Home / Romansa / Simpanan! / 4. Rumah peninggalan.

Share

4. Rumah peninggalan.

last update Last Updated: 2022-06-12 15:59:27

Selama dua hari Mas Dika belum pulang ke rumah, selama itu pula aku berusaha menepis setiap pikiran burukku tentang apa yang Laura sampaikan padaku. Selama dua hari ini, Mas Dika rajin menelpon aku dan juga Ammar. Walau hanya sekedar menanyakan kabar kami berdua.

Lalu ... apa yang membuatku harus gelisah. Bukti apa lagi yang aku butuhkan untuk meyakinkan diriku jika suamiku adalah pria yang setia. Seharusnya aku bersyukur, bukannya menuduh. Tapi bisa saja mereka iri padaku. Makanya mulai meracuni pikiranku dengan praduga yang tidak-tidak.

Hari ini adalah hari libur, biasannya aku dan Mas Dika serta Ammar pergi ke suatu tempat untuk liburan. Atau sekedar acara makan di luar agar lebih santai.

Berhubung hari ini hanya ada kita berdua saja. Maka aku dan Ammar memutuskan untuk berkunjung ke rumah Mama. Mama Astrid adalah Mama sambungku. Ia dan Papaku menikah saat usiaku masih sangat remaja. Sekitar lima belas tahun. Bukan karena Papa selingkuh, tapi karena Malam kandungku sudah meninggal saat melahirkan adikku.

Saat diriku berumur 13 tahun, Mamaku, Arum Winarsih. dinyatakan hamil kembali. Dokter sempat melarang dan mengatakan kehamilan di usia yang cukup tua ditambah jarak kehamilan yang terlalu jauh, memiliki resiko yang cukup tinggi untuk ibu dan janin.

Namun mama yang sangat ingin memiliki anak kembali, tak mempedulikan perkataan dokter itu. Hingga di usia kandungan 8 bulan, mama mengalami pendarahan hebat dan komplikasi. Membuatnya meninggal dunia. Sedangkan adik yang lahir kurang bulan, menyusul setelah berjuang selama satu Minggu.

Saat itu merupakan pukulan yang paling berat bagi diriku dan papa. Seakan dunia kita runtuh dan hancur berkeping-keping. Tapi siapa yang dapat mengelak jalan takdir yang sudah ditetapkan oleh sang pemilik dunia ini?

Setelah 2 tahun kepergian Mama, saat itu aku menginjak usia 15 tahun. Papa pulang ke rumah membawa seorang wanita yang selama ini ia dekati selama beberapa bulan belakangan ini. Papa memperkenalkan padaku sebagai istrinya.

Astrid Tiara, Wanita itu adalah seorang janda yang memiliki anak satu. Anaknya Ayu berumur lima tahun lebih muda dariku. Aku yang tak memiliki adik, menyayangi Ayu yang manis sebagai adikku sendiri. Selama ini mereka pun selalu berusaha bersikap baik dan ramah padaku. Walau aku tak tahu seberapa tulus kebaikan tersebut.

Mobilku memasuki pintu gerbang yang terbuka lebar, Seolah memang sudah siap menyambut kedatanganku. Aku memerkirakan mobil dengan rapi di dalam garasi. Baru saja aku keluar dari pintu mobil.

Semerbak bau bunga melati yang merambat di pagar tembok garasi yang terdapat celah dari samping.

Mama Arum memiliki Rhinitis alergi. Atau yang lebih disebut dengan alergi serbuk bunga. Itu sebabnya di rumahku dulu tak ada satu pun bunga kecuali bunga yang berbahan sintetis. Sangat berbeda jauh dengan Mama Astrid.

Semenjak kehadiran Mama, rumah ini berubah menjadi taman bunga yang Indah. Mama Astrid begitu menyukai bunga. Semua jenis bunga yang mahal ada di rumah ini. Dari mawar import, anggrek Kalimantan bahkan bunga-bunga yang lagi viral saat itu.

"Assalamualaikum," ucapku memberikan salam. Namun tak ada sedikit pun sahutan. Aku dan Ammar langsung masuk kedalam rumah. Ammar berlari menuju taman belakang. Ia suka melihat aquarium belakang yang berisi aneka ragam ikan.

