Home / Romansa / Simpanan! / 1. Kado yang tertukar.

Share

Simpanan!
Simpanan!
Author: Desti Anggraini

1. Kado yang tertukar.

last update Last Updated: 2022-06-12 15:57:37

Pernikahan yang sakinah, mawadah, warahmah. Bisa terus bersama hingga maut memisahkan adalah dambaan setiap istri termasuk diriku. Apa pernikahan yang selama sepuluh tahun aku jalani dan aku anggap baik-baik saja, namun nyatanya hanya ilusi belaka.

Aku duduk di tepi ranjang sambil menggenggam erat sebuah kotak perhiasan serta gaun tidur malam yang aku temukan di dalam mobil suamiku. Lingerie ini terselip di sudut paling belakang.

Ceklek!

Pintu kamar mandi terbuka. Mas Dika keluar dengan hanya menggunakan handuk saja yang melilit pinggangnya. Tangannya terangkat ke atas menggosok-gosokkan rambutnya yang basah dengan handuk kecil.

"Mas, ini punya siapa?" tanyaku memastikan. Aku amati ekspresi suamiku. Tak sedikit pun ada raut terkejut di sana.

"Oh itu sebuah linggrie, Mas memang beli untuk kamu. Mungkin tertinggal di mobil saat Mas membawa barang belanjaan tadi," ucapnya santai.

"Kalau memang untukku, kenapa ukurannya sangat kecil sekali Mas. Kamu kan tahu ukuran bajuku XL, sedangkan baju ini ukurannya M," berondongku lagi. Aku masih belum puas mendengar jawabannya tadi.

"Ah ... yang benar? Padahal Mas pesan pada pelayannya untuk mencari ukuran kamu loh, Yank. Nggak tahu kalau yang dikasih salah. Apa mau kita tukar saja?" tanya Mas Dika. Aku menggelengkan kepala atas ajakannya. Lagi pula, aku juga tidak menyukai menggunakan pakaian dinas malam tersebut.

Mas Dika berjalan mendekati lemari, membukanya dan mengambil satu stel pakaiannya di sana. Lalu memakainya.

"Lalu perhiasan ini?" tanyaku lagi.

"Untuk kamu juga, bukalah. Apa kamu suka?" jawab suamiku tanpa menoleh, ia masih sibuk memakai pakaiannya.

Aku membuka kotak perhiasan yang sedari tadi tak sedikit pun aku buka. Karena hatiku sudah terlanjur panas dengan pakaian jahanam ini.

Mataku terbelalak kaget. Aku juga berdecak kagum melihat kotak yang berisi perhiasan berupa kalung berlian yang berkilau. Model yang begitu simple namun elegan.

"Ini untukku Mas? Cantik sekali."

"Tentu saja. Kalung yang cantik untuk wanita istimewa, " ujarnya semakin membuat aku melayang mendengarnya.

Mas Dika mendekat, ia mengambil kalung yang ada di tanganku lalu memasangkannya di leherku. Sungguh sangat romantis sekali. Membuat hatiku yang tadinya kesal kini kembali berbunga-bunga. Aku tak tahu sudah seberapa merahnya pipi ini. Mungkin perona pipi masih kalah merahnya dengan pipiku, karena pujian sang suami.

Mas Dika mengangkat daguku. " Sudah jangan ngambek lagi. Maaf kalau tadi Mas pulang sedikit terlambat. Yang pentingkan sekarang Mas di rumah. Mas juga nggak lupa membeli kado bagus untukmu kan,"

Aku yang sudah berbahagia hanya bisa menganggukkan kepala dengan pelan. Tak kupikirkan lagi masalah bajunya berbeda ukuran ini. Mungkin Mas Dika benar, pelayan tokonya yang salah.

"Sayang," Mas Dika memanggilku, matanya nanar menatap belahan dadaku yang tampak di balik piyama. Tangannya pun mulai nakal bermain-main di atas pahaku yang tersingkap. Kalau sudah begini, aku tahu betul apa yang suamiku ini mau.

Baju tidur yang kugunakan memang sedikit terbuka. Namun tidak seterbuka baju yang Mas Dika hadiahkan padaku tadi. Namun bukannya yang terbuka malu-malu mau, justru lebih menantang dan menggoda dari pada yang hampir telanjang.

