrol emosiku sendiri.Sesampainya di kamar dengan cepat aku mengambil dompetku lalu kembali keluar. Aku menuruni tangga dengan cepat dan mengabaikan keberadaannya. Mungk
"Lalu sekarang apa yang akan kamu lakukan? Apa pembantumu tahu jika kamu menguping pembicaraannya?" Aku menggelengkan kepala. "Tidak ... dia tidak tahu. Karena aku tidak mau ia mengadukan hal ini pada Mas Dika, hingga membuat aku nanti kehilangan jejak akan wanita itu. Aku juga bingung apa yang akan aku lakukan selanjutnya. Seperti menemukan jalan buntu," keluhku. "Aku ingin bertanya satu hal padamu. Jawab dengan jujur, apa pilihanmu atas pilihan yang aku berikan padamu kemarin?" tanyanya lagi. Tatapan matanya tampak serius."Jika dia terbukti mengkhianatiku. Maka tak ada maaf untuknya. Aku tak cukup baik untuk bisa berbagi suami Irene," ujarku lirih. "Jika ia meminta maaf dan mengajak semuanya mulai dari awal bagaimana?" tanyanya lagi. Aku tak mengerti maksud dan tujuan dari pertanyaannya itu. "Aku tak tahu, biarkan saja waktu yang menjawab. Aku akan memilih keputusan terbaik untukku dan anakku. Aku juga tak bisa egois, kan? Tapi aku tak bisa hidup dalam rasa penasaran seperti in
Aku berdiri bersalaman dengan pria yang bernama Yoga itu. Walau sikapnya baik tapi aku menangkap aura dingin di raut wajahnya. Seerti menyimpan kesedihan yang tak terbaca.Lelaki itu duduk di hadapanku. Mempersilahkan kami untuk menyantap hidangan yang telah disediakan oleh pelayan perempuan tadi. Sekilas aku melihat lelaki yang bernama Yoga ini cukup tampan. dari cerita Irene, aku juga mengetahui jika ia juga seorang singgle father. Setelah saling berkenalan dan mengobrol sebentar, aku dibantu Irene mulai mengutarakan maksud dan kedatangan kita berdua ke sini. Wajah Mas Yoga tampak berkerut, alisnya juga terangkat sebelah. Namun tetap diam mendengarkan ucapanku. Setelah aku selesai menceritakan masalahku. Mas yoga menatap Irene tajam. "Kamu kan tahu, Mas sudah berhenti bekerja sebagai detektif swasta Irene. Sepertinya kalian salah orang untuk masalahmu ini," tolaknya. Aku mulai lesu mendengar penolakan darinya. Di kota ini aku tak mengenal siapa saja yang memiliki jasa detektif s
Jam di pergelangan tanganku menunjukkan pukul sepuluh malam, aku baru sampai di rumah. Mobilku terparkir cantik di belakang mobil Mas Dika. Tentu saja suamiku itu sudah pulang lebih dulu dari pada aku. Karena keasyikan mengobrol dan memandang view laut yang begitu menggoda mata. Membuatku berlama-lama di sana hingga lupa akan waktu. Aku melewati meja makan yang tampak hening tak berpenghuni. Bi Susi juga tampak sedang mencuci piring, itu artinya suami dan anakku sudah makan malam. Aku pun juga sudah makan di sana tadi. Langkah kakiku cepat menaiki anak tangga menuju kamar. Baru saja pintu kamar terbuka, aku sudah mendapati wajah masam suamiku yang menatapku curiga. Ia melipat laptopnya dan beranjak dari ranjang menghampiriku. "Dari mana saja kamu?!" tanyanya padaku. Aku yang sudah siap dengan pertanyaan suamiku ini bersikap santai, membalasnya dengan senyuman. Aku tetap berusaha tersenyum walau bibirku ingin sekali mengumpat padanya. Lagi-lagi aku mengingat kembali percakapan Mas
