Ceklek!Pintu kembali terbuka. Aku menoleh ke arah pintu, menatap suamiku yang baru saja masuk dan melonggarkan dasi di lehernya yang mungkin terasa mencekik. "Kamu jam segini baru mandi sayang? Memangnya dari mana?" tanya Mas Dika padaku. Aku tersenyum tipis. Tak ada sedikit pun niat untuk mendekat dan membantunya seperti biasanya. "Tadi ketemu teman sebentar, biasa lah Mas," jawabku. "Arisan lagi? Bukannya baru beberapa hari yang lalu kamu arisan, kan?" tanyanya lagi. "Nggak arisan. Cuma ketemu teman lama aja, jadi ngobrol dan nostalgia saja," balasku. Aku berdiri dan berjalan ke lemari pakaian. Mengambil pakaianku dan memakainya, menggantikan bedtrobe yang aku gunakan. Mas Dika memelukku dari belakang. "Wangi banget sih kamu sayang. Bikin Mas kangen kamu," Mas Dika mengecup leherku. Membuat tubuhku sedikit meremang. Udara dingin serta hujan membuat dekapannya terasa hangat di tubuh ini. "Mas kamu baru pulang kerja. Pergi mandi dulu sana! Baumu asem," ujarku menolak perlakuan
Tangan ini tengadahkan ke atas dengan berurai air mata aku berucap. Meminta rentetan yang aku inginkan. Ada rasa malu di hati ini, aku yang terkadang lalai akan kewajibanku menyembahnya. Namun begitu banyak permintaanku padanya. "Ya Allah, ya Rohman, ya Rahim ... Ya Tuhanku yang maha mengetahui, tunjukkan padaku kebenaran yang tidak aku ketahui. Jika semua itu tak seperti apa yang aku pikirkan. Hamba mohon jagalah keluarga hamba dari kemaksiatan. Jadikan kelurga kami sakinah, mawadah, dan warahmah. Namun jika kenyataan itu justru sangat menyakitkan, kuatkan hatiku sekuat karang di lautan, beri rasa sabar yang tak berbatas agar aku dapat memaafkan tanpa menyimpan dendam. Engkau maha mengetahui segala yang terbaik untukku. Berikan aku yang terbaik darimu dan yang sesuai dengan yang aku inginkan yarobbi," gumamku begitu lirih. Hingga hanya diriku saja yang dapat mendengarnya. Kututup doa yang aku panjatkan dengan segala puji-pujian yang aku panjatkan untuk Sang pengusaha. Tak lupa kuk
Walau hati sesak dan amarah yang berkumpul di dalam hati, seperti bom yang telah tertarik sumbunya siap untuk diledakkan saat ini juga. Tapi aku tak ingin gegabah. Aku mundur dan memutar. Jika tadi aku berniat masuk lewat pintu samping, kini aku memutar ke arah depan. Masuk ke pintu yang seharusnya aku lalui. Berjalan tergesa-gesa menyamarkan deru amarah dengan deru napas yang capek karena setengah berlari. "Loh ... Nyonya kok sudah pulang?!" tanya Bi Susi kaget melihatku datang. Wajahnya terlihat sedikit kaget. Namun dengan cepat ia netralkan. Aku tersenyum kecut. Sungguh lihat para serigala yang aku pelihara di rumah ini. "Iya, Bi. Dompet saya ketinggalan di kamar, makanya balik lagi," jawabku datar sambil berlalu pergi. Hatiku masih panas melihat wajahnya. Aku takut jika berlama-lama, nanti aku tak sanggup mengontrol emosiku sendiri.Sesampainya di kamar dengan cepat aku mengambil dompetku lalu kembali keluar. Aku menuruni tangga dengan cepat dan mengabaikan keberadaannya. Mungk