Tanpa permisi dan tanpa persetujuan, suami langsung mencumbuku. Membuatku terbuai dan membawaku ke dunia kenikmatan dalam rumah tangga.

~~~~

Pagi-pagi sekali aku sudah bangun, mandi dan memulai ritual seorang istri yang merangkap menjadi pembantu. Pagi ini aku memasak menu yang simple untuk sarapan anak dan suamiku. Dengan rambut yang masih lembab, aku memasak dengan begitu cekatan.

Setengah jam kemudian masakanku pun akhirnya matang. Sepiring tahu goreng, tempe goreng, serta ayam goreng bumbu kesukaan putraku. Tak lupa sayur bening dan sambal sebagai pelengkap. Sedangkan Mas Dika dia tak pemilih dalam makanan. Hampir semua yang aku masak ia suka. Alasannya karena masakanku enak dan pas di lidahnya.

"Selamat pagi sayang," sapa Mas Dika padaku. Tak lupa ia mencium pipiku sebagai sebagai sarapan pembuka baginya.

"Pagi, mas. Kamu sudah rapi benget pagi-pagi begini, Mas?" tanyaku. Jam masih menunjukkan pukul 6 pagi.

Mas Dika menarik kursi yang ada di dekatku. "Iya, kebetulan hari ini Mas ada meeting penting. Jadi Mas nggak mau terlambat." jawabnya.

"Ammar mana, Ma?" tanyanya.

"Masih siap-siap di kamarnya. Kamu tahu sendiri putramu itu susah banguninnya," balasku. Sambil menyedokkan nasi ke atas piringnya dan memberikan lauk padanya. Sebagai seorang istri aku memenuhi semua kewajibanku.

Seperti kata pepatah. Kasur, sumur dan dapur. Semuanya aku lakukan, walau ada asisten rumah tangga yang membantu. Aku merasa bosan saja jika hanya diam diri di rumah tanpa melakukan apa pun.

Sejak putra kami lahir aku berhenti bekerja hingga kini. Mas Dika melarang ku untuk kembali bekerja, alasannya agar aku bisa tetap fokus mengurus keluarga. Ia juga tak mengizinkan aku pergi tanpa seizinnya. Walaupun tampak over protective. Namun Mas Dika begitu menyayangiku. Aku yakin itu.

"Biarkan saja, masih umur 8 tahun juga. Biarkan dia menikmati masa anak-anaknya,"

Aku mengangguk, kami menikmati makan bersama dengan santai. Tak berapa lama pria kecil nan tampan yang kami bicarakan tadi muncul. Dengan stelan baju sekolahnya yang melekat pas di tubuh tingginya itu.

Putraku itu baru berumur 8 tahun, duduk di bangku 2 sekolah dasar. Tapi tubuhnya yang tinggi putih membuat ia tampak seperti anak yang berumur 12 tahun saja.

"Jagoan Papa sudah datang. Sini Nak! Duduk di samping Papa," pinta Mas Dika. Ammar duduk di sebelah Papanya. Bi Susi, pelayan di rumah ini pun meletakkan tas Ammar di dekatku.

Bi Susi yang aku tugaskan untuk membantu putraku menyiapkan keperluan sekolahnya, sedangkan aku menyiapkan sarapan untuk suamiku ini. Ammar tampak cemberut, aku yang melihat wajah cemberut putraku itu pun langsing memilih berpindah di sebelahnya.

Aku tahu Ammar suka kesal saat di bangunkan pagi-pagi.

"Sayang, kok cemberut. Ini Masak makanan kesukaan kamu loh, makan ya nak!" bujukku. Ammar mengangguk saat melirik menu sarapan yang aku buat. Mas Dika mengusap kepala anaknya sayang sebelum akhirnya ia pamit untuk pergi ke kantor.

"Ma, Papa berangkat dulu, ya. Soalnya udah mulai siang." Mas Dika mengecup keningku dan pipi Ammar secara bergantian. Lalu beranjak pergi.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
istri bodoh yg cuma bisa memperbesar ukuran tubuhnya aja. ukuran m sama xl itu beda jauh nyet. hanya orang dungu yg g akan curiga.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Simpanan!   2. Intan melihat Ayu.