Sedangkan aku mulai melangkahkan kaki menuju lantai atas. Baru saja kakiku sampai di tangga yang paling ujung. Telingaku mendengar suara Mama yang berbicara pada seseorang.

"Adu lucunya cucu Oma. Sini sayang, Oma pengen gendong. Cepat besar Qilla sayang, biar bisa ikut sama Oma," ujar Ibu di telepon itu. Begitu asik hingga tak menyadari kedatanganku. Dahiku berkerut saat tak sengaja menangkap sebuah suara anak balita yang sedang berceloteh. Sungguh tampak bahagia sekali wajahnya.

"Ma ... Mama sedang berbicara dengan siapa?" tanyaku menyelidik. Mama yang terkejut langsung refleks memutuskan sambungan telponnya secara sepihak.

"Eh ... kamu Nak, kapan datangnya? Kok Mama nggak dengar?" tanya Mama.

"Baru saja kok, Ma. Intan sudah dari tadi manggil, tapi nggak ada yang nyaut. Bibi mana? Kok rumah pada sepi?" tanyaku heran.

"Bibi balik kampung, pembantu baru juga baru akan datang hari ini."

"Loh, emang Bibi nggak kerja lagi di sini?" tanyaku. Sayang sekali jika Bi Imah berhenti kerja. Apa lagi dia sudah bekerja di rumah ini sejak aku kecil. Aku menyayangi Bik Imah sudah seperti ibuku sendiri. Dulu saat aku menikah dengan Mas Dika. Aku ingin membawa Bi Imah bersamaku. Sekarang Bi Imah malah pulang kampung.

"Kenapa Mama biarin Bibi Imah pulang kampung tanpa pamit sama aku?" tanyaku dengan nada sedih.

" Sudahkan Intan! Bi Imah itu sudah tua, dia juga ingin berkumpul bersama anak dan cucunya. Biarkan lah dia pulang. Toh ... tenaganya juga sudah tak ada lagi. Semua pekerjaan yang ia kerjakan tak ada yang beres lagi. Tenaganya sudah tak semaksimal seperti dulu." jelas Mama. Aku menganggukkan kepala tanda mengerti.

"Ayo kita duduk di bawah Nak! Ngapain kita berdiri di dekat balkon ini, ayo!" Aku dan Mama berjalan berdua menuju ruang tamu. Sedangkan Ammar sudah lebih dulu duduk santai sambil menonton televisi. Kartun kesukaannya.

"Suamimu kapan pulang, Tan?" tanya Mama padaku. Mama memilih duduk di sofa singgle sedangkan aku memilih duduk bersebelahan dengan putraku. Aku membuka toples yang ada di meja, meraih segenggam kacang telur yang menjadi cemilan favoritku dan juga Ayu.

"Kata Mas Dika padaku di telpon kemarin. Hari ini ia akan pulang, Ma. Penerbangan sore. Paling tengah malam ia sampai, kalau nggak ada kendala delay.

"Oh ... ya, Intan. Mama mau bicara sesuatu," ujar Mama tampak ragu-ragu. Aku yang sedang mengunyah kacang pun akhirnya menoleh.

Related chapters

  • Simpanan!   5. Penolakan.

    Ada apa, Ma? Kenapa wajah Mama tampak ragu gitu. Memangnya ada masalah berat apa?" desakku. "Gini Intan, Ayu bilang sama Mama. Ia terkena masalah di sana. Mobil yang ia kendarai menabrak orang, jadi dia harus ganti rugi yang cukup besar. Belum lagi adikmu itu kini terancam kena PHK. Mama bingung dapat uang dari mana untuk mengirimi Ayu. Kamu tahu sendiri kan biaya hidup Mama semenjak Papamu meninggal, hanya ngandalin kebun sawit yang tinggal beberapa jerat itu saja. Mana sekarang buahnya juga sudah mulai sedikit," keluhnya membuat aku memutar bola mata jengah. Gimana mau banyak buahnya, jika kebun itu hanya dipanen tanpa perawatan. Almarhum Papaku memang seorang pedagang hasil bumi. Ia juga memiliki puluhan hektar kebun sawit yang menghasilkan pundi-pundi masuk ke dalam rekening setiap bulan. Maka tak salah jika dulu Papa disebut juragan kebun sawit. Namun, semenjak bertemu dengan Astrid. Bisnis yang Papa bangun dengan susah payah justru habis tak bersisa. Kebun sawit yang puluhan h

    Last Updated : 2022-06-12
  • Simpanan!   6. Mencari tahu.

