Keesokan harinya, Lana bangun begitu pagi. Ia kembali ke kamar utama untuk mengambil baju kerjanya. Lana menatap Rudi yang masih terlelap di ranjang mereka. Untuk sesaat Lana termenung, lalu kemudian ia keluar dengan langkah hati-hati.Setelah mandi dan berganti pakaian kerjanya, Lana segera mengambil kunci mobilnya dan memanggil pembantunya.“Saya pergi dulu, Bi. Tolong siapkan makanan untuk Bapak. Kalau dia tanya, jawab saja saya sudah pergi kerja.”“Baik, Bu,” jawab Imah dengan patuh, meskipun dalam hatinya ia merasa heran karena tidak biasanya majikannya itu berangkat kerja sepagi ini. Namun, Imah hanya diam saja, dia tidak mau memberikan komentar apa pun. “Tolong bersihkan kamar tamu di bawah juga ya, Bi. Terima kasih.”Tanpa menunggu respon Bi Imah, Lana sudah keburu pergi. Ia menghidupkan mesin mobilnya dan melajukan kendaraannya di jalanan yang masih belum terlalu ramai.Lana menyempatkan diri datang ke rumah sakit. Namun, ia hanya berdiam diri di mobilnya menatap para petuga
Rudi terbangun, ia menatap ke samping tempat tidur dan tidak menemukan istrinya. Rudi kembali mengingat pertengkarannya dengan Lana yang membuat istrinya bermalam di kamar lainnya. Rudi turun dari ranjang, ia memilih untuk menyegarkan dirinya dan baru menemui Lana.Setelah rapi dengan setelan kerjanya, Rudi turun ke bawah. Ia masuk ke kamar tamu dan tidak menemukan istrinya di sana. Rudi menatap jam di tangannya yang menunjukkan pukul enam lewat lima belas pagi. Tidak mungkin Lana pergi sepagi ini, pikir Rudi. Rudi mencari Lana di sekitar ruangan sampai ke dapur. Namun, bukannya menemui Lana yang ia lihat hanya Bi Imah yang menatapnya dengan heran. “Bapak sudah mau berangkat kerja?” tanya Bi Imah dengan terheran-heran. “Bibi lihat Lana?” tanya Rudi tanpa menghiraukan pertanyaan Imah.“Ibu sudah berangkat ke kantor, Pak,” jawab Imah dengan hati-hati ketika melihat raut kekecewaan di wajah majikannya. “Apa Lana menitipkan pesan?” tanya Rudi sambil melihat jam tangannya.“Ibu hanya me
Setelah pertemuannya dengan wakil dari MJ Group guna membahas tentang kerja sama pengembangan proyek hotel baru yang akan segera dilakukan, Lana termenung di tempatnya. Ia memikirkan tentang bagaimana cara mengungkap perselingkuhan Rudi dan Sandra. Cukup lama Lana duduk seorang diri, entah sudah berapa pria yang datang mendekatinya hanya untuk sekadar basa-basi atau berkenalan. Tidak peduli jika Lana sudah bersikap dingin dan juga sengaja memperlihatkan cincin pernikahannya. Tetap saja pria-pria itu mendekatinya dengan terang-terangan. Lana berpikir dalam waktu yang lama. Jika pria-pria itu berani mendekatinya saat tahu dirinya sudah menikah. Bagaimana nanti saat dirinya sudah resmi bercerai? Tiba-tiba bayangan Raka yang akan menjaganya dan siap berkelahi dengan pria yang berani mendekatinya, menyeruak ke dalam pikirannya. Akhirnya, setelah memikirkannya dengan matang. Lana memilih untuk datang menemui Sandra. Ia juga mengirimkan lokasinya kepada Rudi. “Apa saya boleh masuk?” tunt
Lana duduk di meja kerjanya dengan mata yang lelah setelah berjam-jam terpaku pada tumpukan pekerjaan yang menumpuk. Rasanya sudah berbulan-bulan ini hidupnya seperti berada dalam siklus tak berujung dari pekerjaan dan tanggung jawab barunya. Prahara rumah tangganya dengan Rudi pun masih belum bisa terselesaikan. Lana sengaja menghindari Rudi selama beberapa waktu. Ponselnya bergetar, mengalihkan perhatiannya dari laporan keuangan yang membuatnya penat. Panggilan itu dari Raka dan Lana langsung menjawabnya. “Ambil cuti segera, aku sudah menyiapkan perjalanan ke Swiss untuk kita. Lepaskan semua beban pikiranmu di sana.” Lana menatap ke depan dengan ekspresi ragu. Cuti? Pergi ke Swiss? Itu terdengar menggoda, tapi beban pekerjaan yang melingkupinya membuatnya ragu untuk mengambil keputusan tersebut. "Raka, kamu tahu betapa banyaknya pekerjaan yang harus saya selesaikan. Saya tidak bisa begitu saja mengambil cuti," ujar Lana, mencoba memberikan alasan.“Untuk apa kamu takut, mereka