    Setelah mengantar Ammar ke sekolah, aku mampir kesebuah moll yang ada di kota ini. Langkah kakiku memasuki sebuah supermarket yang berada di lantai dasar. Banyak bahan makanan serta bumbu-bumbu di dapur yang habis. Aku sangat menyukai berbelanja di sini, barang-barang di sini juga lengkap. Aku berjalan menyusuri lorong, melihat satu demi satu barang-barang yang terpajang di sana. Kebiasaanku sejak dulu, aku suka sekali berlama lama di dalam ruangan ber-AC di penuhi oleh aneka barang-barang ini. Walau terkadang aku tak perlu menyusuri setiap lorong, cukup datang ke lorong makanan yang aku butuhkan saja. Namun aku merasa senang saja cuci mata dengan hanya melihat barang-barang baru yang terpajang di sana. Jika menarik di mata dan sekiranya aku butuh maka aku akan membelinya, jika tidak aku hanya akan melewatinya saja. Hidup sebagai beban suami membuatku harus berhati-hati dalam mengelola keuangan. Walau sebenarnya, suamiku itu cukup memberikanku nafkah setiap bulannya. Bahkan cukup ji

    Last Updated : 2022-06-12
  • Simpanan!   3. Arisan sosialita.

    Mentari yang telah muncul disambut kicauan burung Pipit yang bertengger di atas atap rumah. Aku seperti biasa mulai berjibaku di dapur menyiapkan sarapan pagi yang harus selalu terhidang di meja makan. Semuanya aku lakukan seorang diri, namun terkadang di bantu oleh Bi Susi. Ammar sudah duduk rapi di depan meja, pagi ini aku membangunkannya lebih pagi, memandikan dan memakaikan seragamnya dengan rapi. Dalam gambaran banyak orang, istri yang berkutat di dapur adalah istri yang kucel dan bau. Tapi itu tidak berlaku untukku. Dapurku ini dilengkapi dengan segala alat yang dapat memudahkan aku untuk masak dengan cepat dan tanpa bau-bau yang tak sedap. Setelah semua makanan siap, mas Dika turun dengan koper kecilnya. Ia duduk tepat di hadapan Ammar. "Sayang, Mas berangkat dulu ya.""Loh Mas, berangkat sekarang?! Tidak sarapan dulu?" tanyaku kaget. Karena suamiku bilang ia akan berangkat pukul sembilan pagi. Sedangkan hari ini baru pukul setengah tujuh. "Iya, tadi Eric bilang jadwal pene

    Last Updated : 2022-06-12
  • Simpanan!   4. Rumah peninggalan.

    Selama dua hari Mas Dika belum pulang ke rumah, selama itu pula aku berusaha menepis setiap pikiran burukku tentang apa yang Laura sampaikan padaku. Selama dua hari ini, Mas Dika rajin menelpon aku dan juga Ammar. Walau hanya sekedar menanyakan kabar kami berdua. Lalu ... apa yang membuatku harus gelisah. Bukti apa lagi yang aku butuhkan untuk meyakinkan diriku jika suamiku adalah pria yang setia. Seharusnya aku bersyukur, bukannya menuduh. Tapi bisa saja mereka iri padaku. Makanya mulai meracuni pikiranku dengan praduga yang tidak-tidak. Hari ini adalah hari libur, biasannya aku dan Mas Dika serta Ammar pergi ke suatu tempat untuk liburan. Atau sekedar acara makan di luar agar lebih santai. Berhubung hari ini hanya ada kita berdua saja. Maka aku dan Ammar memutuskan untuk berkunjung ke rumah Mama. Mama Astrid adalah Mama sambungku. Ia dan Papaku menikah saat usiaku masih sangat remaja. Sekitar lima belas tahun. Bukan karena Papa selingkuh, tapi karena Malam kandungku sudah meningga

    Last Updated : 2022-06-12
  • Simpanan!   5. Penolakan.

    Ada apa, Ma? Kenapa wajah Mama tampak ragu gitu. Memangnya ada masalah berat apa?" desakku. "Gini Intan, Ayu bilang sama Mama. Ia terkena masalah di sana. Mobil yang ia kendarai menabrak orang, jadi dia harus ganti rugi yang cukup besar. Belum lagi adikmu itu kini terancam kena PHK. Mama bingung dapat uang dari mana untuk mengirimi Ayu. Kamu tahu sendiri kan biaya hidup Mama semenjak Papamu meninggal, hanya ngandalin kebun sawit yang tinggal beberapa jerat itu saja. Mana sekarang buahnya juga sudah mulai sedikit," keluhnya membuat aku memutar bola mata jengah. Gimana mau banyak buahnya, jika kebun itu hanya dipanen tanpa perawatan. Almarhum Papaku memang seorang pedagang hasil bumi. Ia juga memiliki puluhan hektar kebun sawit yang menghasilkan pundi-pundi masuk ke dalam rekening setiap bulan. Maka tak salah jika dulu Papa disebut juragan kebun sawit. Namun, semenjak bertemu dengan Astrid. Bisnis yang Papa bangun dengan susah payah justru habis tak bersisa. Kebun sawit yang puluhan h