"Lalu sekarang apa yang akan kamu lakukan? Apa pembantumu tahu jika kamu menguping pembicaraannya?" Aku menggelengkan kepala. "Tidak ... dia tidak tahu. Karena aku tidak mau ia mengadukan hal ini pada Mas Dika, hingga membuat aku nanti kehilangan jejak akan wanita itu. Aku juga bingung apa yang akan aku lakukan selanjutnya. Seperti menemukan jalan buntu," keluhku. "Aku ingin bertanya satu hal padamu. Jawab dengan jujur, apa pilihanmu atas pilihan yang aku berikan padamu kemarin?" tanyanya lagi. Tatapan matanya tampak serius."Jika dia terbukti mengkhianatiku. Maka tak ada maaf untuknya. Aku tak cukup baik untuk bisa berbagi suami Irene," ujarku lirih. "Jika ia meminta maaf dan mengajak semuanya mulai dari awal bagaimana?" tanyanya lagi. Aku tak mengerti maksud dan tujuan dari pertanyaannya itu. "Aku tak tahu, biarkan saja waktu yang menjawab. Aku akan memilih keputusan terbaik untukku dan anakku. Aku juga tak bisa egois, kan? Tapi aku tak bisa hidup dalam rasa penasaran seperti in
Aku berdiri bersalaman dengan pria yang bernama Yoga itu. Walau sikapnya baik tapi aku menangkap aura dingin di raut wajahnya. Seerti menyimpan kesedihan yang tak terbaca.Lelaki itu duduk di hadapanku. Mempersilahkan kami untuk menyantap hidangan yang telah disediakan oleh pelayan perempuan tadi. Sekilas aku melihat lelaki yang bernama Yoga ini cukup tampan. dari cerita Irene, aku juga mengetahui jika ia juga seorang singgle father. Setelah saling berkenalan dan mengobrol sebentar, aku dibantu Irene mulai mengutarakan maksud dan kedatangan kita berdua ke sini. Wajah Mas Yoga tampak berkerut, alisnya juga terangkat sebelah. Namun tetap diam mendengarkan ucapanku. Setelah aku selesai menceritakan masalahku. Mas yoga menatap Irene tajam. "Kamu kan tahu, Mas sudah berhenti bekerja sebagai detektif swasta Irene. Sepertinya kalian salah orang untuk masalahmu ini," tolaknya. Aku mulai lesu mendengar penolakan darinya. Di kota ini aku tak mengenal siapa saja yang memiliki jasa detektif s
Jam di pergelangan tanganku menunjukkan pukul sepuluh malam, aku baru sampai di rumah. Mobilku terparkir cantik di belakang mobil Mas Dika. Tentu saja suamiku itu sudah pulang lebih dulu dari pada aku. Karena keasyikan mengobrol dan memandang view laut yang begitu menggoda mata. Membuatku berlama-lama di sana hingga lupa akan waktu. Aku melewati meja makan yang tampak hening tak berpenghuni. Bi Susi juga tampak sedang mencuci piring, itu artinya suami dan anakku sudah makan malam. Aku pun juga sudah makan di sana tadi. Langkah kakiku cepat menaiki anak tangga menuju kamar. Baru saja pintu kamar terbuka, aku sudah mendapati wajah masam suamiku yang menatapku curiga. Ia melipat laptopnya dan beranjak dari ranjang menghampiriku. "Dari mana saja kamu?!" tanyanya padaku. Aku yang sudah siap dengan pertanyaan suamiku ini bersikap santai, membalasnya dengan senyuman. Aku tetap berusaha tersenyum walau bibirku ingin sekali mengumpat padanya. Lagi-lagi aku mengingat kembali percakapan Mas
"Kamu tahu dari mana kalau Irene itu janda, Mas? Apa kamu mengawasiku, atau kamu ada hubungan dengannya, jawab aku Mas? Jawab!" desakku. Dadaku memanas. Nafasku naik turun tak beraturan.Apa-apaan kamu Intan. Wajar dong jika seorang suami tahu siapa saja yang dekat dengan istrinya. Aneh banget kamu ini. Otakmu sudah banyak terpengaruhi oleh mereka. Jadinya pikiranmu kemana-mana! Sudahlah, pergi mandi sana! Siapa tahu dengan mandi otakmu jadi sedikit dingin." pungkasnya sambil berlalu pergi meninggalkan kamar."Apa kamu mulai was-was takut ketahuan, Mas. Hingga sikapmu begitu panik seperti ini," gumamku dalam hati. Aku melangkah kasar menuju kamar mandi. Membanting pintu kamar mandi dengan keras terdengar hingga keluar . Bukan kepalaku saja yang panas tapi hatiku.Aku melepas semua pakaianku dan menghidupkan shower agar airnya mengguyur kepalaku. Dinginnya air membasahi tubuku yang masih terbungkus pakain lengkap. Kupeluk tubuhku yang mulai terasa dingin. Menatap kosong, dinding kama
