"Ya elah ... anak gadis pembahasannya sudah nyerempet masalah kawin aja. Mentang-mentang udah dilamar orang. Cie ... cie," goda Laura membuat wajah Stevani memerah. Aku pun tersenyum mendengar kabar bahagia ini. Sedangkan Icha hanya diam dan sesekali tersenyum. Wanita itu memang yang paling kalem diantara kami ber-enam. Ia istri seorang pejabat daerah. Ia juga sudah memiliki dua orang putri cantik. Kembar berumur 3 tahun. Tutur kata yang lembut mendayu-dayu, serta wajah yang manis tampak begitu keibuan. "Akhirnya di antara kami, ada yang akan menjemput kebahagian. Aku berharap semoga pernikahanmu nanti sakinah, mawadah, dan warohmah. Pernikahan yang kekal yang menjadi dambaan setiap wanita," ujarku pada Stevani tulus. Wanita keturunan Tionghoa itu pun menatapku bahagia senyum lebar tergambar di wajahnya."Terima kasih banget ya doanya. Aku harap kalian semua harus datang di hari bahagiaku itu. Jangan ada yang nggak datang. Awas!" balas Stevani dengan nada sedikit mengancam di bagian
Suasana makan malam yang seharusnya menjadi membahagiakan, justru berubah menjadi dingin dan hambar. Aku tak banyak berbicara begitupun Mas Dika. Kami menikmati makan malam kami dengan santai. Padahal restoran ini mengusung konsep garden dengan lampu kerlap-kerlip di atasnya. Di dukung dengan penataan tanaman yang membawa suasana alam hutan dan spot hijau yang di penuhi banyak tanaman di dalamnya. Lantainya terbuat dari rumput sintetis yang serasi dengan pepohonan kecil yang menghiasi sekeliling restoran ini. Sungguh menyejukkan mata. Sangat indah dan romantis sekali suasananya.Suasana pun semakin syahdu dengan kolam ikan kecil yang berada di tengah-tengah restoran tersebut. Makanan yang di sajikan pun beragam. Bisa dinikmati segala kalangan. Baik anak-anak, remaja ataupun dewasa. Makanya selain anak muda, yang berkeluarga pun ada yang mengajak anggota keluarganya di sini. Aku sangat menyukai tempat ini. Ammar pun tampak nyaman dan sangat menikmati makanannya. "Tempatnya bagus M
Memasuki halaman perusahaan, aku langsung membelokkan mobilku ke wilayah parkiran. Memarkirkan mobilku dengan rapi dan berjejeran dengan mobil yang lain. Setelah turun dari mobil, aku langsung melangkahkan kaki ke arah Utara,menuju tempat di mana suamiku biasa memarkirkan mobilnya. Benar saja, mobil itu masih terparkir cantik di sana. Apa lagi sekarang sudah lewat jam makan siang. Apa suamiku makan di kantor? Tak biasanya Mas Dika selalu makan di kantor. Bukan kah dia biasanya anti makan di kantin kantor. Tapi kok mobil ini? Semua membuat hatiku merasa ganjal. Aku langsung bergegas menuju ruangan suamiku. Dari pada menduga-duga hal yang tak pasti. Maka aku lebih memilih mengeceknya sendiri. Bukannya tak percaya pada suami, tapi kata hati tak mungkin berbohong. Walau aku akui, sebagai suami. Mas Dika adalah suami yang romantis, pengertian dan sangat sempurna. Gelagatnya selama ini tak sedikit pun menunjukkan jika ia memiliki selingkuhan. Setiap aku menemukan kejanggalan, mas Dika m
Pukul sepuluh lewat lima menit aku tiba di sekolahan Ammar dengan gamis yang rapi. Hari ini ada acara pertemuan wali murid yang diadakan setiap pembagian PTS (Penilaian Tengah Semester) siswa. Sesampainya di halaman sekolah, aku memarkirkan mobilku dengan rapi. Berjejeran dengan mobil-mobil para wali murid yang lain. Halaman depan sekolahan ini termasuk luas. Bisa menampung hingga 40 mobil. Sudah hampir selebar lapangan bola. Wajar saja, sekolah ini merupakan sekolah swasta yang terjamin akreditasinya.Guru-guru yang kompeten serta jumlah murid yang dibatasi setiap kelasnya membuat anakku nyaman bersekolah di sini. Satu kelas dengan dua guru, membuat anak-anak dapat terkontrol dengan baik. Yah ... walau kuakui, biaya sekolah di sini terbilang mahal. Kebanyakan yang bersekolah disini adalah anak-anak yang berasal dari golongan keluarga yang mampu. Aku berjalan santai di koridor sekolah, menuju kelas putraku. Kelas 2B yang berada di ujung koridor depan tiang bendera. "Irene?!" seruk
