Raka dan Lana berada di dalam mobil yang terparkir tak jauh dari tepi pantai. Hening malam hanya terpotong oleh suara deburan ombak yang menghantarkan aroma laut yang segar. Tangan mereka saling bertaut, merasakan detak jantung masing-masing tanpa perlu berkata-kata.Lana memejamkan matanya, mencoba meresapi momen ini, namun kesadaran akan keberadaan Raka di sampingnya membuatnya tidak bisa sepenuhnya hanyut. Sejak tadi, Raka terus memperhatikannya, membuatnya merasa tidak nyaman dengan intensitas tatapan pria itu.Setelah beberapa saat, Lana membuka mata dan memutuskan untuk mengakhiri keheningan. "Raka, berhentilah memperhatikan saya seperti itu."Raka hanya tersenyum, mengeratkan genggaman tangannya pada Lana. Tanpa berkata apa-apa lagi, Raka membungkuk dan mengecup bibir Lana dengan penuh gairah. Awalnya, ciuman itu lembut, tetapi seiring berjalannya waktu, Raka semakin intens, mengulum dan menghisap bibir Lana yang terbuka.Lana meresapi setiap sentuhan bibir Arshaka yang memabuk
“Hanya ada satu kamar yang tersisa,” jelas Raka pada Lana yang berdiri di belakangnya.Lana hanya terdiam, sejujurnya ia sudah sangat mengantuk karena sejak tadi mereka belum berhasil menemukan tempat penginapan. Entah mengapa beberapa penginapan dekat pantai yang mereka datangi sudah penuh. Lana sempat berpikir jika mungkin ini rencana Raka, namun ia segera menepis pikiran itu.“Mau cari penginapan lain saja?” tanya Lana, berusaha setenang mungkin.“Gunakanlah kamar itu, kamu pasti capek. Aku akan mencari tempat lain.” “Tapi, ini sudah larut malam. Lebih baik kamu tetap di sini,” sergah Lana sebelum Raka berbalik.“Kamu yakin? Aku nggak mau kamu merasa nggak nyaman.”“Biasanya juga kamu tidak peduli,” ujar Lana lalu melangkah ke tempat resepsionis dan memesan kamar. Raka menghampirinya dan segera membayar biaya pemesanan. Namun, Lana melarangnya.“Biar saya yang membayarnya,” kata Lana sambil menyodorkan kartu kreditnya.“Aku yang bawa kamu ke sini. Jadi, aku yang akan membayar. La
Raka membawa Lana untuk sarapan di luar, mencoba memberikan nuansa yang lebih santai pada hubungan mereka. Mobil Raka berhenti di depan salah satu toko bubur ayam di pinggir jalan. Mata Lana melebar dengan heran, tidak menyangka Raka akan membawanya ke sana.Raka tersenyum melihat ekspresi bingung Lana dan menoleh ke arahnya. "Kenapa? Kamu nggak mau turun?" tanya Raka sambil tersenyum lembut.Lana terdiam sejenak, lalu bertanya, "Kamu yakin mau sarapan di sini?""Kenapa nggak? Sarapan di sini juga enak, kok. Kamu nggak suka?"Lana masih tampak canggung, dan Raka kembali bertanya, "Belum pernah makan di pinggir jalan, ya?"Lana menggelengkan kepala dengan canggung. Sejak kecil, Lana selalu hidup dalam lingkungan yang berkecukupan, dan ibunya selalu melarangnya makan sembarangan. Tempat makan yang selalu dikunjungi Lana selalu tempat-tempat eksklusif dan mewah karena jabatan ayahnya sebagai direktur utama. "Kamu sudah pernah makan di sini sebelumnya?"Raka dengan santainya menggelengka