Lana membuka matanya dan melihat Raka berada di sampingnya. Wajah pria itu sangat damai dan parasnya begitu tampan menurutnya. Lana mengulurkan tangannya untuk membelai wajah Raka dengan lembut dan hangat. Lana menyukai sensasi ketika tangannya bertemu dengan wajah pria itu, mulai dari pipinya, alisnya, hidung, dan terakhir jari-jarinya berhenti di atas bibir Raka. Lana terkejut saat tiba-tiba Raka menggigit jarinya. “Selamat pagi, Sayang,” sapa Raka sambil menatap wajah Lana.“Pagi,” balas Lana dengan singkat. Ia mencoba menarik tangannya, tetapi Raka malah menariknya dengan cepat lalu menciumnya dan menggigitnya beberapa kali.“Raka!” seru Lana dengan gemas. “Salahnya malah membangunkan macan yang sedang tidur.” Raka menarik tubuh Lana mendekat lalu bibirnya mencium bibir wanita itu dengan lembut.“Sebaiknya kita bangun sekarang dan mencari sarapan,” ujar Lana dengan napas terengah setelah Raka melepaskannya. “Bersiaplah, kita akan berpetualang lagi hari ini,” ujar Raka dengan se
Setelah makan malam, Raka mengajak Lana untuk naik kereta gantung menuju puncak gunung. Lana, yang awalnya ragu, akhirnya setuju. Pemandangan dari ketinggian itu luar biasa. Pegunungan bersalju, lembah yang hijau, dan desa Zermatt yang terlihat kecil di bawah mereka menciptakan pemandangan yang tak terlupakan.Malam itu, Lana dan Raka memutuskan untuk bermalam di Zermatt. Mereka menginap di sebuah cottage kecil yang terletak di tepi desa. Lana termenung cukup lama di tempat tidurnya sambil menunggu Raka keluar dari kamar mandi. Sepanjang jalan yang menyenangkan Lana hanya memikirkan Raka.Setelah melihat bagaimana cara pria itu memperlakukannya. Lana seolah semakin memiliki keyakinan untu memilihnya. Tiba-tiba saja Lana merasa gugup. Ada apa dengan dirinya sebenarnya? “Kamu kenapa?” tanya Raka yang tiba-tiba muncul di samping Lana dan membuyarkan lamunannya.“Hah?” Lana menoleh ke arah pria itu.Raka yang gemas melihat wajah Lana langsung mendekatkan diri dan mengecup bibir wanita it
Raka berbalik, dibelainya wajah Lana dengan mesra. Wanita itu tidak menolaknya, matanya terpejam seolah menikmati sentuhan Raka. “Aku nggak akan pergi meski kamu usir sekalipun,” bisik Raka sambil membelai rambut Lana yang tergerai. “Aku harap kamu akan melakukan hal yang sama. Jangan pernah tinggalkan aku, Lana.”Lana hanya mampu menganggukan kepalanya. Gelombang kebahagian dan kecemasan datang ke dalam relung hatinya. “Apa kamu akan tetap mencintai saya walau saya sudah nggak secantik sekarang?” tanya Lana dengan cemas. “Walau sebentar lagi ada kerutan di wajah saya dan juga rambut saya yang akan berganti warna lebih dulu daripada kamu?” Raka terkekeh geli, ia mencubit pipi Lana dengan gemas. “Kamu harus bahagia agar terlihat lebih muda. Nah, sebaliknya aku akan banyak pikiran, biar wajahku lebih tua dari usianya,” gurau Raka.“Kamu nggak pernah serius, Raka,” gerutu Lana, lalu memalingkan wajahnya ke samping. “Saya jadi merasa nggak pantas…”Sebelum Lana menyelesaikan ucapannya.
Dalam sekejap, langit Jakarta menyambut kedatangan Lana dan Raka dengan kehangatan yang menyenangkan. Mereka turun dari pesawat dengan senyum cerah di wajah, melepaskan perasaan haru dan sedikit kehilangan karena harus meninggalkan perjalanan indah mereka di Swiss dan Paris.Orang-orang berlalu-lalang, tetapi bagi Lana dan Raka, kerumunan itu seolah menghilang begitu mereka saling berpandangan. Rasa nyaman dan akrab di antara keduanya menghadirkan keintiman yang menyelimuti, mengubah suasana sekitar menjadi romantis.“Ah, rasanya aku nggak mau pisah sama kamu, Sayang,” bisik Raka dengan suara lembut, matanya penuh cinta saat menatap Lana. Direngkuhnya tubuh kekasihnya itu dengan mesra.Lana tersenyum lembut, menjawab, “Kita bisa bertemu kapan saja, Raka.” Dia merasakan kehangatan pelukan Raka