    Last Updated : 2022-06-12
  • Simpanan!   6. Mencari tahu.

    Setelah perdebatan yang panjang dengan Ibu tiriku. Aku memilih untuk pulang. Siapa yang betah berlama-lama di sana. Jika hanya dicueki dan dihadapkan wajah yang asam. Seperti itulah dia, jika menginginkan sesuatu, maka aku harus diam dan menuruti. Sebenarnya aku sudah malas bertemu dengan Ibu tiriku itu. Tapi rumah yang ditinggalinya adalah rumah almarhum kedua orang tuaku. Jika aku tidak sekali-sekali datang dan mengawasi. Bisa saja kan, barang-barang yang ada dijualnya satu persatu. Jika jiwa belanja bergelora sedangkan dompet menderita, maka apapun dapat dilakukan hanya untuk memenuhinya. Buktinya, harta peninggalan almarhum Papa saja habis dijualnya satu persatu. Tak terasa sudah tiga hari Mas Dika pergi perjalanan bisnisnya. Dia bilang akan pusing malam ini. Aku sampai-sampai menyibukkan diri di dapur. Memasak makanan kesukaannya, hanya untuk menyambut kepulangannya. Namun nyatanya hingga jam dinding berdetak di pukul delapan malam pun. Belum juga ada hilal akan kedatangannya.

    Last Updated : 2022-06-12
  • Simpanan!   7. Barang siapa ini?

    "Ya udah Mas. Kamu mandi dulu sana! Kamu pasti lelah kan, aku siapkan makan siang?" tawarku. "Tak usah sayang, Mas sudah makan tadi sebelum penerbangan. Perut Mas juga masih kenyang. Mas mandi dulu, ya." Aku menatap Mas Dika penuh curiga. Suamiku itu pun berbalik menatapku. "Kamu kenapa sih sayang, dari tanya nanyanya sudah seperti wartawan lagi wawancara. Detail banget, nggak seperti biasanya seperti ini. Atau jangan-jangan ...,""Jangan-jangan apa, Mas?" sahutku penasaran. Mas Dika sedang bermain game tarik ulur padaku. Cup!Bukannya menjawab suamiku itu justru mengecup pipiku lembut. Aku melongo melihat tingkah konyolnya itu. "Kamu itu gemesin banget kalau lagi curiga gitu, sayang. Bikin Mas pengen gigit deh," selorohnya membuatku tersenyum. Suamiku ini memang paling bisa mencairkan suasana yang canggung menjadi romantis."Dasar nakal. Sudah mandi sana! Nanti keburu sore," usirku, Mas Dika pergi ke kamar mandi sambil terkekeh. Sedangkan Ammar sedari tadi sudah ke kamarnya. Tadi

    Last Updated : 2022-06-12
  • Simpanan!   8. Kumpul sama teman.

    Sejak makan malam tadi aku masih terus saja memikirkan perihal cincin itu. Aku masih menunggu siapa tahu Mas Dika masih menyembunyikannya padaku sebagai kejutan. Walau kenyataannya semua itu tak mungkin. Sejak pagi aku sudah berkutat di dapur, kebiasaan yang selalu aku lakukan selama 10 tahun menjadi istrinya. "Nyonya, ini mau dibuat apa?" tanya Bi Susi membuyarkan lamunanku. Aku yang sedang mengaduk sop di atas kompor pun menoleh. Bi Susi menunjukkan potongan daging kecil-kecil padaku. "Astagfirullah al'azim, Bi. Itu kan daging untuk sop. Yah ... udah aku masukin sayur ke dalam kuahnya. Bisa hancur sayurnya kalau daging baru dimasukkan," seruku. Gara-gara pikiranku entah kemana. Aku jadi tak konsentrasi atas apa yang aku masak. Sampai-sampai dagingnya lupa aku masukkan. Intan ... Intan, bagaimana dirimu ini. "Ya udah Bi, dagingnya Bibi rebus aja di presto, nanti kalau sudah empuk baru di satukan di sini. Untuk sementara waktu, kuahnya di matikan aja dulu. Mumpung sayurnya belum m