Lana melangkah dengan cepat di koridor rumah sakit, tanpa memperdulikan tatapan tajam dan kesal dari orang-orang yang bersinggungan dengan bahu dan tubuhnya. Dalam hatinya, kekhawatiran untuk Raka menyelimuti setiap langkahnya. Kabar bahwa pria itu berada di rumah sakit setelah terlibat pertengkaran di bar menggetarkan hati Lana. Segera setelah tiba di rumah sakit, Lana bergegas menuju ruang perawatan intensif tempat Raka dirawat. Wajahnya memucat ketika melihat kondisi Raka yang memar dan tangan yang patah. Lana berdiri di samping ranjangnya, menunggu dengan penuh kekhawatiran saat Raka tertidur. Namun, ketenangannya terusik oleh dering ponselnya. Cepat-cepat Lana mengambil ponselnya dan melihat panggilan masuk dari Rudi. Sesaat setelah mengangkatnya, suara Rudi terdengar di ujung telepon. "Kapan kamu akan pulang, Na? Lana menghela napas dan menjawab, "Sebentar lagi aku pulang, Rud.” Setelah berbicara dengan Rudi, Lana kembali ke sisi Raka. Ia melihat wajah lelaki itu yang tertid
Keesokan harinya, Lana bangun begitu pagi. Ia kembali ke kamar utama untuk mengambil baju kerjanya. Lana menatap Rudi yang masih terlelap di ranjang mereka. Untuk sesaat Lana termenung, lalu kemudian ia keluar dengan langkah hati-hati.Setelah mandi dan berganti pakaian kerjanya, Lana segera mengambil kunci mobilnya dan memanggil pembantunya.“Saya pergi dulu, Bi. Tolong siapkan makanan untuk Bapak. Kalau dia tanya, jawab saja saya sudah pergi kerja.”“Baik, Bu,” jawab Imah dengan patuh, meskipun dalam hatinya ia merasa heran karena tidak biasanya majikannya itu berangkat kerja sepagi ini. Namun, Imah hanya diam saja, dia tidak mau memberikan komentar apa pun. “Tolong bersihkan kamar tamu di bawah juga ya, Bi. Terima kasih.”Tanpa menunggu respon Bi Imah, Lana sudah keburu pergi. Ia menghidupkan mesin mobilnya dan melajukan kendaraannya di jalanan yang masih belum terlalu ramai.Lana menyempatkan diri datang ke rumah sakit. Namun, ia hanya berdiam diri di mobilnya menatap para petuga
Rudi terbangun, ia menatap ke samping tempat tidur dan tidak menemukan istrinya. Rudi kembali mengingat pertengkarannya dengan Lana yang membuat istrinya bermalam di kamar lainnya. Rudi turun dari ranjang, ia memilih untuk menyegarkan dirinya dan baru menemui Lana.Setelah rapi dengan setelan kerjanya, Rudi turun ke bawah. Ia masuk ke kamar tamu dan tidak menemukan istrinya di sana. Rudi menatap jam di tangannya yang menunjukkan pukul enam lewat lima belas pagi. Tidak mungkin Lana pergi sepagi ini, pikir Rudi. Rudi mencari Lana di sekitar ruangan sampai ke dapur. Namun, bukannya menemui Lana yang ia lihat hanya Bi Imah yang menatapnya dengan heran. “Bapak sudah mau berangkat kerja?” tanya Bi Imah dengan terheran-heran. “Bibi lihat Lana?” tanya Rudi tanpa menghiraukan pertanyaan Imah.“Ibu sudah berangkat ke kantor, Pak,” jawab Imah dengan hati-hati ketika melihat raut kekecewaan di wajah majikannya. “Apa Lana menitipkan pesan?” tanya Rudi sambil melihat jam tangannya.“Ibu hanya me
Setelah pertemuannya dengan wakil dari MJ Group guna membahas tentang kerja sama pengembangan proyek hotel baru yang akan segera dilakukan, Lana termenung di tempatnya. Ia memikirkan tentang bagaimana cara mengungkap perselingkuhan Rudi dan Sandra. Cukup lama Lana duduk seorang diri, entah sudah berapa pria yang datang mendekatinya hanya untuk sekadar basa-basi atau berkenalan. Tidak peduli jika Lana sudah bersikap dingin dan juga sengaja memperlihatkan cincin pernikahannya. Tetap saja pria-pria itu mendekatinya dengan terang-terangan. Lana berpikir dalam waktu yang lama. Jika pria-pria itu berani mendekatinya saat tahu dirinya sudah menikah. Bagaimana nanti saat dirinya sudah resmi bercerai? Tiba-tiba bayangan Raka yang akan menjaganya dan siap berkelahi dengan pria yang berani mendekatinya, menyeruak ke dalam pikirannya. Akhirnya, setelah memikirkannya dengan matang. Lana memilih untuk datang menemui Sandra. Ia juga mengirimkan lokasinya kepada Rudi. “Apa saya boleh masuk?” tunt
