Mentari yang telah muncul disambut kicauan burung Pipit yang bertengger di atas atap rumah. Aku seperti biasa mulai berjibaku di dapur menyiapkan sarapan pagi yang harus selalu terhidang di meja makan. Semuanya aku lakukan seorang diri, namun terkadang di bantu oleh Bi Susi. Ammar sudah duduk rapi di depan meja, pagi ini aku membangunkannya lebih pagi, memandikan dan memakaikan seragamnya dengan rapi. Dalam gambaran banyak orang, istri yang berkutat di dapur adalah istri yang kucel dan bau. Tapi itu tidak berlaku untukku. Dapurku ini dilengkapi dengan segala alat yang dapat memudahkan aku untuk masak dengan cepat dan tanpa bau-bau yang tak sedap. Setelah semua makanan siap, mas Dika turun dengan koper kecilnya. Ia duduk tepat di hadapan Ammar. "Sayang, Mas berangkat dulu ya.""Loh Mas, berangkat sekarang?! Tidak sarapan dulu?" tanyaku kaget. Karena suamiku bilang ia akan berangkat pukul sembilan pagi. Sedangkan hari ini baru pukul setengah tujuh. "Iya, tadi Eric bilang jadwal pene
Selama dua hari Mas Dika belum pulang ke rumah, selama itu pula aku berusaha menepis setiap pikiran burukku tentang apa yang Laura sampaikan padaku. Selama dua hari ini, Mas Dika rajin menelpon aku dan juga Ammar. Walau hanya sekedar menanyakan kabar kami berdua. Lalu ... apa yang membuatku harus gelisah. Bukti apa lagi yang aku butuhkan untuk meyakinkan diriku jika suamiku adalah pria yang setia. Seharusnya aku bersyukur, bukannya menuduh. Tapi bisa saja mereka iri padaku. Makanya mulai meracuni pikiranku dengan praduga yang tidak-tidak. Hari ini adalah hari libur, biasannya aku dan Mas Dika serta Ammar pergi ke suatu tempat untuk liburan. Atau sekedar acara makan di luar agar lebih santai. Berhubung hari ini hanya ada kita berdua saja. Maka aku dan Ammar memutuskan untuk berkunjung ke rumah Mama. Mama Astrid adalah Mama sambungku. Ia dan Papaku menikah saat usiaku masih sangat remaja. Sekitar lima belas tahun. Bukan karena Papa selingkuh, tapi karena Malam kandungku sudah meningga
Ada apa, Ma? Kenapa wajah Mama tampak ragu gitu. Memangnya ada masalah berat apa?" desakku. "Gini Intan, Ayu bilang sama Mama. Ia terkena masalah di sana. Mobil yang ia kendarai menabrak orang, jadi dia harus ganti rugi yang cukup besar. Belum lagi adikmu itu kini terancam kena PHK. Mama bingung dapat uang dari mana untuk mengirimi Ayu. Kamu tahu sendiri kan biaya hidup Mama semenjak Papamu meninggal, hanya ngandalin kebun sawit yang tinggal beberapa jerat itu saja. Mana sekarang buahnya juga sudah mulai sedikit," keluhnya membuat aku memutar bola mata jengah. Gimana mau banyak buahnya, jika kebun itu hanya dipanen tanpa perawatan. Almarhum Papaku memang seorang pedagang hasil bumi. Ia juga memiliki puluhan hektar kebun sawit yang menghasilkan pundi-pundi masuk ke dalam rekening setiap bulan. Maka tak salah jika dulu Papa disebut juragan kebun sawit. Namun, semenjak bertemu dengan Astrid. Bisnis yang Papa bangun dengan susah payah justru habis tak bersisa. Kebun sawit yang puluhan h
Setelah perdebatan yang panjang dengan Ibu tiriku. Aku memilih untuk pulang. Siapa yang betah berlama-lama di sana. Jika hanya dicueki dan dihadapkan wajah yang asam. Seperti itulah dia, jika menginginkan sesuatu, maka aku harus diam dan menuruti. Sebenarnya aku sudah malas bertemu dengan Ibu tiriku itu. Tapi rumah yang ditinggalinya adalah rumah almarhum kedua orang tuaku. Jika aku tidak sekali-sekali datang dan mengawasi. Bisa saja kan, barang-barang yang ada dijualnya satu persatu. Jika jiwa belanja bergelora sedangkan dompet menderita, maka apapun dapat dilakukan hanya untuk memenuhinya. Buktinya, harta peninggalan almarhum Papa saja habis dijualnya satu persatu. Tak terasa sudah tiga hari Mas Dika pergi perjalanan bisnisnya. Dia bilang akan pusing malam ini. Aku sampai-sampai menyibukkan diri di dapur. Memasak makanan kesukaannya, hanya untuk menyambut kepulangannya. Namun nyatanya hingga jam dinding berdetak di pukul delapan malam pun. Belum juga ada hilal akan kedatangannya.