    Last Updated : 2022-06-15
  • Simpanan!   9. Mulai gelisah.

    "Ya elah ... anak gadis pembahasannya sudah nyerempet masalah kawin aja. Mentang-mentang udah dilamar orang. Cie ... cie," goda Laura membuat wajah Stevani memerah. Aku pun tersenyum mendengar kabar bahagia ini. Sedangkan Icha hanya diam dan sesekali tersenyum. Wanita itu memang yang paling kalem diantara kami ber-enam. Ia istri seorang pejabat daerah. Ia juga sudah memiliki dua orang putri cantik. Kembar berumur 3 tahun. Tutur kata yang lembut mendayu-dayu, serta wajah yang manis tampak begitu keibuan. "Akhirnya di antara kami, ada yang akan menjemput kebahagian. Aku berharap semoga pernikahanmu nanti sakinah, mawadah, dan warohmah. Pernikahan yang kekal yang menjadi dambaan setiap wanita," ujarku pada Stevani tulus. Wanita keturunan Tionghoa itu pun menatapku bahagia senyum lebar tergambar di wajahnya."Terima kasih banget ya doanya. Aku harap kalian semua harus datang di hari bahagiaku itu. Jangan ada yang nggak datang. Awas!" balas Stevani dengan nada sedikit mengancam di bagian

    Last Updated : 2022-06-15

Latest chapter

  • Simpanan!   121. Akhir yang Indah.

    Lagi-lagi aku dibuat tercengang dengan ide gila pria ini. Setelah aku menyetujui untuk menikah dengannya. Pernikahan kami di gelar dalam waktu tiga hari. Terdengar sangat tiba-tiba memang. Namun semuanya tampak siap, seolah sudah di persiapkan sebelumnya. Hanya tinggal mulutku berkata ia. Maka semuanya terlaksana bagai sulap.Bahkan sempat beredar rumor tak sedap yang mengatakan aku hamil duluan. Hanya karena pernikahanku yang di gelar begitu mendadak. Aku juga tak tahu dari mana rumor itu berasal. Namanya juga hidup bertetangga. Ada saja komentar yang terdengar. Aku menatap pantulan diriku di dalam cermin. Kebaya putih yang indah dengan hijab berwarna senada. Make up yang bagus membuat wajahku cantik sempurna. "Kamu cantik sekali, Nak!" puji Mama padaku. Aku menatap dan tersenyum padanya dari balik pantulan cermin. Aku gengam erat tangannya yang memegang pundakku. Ini memang pernikahan keduaku. Tapi gugupnya hampir sama dengan pernikahanku dulu. Bahkan lebih kentara lagi. Pintu

  • Simpanan!   120. Hutang yang harus dibayar.

    Aku tersentak kaget saat tangan Nini menggoyang tubuhku. Membuyarkan pikiran yang sejak tadi melayang entah kemana. "Mbak ... Mbak Intan! Mbak mikirin apa sih, Mbak?!" serunya padaku. Aku menoleh, menarik napasku yang terasa berat. "Nggak ada," jawabku singkat. Aku yang duduk di meja makan ini hanya menatapi makanan yang sudah Nini siapkan untukku. Tak ada yang aku sentuh. Selera makanku hilang entah kemana. "Mbak pasti mikirin Mas Langit, ya? Udah Mbak, kalau rindu bilang saja. Dari pada bengong gitu. Ayam tetanggaku di kampung, gara-gara bengong gitu selama tiga hari. Besoknya mati loh, Mbak. Kalau cinta bilang aja ok. Gitu aja kok susah Mbak," komentarnya padaku. Mataku melebar. "Kamu ngomong apa sih, Ni? Mbak nggak ngerti," elakku. Aku mengalihkan pandanganku darinya. Aku lagi malas beradu argumen dengan asisten rumah tanggaku ini. "Udah Mbak jangan malu sama Nini. Nini tu sebenarnya tahu. Sebenarnya Mbak tu cinta kan sama Mas Langit. Cuma Mbak Intan tu takut aja kalau Mas La

  • Simpanan!   119. Pasrah dengan Takdir.