Lana duduk di meja kerjanya dengan mata yang lelah setelah berjam-jam terpaku pada tumpukan pekerjaan yang menumpuk. Rasanya sudah berbulan-bulan ini hidupnya seperti berada dalam siklus tak berujung dari pekerjaan dan tanggung jawab barunya. Prahara rumah tangganya dengan Rudi pun masih belum bisa terselesaikan. Lana sengaja menghindari Rudi selama beberapa waktu. Ponselnya bergetar, mengalihkan perhatiannya dari laporan keuangan yang membuatnya penat. Panggilan itu dari Raka dan Lana langsung menjawabnya. “Ambil cuti segera, aku sudah menyiapkan perjalanan ke Swiss untuk kita. Lepaskan semua beban pikiranmu di sana.” Lana menatap ke depan dengan ekspresi ragu. Cuti? Pergi ke Swiss? Itu terdengar menggoda, tapi beban pekerjaan yang melingkupinya membuatnya ragu untuk mengambil keputusan tersebut. "Raka, kamu tahu betapa banyaknya pekerjaan yang harus saya selesaikan. Saya tidak bisa begitu saja mengambil cuti," ujar Lana, mencoba memberikan alasan.“Untuk apa kamu takut, mereka
Saat salah satu perawat membuka bagian depan pakaian rumah sakit Lana, Lana merasakan udara ruangan menyapu lembut di sekeliling tubuhnya. Dia menatap Sera, bayi mungilnya, yang sekarang berada di dadanya. Detik itu, dunia di sekitarnya seakan melambat. Kulit Sera yang halus menyentuh kulitnya, menghadirkan kehangatan yang begitu mengalirkan kebahagiaan ke dalam hati Lana.Raka, yang sejak awal berdiri di sampingnya, menyaksikan momen ini dengan mata yang dipenuhi dengan kekaguman. Dia bisa melihat pancaran kebahagiaan dan cinta yang begitu kuat dari istrinya ketika Lana memeluk Sera dengan lembut. Napas lega keluar dari dadanya, seolah melepaskan semua kekhawatiran dan kecemasan yang telah membebani bahunya selama proses persalinan.Dengan perlahan, Raka meraih tangan Lana yang bebas dan menggenggamnya erat. Dia bisa merasakan getaran kebahagiaan dan kelegaan dari tubuh istrinya."Dia cantik, ya?" tanya Lana dengan suara yang penuh kebanggaan.Raka tersenyum, matanya masih tertuju pa
Raka merasakan tekanan yang begitu besar menindih dadanya saat dia melihat Lana sedang berjuang dengan rasa sakit yang begitu hebat. Dia hampir tidak bisa menahan diri untuk tidak mencengkram tangannya erat-erat ketika melihat keringat membasahi wajah cantik istrinya. Setiap desahan dan setiap rintihan dari Lana menusuk hatinya dengan tajam, membuatnya merasa tak berdaya.Proses persalinan telah berlangsung hampir dua puluh empat jam, dan rasa sakit yang Lana rasakan semakin terasa intens. Raka merasa hampir tidak tahan melihat istrinya dalam keadaan seperti itu. Rasa khawatir Raka semakin bertambah karena usia Lana yang sudah mencapai lebih dari empat puluh tahun. Segala kemungkinan bisa saja terjadi, dan itu membuat Raka merasa takut kehilangan Lana. Namun, dia mencoba menepis semua pikiran negatif itu, berusaha untuk tetap kuat demi Lana dan bayi mereka.Ketika dokter kandungan, Dr. Hernandez, yang menangani Lana kembali memeriksa kondisi istrinya, Raka menghampiri dengan langkah