    Setelah perdebatan yang panjang dengan Ibu tiriku. Aku memilih untuk pulang. Siapa yang betah berlama-lama di sana. Jika hanya dicueki dan dihadapkan wajah yang asam. Seperti itulah dia, jika menginginkan sesuatu, maka aku harus diam dan menuruti. Sebenarnya aku sudah malas bertemu dengan Ibu tiriku itu. Tapi rumah yang ditinggalinya adalah rumah almarhum kedua orang tuaku. Jika aku tidak sekali-sekali datang dan mengawasi. Bisa saja kan, barang-barang yang ada dijualnya satu persatu. Jika jiwa belanja bergelora sedangkan dompet menderita, maka apapun dapat dilakukan hanya untuk memenuhinya. Buktinya, harta peninggalan almarhum Papa saja habis dijualnya satu persatu. Tak terasa sudah tiga hari Mas Dika pergi perjalanan bisnisnya. Dia bilang akan pusing malam ini. Aku sampai-sampai menyibukkan diri di dapur. Memasak makanan kesukaannya, hanya untuk menyambut kepulangannya. Namun nyatanya hingga jam dinding berdetak di pukul delapan malam pun. Belum juga ada hilal akan kedatangannya.

    Last Updated : 2022-06-12
  • Simpanan!   7. Barang siapa ini?

    "Ya udah Mas. Kamu mandi dulu sana! Kamu pasti lelah kan, aku siapkan makan siang?" tawarku. "Tak usah sayang, Mas sudah makan tadi sebelum penerbangan. Perut Mas juga masih kenyang. Mas mandi dulu, ya." Aku menatap Mas Dika penuh curiga. Suamiku itu pun berbalik menatapku. "Kamu kenapa sih sayang, dari tanya nanyanya sudah seperti wartawan lagi wawancara. Detail banget, nggak seperti biasanya seperti ini. Atau jangan-jangan ...,""Jangan-jangan apa, Mas?" sahutku penasaran. Mas Dika sedang bermain game tarik ulur padaku. Cup!Bukannya menjawab suamiku itu justru mengecup pipiku lembut. Aku melongo melihat tingkah konyolnya itu. "Kamu itu gemesin banget kalau lagi curiga gitu, sayang. Bikin Mas pengen gigit deh," selorohnya membuatku tersenyum. Suamiku ini memang paling bisa mencairkan suasana yang canggung menjadi romantis."Dasar nakal. Sudah mandi sana! Nanti keburu sore," usirku, Mas Dika pergi ke kamar mandi sambil terkekeh. Sedangkan Ammar sedari tadi sudah ke kamarnya. Tadi

    Last Updated : 2022-06-12
  • Simpanan!   8. Kumpul sama teman.

    Sejak makan malam tadi aku masih terus saja memikirkan perihal cincin itu. Aku masih menunggu siapa tahu Mas Dika masih menyembunyikannya padaku sebagai kejutan. Walau kenyataannya semua itu tak mungkin. Sejak pagi aku sudah berkutat di dapur, kebiasaan yang selalu aku lakukan selama 10 tahun menjadi istrinya. "Nyonya, ini mau dibuat apa?" tanya Bi Susi membuyarkan lamunanku. Aku yang sedang mengaduk sop di atas kompor pun menoleh. Bi Susi menunjukkan potongan daging kecil-kecil padaku. "Astagfirullah al'azim, Bi. Itu kan daging untuk sop. Yah ... udah aku masukin sayur ke dalam kuahnya. Bisa hancur sayurnya kalau daging baru dimasukkan," seruku. Gara-gara pikiranku entah kemana. Aku jadi tak konsentrasi atas apa yang aku masak. Sampai-sampai dagingnya lupa aku masukkan. Intan ... Intan, bagaimana dirimu ini. "Ya udah Bi, dagingnya Bibi rebus aja di presto, nanti kalau sudah empuk baru di satukan di sini. Untuk sementara waktu, kuahnya di matikan aja dulu. Mumpung sayurnya belum m

    Last Updated : 2022-06-15
  • Simpanan!   9. Mulai gelisah.