"Kamu tahu dari mana kalau Irene itu janda, Mas? Apa kamu mengawasiku, atau kamu ada hubungan dengannya, jawab aku Mas? Jawab!" desakku. Dadaku memanas. Nafasku naik turun tak beraturan.Apa-apaan kamu Intan. Wajar dong jika seorang suami tahu siapa saja yang dekat dengan istrinya. Aneh banget kamu ini. Otakmu sudah banyak terpengaruhi oleh mereka. Jadinya pikiranmu kemana-mana! Sudahlah, pergi mandi sana! Siapa tahu dengan mandi otakmu jadi sedikit dingin." pungkasnya sambil berlalu pergi meninggalkan kamar."Apa kamu mulai was-was takut ketahuan, Mas. Hingga sikapmu begitu panik seperti ini," gumamku dalam hati. Aku melangkah kasar menuju kamar mandi. Membanting pintu kamar mandi dengan keras terdengar hingga keluar . Bukan kepalaku saja yang panas tapi hatiku.Aku melepas semua pakaianku dan menghidupkan shower agar airnya mengguyur kepalaku. Dinginnya air membasahi tubuku yang masih terbungkus pakain lengkap. Kupeluk tubuhku yang mulai terasa dingin. Menatap kosong, dinding kama
Tangan Mas Dika meraih sepotong ayam goreng dengan garpu dan meletakkannya di atas piring Ammar. Bocah lelaki itu girang dengan wajah yang berbinar. Senyum bahagia tergambar jelas di wajahnya. Bukan karena ayam goreng, tapi karena ajakan sang Papa yang mengajaknya jalan-jalan. "Liburan? Tumben?" batinku. Pasalnya tak biasanya suamiku berinisiatif mengajak aku dan anaknya jalan lebih dulu. "Hore ... kita akan liburan ke mana, Pa?" sorak bocah lelakiku. "Ammar maunya kemana?" tanya balik Mas Dika. Membuat putraku berpikir sejenak. Mas Dika tampak mengusap kepala putranya dengan lembut. Membuat hatiku kembali bimbang melihatnya. Kedekatan antara Ayah dan anak itu membuat aku semakin ragu untuk mengambil keputusan. Aku hanya duduk memperhatikan perbincangan di antara mereka. Mataku sesekali melirik ke arah Mas Dika, curiga. Beginilah rasanya jika kepercayaan sudah di nodai. Bawaannya curiga saja. "Bagaimana kalau ke pantai, Pa? Sudah lama kita nggak jalan ke pantai. Aku ingin main pa
Aku duduk di samping Mas Dika. Kami mulai mengobrol santai. "Mas, nanti kita mampir ke toko Central yang ada di bawah ya!" ajakku pada Mas Dika manja. Dahi Mas Dika terangkat sebelah. "Central?! Kamu mau beli perhiasan, sayang? tanyanya. Aku mengangguk. "Iya, Mas. Soalnya aku lihat di market place mereka, ada keluaran model terbaru. Boleh ya?" pintaku padanya. Aku menggandeng tangannya dengan manja dan tersenyum manis. Manis sekali, saking manisnya membuat semut tergoda. "Apa sih yang tidak untuk istriku tersayang ini," balasnya tak kalah manis padaku. Setelah puas menemani Ammar bermain, aku dan Mas Dika pergi ke toko perhiasan yang aku incar tersebut. Central adalah toko perhiasan terbesar di kota ini. Jaraknya tak jauh dari moll tempat kami tadi. Namun sebelum keluar aku masih sempat memborong beberapa potong baju dan tas di outlet barang branded di moll tadi. Lumayan kan, jarang-jarang aku bisa memperdaya suami seperti ini. lagi pula dari pada hartanya habis sama selingkuha
Aku memang jarang meminta sesuatu pada Mas Dika. Apalagi jika berupa perhiasan. Perhiasan yang selama ini aku gunakan adalah perhiasan yang menjadi hantaran ataupun kado yang diberikan suamiku itu. Akan tetapi tidak kali ini. Jika wanita itu bisa dapat harga yang mahal, kenapa aku harus ambil yang murah. Aku kan ratunya! "Sayang, bagaimana kalau model yang lain saja. Model itu terlalu ramai menurut Mas. Cari yang agak kecil tapi manis," bisiknya di telingaku. Membujuk agar aku mau memilih cincin yang lebih kecil tapi manis, katanya. Bilang saja karena harganya mahal Mas ... Mas. Pakai alasan modelnya ramai."Tapi aku suka yang ini Mas. Serasi dengan kalung yang kamu berikan padaku," jawabku menolak. Aku tak mau lagi melepas cincin yang sudah tersemat cantik di jari tanganku ini. Pelayan toko menatap ke arah Mas Dika. Membuat mas Dika salah tingkah. Ia tak mungkin kan, mengatakan pada pemilik toko jika cincin yang aku pilih itu terlalu mahal baginya. Aku tahu Mas Dika itu harga diri