Tangan Mas Dika meraih sepotong ayam goreng dengan garpu dan meletakkannya di atas piring Ammar. Bocah lelaki itu girang dengan wajah yang berbinar. Senyum bahagia tergambar jelas di wajahnya. Bukan karena ayam goreng, tapi karena ajakan sang Papa yang mengajaknya jalan-jalan. "Liburan? Tumben?" batinku. Pasalnya tak biasanya suamiku berinisiatif mengajak aku dan anaknya jalan lebih dulu. "Hore ... kita akan liburan ke mana, Pa?" sorak bocah lelakiku. "Ammar maunya kemana?" tanya balik Mas Dika. Membuat putraku berpikir sejenak. Mas Dika tampak mengusap kepala putranya dengan lembut. Membuat hatiku kembali bimbang melihatnya. Kedekatan antara Ayah dan anak itu membuat aku semakin ragu untuk mengambil keputusan. Aku hanya duduk memperhatikan perbincangan di antara mereka. Mataku sesekali melirik ke arah Mas Dika, curiga. Beginilah rasanya jika kepercayaan sudah di nodai. Bawaannya curiga saja. "Bagaimana kalau ke pantai, Pa? Sudah lama kita nggak jalan ke pantai. Aku ingin main pa
Lagi-lagi aku dibuat tercengang dengan ide gila pria ini. Setelah aku menyetujui untuk menikah dengannya. Pernikahan kami di gelar dalam waktu tiga hari. Terdengar sangat tiba-tiba memang. Namun semuanya tampak siap, seolah sudah di persiapkan sebelumnya. Hanya tinggal mulutku berkata ia. Maka semuanya terlaksana bagai sulap.Bahkan sempat beredar rumor tak sedap yang mengatakan aku hamil duluan. Hanya karena pernikahanku yang di gelar begitu mendadak. Aku juga tak tahu dari mana rumor itu berasal. Namanya juga hidup bertetangga. Ada saja komentar yang terdengar. Aku menatap pantulan diriku di dalam cermin. Kebaya putih yang indah dengan hijab berwarna senada. Make up yang bagus membuat wajahku cantik sempurna. "Kamu cantik sekali, Nak!" puji Mama padaku. Aku menatap dan tersenyum padanya dari balik pantulan cermin. Aku gengam erat tangannya yang memegang pundakku. Ini memang pernikahan keduaku. Tapi gugupnya hampir sama dengan pernikahanku dulu. Bahkan lebih kentara lagi. Pintu
Aku tersentak kaget saat tangan Nini menggoyang tubuhku. Membuyarkan pikiran yang sejak tadi melayang entah kemana. "Mbak ... Mbak Intan! Mbak mikirin apa sih, Mbak?!" serunya padaku. Aku menoleh, menarik napasku yang terasa berat. "Nggak ada," jawabku singkat. Aku yang duduk di meja makan ini hanya menatapi makanan yang sudah Nini siapkan untukku. Tak ada yang aku sentuh. Selera makanku hilang entah kemana. "Mbak pasti mikirin Mas Langit, ya? Udah Mbak, kalau rindu bilang saja. Dari pada bengong gitu. Ayam tetanggaku di kampung, gara-gara bengong gitu selama tiga hari. Besoknya mati loh, Mbak. Kalau cinta bilang aja ok. Gitu aja kok susah Mbak," komentarnya padaku. Mataku melebar. "Kamu ngomong apa sih, Ni? Mbak nggak ngerti," elakku. Aku mengalihkan pandanganku darinya. Aku lagi malas beradu argumen dengan asisten rumah tanggaku ini. "Udah Mbak jangan malu sama Nini. Nini tu sebenarnya tahu. Sebenarnya Mbak tu cinta kan sama Mas Langit. Cuma Mbak Intan tu takut aja kalau Mas La
