Ceklek!Aku buka perlahan pintu kamar putraku yang menutupi. Aku langkahkan kaki perlahan mendekatinya yang tampak tidur dengan nyenyak. Sebenarnya pantang tidur saat sedang mendekati magrib. Banyak mitos yang beredar seputar tentang pantangan tidur di waktu magrib. Namun melihat wajah polos putraku, tak tega rasanya membangunkannya saat ini. Aku duduk di tepi ranjang. Menatap wajah damai putra semata wayangnya ini. Serta membelai kepalanya pelan. Rambut yang mulai panjang dan tebal ini terasa lembut di tanganku. Wangi jeruk orange menguat dari rambutnya. Bau khas shampo anak-anak dengan gambar kepala yang berwarna kuning tua itu. Perkataan Irene kembali berputar kepalaku. Aku mulai mengumpulkan kepingan kenangan seperti potongan puzzle akan sikap suamiku yang mulai mencurigakan. Sebenarnya jika diingat-ingat kembali. Banyak perkataan serta sikap Mas Dika yang tampak ganjal di mataku. Hanya saja karena aku terlalu percaya padanya atau karena aku yang terlalu percaya diri suamiku t
Ceklek!Pintu kembali terbuka. Aku menoleh ke arah pintu, menatap suamiku yang baru saja masuk dan melonggarkan dasi di lehernya yang mungkin terasa mencekik. "Kamu jam segini baru mandi sayang? Memangnya dari mana?" tanya Mas Dika padaku. Aku tersenyum tipis. Tak ada sedikit pun niat untuk mendekat dan membantunya seperti biasanya. "Tadi ketemu teman sebentar, biasa lah Mas," jawabku. "Arisan lagi? Bukannya baru beberapa hari yang lalu kamu arisan, kan?" tanyanya lagi. "Nggak arisan. Cuma ketemu teman lama aja, jadi ngobrol dan nostalgia saja," balasku. Aku berdiri dan berjalan ke lemari pakaian. Mengambil pakaianku dan memakainya, menggantikan bedtrobe yang aku gunakan. Mas Dika memelukku dari belakang. "Wangi banget sih kamu sayang. Bikin Mas kangen kamu," Mas Dika mengecup leherku. Membuat tubuhku sedikit meremang. Udara dingin serta hujan membuat dekapannya terasa hangat di tubuh ini. "Mas kamu baru pulang kerja. Pergi mandi dulu sana! Baumu asem," ujarku menolak perlakuan
Tangan ini tengadahkan ke atas dengan berurai air mata aku berucap. Meminta rentetan yang aku inginkan. Ada rasa malu di hati ini, aku yang terkadang lalai akan kewajibanku menyembahnya. Namun begitu banyak permintaanku padanya. "Ya Allah, ya Rohman, ya Rahim ... Ya Tuhanku yang maha mengetahui, tunjukkan padaku kebenaran yang tidak aku ketahui. Jika semua itu tak seperti apa yang aku pikirkan. Hamba mohon jagalah keluarga hamba dari kemaksiatan. Jadikan kelurga kami sakinah, mawadah, dan warahmah. Namun jika kenyataan itu justru sangat menyakitkan, kuatkan hatiku sekuat karang di lautan, beri rasa sabar yang tak berbatas agar aku dapat memaafkan tanpa menyimpan dendam. Engkau maha mengetahui segala yang terbaik untukku. Berikan aku yang terbaik darimu dan yang sesuai dengan yang aku inginkan yarobbi," gumamku begitu lirih. Hingga hanya diriku saja yang dapat mendengarnya. Kututup doa yang aku panjatkan dengan segala puji-pujian yang aku panjatkan untuk Sang pengusaha. Tak lupa kuk
Walau hati sesak dan amarah yang berkumpul di dalam hati, seperti bom yang telah tertarik sumbunya siap untuk diledakkan saat ini juga. Tapi aku tak ingin gegabah. Aku mundur dan memutar. Jika tadi aku berniat masuk lewat pintu samping, kini aku memutar ke arah depan. Masuk ke pintu yang seharusnya aku lalui. Berjalan tergesa-gesa menyamarkan deru amarah dengan deru napas yang capek karena setengah berlari. "Loh ... Nyonya kok sudah pulang?!" tanya Bi Susi kaget melihatku datang. Wajahnya terlihat sedikit kaget. Namun dengan cepat ia netralkan. Aku tersenyum kecut. Sungguh lihat para serigala yang aku pelihara di rumah ini. "Iya, Bi. Dompet saya ketinggalan di kamar, makanya balik lagi," jawabku datar sambil berlalu pergi. Hatiku masih panas melihat wajahnya. Aku takut jika berlama-lama, nanti aku tak sanggup mengontrol emosiku sendiri.Sesampainya di kamar dengan cepat aku mengambil dompetku lalu kembali keluar. Aku menuruni tangga dengan cepat dan mengabaikan keberadaannya. Mungk