"Si-siapa di-dia?" tanyaku terbata, setiap huruf terasa sulit ke luar dari kerongkonganku ini. Tanganku mulai mengeluarkan keringat dingin. Menunggu jawaban dari mulutnya seakan sedang menunggu eksekusi mati. "Pak Tio," ujarnya. Cukup membuatku terkejut. Seakan ada batu besar yang terangkat di dadaku. Sangat melegakan. Kekhawatiranku selama ini sirna begitu saja. "Apa?! Apa aku tak salah dengar?" tanyaku sekali lagi untuk memastikan. Siapa tahu karena terlalu banyak berharap, aku jadi salah dengar."Kamu nggak salah dengar Intan. Aku yakin kamu juga tahu dari Sandra si biang gosip itu, kalau aku berpacaran dengan suami orang? Dan orang itu adalah Pak Tio," jelasnya. Aku cukup melongo dengan penjelasannya itu. Memang sih pak Tio tajir, tapi usianya yang cukup tua membuat pria itu lebih pantas menjadi bapaknya ketimbang suaminya. Sedangkan setahuku. Istri Pak Tio sekarang bukanlah istri pertama. Melainkan istri ketiga. Istri pertamanya sudah meninggal beberapa tahun yang lalu, istri
Bahkan mereka akan bersikap kasar dan terang-terangan membawa wanita luar itu masuk kedalam hubungannya. Tipe ke-dua. Mereka akan justru semakin romantis dan memperlakukan istrinya bagaikan seorang ratu. Untuk menutupi kebusukan yang selama ini mereka tutupi.Tipe ini adalah lelaki yang begitu lihai menyembunyikan perselingkuhannya begitu rapat. Bahkan mereka akan bersikap sangat manis dan romantis dari biasanya. Hanya untuk mengelabui dan membuat pasangannya tak mengira akan apa yang ia lakukan. Namun dua-duanya adalah tipe lelaki yang egois. Mereka hanya memikirkan kebahagian mereka sendiri ...," Irene menarik napas. Ia meminum minumannya sedikit. Membasahi tenggorokannya yang mungkin mulai terasa kering."Jadi maksudmu, bisa jadi suamiku termasuk pada tipe yang ke-dua?" tanyaku. "Bisa jadi," balasnya ambigu, tapi nada suara terdengar begitu yakin. Aku masih belum bisa percaya dengan semua ini. Aku masih berharap semua ini hanya kecemburuanku yang tak beralasan saja. "Bagaimana
Ceklek!Aku buka perlahan pintu kamar putraku yang menutupi. Aku langkahkan kaki perlahan mendekatinya yang tampak tidur dengan nyenyak. Sebenarnya pantang tidur saat sedang mendekati magrib. Banyak mitos yang beredar seputar tentang pantangan tidur di waktu magrib. Namun melihat wajah polos putraku, tak tega rasanya membangunkannya saat ini. Aku duduk di tepi ranjang. Menatap wajah damai putra semata wayangnya ini. Serta membelai kepalanya pelan. Rambut yang mulai panjang dan tebal ini terasa lembut di tanganku. Wangi jeruk orange menguat dari rambutnya. Bau khas shampo anak-anak dengan gambar kepala yang berwarna kuning tua itu. Perkataan Irene kembali berputar kepalaku. Aku mulai mengumpulkan kepingan kenangan seperti potongan puzzle akan sikap suamiku yang mulai mencurigakan. Sebenarnya jika diingat-ingat kembali. Banyak perkataan serta sikap Mas Dika yang tampak ganjal di mataku. Hanya saja karena aku terlalu percaya padanya atau karena aku yang terlalu percaya diri suamiku t
Ceklek!Pintu kembali terbuka. Aku menoleh ke arah pintu, menatap suamiku yang baru saja masuk dan melonggarkan dasi di lehernya yang mungkin terasa mencekik. "Kamu jam segini baru mandi sayang? Memangnya dari mana?" tanya Mas Dika padaku. Aku tersenyum tipis. Tak ada sedikit pun niat untuk mendekat dan membantunya seperti biasanya. "Tadi ketemu teman sebentar, biasa lah Mas," jawabku. "Arisan lagi? Bukannya baru beberapa hari yang lalu kamu arisan, kan?" tanyanya lagi. "Nggak arisan. Cuma ketemu teman lama aja, jadi ngobrol dan nostalgia saja," balasku. Aku berdiri dan berjalan ke lemari pakaian. Mengambil pakaianku dan memakainya, menggantikan bedtrobe yang aku gunakan. Mas Dika memelukku dari belakang. "Wangi banget sih kamu sayang. Bikin Mas kangen kamu," Mas Dika mengecup leherku. Membuat tubuhku sedikit meremang. Udara dingin serta hujan membuat dekapannya terasa hangat di tubuh ini. "Mas kamu baru pulang kerja. Pergi mandi dulu sana! Baumu asem," ujarku menolak perlakuan