"Kamu tahu dari mana kalau Irene itu janda, Mas? Apa kamu mengawasiku, atau kamu ada hubungan dengannya, jawab aku Mas? Jawab!" desakku. Dadaku memanas. Nafasku naik turun tak beraturan.Apa-apaan kamu Intan. Wajar dong jika seorang suami tahu siapa saja yang dekat dengan istrinya. Aneh banget kamu ini. Otakmu sudah banyak terpengaruhi oleh mereka. Jadinya pikiranmu kemana-mana! Sudahlah, pergi mandi sana! Siapa tahu dengan mandi otakmu jadi sedikit dingin." pungkasnya sambil berlalu pergi meninggalkan kamar."Apa kamu mulai was-was takut ketahuan, Mas. Hingga sikapmu begitu panik seperti ini," gumamku dalam hati. Aku melangkah kasar menuju kamar mandi. Membanting pintu kamar mandi dengan keras terdengar hingga keluar . Bukan kepalaku saja yang panas tapi hatiku.Aku melepas semua pakaianku dan menghidupkan shower agar airnya mengguyur kepalaku. Dinginnya air membasahi tubuku yang masih terbungkus pakain lengkap. Kupeluk tubuhku yang mulai terasa dingin. Menatap kosong, dinding kama
Tangan Mas Dika meraih sepotong ayam goreng dengan garpu dan meletakkannya di atas piring Ammar. Bocah lelaki itu girang dengan wajah yang berbinar. Senyum bahagia tergambar jelas di wajahnya. Bukan karena ayam goreng, tapi karena ajakan sang Papa yang mengajaknya jalan-jalan. "Liburan? Tumben?" batinku. Pasalnya tak biasanya suamiku berinisiatif mengajak aku dan anaknya jalan lebih dulu. "Hore ... kita akan liburan ke mana, Pa?" sorak bocah lelakiku. "Ammar maunya kemana?" tanya balik Mas Dika. Membuat putraku berpikir sejenak. Mas Dika tampak mengusap kepala putranya dengan lembut. Membuat hatiku kembali bimbang melihatnya. Kedekatan antara Ayah dan anak itu membuat aku semakin ragu untuk mengambil keputusan. Aku hanya duduk memperhatikan perbincangan di antara mereka. Mataku sesekali melirik ke arah Mas Dika, curiga. Beginilah rasanya jika kepercayaan sudah di nodai. Bawaannya curiga saja. "Bagaimana kalau ke pantai, Pa? Sudah lama kita nggak jalan ke pantai. Aku ingin main pa
Aku duduk di samping Mas Dika. Kami mulai mengobrol santai. "Mas, nanti kita mampir ke toko Central yang ada di bawah ya!" ajakku pada Mas Dika manja. Dahi Mas Dika terangkat sebelah. "Central?! Kamu mau beli perhiasan, sayang? tanyanya. Aku mengangguk. "Iya, Mas. Soalnya aku lihat di market place mereka, ada keluaran model terbaru. Boleh ya?" pintaku padanya. Aku menggandeng tangannya dengan manja dan tersenyum manis. Manis sekali, saking manisnya membuat semut tergoda. "Apa sih yang tidak untuk istriku tersayang ini," balasnya tak kalah manis padaku. Setelah puas menemani Ammar bermain, aku dan Mas Dika pergi ke toko perhiasan yang aku incar tersebut. Central adalah toko perhiasan terbesar di kota ini. Jaraknya tak jauh dari moll tempat kami tadi. Namun sebelum keluar aku masih sempat memborong beberapa potong baju dan tas di outlet barang branded di moll tadi. Lumayan kan, jarang-jarang aku bisa memperdaya suami seperti ini. lagi pula dari pada hartanya habis sama selingkuha
Aku memang jarang meminta sesuatu pada Mas Dika. Apalagi jika berupa perhiasan. Perhiasan yang selama ini aku gunakan adalah perhiasan yang menjadi hantaran ataupun kado yang diberikan suamiku itu. Akan tetapi tidak kali ini. Jika wanita itu bisa dapat harga yang mahal, kenapa aku harus ambil yang murah. Aku kan ratunya! "Sayang, bagaimana kalau model yang lain saja. Model itu terlalu ramai menurut Mas. Cari yang agak kecil tapi manis," bisiknya di telingaku. Membujuk agar aku mau memilih cincin yang lebih kecil tapi manis, katanya. Bilang saja karena harganya mahal Mas ... Mas. Pakai alasan modelnya ramai."Tapi aku suka yang ini Mas. Serasi dengan kalung yang kamu berikan padaku," jawabku menolak. Aku tak mau lagi melepas cincin yang sudah tersemat cantik di jari tanganku ini. Pelayan toko menatap ke arah Mas Dika. Membuat mas Dika salah tingkah. Ia tak mungkin kan, mengatakan pada pemilik toko jika cincin yang aku pilih itu terlalu mahal baginya. Aku tahu Mas Dika itu harga diri
