Pukul sepuluh lewat lima menit aku tiba di sekolahan Ammar dengan gamis yang rapi. Hari ini ada acara pertemuan wali murid yang diadakan setiap pembagian PTS (Penilaian Tengah Semester) siswa. Sesampainya di halaman sekolah, aku memarkirkan mobilku dengan rapi. Berjejeran dengan mobil-mobil para wali murid yang lain. Halaman depan sekolahan ini termasuk luas. Bisa menampung hingga 40 mobil. Sudah hampir selebar lapangan bola. Wajar saja, sekolah ini merupakan sekolah swasta yang terjamin akreditasinya.Guru-guru yang kompeten serta jumlah murid yang dibatasi setiap kelasnya membuat anakku nyaman bersekolah di sini. Satu kelas dengan dua guru, membuat anak-anak dapat terkontrol dengan baik. Yah ... walau kuakui, biaya sekolah di sini terbilang mahal. Kebanyakan yang bersekolah disini adalah anak-anak yang berasal dari golongan keluarga yang mampu. Aku berjalan santai di koridor sekolah, menuju kelas putraku. Kelas 2B yang berada di ujung koridor depan tiang bendera. "Irene?!" seruk
"Si-siapa di-dia?" tanyaku terbata, setiap huruf terasa sulit ke luar dari kerongkonganku ini. Tanganku mulai mengeluarkan keringat dingin. Menunggu jawaban dari mulutnya seakan sedang menunggu eksekusi mati. "Pak Tio," ujarnya. Cukup membuatku terkejut. Seakan ada batu besar yang terangkat di dadaku. Sangat melegakan. Kekhawatiranku selama ini sirna begitu saja. "Apa?! Apa aku tak salah dengar?" tanyaku sekali lagi untuk memastikan. Siapa tahu karena terlalu banyak berharap, aku jadi salah dengar."Kamu nggak salah dengar Intan. Aku yakin kamu juga tahu dari Sandra si biang gosip itu, kalau aku berpacaran dengan suami orang? Dan orang itu adalah Pak Tio," jelasnya. Aku cukup melongo dengan penjelasannya itu. Memang sih pak Tio tajir, tapi usianya yang cukup tua membuat pria itu lebih pantas menjadi bapaknya ketimbang suaminya. Sedangkan setahuku. Istri Pak Tio sekarang bukanlah istri pertama. Melainkan istri ketiga. Istri pertamanya sudah meninggal beberapa tahun yang lalu, istri
Bahkan mereka akan bersikap kasar dan terang-terangan membawa wanita luar itu masuk kedalam hubungannya. Tipe ke-dua. Mereka akan justru semakin romantis dan memperlakukan istrinya bagaikan seorang ratu. Untuk menutupi kebusukan yang selama ini mereka tutupi.Tipe ini adalah lelaki yang begitu lihai menyembunyikan perselingkuhannya begitu rapat. Bahkan mereka akan bersikap sangat manis dan romantis dari biasanya. Hanya untuk mengelabui dan membuat pasangannya tak mengira akan apa yang ia lakukan. Namun dua-duanya adalah tipe lelaki yang egois. Mereka hanya memikirkan kebahagian mereka sendiri ...," Irene menarik napas. Ia meminum minumannya sedikit. Membasahi tenggorokannya yang mungkin mulai terasa kering."Jadi maksudmu, bisa jadi suamiku termasuk pada tipe yang ke-dua?" tanyaku. "Bisa jadi," balasnya ambigu, tapi nada suara terdengar begitu yakin. Aku masih belum bisa percaya dengan semua ini. Aku masih berharap semua ini hanya kecemburuanku yang tak beralasan saja. "Bagaimana
Ceklek!Aku buka perlahan pintu kamar putraku yang menutupi. Aku langkahkan kaki perlahan mendekatinya yang tampak tidur dengan nyenyak. Sebenarnya pantang tidur saat sedang mendekati magrib. Banyak mitos yang beredar seputar tentang pantangan tidur di waktu magrib. Namun melihat wajah polos putraku, tak tega rasanya membangunkannya saat ini. Aku duduk di tepi ranjang. Menatap wajah damai putra semata wayangnya ini. Serta membelai kepalanya pelan. Rambut yang mulai panjang dan tebal ini terasa lembut di tanganku. Wangi jeruk orange menguat dari rambutnya. Bau khas shampo anak-anak dengan gambar kepala yang berwarna kuning tua itu. Perkataan Irene kembali berputar kepalaku. Aku mulai mengumpulkan kepingan kenangan seperti potongan puzzle akan sikap suamiku yang mulai mencurigakan. Sebenarnya jika diingat-ingat kembali. Banyak perkataan serta sikap Mas Dika yang tampak ganjal di mataku. Hanya saja karena aku terlalu percaya padanya atau karena aku yang terlalu percaya diri suamiku t
