Raka membawa Lana untuk sarapan di luar, mencoba memberikan nuansa yang lebih santai pada hubungan mereka. Mobil Raka berhenti di depan salah satu toko bubur ayam di pinggir jalan. Mata Lana melebar dengan heran, tidak menyangka Raka akan membawanya ke sana.Raka tersenyum melihat ekspresi bingung Lana dan menoleh ke arahnya. "Kenapa? Kamu nggak mau turun?" tanya Raka sambil tersenyum lembut.Lana terdiam sejenak, lalu bertanya, "Kamu yakin mau sarapan di sini?""Kenapa nggak? Sarapan di sini juga enak, kok. Kamu nggak suka?"Lana masih tampak canggung, dan Raka kembali bertanya, "Belum pernah makan di pinggir jalan, ya?"Lana menggelengkan kepala dengan canggung. Sejak kecil, Lana selalu hidup dalam lingkungan yang berkecukupan, dan ibunya selalu melarangnya makan sembarangan. Tempat makan yang selalu dikunjungi Lana selalu tempat-tempat eksklusif dan mewah karena jabatan ayahnya sebagai direktur utama. "Kamu sudah pernah makan di sini sebelumnya?"Raka dengan santainya menggelengka
Lana melangkah dengan cepat di koridor rumah sakit, tanpa memperdulikan tatapan tajam dan kesal dari orang-orang yang bersinggungan dengan bahu dan tubuhnya. Dalam hatinya, kekhawatiran untuk Raka menyelimuti setiap langkahnya. Kabar bahwa pria itu berada di rumah sakit setelah terlibat pertengkaran di bar menggetarkan hati Lana. Segera setelah tiba di rumah sakit, Lana bergegas menuju ruang perawatan intensif tempat Raka dirawat. Wajahnya memucat ketika melihat kondisi Raka yang memar dan tangan yang patah. Lana berdiri di samping ranjangnya, menunggu dengan penuh kekhawatiran saat Raka tertidur. Namun, ketenangannya terusik oleh dering ponselnya. Cepat-cepat Lana mengambil ponselnya dan melihat panggilan masuk dari Rudi. Sesaat setelah mengangkatnya, suara Rudi terdengar di ujung telepon. "Kapan kamu akan pulang, Na? Lana menghela napas dan menjawab, "Sebentar lagi aku pulang, Rud.” Setelah berbicara dengan Rudi, Lana kembali ke sisi Raka. Ia melihat wajah lelaki itu yang tertid
Keesokan harinya, Lana bangun begitu pagi. Ia kembali ke kamar utama untuk mengambil baju kerjanya. Lana menatap Rudi yang masih terlelap di ranjang mereka. Untuk sesaat Lana termenung, lalu kemudian ia keluar dengan langkah hati-hati.Setelah mandi dan berganti pakaian kerjanya, Lana segera mengambil kunci mobilnya dan memanggil pembantunya.“Saya pergi dulu, Bi. Tolong siapkan makanan untuk Bapak. Kalau dia tanya, jawab saja saya sudah pergi kerja.”“Baik, Bu,” jawab Imah dengan patuh, meskipun dalam hatinya ia merasa heran karena tidak biasanya majikannya itu berangkat kerja sepagi ini. Namun, Imah hanya diam saja, dia tidak mau memberikan komentar apa pun. “Tolong bersihkan kamar tamu di bawah juga ya, Bi. Terima kasih.”Tanpa menunggu respon Bi Imah, Lana sudah keburu pergi. Ia menghidupkan mesin mobilnya dan melajukan kendaraannya di jalanan yang masih belum terlalu ramai.Lana menyempatkan diri datang ke rumah sakit. Namun, ia hanya berdiam diri di mobilnya menatap para petuga
Rudi terbangun, ia menatap ke samping tempat tidur dan tidak menemukan istrinya. Rudi kembali mengingat pertengkarannya dengan Lana yang membuat istrinya bermalam di kamar lainnya. Rudi turun dari ranjang, ia memilih untuk menyegarkan dirinya dan baru menemui Lana.Setelah rapi dengan setelan kerjanya, Rudi turun ke bawah. Ia masuk ke kamar tamu dan tidak menemukan istrinya di sana. Rudi menatap jam di tangannya yang menunjukkan pukul enam lewat lima belas pagi. Tidak mungkin Lana pergi sepagi ini, pikir Rudi. Rudi mencari Lana di sekitar ruangan sampai ke dapur. Namun, bukannya menemui Lana yang ia lihat hanya Bi Imah yang menatapnya dengan heran. “Bapak sudah mau berangkat kerja?” tanya Bi Imah dengan terheran-heran. “Bibi lihat Lana?” tanya Rudi tanpa menghiraukan pertanyaan Imah.“Ibu sudah berangkat ke kantor, Pak,” jawab Imah dengan hati-hati ketika melihat raut kekecewaan di wajah majikannya. “Apa Lana menitipkan pesan?” tanya Rudi sambil melihat jam tangannya.“Ibu hanya me