Hingga pagi menjelang, aku memaksa untuk pulang ke rumah. Demamku sudah turun. Sesampainya di rumah Mama menemaniku hingga ke kamar."Terima kasih, Ma," ucapku tulus. Aku duduk di pinggir ranjang menatapnya sayang. Tak ada amarah ataupun sakit hati. Semuanya sirna dengan kasih sayangnya. Mama menghela napas. Ia duduk di sampingku dan mengusap wajahku lembut. "Tak ada kata terima kasih untuk cinta seorang Ibu untuk anaknya. Sekarang istirahatlah ... jangan lagi menangis seperti itu Intan. Apalagi di makam Papamu sendirian seperti itu. Jika terjadi sesuatu padamu bagaimana?" "Bagaimana Mama bisa tahu aku ada di makam Papa?" tanyaku mulai mengingat kejadian itu. "Penjaga makam menelpon Mama dan memberitahukan keberadaanmu yang tergeletak pingsan di makam," jelas Mama. Ya, penjaga makam memang selalu aku bayar setiap bulan untuk menjaga Makam Papa. Itu sebabnya makam Papa bersih dan terawat. "Intan ... Mama dengar dari Nini, kamu akan pindah dalam minggu ini?" "Iya," jawabku singka
Pukul dua siang, langkah kakiku terhenti di sebuah gapura tinggi. Berdiri kokoh dan bersanding dengan sebatang pohon beringin yang berdiri menantang memamerkan tubuhnya yang tinggi serta rimbun. Daun kering tertiup angin jatuh berguguran. Beberapa lembar jatuh di hadapanku. Lembarannya yang rapuh terinjak di kakiku meninggalkan bunyi patah.Bisikan nyanyian rindu menuntun langkah kakiku untuk terus melangkah maju. Menyusuri setiap jengkal tanah pemakaman melati. Rintik hujan yang mulai turun membasahi pipi bagai iring-iringan yang menyambut kedatanganku. Langit mendung seakan ikut merasakan kehampaan hati ini.Sebuah batu nisan yang di kelilingi keramik berwarna biru menjadi ujung tujuan langkah kakiku. Aku terdiam dengan mata yang berkaca-kaca. Kutekukkan kakiku, duduk di sudut pusara yang terawat ini. Setelah sekian lama, aku datang menemui cinta pertama yang selalu ada untukku di masa hidupnya. Dulu aku rutin datang kesini, minimal tiga bulan atau enam bulan sekali. Namun sejak d
Dari rumah sakit aku mampir sejenak ke perusahaan. Menyelesaikan sebagian pekerjaanku. Sebagai pemilik sebuah perusahaan, aku masih memiliki tanggung jawab yang tak bisa aku tinggalkan. Pukul tujuh malam, mobilku terparkir cantik di halaman rumah. Aku turun dari mobil dan masuk ke rumah besar dengan bangunan arsitektur klasik. Rumah yang aku tempati selama puluhan tahun. Tak ada yang berubah dari rumah ini. Semuanya sama, dari dinding cat yang mendominasi warna-warna pastel dan putih. Kecuali bunga-bunga yang ditanam Mama yang berganti sesuai trend yang sedang hits saat ini.Aku memasuki rumah dan berjalan cepat ke ruang makan. Aku yakin semua sudah berkumpul di meja makan. "Selamat malam?" sapaku. "Kamu terlambat lagi, Kak?" ujar Elia padaku. Semuanya sedang makan dan menatap ke arahku yang baru saja tiba. Di samping Elia ada Emil–suaminya. Lelaki itu kerja sebagai pegawai bank swasta. Lalu di hadapan mereka, duduk seorang gadis kecil cantik yang tampak merenggut padaku. Aku mem
Pov. Langit"Langit lepaskan!" ujarnya saat tautan bibir kami terlepas. Dekapan tangan ini masih sangat erat dan tak ingin terlepas. Deru nafas yang naik turun begitu memburu. Seakan berlomba-lomba meraup pasokan oksigen sebanyak-banyaknya. Aku tahu ini salah, aku tahu tak sepantasnya kau melakukan ini padanya. Tapi aku tak bisa mengalihkan pandanganku dari wajah cantiknya. Tak bertemu dengannya beberapa hari belakangan ini membuatku kehilangan nalarku saat ini. Apa pun yang berhubungan dengannya membuatku gila. Hanya ada namanya dan wajahnya yang memenuhi kepalaku saat ini. Detak jantungku dan dirinya kian berpacu berirama saling sahut-sahutan, membangkitkan gejolak rasa yang selama ini aku pendam dan kujaga dengan sangat hati-hati. Getaran itu masih sama, iramanya juga masih sama. Kubiarkan kupu-kupu menggelitikku. Membuatku terbuai dalam romansa indah, terbuai dengan irama asmara.Aku dekatkan keningnya dan keningku. Membiarkan punggungnya bersandar dengan pintu mobil. Bulu mat