    "Ya elah ... anak gadis pembahasannya sudah nyerempet masalah kawin aja. Mentang-mentang udah dilamar orang. Cie ... cie," goda Laura membuat wajah Stevani memerah. Aku pun tersenyum mendengar kabar bahagia ini. Sedangkan Icha hanya diam dan sesekali tersenyum. Wanita itu memang yang paling kalem diantara kami ber-enam. Ia istri seorang pejabat daerah. Ia juga sudah memiliki dua orang putri cantik. Kembar berumur 3 tahun. Tutur kata yang lembut mendayu-dayu, serta wajah yang manis tampak begitu keibuan. "Akhirnya di antara kami, ada yang akan menjemput kebahagian. Aku berharap semoga pernikahanmu nanti sakinah, mawadah, dan warohmah. Pernikahan yang kekal yang menjadi dambaan setiap wanita," ujarku pada Stevani tulus. Wanita keturunan Tionghoa itu pun menatapku bahagia senyum lebar tergambar di wajahnya."Terima kasih banget ya doanya. Aku harap kalian semua harus datang di hari bahagiaku itu. Jangan ada yang nggak datang. Awas!" balas Stevani dengan nada sedikit mengancam di bagian

    Last Updated : 2022-06-15
  • Simpanan!   10. Mencari tahu.

    Suasana makan malam yang seharusnya menjadi membahagiakan, justru berubah menjadi dingin dan hambar. Aku tak banyak berbicara begitupun Mas Dika. Kami menikmati makan malam kami dengan santai. Padahal restoran ini mengusung konsep garden dengan lampu kerlap-kerlip di atasnya. Di dukung dengan penataan tanaman yang membawa suasana alam hutan dan spot hijau yang di penuhi banyak tanaman di dalamnya. Lantainya terbuat dari rumput sintetis yang serasi dengan pepohonan kecil yang menghiasi sekeliling restoran ini. Sungguh menyejukkan mata. Sangat indah dan romantis sekali suasananya.Suasana pun semakin syahdu dengan kolam ikan kecil yang berada di tengah-tengah restoran tersebut. Makanan yang di sajikan pun beragam. Bisa dinikmati segala kalangan. Baik anak-anak, remaja ataupun dewasa. Makanya selain anak muda, yang berkeluarga pun ada yang mengajak anggota keluarganya di sini. Aku sangat menyukai tempat ini. Ammar pun tampak nyaman dan sangat menikmati makanannya. "Tempatnya bagus M

    Last Updated : 2022-06-15
  • Simpanan!   11. Semakin curiga.

    Memasuki halaman perusahaan, aku langsung membelokkan mobilku ke wilayah parkiran. Memarkirkan mobilku dengan rapi dan berjejeran dengan mobil yang lain. Setelah turun dari mobil, aku langsung melangkahkan kaki ke arah Utara,menuju tempat di mana suamiku biasa memarkirkan mobilnya. Benar saja, mobil itu masih terparkir cantik di sana. Apa lagi sekarang sudah lewat jam makan siang. Apa suamiku makan di kantor? Tak biasanya Mas Dika selalu makan di kantor. Bukan kah dia biasanya anti makan di kantin kantor. Tapi kok mobil ini? Semua membuat hatiku merasa ganjal. Aku langsung bergegas menuju ruangan suamiku. Dari pada menduga-duga hal yang tak pasti. Maka aku lebih memilih mengeceknya sendiri. Bukannya tak percaya pada suami, tapi kata hati tak mungkin berbohong. Walau aku akui, sebagai suami. Mas Dika adalah suami yang romantis, pengertian dan sangat sempurna. Gelagatnya selama ini tak sedikit pun menunjukkan jika ia memiliki selingkuhan. Setiap aku menemukan kejanggalan, mas Dika m

    Last Updated : 2022-06-15
  • Simpanan!   12. Mendekati Irene.