Malam itu, suasana Miami begitu hangat dengan angin sepoi-sepoi yang mengalun lembut. Raka memutuskan untuk mengajak Lana makan malam romantis di sebuah restoran yang menyajikan pemandangan pantai yang menakjubkan. Saat mereka tiba di restoran, cahaya lampu gemerlap yang memantul di atas ombak memberikan nuansa yang begitu magis.Raka menggandeng tangan Lana sambil tersenyum lebar, matanya penuh dengan kelembutan saat menatap istrinya. "Ini malam yang sempurna, Sayang," ucapnya dengan suara lembut.Lana tersenyum sambil mengangguk setuju, matanya bersinar cerah. "Iya, ini begitu indah," sahutnya, memandang sekeliling dengan penuh kekaguman.Selama makan malam, Raka dan Lana terlihat begitu mesra. Mereka tertawa, berbagi cerita, dan saling bercanda seperti dulu kala. Sudah lama mereka tidak menikmati momen seperti ini bersama-sama.Tiba-tiba, Raka menyelinapkan sesuatu dari saku celananya. Sebuah kotak kecil berwarna biru terpampang di hadapan Lana. Mata Lana membulat kaget saat meliha
Raka merasa sangat menyukai perut Lana yang semakin membesar, karena menandakan bahwa sebentar lagi wanita itu akan melahirkan putri mereka. Terlepas dari semua masalah yang terjadi, Raka berjanji pada dirinya sendiri bahwa Lana akan menjadi satu-satunya wanita dalam hidupnya dan ibu dari anak-anaknya."Merasakan tubuhmu adalah pengingat sempurna bagiku, Lana," ucap Raka dengan suara penuh kehangatan. "Kamu begitu luar biasa, dan aku sangat beruntung memilikimu sebagai istriku."Sambil berhati-hati supaya tidak menekan perut Lana, Raka menumpukan berat tubuhnya ke siku dan lutut, kemudian memosisikan Lana dengan lembut. "Kamu baik-baik saja, Sayang?" tanyanya dengan penuh perhatian.Lana tersenyum lembut, merasakan kehangatan dari dekapan Raka. "Aku baik-baik saja, Raka," jawabnya sambil mengangguk. "Aku bahagia bisa bersamamu."Raka tersenyum puas mendengarnya, lalu tiba-tiba sebuah pertanyaan muncul dalam pikirannya. "Nama apa yang akan kita berikan untuk putri kita, Lana?" tanyanya
Setelah bermain dan menemani Aiden tidur, Raka melangkah dengan langkah-hati menemui Lana di kamarnya. Saat itu Lana sedang duduk di ranjang, membaca bukunya dengan ekspresi campuran antara konsentrasi dan kekosongan. Jejak-jejak air mata di sudut matanya masih terlihat meskipun dia berusaha menyembunyikannya.Saat Raka masuk, Lana meletakkan bukunya dengan lembut dan memandang ke arah Raka. Untuk sesaat, pandangan mereka bertemu. Sorot mata mereka menampilkan rasa penyesalan dan kerinduan yang tak terucapkan.Raka mendekati Lana dengan langkah perlahan, lalu memeluknya dengan penuh kerinduan. Lana membalas pelukan itu dengan erat, membenamkan wajahnya di dada Raka sambil menangis tersedu-sedu. "Maafkan aku, Raka... aku begitu bodoh dan egois," bisiknya dengan suara tercekat oleh tangis.Raka melepaskan pelukannya, lalu menghapus air mata Lana dengan lembut menggunakan jemarinya yang hangat. "Tidak, Lana... aku yang seharusnya minta maaf. Aku harusnya lebih sabar dan lebih memahami,"
Sudah hampir enam bulan sejak Lana dan Aiden pergi meninggalkannya. Setiap hari, Raka merasa kehidupannya terasa hampa dan menyakitkan. Awalnya, dia merasa marah atas kepergian mereka, tetapi seiring berjalannya waktu, perasaan itu berubah menjadi rindu yang mendalam. Raka menyadari bahwa dia sangat merindukan kehadiran Lana dan Aiden di dalam hidupnya.Mencari cara untuk menemukan mereka, Raka akhirnya memutuskan untuk menyewa detektif swasta. Setiap hari, dia menantikan kabar dari detektifnya, berharap bisa mendapatkan petunjuk keberadaan Lana dan Aiden.Setelah berbulan-bulan menunggu dengan sabar, akhirnya detektif memberikan kabar bahwa mereka telah menemukan keberadaan Lana dan Aiden."Apakah kamu sudah mendapatkan informasi yang dibutuhkan?" tanya Raka tanpa bisa menyembunyikan kegelisahannya.Detektif itu mengangguk. "Ya, Pak. Saya telah berhasil menemukan alamat anak dan istri Anda."Raka merasakan lega yang begitu besar. "Bagus. Di mana mereka berada?"Detektif itu memberika