    Hingga pagi menjelang, aku memaksa untuk pulang ke rumah. Demamku sudah turun. Sesampainya di rumah Mama menemaniku hingga ke kamar."Terima kasih, Ma," ucapku tulus. Aku duduk di pinggir ranjang menatapnya sayang. Tak ada amarah ataupun sakit hati. Semuanya sirna dengan kasih sayangnya. Mama menghela napas. Ia duduk di sampingku dan mengusap wajahku lembut. "Tak ada kata terima kasih untuk cinta seorang Ibu untuk anaknya. Sekarang istirahatlah ... jangan lagi menangis seperti itu Intan. Apalagi di makam Papamu sendirian seperti itu. Jika terjadi sesuatu padamu bagaimana?" "Bagaimana Mama bisa tahu aku ada di makam Papa?" tanyaku mulai mengingat kejadian itu. "Penjaga makam menelpon Mama dan memberitahukan keberadaanmu yang tergeletak pingsan di makam," jelas Mama. Ya, penjaga makam memang selalu aku bayar setiap bulan untuk menjaga Makam Papa. Itu sebabnya makam Papa bersih dan terawat. "Intan ... Mama dengar dari Nini, kamu akan pindah dalam minggu ini?" "Iya," jawabku singka

  • Simpanan!   118. Ziarah makam.

    Pukul dua siang, langkah kakiku terhenti di sebuah gapura tinggi. Berdiri kokoh dan bersanding dengan sebatang pohon beringin yang berdiri menantang memamerkan tubuhnya yang tinggi serta rimbun. Daun kering tertiup angin jatuh berguguran. Beberapa lembar jatuh di hadapanku. Lembarannya yang rapuh terinjak di kakiku meninggalkan bunyi patah.Bisikan nyanyian rindu menuntun langkah kakiku untuk terus melangkah maju. Menyusuri setiap jengkal tanah pemakaman melati. Rintik hujan yang mulai turun membasahi pipi bagai iring-iringan yang menyambut kedatanganku. Langit mendung seakan ikut merasakan kehampaan hati ini.Sebuah batu nisan yang di kelilingi keramik berwarna biru menjadi ujung tujuan langkah kakiku. Aku terdiam dengan mata yang berkaca-kaca. Kutekukkan kakiku, duduk di sudut pusara yang terawat ini. Setelah sekian lama, aku datang menemui cinta pertama yang selalu ada untukku di masa hidupnya. Dulu aku rutin datang kesini, minimal tiga bulan atau enam bulan sekali. Namun sejak d

  • Simpanan!   117. Jika tidak denganmu, maka tidak dengan yang lain.

    Dari rumah sakit aku mampir sejenak ke perusahaan. Menyelesaikan sebagian pekerjaanku. Sebagai pemilik sebuah perusahaan, aku masih memiliki tanggung jawab yang tak bisa aku tinggalkan. Pukul tujuh malam, mobilku terparkir cantik di halaman rumah. Aku turun dari mobil dan masuk ke rumah besar dengan bangunan arsitektur klasik. Rumah yang aku tempati selama puluhan tahun. Tak ada yang berubah dari rumah ini. Semuanya sama, dari dinding cat yang mendominasi warna-warna pastel dan putih. Kecuali bunga-bunga yang ditanam Mama yang berganti sesuai trend yang sedang hits saat ini.Aku memasuki rumah dan berjalan cepat ke ruang makan. Aku yakin semua sudah berkumpul di meja makan. "Selamat malam?" sapaku. "Kamu terlambat lagi, Kak?" ujar Elia padaku. Semuanya sedang makan dan menatap ke arahku yang baru saja tiba. Di samping Elia ada Emil–suaminya. Lelaki itu kerja sebagai pegawai bank swasta. Lalu di hadapan mereka, duduk seorang gadis kecil cantik yang tampak merenggut padaku. Aku mem

  • Simpanan!   116. Mengejar Cinta.

    Pov. Langit"Langit lepaskan!" ujarnya saat tautan bibir kami terlepas. Dekapan tangan ini masih sangat erat dan tak ingin terlepas. Deru nafas yang naik turun begitu memburu. Seakan berlomba-lomba meraup pasokan oksigen sebanyak-banyaknya. Aku tahu ini salah, aku tahu tak sepantasnya kau melakukan ini padanya. Tapi aku tak bisa mengalihkan pandanganku dari wajah cantiknya. Tak bertemu dengannya beberapa hari belakangan ini membuatku kehilangan nalarku saat ini. Apa pun yang berhubungan dengannya membuatku gila. Hanya ada namanya dan wajahnya yang memenuhi kepalaku saat ini. Detak jantungku dan dirinya kian berpacu berirama saling sahut-sahutan, membangkitkan gejolak rasa yang selama ini aku pendam dan kujaga dengan sangat hati-hati. Getaran itu masih sama, iramanya juga masih sama. Kubiarkan kupu-kupu menggelitikku. Membuatku terbuai dalam romansa indah, terbuai dengan irama asmara.Aku dekatkan keningnya dan keningku. Membiarkan punggungnya bersandar dengan pintu mobil. Bulu mat