    Pukul sepuluh lewat lima menit aku tiba di sekolahan Ammar dengan gamis yang rapi. Hari ini ada acara pertemuan wali murid yang diadakan setiap pembagian PTS (Penilaian Tengah Semester) siswa. Sesampainya di halaman sekolah, aku memarkirkan mobilku dengan rapi. Berjejeran dengan mobil-mobil para wali murid yang lain. Halaman depan sekolahan ini termasuk luas. Bisa menampung hingga 40 mobil. Sudah hampir selebar lapangan bola. Wajar saja, sekolah ini merupakan sekolah swasta yang terjamin akreditasinya.Guru-guru yang kompeten serta jumlah murid yang dibatasi setiap kelasnya membuat anakku nyaman bersekolah di sini. Satu kelas dengan dua guru, membuat anak-anak dapat terkontrol dengan baik. Yah ... walau kuakui, biaya sekolah di sini terbilang mahal. Kebanyakan yang bersekolah disini adalah anak-anak yang berasal dari golongan keluarga yang mampu. Aku berjalan santai di koridor sekolah, menuju kelas putraku. Kelas 2B yang berada di ujung koridor depan tiang bendera. "Irene?!" seruk

    Last Updated : 2022-06-15

Latest chapter

  • Simpanan!   121. Akhir yang Indah.

    Lagi-lagi aku dibuat tercengang dengan ide gila pria ini. Setelah aku menyetujui untuk menikah dengannya. Pernikahan kami di gelar dalam waktu tiga hari. Terdengar sangat tiba-tiba memang. Namun semuanya tampak siap, seolah sudah di persiapkan sebelumnya. Hanya tinggal mulutku berkata ia. Maka semuanya terlaksana bagai sulap.Bahkan sempat beredar rumor tak sedap yang mengatakan aku hamil duluan. Hanya karena pernikahanku yang di gelar begitu mendadak. Aku juga tak tahu dari mana rumor itu berasal. Namanya juga hidup bertetangga. Ada saja komentar yang terdengar. Aku menatap pantulan diriku di dalam cermin. Kebaya putih yang indah dengan hijab berwarna senada. Make up yang bagus membuat wajahku cantik sempurna. "Kamu cantik sekali, Nak!" puji Mama padaku. Aku menatap dan tersenyum padanya dari balik pantulan cermin. Aku gengam erat tangannya yang memegang pundakku. Ini memang pernikahan keduaku. Tapi gugupnya hampir sama dengan pernikahanku dulu. Bahkan lebih kentara lagi. Pintu

  • Simpanan!   120. Hutang yang harus dibayar.

    Aku tersentak kaget saat tangan Nini menggoyang tubuhku. Membuyarkan pikiran yang sejak tadi melayang entah kemana. "Mbak ... Mbak Intan! Mbak mikirin apa sih, Mbak?!" serunya padaku. Aku menoleh, menarik napasku yang terasa berat. "Nggak ada," jawabku singkat. Aku yang duduk di meja makan ini hanya menatapi makanan yang sudah Nini siapkan untukku. Tak ada yang aku sentuh. Selera makanku hilang entah kemana. "Mbak pasti mikirin Mas Langit, ya? Udah Mbak, kalau rindu bilang saja. Dari pada bengong gitu. Ayam tetanggaku di kampung, gara-gara bengong gitu selama tiga hari. Besoknya mati loh, Mbak. Kalau cinta bilang aja ok. Gitu aja kok susah Mbak," komentarnya padaku. Mataku melebar. "Kamu ngomong apa sih, Ni? Mbak nggak ngerti," elakku. Aku mengalihkan pandanganku darinya. Aku lagi malas beradu argumen dengan asisten rumah tanggaku ini. "Udah Mbak jangan malu sama Nini. Nini tu sebenarnya tahu. Sebenarnya Mbak tu cinta kan sama Mas Langit. Cuma Mbak Intan tu takut aja kalau Mas La

  • Simpanan!   119. Pasrah dengan Takdir.

