Setelah perdebatan yang panjang dengan Ibu tiriku. Aku memilih untuk pulang. Siapa yang betah berlama-lama di sana. Jika hanya dicueki dan dihadapkan wajah yang asam. Seperti itulah dia, jika menginginkan sesuatu, maka aku harus diam dan menuruti. Sebenarnya aku sudah malas bertemu dengan Ibu tiriku itu. Tapi rumah yang ditinggalinya adalah rumah almarhum kedua orang tuaku. Jika aku tidak sekali-sekali datang dan mengawasi. Bisa saja kan, barang-barang yang ada dijualnya satu persatu. Jika jiwa belanja bergelora sedangkan dompet menderita, maka apapun dapat dilakukan hanya untuk memenuhinya. Buktinya, harta peninggalan almarhum Papa saja habis dijualnya satu persatu. Tak terasa sudah tiga hari Mas Dika pergi perjalanan bisnisnya. Dia bilang akan pusing malam ini. Aku sampai-sampai menyibukkan diri di dapur. Memasak makanan kesukaannya, hanya untuk menyambut kepulangannya. Namun nyatanya hingga jam dinding berdetak di pukul delapan malam pun. Belum juga ada hilal akan kedatangannya.
"Ya udah Mas. Kamu mandi dulu sana! Kamu pasti lelah kan, aku siapkan makan siang?" tawarku. "Tak usah sayang, Mas sudah makan tadi sebelum penerbangan. Perut Mas juga masih kenyang. Mas mandi dulu, ya." Aku menatap Mas Dika penuh curiga. Suamiku itu pun berbalik menatapku. "Kamu kenapa sih sayang, dari tanya nanyanya sudah seperti wartawan lagi wawancara. Detail banget, nggak seperti biasanya seperti ini. Atau jangan-jangan ...,""Jangan-jangan apa, Mas?" sahutku penasaran. Mas Dika sedang bermain game tarik ulur padaku. Cup!Bukannya menjawab suamiku itu justru mengecup pipiku lembut. Aku melongo melihat tingkah konyolnya itu. "Kamu itu gemesin banget kalau lagi curiga gitu, sayang. Bikin Mas pengen gigit deh," selorohnya membuatku tersenyum. Suamiku ini memang paling bisa mencairkan suasana yang canggung menjadi romantis."Dasar nakal. Sudah mandi sana! Nanti keburu sore," usirku, Mas Dika pergi ke kamar mandi sambil terkekeh. Sedangkan Ammar sedari tadi sudah ke kamarnya. Tadi
Sejak makan malam tadi aku masih terus saja memikirkan perihal cincin itu. Aku masih menunggu siapa tahu Mas Dika masih menyembunyikannya padaku sebagai kejutan. Walau kenyataannya semua itu tak mungkin. Sejak pagi aku sudah berkutat di dapur, kebiasaan yang selalu aku lakukan selama 10 tahun menjadi istrinya. "Nyonya, ini mau dibuat apa?" tanya Bi Susi membuyarkan lamunanku. Aku yang sedang mengaduk sop di atas kompor pun menoleh. Bi Susi menunjukkan potongan daging kecil-kecil padaku. "Astagfirullah al'azim, Bi. Itu kan daging untuk sop. Yah ... udah aku masukin sayur ke dalam kuahnya. Bisa hancur sayurnya kalau daging baru dimasukkan," seruku. Gara-gara pikiranku entah kemana. Aku jadi tak konsentrasi atas apa yang aku masak. Sampai-sampai dagingnya lupa aku masukkan. Intan ... Intan, bagaimana dirimu ini. "Ya udah Bi, dagingnya Bibi rebus aja di presto, nanti kalau sudah empuk baru di satukan di sini. Untuk sementara waktu, kuahnya di matikan aja dulu. Mumpung sayurnya belum m
"Ya elah ... anak gadis pembahasannya sudah nyerempet masalah kawin aja. Mentang-mentang udah dilamar orang. Cie ... cie," goda Laura membuat wajah Stevani memerah. Aku pun tersenyum mendengar kabar bahagia ini. Sedangkan Icha hanya diam dan sesekali tersenyum. Wanita itu memang yang paling kalem diantara kami ber-enam. Ia istri seorang pejabat daerah. Ia juga sudah memiliki dua orang putri cantik. Kembar berumur 3 tahun. Tutur kata yang lembut mendayu-dayu, serta wajah yang manis tampak begitu keibuan. "Akhirnya di antara kami, ada yang akan menjemput kebahagian. Aku berharap semoga pernikahanmu nanti sakinah, mawadah, dan warohmah. Pernikahan yang kekal yang menjadi dambaan setiap wanita," ujarku pada Stevani tulus. Wanita keturunan Tionghoa itu pun menatapku bahagia senyum lebar tergambar di wajahnya."Terima kasih banget ya doanya. Aku harap kalian semua harus datang di hari bahagiaku itu. Jangan ada yang nggak datang. Awas!" balas Stevani dengan nada sedikit mengancam di bagian