Setelah pertemuannya dengan wakil dari MJ Group guna membahas tentang kerja sama pengembangan proyek hotel baru yang akan segera dilakukan, Lana termenung di tempatnya. Ia memikirkan tentang bagaimana cara mengungkap perselingkuhan Rudi dan Sandra. Cukup lama Lana duduk seorang diri, entah sudah berapa pria yang datang mendekatinya hanya untuk sekadar basa-basi atau berkenalan. Tidak peduli jika Lana sudah bersikap dingin dan juga sengaja memperlihatkan cincin pernikahannya. Tetap saja pria-pria itu mendekatinya dengan terang-terangan. Lana berpikir dalam waktu yang lama. Jika pria-pria itu berani mendekatinya saat tahu dirinya sudah menikah. Bagaimana nanti saat dirinya sudah resmi bercerai? Tiba-tiba bayangan Raka yang akan menjaganya dan siap berkelahi dengan pria yang berani mendekatinya, menyeruak ke dalam pikirannya. Akhirnya, setelah memikirkannya dengan matang. Lana memilih untuk datang menemui Sandra. Ia juga mengirimkan lokasinya kepada Rudi. “Apa saya boleh masuk?” tunt
Lana duduk di meja kerjanya dengan mata yang lelah setelah berjam-jam terpaku pada tumpukan pekerjaan yang menumpuk. Rasanya sudah berbulan-bulan ini hidupnya seperti berada dalam siklus tak berujung dari pekerjaan dan tanggung jawab barunya. Prahara rumah tangganya dengan Rudi pun masih belum bisa terselesaikan. Lana sengaja menghindari Rudi selama beberapa waktu. Ponselnya bergetar, mengalihkan perhatiannya dari laporan keuangan yang membuatnya penat. Panggilan itu dari Raka dan Lana langsung menjawabnya. “Ambil cuti segera, aku sudah menyiapkan perjalanan ke Swiss untuk kita. Lepaskan semua beban pikiranmu di sana.” Lana menatap ke depan dengan ekspresi ragu. Cuti? Pergi ke Swiss? Itu terdengar menggoda, tapi beban pekerjaan yang melingkupinya membuatnya ragu untuk mengambil keputusan tersebut. "Raka, kamu tahu betapa banyaknya pekerjaan yang harus saya selesaikan. Saya tidak bisa begitu saja mengambil cuti," ujar Lana, mencoba memberikan alasan.“Untuk apa kamu takut, mereka
Lana membuka matanya dan melihat Raka berada di sampingnya. Wajah pria itu sangat damai dan parasnya begitu tampan menurutnya. Lana mengulurkan tangannya untuk membelai wajah Raka dengan lembut dan hangat. Lana menyukai sensasi ketika tangannya bertemu dengan wajah pria itu, mulai dari pipinya, alisnya, hidung, dan terakhir jari-jarinya berhenti di atas bibir Raka. Lana terkejut saat tiba-tiba Raka menggigit jarinya. “Selamat pagi, Sayang,” sapa Raka sambil menatap wajah Lana.“Pagi,” balas Lana dengan singkat. Ia mencoba menarik tangannya, tetapi Raka malah menariknya dengan cepat lalu menciumnya dan menggigitnya beberapa kali.“Raka!” seru Lana dengan gemas. “Salahnya malah membangunkan macan yang sedang tidur.” Raka menarik tubuh Lana mendekat lalu bibirnya mencium bibir wanita itu dengan lembut.“Sebaiknya kita bangun sekarang dan mencari sarapan,” ujar Lana dengan napas terengah setelah Raka melepaskannya. “Bersiaplah, kita akan berpetualang lagi hari ini,” ujar Raka dengan se
Setelah makan malam, Raka mengajak Lana untuk naik kereta gantung menuju puncak gunung. Lana, yang awalnya ragu, akhirnya setuju. Pemandangan dari ketinggian itu luar biasa. Pegunungan bersalju, lembah yang hijau, dan desa Zermatt yang terlihat kecil di bawah mereka menciptakan pemandangan yang tak terlupakan.Malam itu, Lana dan Raka memutuskan untuk bermalam di Zermatt. Mereka menginap di sebuah cottage kecil yang terletak di tepi desa. Lana termenung cukup lama di tempat tidurnya sambil menunggu Raka keluar dari kamar mandi. Sepanjang jalan yang menyenangkan Lana hanya memikirkan Raka.Setelah melihat bagaimana cara pria itu memperlakukannya. Lana seolah semakin memiliki keyakinan untu memilihnya. Tiba-tiba saja Lana merasa gugup. Ada apa dengan dirinya sebenarnya? “Kamu kenapa?” tanya Raka yang tiba-tiba muncul di samping Lana dan membuyarkan lamunannya.“Hah?” Lana menoleh ke arah pria itu.Raka yang gemas melihat wajah Lana langsung mendekatkan diri dan mengecup bibir wanita it