    Hingga pagi menjelang, aku memaksa untuk pulang ke rumah. Demamku sudah turun. Sesampainya di rumah Mama menemaniku hingga ke kamar."Terima kasih, Ma," ucapku tulus. Aku duduk di pinggir ranjang menatapnya sayang. Tak ada amarah ataupun sakit hati. Semuanya sirna dengan kasih sayangnya. Mama menghela napas. Ia duduk di sampingku dan mengusap wajahku lembut. "Tak ada kata terima kasih untuk cinta seorang Ibu untuk anaknya. Sekarang istirahatlah ... jangan lagi menangis seperti itu Intan. Apalagi di makam Papamu sendirian seperti itu. Jika terjadi sesuatu padamu bagaimana?" "Bagaimana Mama bisa tahu aku ada di makam Papa?" tanyaku mulai mengingat kejadian itu. "Penjaga makam menelpon Mama dan memberitahukan keberadaanmu yang tergeletak pingsan di makam," jelas Mama. Ya, penjaga makam memang selalu aku bayar setiap bulan untuk menjaga Makam Papa. Itu sebabnya makam Papa bersih dan terawat. "Intan ... Mama dengar dari Nini, kamu akan pindah dalam minggu ini?" "Iya," jawabku singka

  • Simpanan!   118. Ziarah makam.

    Pukul dua siang, langkah kakiku terhenti di sebuah gapura tinggi. Berdiri kokoh dan bersanding dengan sebatang pohon beringin yang berdiri menantang memamerkan tubuhnya yang tinggi serta rimbun. Daun kering tertiup angin jatuh berguguran. Beberapa lembar jatuh di hadapanku. Lembarannya yang rapuh terinjak di kakiku meninggalkan bunyi patah.Bisikan nyanyian rindu menuntun langkah kakiku untuk terus melangkah maju. Menyusuri setiap jengkal tanah pemakaman melati. Rintik hujan yang mulai turun membasahi pipi bagai iring-iringan yang menyambut kedatanganku. Langit mendung seakan ikut merasakan kehampaan hati ini.Sebuah batu nisan yang di kelilingi keramik berwarna biru menjadi ujung tujuan langkah kakiku. Aku terdiam dengan mata yang berkaca-kaca. Kutekukkan kakiku, duduk di sudut pusara yang terawat ini. Setelah sekian lama, aku datang menemui cinta pertama yang selalu ada untukku di masa hidupnya. Dulu aku rutin datang kesini, minimal tiga bulan atau enam bulan sekali. Namun sejak d

  • Simpanan!   117. Jika tidak denganmu, maka tidak dengan yang lain.

    Dari rumah sakit aku mampir sejenak ke perusahaan. Menyelesaikan sebagian pekerjaanku. Sebagai pemilik sebuah perusahaan, aku masih memiliki tanggung jawab yang tak bisa aku tinggalkan. Pukul tujuh malam, mobilku terparkir cantik di halaman rumah. Aku turun dari mobil dan masuk ke rumah besar dengan bangunan arsitektur klasik. Rumah yang aku tempati selama puluhan tahun. Tak ada yang berubah dari rumah ini. Semuanya sama, dari dinding cat yang mendominasi warna-warna pastel dan putih. Kecuali bunga-bunga yang ditanam Mama yang berganti sesuai trend yang sedang hits saat ini.Aku memasuki rumah dan berjalan cepat ke ruang makan. Aku yakin semua sudah berkumpul di meja makan. "Selamat malam?" sapaku. "Kamu terlambat lagi, Kak?" ujar Elia padaku. Semuanya sedang makan dan menatap ke arahku yang baru saja tiba. Di samping Elia ada Emil–suaminya. Lelaki itu kerja sebagai pegawai bank swasta. Lalu di hadapan mereka, duduk seorang gadis kecil cantik yang tampak merenggut padaku. Aku mem

  • Simpanan!   116. Mengejar Cinta.

    Pov. Langit"Langit lepaskan!" ujarnya saat tautan bibir kami terlepas. Dekapan tangan ini masih sangat erat dan tak ingin terlepas. Deru nafas yang naik turun begitu memburu. Seakan berlomba-lomba meraup pasokan oksigen sebanyak-banyaknya. Aku tahu ini salah, aku tahu tak sepantasnya kau melakukan ini padanya. Tapi aku tak bisa mengalihkan pandanganku dari wajah cantiknya. Tak bertemu dengannya beberapa hari belakangan ini membuatku kehilangan nalarku saat ini. Apa pun yang berhubungan dengannya membuatku gila. Hanya ada namanya dan wajahnya yang memenuhi kepalaku saat ini. Detak jantungku dan dirinya kian berpacu berirama saling sahut-sahutan, membangkitkan gejolak rasa yang selama ini aku pendam dan kujaga dengan sangat hati-hati. Getaran itu masih sama, iramanya juga masih sama. Kubiarkan kupu-kupu menggelitikku. Membuatku terbuai dalam romansa indah, terbuai dengan irama asmara.Aku dekatkan keningnya dan keningku. Membiarkan punggungnya bersandar dengan pintu mobil. Bulu mat

  • Simpanan!   115. Penyesalan yang Terlambat.