Suasana makan malam yang seharusnya menjadi membahagiakan, justru berubah menjadi dingin dan hambar. Aku tak banyak berbicara begitupun Mas Dika. Kami menikmati makan malam kami dengan santai. Padahal restoran ini mengusung konsep garden dengan lampu kerlap-kerlip di atasnya. Di dukung dengan penataan tanaman yang membawa suasana alam hutan dan spot hijau yang di penuhi banyak tanaman di dalamnya. Lantainya terbuat dari rumput sintetis yang serasi dengan pepohonan kecil yang menghiasi sekeliling restoran ini. Sungguh menyejukkan mata. Sangat indah dan romantis sekali suasananya.Suasana pun semakin syahdu dengan kolam ikan kecil yang berada di tengah-tengah restoran tersebut. Makanan yang di sajikan pun beragam. Bisa dinikmati segala kalangan. Baik anak-anak, remaja ataupun dewasa. Makanya selain anak muda, yang berkeluarga pun ada yang mengajak anggota keluarganya di sini. Aku sangat menyukai tempat ini. Ammar pun tampak nyaman dan sangat menikmati makanannya. "Tempatnya bagus M
Memasuki halaman perusahaan, aku langsung membelokkan mobilku ke wilayah parkiran. Memarkirkan mobilku dengan rapi dan berjejeran dengan mobil yang lain. Setelah turun dari mobil, aku langsung melangkahkan kaki ke arah Utara,menuju tempat di mana suamiku biasa memarkirkan mobilnya. Benar saja, mobil itu masih terparkir cantik di sana. Apa lagi sekarang sudah lewat jam makan siang. Apa suamiku makan di kantor? Tak biasanya Mas Dika selalu makan di kantor. Bukan kah dia biasanya anti makan di kantin kantor. Tapi kok mobil ini? Semua membuat hatiku merasa ganjal. Aku langsung bergegas menuju ruangan suamiku. Dari pada menduga-duga hal yang tak pasti. Maka aku lebih memilih mengeceknya sendiri. Bukannya tak percaya pada suami, tapi kata hati tak mungkin berbohong. Walau aku akui, sebagai suami. Mas Dika adalah suami yang romantis, pengertian dan sangat sempurna. Gelagatnya selama ini tak sedikit pun menunjukkan jika ia memiliki selingkuhan. Setiap aku menemukan kejanggalan, mas Dika m
Pukul sepuluh lewat lima menit aku tiba di sekolahan Ammar dengan gamis yang rapi. Hari ini ada acara pertemuan wali murid yang diadakan setiap pembagian PTS (Penilaian Tengah Semester) siswa. Sesampainya di halaman sekolah, aku memarkirkan mobilku dengan rapi. Berjejeran dengan mobil-mobil para wali murid yang lain. Halaman depan sekolahan ini termasuk luas. Bisa menampung hingga 40 mobil. Sudah hampir selebar lapangan bola. Wajar saja, sekolah ini merupakan sekolah swasta yang terjamin akreditasinya.Guru-guru yang kompeten serta jumlah murid yang dibatasi setiap kelasnya membuat anakku nyaman bersekolah di sini. Satu kelas dengan dua guru, membuat anak-anak dapat terkontrol dengan baik. Yah ... walau kuakui, biaya sekolah di sini terbilang mahal. Kebanyakan yang bersekolah disini adalah anak-anak yang berasal dari golongan keluarga yang mampu. Aku berjalan santai di koridor sekolah, menuju kelas putraku. Kelas 2B yang berada di ujung koridor depan tiang bendera. "Irene?!" seruk
"Si-siapa di-dia?" tanyaku terbata, setiap huruf terasa sulit ke luar dari kerongkonganku ini. Tanganku mulai mengeluarkan keringat dingin. Menunggu jawaban dari mulutnya seakan sedang menunggu eksekusi mati. "Pak Tio," ujarnya. Cukup membuatku terkejut. Seakan ada batu besar yang terangkat di dadaku. Sangat melegakan. Kekhawatiranku selama ini sirna begitu saja. "Apa?! Apa aku tak salah dengar?" tanyaku sekali lagi untuk memastikan. Siapa tahu karena terlalu banyak berharap, aku jadi salah dengar."Kamu nggak salah dengar Intan. Aku yakin kamu juga tahu dari Sandra si biang gosip itu, kalau aku berpacaran dengan suami orang? Dan orang itu adalah Pak Tio," jelasnya. Aku cukup melongo dengan penjelasannya itu. Memang sih pak Tio tajir, tapi usianya yang cukup tua membuat pria itu lebih pantas menjadi bapaknya ketimbang suaminya. Sedangkan setahuku. Istri Pak Tio sekarang bukanlah istri pertama. Melainkan istri ketiga. Istri pertamanya sudah meninggal beberapa tahun yang lalu, istri