"Ya udah Mas. Kamu mandi dulu sana! Kamu pasti lelah kan, aku siapkan makan siang?" tawarku. "Tak usah sayang, Mas sudah makan tadi sebelum penerbangan. Perut Mas juga masih kenyang. Mas mandi dulu, ya." Aku menatap Mas Dika penuh curiga. Suamiku itu pun berbalik menatapku. "Kamu kenapa sih sayang, dari tanya nanyanya sudah seperti wartawan lagi wawancara. Detail banget, nggak seperti biasanya seperti ini. Atau jangan-jangan ...,""Jangan-jangan apa, Mas?" sahutku penasaran. Mas Dika sedang bermain game tarik ulur padaku. Cup!Bukannya menjawab suamiku itu justru mengecup pipiku lembut. Aku melongo melihat tingkah konyolnya itu. "Kamu itu gemesin banget kalau lagi curiga gitu, sayang. Bikin Mas pengen gigit deh," selorohnya membuatku tersenyum. Suamiku ini memang paling bisa mencairkan suasana yang canggung menjadi romantis."Dasar nakal. Sudah mandi sana! Nanti keburu sore," usirku, Mas Dika pergi ke kamar mandi sambil terkekeh. Sedangkan Ammar sedari tadi sudah ke kamarnya. Tadi
Sejak makan malam tadi aku masih terus saja memikirkan perihal cincin itu. Aku masih menunggu siapa tahu Mas Dika masih menyembunyikannya padaku sebagai kejutan. Walau kenyataannya semua itu tak mungkin. Sejak pagi aku sudah berkutat di dapur, kebiasaan yang selalu aku lakukan selama 10 tahun menjadi istrinya. "Nyonya, ini mau dibuat apa?" tanya Bi Susi membuyarkan lamunanku. Aku yang sedang mengaduk sop di atas kompor pun menoleh. Bi Susi menunjukkan potongan daging kecil-kecil padaku. "Astagfirullah al'azim, Bi. Itu kan daging untuk sop. Yah ... udah aku masukin sayur ke dalam kuahnya. Bisa hancur sayurnya kalau daging baru dimasukkan," seruku. Gara-gara pikiranku entah kemana. Aku jadi tak konsentrasi atas apa yang aku masak. Sampai-sampai dagingnya lupa aku masukkan. Intan ... Intan, bagaimana dirimu ini. "Ya udah Bi, dagingnya Bibi rebus aja di presto, nanti kalau sudah empuk baru di satukan di sini. Untuk sementara waktu, kuahnya di matikan aja dulu. Mumpung sayurnya belum m
"Ya elah ... anak gadis pembahasannya sudah nyerempet masalah kawin aja. Mentang-mentang udah dilamar orang. Cie ... cie," goda Laura membuat wajah Stevani memerah. Aku pun tersenyum mendengar kabar bahagia ini. Sedangkan Icha hanya diam dan sesekali tersenyum. Wanita itu memang yang paling kalem diantara kami ber-enam. Ia istri seorang pejabat daerah. Ia juga sudah memiliki dua orang putri cantik. Kembar berumur 3 tahun. Tutur kata yang lembut mendayu-dayu, serta wajah yang manis tampak begitu keibuan. "Akhirnya di antara kami, ada yang akan menjemput kebahagian. Aku berharap semoga pernikahanmu nanti sakinah, mawadah, dan warohmah. Pernikahan yang kekal yang menjadi dambaan setiap wanita," ujarku pada Stevani tulus. Wanita keturunan Tionghoa itu pun menatapku bahagia senyum lebar tergambar di wajahnya."Terima kasih banget ya doanya. Aku harap kalian semua harus datang di hari bahagiaku itu. Jangan ada yang nggak datang. Awas!" balas Stevani dengan nada sedikit mengancam di bagian
Suasana makan malam yang seharusnya menjadi membahagiakan, justru berubah menjadi dingin dan hambar. Aku tak banyak berbicara begitupun Mas Dika. Kami menikmati makan malam kami dengan santai. Padahal restoran ini mengusung konsep garden dengan lampu kerlap-kerlip di atasnya. Di dukung dengan penataan tanaman yang membawa suasana alam hutan dan spot hijau yang di penuhi banyak tanaman di dalamnya. Lantainya terbuat dari rumput sintetis yang serasi dengan pepohonan kecil yang menghiasi sekeliling restoran ini. Sungguh menyejukkan mata. Sangat indah dan romantis sekali suasananya.Suasana pun semakin syahdu dengan kolam ikan kecil yang berada di tengah-tengah restoran tersebut. Makanan yang di sajikan pun beragam. Bisa dinikmati segala kalangan. Baik anak-anak, remaja ataupun dewasa. Makanya selain anak muda, yang berkeluarga pun ada yang mengajak anggota keluarganya di sini. Aku sangat menyukai tempat ini. Ammar pun tampak nyaman dan sangat menikmati makanannya. "Tempatnya bagus M