    Sudah berkali-kali dan berhari-hari Mama mencoba meminta Maaf padaku. Berkali-kali aku juga diam. Kini keputusanku untuk pindah semakin kuat. Taka ada lagi yang perlu aku pertahankan lagi tinggal disini. Hidupku juga sudah selesai, resmi dengan status janda yang tersemat.Ammar juga kondisinya sudah semakin pulih. Ia juga sudah mulai bisa beraktivitas seperti biasanya. Hari ini aku bersiap-siap di depan cermin. Memoles sedikit make-up di wajahku yang pucat. Hari ini adalah jadwal control rutin Ammar. Kali ini aku tidak datang ke rumah sakit dimana Ammar operasi kemarin. Tapi pindah ke rumah sakit yang lain. Tentunya rumah sakit yang sama besarnya dan fasilitas yang lengkap tentunya. Setelah dirasa pantas, aku keluar kamar. Membantu Ammar untuk berjalan menuju mobil. Walaupun ia sudah agak mendingan, namun sesekali putraku kerap merasa nyeri di bagian dadanya. Untuk Langit, aku memang tidak dapat menjenguknya. Bukan berarti aku tidak terima kasih atas apa yang ia lakukan pada putrak

  • Simpanan!   114. Tertikam dari Belakang.

    "Kalau tidak kenapa, Ma?" Aku keluar dari persembunyianku menatap tajam Mama yang terkejut dan langsung mematikan sambungan telponnya. Kedua tanganku terkepal di kedua sisi tubuhku. "Intan ... sejak kapan kamu berada di situ, sayang?" tanya Mama gugup. Seperti penciri yang tertangkap basah dengan hasil curiannya. "Cukup lama untuk mendengar semua kebohongan Mama. Jadi benar apa yang dikatakan Bu Dahlia itu. Kenapa Mama lakukan ini padaku, Ma. Kenapa?!" teriakku penuh amarah. "Bukan begitu Intan, Maafkan Mama. Mama khilaf melakukan semua itu. Maafkan Mama, Nak. Kamu tahu sendiri saat itu Papa kamu mengalami krisis keuangan. Uang hasil panen sawit yang biasanya melimpah, tiba-tiba berkurang hampir setengahnya karena harga sawit turun. Sedangkan Mama saat itu tidak tahu kalau Papamu punya kebun lain yang dialihkan atas namamu. Uang yang di berikan Papamu tidak cukup,""Tidak cukup memenuhi keinginan Mama untuk foya-foya!" selaku sinis. "Bukan begitu, Intan. Dika menyukaimu sejak pe

  • Simpanan!   113. Tabir Masa Lalu.

    Kuusap kepala Ammar dengan lembut. Menemaninya hingga ia terbuai mimpi. Bocahku ini sangat suka diusap-usap kepalanya. Bahkan ia akan cepat tertidur jika aku perlakukan demikian.Setelah Ammar tidur, aku kembali keluar. Merenggangkan tangan serta badanku yang terasa remuk. Perutku juga lapar tapi aku tak mungkin pergi meninggalkan anakku seorang diri di kamar. Aku yang baru saja keluar dari kamar langsung beradu hidung dengan Mas Yoga."Apa aku mengganggumu. Kamu mau kemana? Mau membeli makanan?" tebaknya tepat. Setidaknya aku bisa meminta bantuannya untuk menjaga Ammar. "Iya Mas, aku lapar. Bisa minta tolong nggak, Mas? Tolong jagain Ammar sebentar," pintaku. "Untuk apa keluar ... ini aku bawakan makanan untukmu," Mas Yoga mengangkat plastik putih yang ia bawa ke dapan wajahku. Bau wangi dari bungkusan itu menggoda indra penciumanku. Membuat cacing di perutku semakin berdendang. Kata orang, jika rezeki tak akan lari walau hujan menerpa. Seperti itu juga lah rezekiku hari ini. P

DMCA.com Protection Status