"Lalu sekarang apa yang akan kamu lakukan? Apa pembantumu tahu jika kamu menguping pembicaraannya?" Aku menggelengkan kepala. "Tidak ... dia tidak tahu. Karena aku tidak mau ia mengadukan hal ini pada Mas Dika, hingga membuat aku nanti kehilangan jejak akan wanita itu. Aku juga bingung apa yang akan aku lakukan selanjutnya. Seperti menemukan jalan buntu," keluhku. "Aku ingin bertanya satu hal padamu. Jawab dengan jujur, apa pilihanmu atas pilihan yang aku berikan padamu kemarin?" tanyanya lagi. Tatapan matanya tampak serius."Jika dia terbukti mengkhianatiku. Maka tak ada maaf untuknya. Aku tak cukup baik untuk bisa berbagi suami Irene," ujarku lirih. "Jika ia meminta maaf dan mengajak semuanya mulai dari awal bagaimana?" tanyanya lagi. Aku tak mengerti maksud dan tujuan dari pertanyaannya itu. "Aku tak tahu, biarkan saja waktu yang menjawab. Aku akan memilih keputusan terbaik untukku dan anakku. Aku juga tak bisa egois, kan? Tapi aku tak bisa hidup dalam rasa penasaran seperti in
Aku berdiri bersalaman dengan pria yang bernama Yoga itu. Walau sikapnya baik tapi aku menangkap aura dingin di raut wajahnya. Seerti menyimpan kesedihan yang tak terbaca.Lelaki itu duduk di hadapanku. Mempersilahkan kami untuk menyantap hidangan yang telah disediakan oleh pelayan perempuan tadi. Sekilas aku melihat lelaki yang bernama Yoga ini cukup tampan. dari cerita Irene, aku juga mengetahui jika ia juga seorang singgle father. Setelah saling berkenalan dan mengobrol sebentar, aku dibantu Irene mulai mengutarakan maksud dan kedatangan kita berdua ke sini. Wajah Mas Yoga tampak berkerut, alisnya juga terangkat sebelah. Namun tetap diam mendengarkan ucapanku. Setelah aku selesai menceritakan masalahku. Mas yoga menatap Irene tajam. "Kamu kan tahu, Mas sudah berhenti bekerja sebagai detektif swasta Irene. Sepertinya kalian salah orang untuk masalahmu ini," tolaknya. Aku mulai lesu mendengar penolakan darinya. Di kota ini aku tak mengenal siapa saja yang memiliki jasa detektif s
Jam di pergelangan tanganku menunjukkan pukul sepuluh malam, aku baru sampai di rumah. Mobilku terparkir cantik di belakang mobil Mas Dika. Tentu saja suamiku itu sudah pulang lebih dulu dari pada aku. Karena keasyikan mengobrol dan memandang view laut yang begitu menggoda mata. Membuatku berlama-lama di sana hingga lupa akan waktu. Aku melewati meja makan yang tampak hening tak berpenghuni. Bi Susi juga tampak sedang mencuci piring, itu artinya suami dan anakku sudah makan malam. Aku pun juga sudah makan di sana tadi. Langkah kakiku cepat menaiki anak tangga menuju kamar. Baru saja pintu kamar terbuka, aku sudah mendapati wajah masam suamiku yang menatapku curiga. Ia melipat laptopnya dan beranjak dari ranjang menghampiriku. "Dari mana saja kamu?!" tanyanya padaku. Aku yang sudah siap dengan pertanyaan suamiku ini bersikap santai, membalasnya dengan senyuman. Aku tetap berusaha tersenyum walau bibirku ingin sekali mengumpat padanya. Lagi-lagi aku mengingat kembali percakapan Mas
"Kamu tahu dari mana kalau Irene itu janda, Mas? Apa kamu mengawasiku, atau kamu ada hubungan dengannya, jawab aku Mas? Jawab!" desakku. Dadaku memanas. Nafasku naik turun tak beraturan.Apa-apaan kamu Intan. Wajar dong jika seorang suami tahu siapa saja yang dekat dengan istrinya. Aneh banget kamu ini. Otakmu sudah banyak terpengaruhi oleh mereka. Jadinya pikiranmu kemana-mana! Sudahlah, pergi mandi sana! Siapa tahu dengan mandi otakmu jadi sedikit dingin." pungkasnya sambil berlalu pergi meninggalkan kamar."Apa kamu mulai was-was takut ketahuan, Mas. Hingga sikapmu begitu panik seperti ini," gumamku dalam hati. Aku melangkah kasar menuju kamar mandi. Membanting pintu kamar mandi dengan keras terdengar hingga keluar . Bukan kepalaku saja yang panas tapi hatiku.Aku melepas semua pakaianku dan menghidupkan shower agar airnya mengguyur kepalaku. Dinginnya air membasahi tubuku yang masih terbungkus pakain lengkap. Kupeluk tubuhku yang mulai terasa dingin. Menatap kosong, dinding kama