  • Simpanan!   115. Penyesalan yang Terlambat.

    Sudah berkali-kali dan berhari-hari Mama mencoba meminta Maaf padaku. Berkali-kali aku juga diam. Kini keputusanku untuk pindah semakin kuat. Taka ada lagi yang perlu aku pertahankan lagi tinggal disini. Hidupku juga sudah selesai, resmi dengan status janda yang tersemat.Ammar juga kondisinya sudah semakin pulih. Ia juga sudah mulai bisa beraktivitas seperti biasanya. Hari ini aku bersiap-siap di depan cermin. Memoles sedikit make-up di wajahku yang pucat. Hari ini adalah jadwal control rutin Ammar. Kali ini aku tidak datang ke rumah sakit dimana Ammar operasi kemarin. Tapi pindah ke rumah sakit yang lain. Tentunya rumah sakit yang sama besarnya dan fasilitas yang lengkap tentunya. Setelah dirasa pantas, aku keluar kamar. Membantu Ammar untuk berjalan menuju mobil. Walaupun ia sudah agak mendingan, namun sesekali putraku kerap merasa nyeri di bagian dadanya. Untuk Langit, aku memang tidak dapat menjenguknya. Bukan berarti aku tidak terima kasih atas apa yang ia lakukan pada putrak

  • Simpanan!   114. Tertikam dari Belakang.

    "Kalau tidak kenapa, Ma?" Aku keluar dari persembunyianku menatap tajam Mama yang terkejut dan langsung mematikan sambungan telponnya. Kedua tanganku terkepal di kedua sisi tubuhku. "Intan ... sejak kapan kamu berada di situ, sayang?" tanya Mama gugup. Seperti penciri yang tertangkap basah dengan hasil curiannya. "Cukup lama untuk mendengar semua kebohongan Mama. Jadi benar apa yang dikatakan Bu Dahlia itu. Kenapa Mama lakukan ini padaku, Ma. Kenapa?!" teriakku penuh amarah. "Bukan begitu Intan, Maafkan Mama. Mama khilaf melakukan semua itu. Maafkan Mama, Nak. Kamu tahu sendiri saat itu Papa kamu mengalami krisis keuangan. Uang hasil panen sawit yang biasanya melimpah, tiba-tiba berkurang hampir setengahnya karena harga sawit turun. Sedangkan Mama saat itu tidak tahu kalau Papamu punya kebun lain yang dialihkan atas namamu. Uang yang di berikan Papamu tidak cukup,""Tidak cukup memenuhi keinginan Mama untuk foya-foya!" selaku sinis. "Bukan begitu, Intan. Dika menyukaimu sejak pe

  • Simpanan!   113. Tabir Masa Lalu.

    Kuusap kepala Ammar dengan lembut. Menemaninya hingga ia terbuai mimpi. Bocahku ini sangat suka diusap-usap kepalanya. Bahkan ia akan cepat tertidur jika aku perlakukan demikian.Setelah Ammar tidur, aku kembali keluar. Merenggangkan tangan serta badanku yang terasa remuk. Perutku juga lapar tapi aku tak mungkin pergi meninggalkan anakku seorang diri di kamar. Aku yang baru saja keluar dari kamar langsung beradu hidung dengan Mas Yoga."Apa aku mengganggumu. Kamu mau kemana? Mau membeli makanan?" tebaknya tepat. Setidaknya aku bisa meminta bantuannya untuk menjaga Ammar. "Iya Mas, aku lapar. Bisa minta tolong nggak, Mas? Tolong jagain Ammar sebentar," pintaku. "Untuk apa keluar ... ini aku bawakan makanan untukmu," Mas Yoga mengangkat plastik putih yang ia bawa ke dapan wajahku. Bau wangi dari bungkusan itu menggoda indra penciumanku. Membuat cacing di perutku semakin berdendang. Kata orang, jika rezeki tak akan lari walau hujan menerpa. Seperti itu juga lah rezekiku hari ini. P

DMCA.com Protection Status