Sudah berkali-kali dan berhari-hari Mama mencoba meminta Maaf padaku. Berkali-kali aku juga diam. Kini keputusanku untuk pindah semakin kuat. Taka ada lagi yang perlu aku pertahankan lagi tinggal disini. Hidupku juga sudah selesai, resmi dengan status janda yang tersemat.Ammar juga kondisinya sudah semakin pulih. Ia juga sudah mulai bisa beraktivitas seperti biasanya. Hari ini aku bersiap-siap di depan cermin. Memoles sedikit make-up di wajahku yang pucat. Hari ini adalah jadwal control rutin Ammar. Kali ini aku tidak datang ke rumah sakit dimana Ammar operasi kemarin. Tapi pindah ke rumah sakit yang lain. Tentunya rumah sakit yang sama besarnya dan fasilitas yang lengkap tentunya. Setelah dirasa pantas, aku keluar kamar. Membantu Ammar untuk berjalan menuju mobil. Walaupun ia sudah agak mendingan, namun sesekali putraku kerap merasa nyeri di bagian dadanya. Untuk Langit, aku memang tidak dapat menjenguknya. Bukan berarti aku tidak terima kasih atas apa yang ia lakukan pada putrak
"Kalau tidak kenapa, Ma?" Aku keluar dari persembunyianku menatap tajam Mama yang terkejut dan langsung mematikan sambungan telponnya. Kedua tanganku terkepal di kedua sisi tubuhku. "Intan ... sejak kapan kamu berada di situ, sayang?" tanya Mama gugup. Seperti penciri yang tertangkap basah dengan hasil curiannya. "Cukup lama untuk mendengar semua kebohongan Mama. Jadi benar apa yang dikatakan Bu Dahlia itu. Kenapa Mama lakukan ini padaku, Ma. Kenapa?!" teriakku penuh amarah. "Bukan begitu Intan, Maafkan Mama. Mama khilaf melakukan semua itu. Maafkan Mama, Nak. Kamu tahu sendiri saat itu Papa kamu mengalami krisis keuangan. Uang hasil panen sawit yang biasanya melimpah, tiba-tiba berkurang hampir setengahnya karena harga sawit turun. Sedangkan Mama saat itu tidak tahu kalau Papamu punya kebun lain yang dialihkan atas namamu. Uang yang di berikan Papamu tidak cukup,""Tidak cukup memenuhi keinginan Mama untuk foya-foya!" selaku sinis. "Bukan begitu, Intan. Dika menyukaimu sejak pe
Kuusap kepala Ammar dengan lembut. Menemaninya hingga ia terbuai mimpi. Bocahku ini sangat suka diusap-usap kepalanya. Bahkan ia akan cepat tertidur jika aku perlakukan demikian.Setelah Ammar tidur, aku kembali keluar. Merenggangkan tangan serta badanku yang terasa remuk. Perutku juga lapar tapi aku tak mungkin pergi meninggalkan anakku seorang diri di kamar. Aku yang baru saja keluar dari kamar langsung beradu hidung dengan Mas Yoga."Apa aku mengganggumu. Kamu mau kemana? Mau membeli makanan?" tebaknya tepat. Setidaknya aku bisa meminta bantuannya untuk menjaga Ammar. "Iya Mas, aku lapar. Bisa minta tolong nggak, Mas? Tolong jagain Ammar sebentar," pintaku. "Untuk apa keluar ... ini aku bawakan makanan untukmu," Mas Yoga mengangkat plastik putih yang ia bawa ke dapan wajahku. Bau wangi dari bungkusan itu menggoda indra penciumanku. Membuat cacing di perutku semakin berdendang. Kata orang, jika rezeki tak akan lari walau hujan menerpa. Seperti itu juga lah rezekiku hari ini. P