Aku berpindah ke kamar Ammar, berpikir siapa tahu suamiku itu tidur di kamar putranya. Namun nyatanya tetap saja, tak kutemui keberadaannya.Di tengah kepusingan memikirkan keberadaan suamiku itu. Aku merasakan tenggorokanku begitu kering, hingga menelan ludah saja terasa sakit. Aku melangkahkan kakiku menuruni tangga satu demi satu berniat turun ke dapur. Kubuka kulkas dan menuangkan sebotol air dingin ke dalam gelas. Dinginnya air itu mengalir lancar di tenggorokan hingga lambungku. Samar-samar telingaku menangkap deru mobil yang memasuki halaman rumah. "Seperti suara mobil Mas Dika. Dari mana ia jam segini? Sejak kapan ia ke luar rumah?" pikirku dengan dahi yang berkerut. Aku masih berdiri di dapur, namun menghadap ke arah pintu dapur yang berhadapan langsung pada tangga. Langkah kaki itu kian mendekat memecah kesunyian. Begitu ringan dan nyaris tak bersuara. Untung saja aku dianugerahi pendengaran yang cukup tajam. Aku melipat tanganku sambil menyandarkan punggungku pada pungg
Sejak pertengkaran malam itu, selama dua hari aku dan Mas Dika hanya diam-diaman. Saat makan Mas Dika menatap sekilas layar ponselnya yang menyala. Sedangkan aku yang berada di seberangnya hanya bisa melirik tanpa tahu apa yang sedang ia lihat. Jantungku berdentum. Hening! Aku merasa tertikam oleh kesunyian yang tercipta di antara kami. Tanpa ada satu orang pun di antara kami berdua yang mau membuka suara. Baru kali ini Mas Dika begitu marah padaku. Sikapnya padaku seakan aku lah yang bersalah saat ini. Setelah pertengkaranku dengannya malam itu. Siangnya Mas Yoga mengirimkan chat padaku. Ia mengirimkan bukti yang selama ini aku tunggu-tunggu. Foto Mas Dika duduk mesra dengan seorang wanita yang menggendong seorang anak kecil. Wajah wanita itu memang tidak terlihat jelas karena diambil dari jarak yang cukup jauh. Dalam chat Mas Yoga juga menjelaskan dengan detail nama dan alamat wanita itu. Sukma Rahayu Ningsih–wanita muda yang umurnya jauh lebih muda dariku. Jika dilihat postur tu
"Dia itu teman sesama arisan, Bu. Bisa di bilang kenal karena sering ngumpul bareng. Tiga bulan yang lalu minjam duit padaku. Bilangnya tempo sebulan. Sampai kini nggak tahu rimbanya ke mana?" jawabku asal. Aku mulai mengarang cerita bebas mengikuti imajinasiku. Seperti mengarang cerpen saja, membuatku ingin tertawa."Walah ... apa minjamnya banyak pula Mbak? Memang jaman sekarang hati-hati kalau mau minjamin orang uang Mbak. Enak ngasihnya saat minta lagi nyesek," balasnya. Aku menganggukkan kepala. Nyesek-nyeseknya uang nggak kembali lebih nyesek lagi suami yang direbut orang, Bu. sahutku di dalam hati.Oh ... ya, Bu. Rumah pagar hitam itu tampaknya ramai, ada acara apa ya, Bu?" "Pagar hitam yang ada kolam ikan kecil di depannya?" ucapnya memastikan. Aku kembali menganggukkan kepala."Oh itu ... mau ada acara syukuran nanti malam Mbak. Syukuran tujuh bulan usia anak pertama Mbak Sukma," jawabnya."Mbak Sukma? Orang mana dia, Bu. Tujuh bulan kandungan atau bagaimana?" tanyaku lagi m
Kita berdua mulai berjalan masuk melewati para bapak-bapak yang sedang duduk sambil merokok, karena waktu acara masih ba'da isya sedangkan bapak-bapak ini ba'da magrib sudah nongol. Itu artinya mereka melewatkan jam sholat isya. Kita berdua menggunakan gamis yang pantas. Bukan untuk menghadiri acara, tapi untuk menunjukkan kesan bahwa betapa bodohnya Mas Dika yang menduakan wanita anggun dan secantik diriku. Sesampainya di depan pintu rumah, tampak dengan jelas Mas Dika duduk sambil memangku seorang balita perempuan. Di antara para ibu-ibu yang memuji dan mencolek pipi tembem bayi tersebut. Sedangkan di sebelahnya duduk seorang wanita yang tersenyum manis melihat keakraban itu. Bisa jadi mereka adalah keluarga dari perempuan itu atau tetangga yang sangat dekat dengan mereka. Jangan ditanya bagaimana perasanku saat ini. Bagai tercincang dengan samurai panjang. Bukan lagi sakit, tapi serasa ingin mati."Mas Dika!" teriakku lantang. Membuat semua orang yang ada di sana terkejut. Begi