Setelah percakapan yang menyakitkan di dalam mobil, Lana merasa semakin yakin bahwa keputusannya untuk meninggalkan Raka adalah yang terbaik bagi dirinya dan Aiden. Meskipun hatinya hancur, dia merasa bahwa dia harus melindungi dirinya sendiri dan anaknya.Ketika mereka tiba di kantor Raka, Lana berusaha menahan tangisnya saat berpisah dengan pria yang pernah dia cintai. Dia memberikan senyuman tipis, mencoba menyembunyikan rasa sakitnya di balik topeng ketegasan.Setelah berpisah dengan Raka, Lana segera kembali ke rumah dan mulai mempersiapkan semuanya untuk pergi. Dia mengemasi beberapa barangnya dan Aiden, bersiap-siap untuk meninggalkan semua kenangan yang ada di rumah itu.Saat siang menjelang, Lana menjemput Aiden dari sekolah. Anak itu senang melihat ibunya datang menjemputnya. Namun, kegembiraannya segera reda saat Aiden menyadari bahwa papanya tidak ikut."Mama!" serunya gembira sambil berlari mendekati Lana.“Hai, Sayang,” sapa Lana sambil menggendong Aiden dan membawanya m
Lana merasakan beban yang tak terlukiskan di dadanya semakin berat ketika melihat Raka dan Aiden berdua. Meskipun berusaha menunjukkan wajah tenang, dalam hati, dia merasa hancur. Momen-momen seperti ini membuatnya semakin yakin bahwa keputusan yang akan dia ambil tidak akan mudah.Saat Raka mencium Aiden sebelum berangkat, Lana merasa seperti hatinya hancur berkeping-keping. Dia ingin menangis, ingin berteriak, tapi dia harus bertahan. Dia tidak bisa menunjukkan kerapuhannya di depan Raka, terutama di depan Aiden.Ketika Raka mendekatinya dan mencium pipinya, Lana hampir tak kuasa menahan air matanya yang ingin tumpah. Dia merasakan getaran perasaan campur aduk di dalam dirinya. Cinta, penyesalan, ketakutan, dan keputusasaan bersatu dalam satu rasa."Selamat pagi," kata Raka dengan senyum tipis yang mencoba menutupi ketegangan di antara mereka."Selamat pagi," jawab Lana dengan suara yang hampir bergetar.Aiden, yang tak menyadari keadaan tegang di antara kedua orang tuanya, tersenyu
Raka menatap tajam Lana, tatapannya penuh dengan kekecewaan dan kemarahan yang sulit disembunyikan. "Bagaimana kau bisa melakukan ini kepadaku dan Aiden, Lana?" desisnya dengan suara penuh amarah, matanya menyala dengan api kemarahan. "Apakah belum cukup bagimu untuk mengkhianatiku dan pernikahan kita dengan menjalin hubungan kembali bersamanya?"Lana merasa dadanya terasa sesak mendengar kata-kata suaminya itu. Dia menatap Raka dengan tatapan penuh penyesalan. "Raka, aku tidak pernah bermaksud menyakitimu atau Aiden," ucapnya dengan suara yang penuh dengan kehancuran.Raka menatap Lana dengan penuh kekecewaan. "Kamu pikir aku bodoh, Lana?" bentaknya dengan suara gemetar. "Aku melihat semuanya dengan mata kepalaku sendiri. Jangan mencoba membodohiku dengan alasan-alasan yang malah membuatku semakin...."Lana menyela, "Aku tidak berbohong, Raka," ujarnya dengan suara yang rapuh. "Apa yang kamu lihat di restoran itu, itu tidak seperti yang kamu kira. Semuanya hanya kesalahpahaman."Raka