Ceklek!Pintu kembali terbuka. Aku menoleh ke arah pintu, menatap suamiku yang baru saja masuk dan melonggarkan dasi di lehernya yang mungkin terasa mencekik. "Kamu jam segini baru mandi sayang? Memangnya dari mana?" tanya Mas Dika padaku. Aku tersenyum tipis. Tak ada sedikit pun niat untuk mendekat dan membantunya seperti biasanya. "Tadi ketemu teman sebentar, biasa lah Mas," jawabku. "Arisan lagi? Bukannya baru beberapa hari yang lalu kamu arisan, kan?" tanyanya lagi. "Nggak arisan. Cuma ketemu teman lama aja, jadi ngobrol dan nostalgia saja," balasku. Aku berdiri dan berjalan ke lemari pakaian. Mengambil pakaianku dan memakainya, menggantikan bedtrobe yang aku gunakan. Mas Dika memelukku dari belakang. "Wangi banget sih kamu sayang. Bikin Mas kangen kamu," Mas Dika mengecup leherku. Membuat tubuhku sedikit meremang. Udara dingin serta hujan membuat dekapannya terasa hangat di tubuh ini. "Mas kamu baru pulang kerja. Pergi mandi dulu sana! Baumu asem," ujarku menolak perlakuan
Tangan ini tengadahkan ke atas dengan berurai air mata aku berucap. Meminta rentetan yang aku inginkan. Ada rasa malu di hati ini, aku yang terkadang lalai akan kewajibanku menyembahnya. Namun begitu banyak permintaanku padanya. "Ya Allah, ya Rohman, ya Rahim ... Ya Tuhanku yang maha mengetahui, tunjukkan padaku kebenaran yang tidak aku ketahui. Jika semua itu tak seperti apa yang aku pikirkan. Hamba mohon jagalah keluarga hamba dari kemaksiatan. Jadikan kelurga kami sakinah, mawadah, dan warahmah. Namun jika kenyataan itu justru sangat menyakitkan, kuatkan hatiku sekuat karang di lautan, beri rasa sabar yang tak berbatas agar aku dapat memaafkan tanpa menyimpan dendam. Engkau maha mengetahui segala yang terbaik untukku. Berikan aku yang terbaik darimu dan yang sesuai dengan yang aku inginkan yarobbi," gumamku begitu lirih. Hingga hanya diriku saja yang dapat mendengarnya. Kututup doa yang aku panjatkan dengan segala puji-pujian yang aku panjatkan untuk Sang pengusaha. Tak lupa kuk
Walau hati sesak dan amarah yang berkumpul di dalam hati, seperti bom yang telah tertarik sumbunya siap untuk diledakkan saat ini juga. Tapi aku tak ingin gegabah. Aku mundur dan memutar. Jika tadi aku berniat masuk lewat pintu samping, kini aku memutar ke arah depan. Masuk ke pintu yang seharusnya aku lalui. Berjalan tergesa-gesa menyamarkan deru amarah dengan deru napas yang capek karena setengah berlari. "Loh ... Nyonya kok sudah pulang?!" tanya Bi Susi kaget melihatku datang. Wajahnya terlihat sedikit kaget. Namun dengan cepat ia netralkan. Aku tersenyum kecut. Sungguh lihat para serigala yang aku pelihara di rumah ini. "Iya, Bi. Dompet saya ketinggalan di kamar, makanya balik lagi," jawabku datar sambil berlalu pergi. Hatiku masih panas melihat wajahnya. Aku takut jika berlama-lama, nanti aku tak sanggup mengontrol emosiku sendiri.Sesampainya di kamar dengan cepat aku mengambil dompetku lalu kembali keluar. Aku menuruni tangga dengan cepat dan mengabaikan keberadaannya. Mungk
"Lalu sekarang apa yang akan kamu lakukan? Apa pembantumu tahu jika kamu menguping pembicaraannya?" Aku menggelengkan kepala. "Tidak ... dia tidak tahu. Karena aku tidak mau ia mengadukan hal ini pada Mas Dika, hingga membuat aku nanti kehilangan jejak akan wanita itu. Aku juga bingung apa yang akan aku lakukan selanjutnya. Seperti menemukan jalan buntu," keluhku. "Aku ingin bertanya satu hal padamu. Jawab dengan jujur, apa pilihanmu atas pilihan yang aku berikan padamu kemarin?" tanyanya lagi. Tatapan matanya tampak serius."Jika dia terbukti mengkhianatiku. Maka tak ada maaf untuknya. Aku tak cukup baik untuk bisa berbagi suami Irene," ujarku lirih. "Jika ia meminta maaf dan mengajak semuanya mulai dari awal bagaimana?" tanyanya lagi. Aku tak mengerti maksud dan tujuan dari pertanyaannya itu. "Aku tak tahu, biarkan saja waktu yang menjawab. Aku akan memilih keputusan terbaik untukku dan anakku. Aku juga tak bisa egois, kan? Tapi aku tak bisa hidup dalam rasa penasaran seperti in