Raka berbalik, dibelainya wajah Lana dengan mesra. Wanita itu tidak menolaknya, matanya terpejam seolah menikmati sentuhan Raka. “Aku nggak akan pergi meski kamu usir sekalipun,” bisik Raka sambil membelai rambut Lana yang tergerai. “Aku harap kamu akan melakukan hal yang sama. Jangan pernah tinggalkan aku, Lana.”Lana hanya mampu menganggukan kepalanya. Gelombang kebahagian dan kecemasan datang ke dalam relung hatinya. “Apa kamu akan tetap mencintai saya walau saya sudah nggak secantik sekarang?” tanya Lana dengan cemas. “Walau sebentar lagi ada kerutan di wajah saya dan juga rambut saya yang akan berganti warna lebih dulu daripada kamu?” Raka terkekeh geli, ia mencubit pipi Lana dengan gemas. “Kamu harus bahagia agar terlihat lebih muda. Nah, sebaliknya aku akan banyak pikiran, biar wajahku lebih tua dari usianya,” gurau Raka.“Kamu nggak pernah serius, Raka,” gerutu Lana, lalu memalingkan wajahnya ke samping. “Saya jadi merasa nggak pantas…”Sebelum Lana menyelesaikan ucapannya.
Dalam sekejap, langit Jakarta menyambut kedatangan Lana dan Raka dengan kehangatan yang menyenangkan. Mereka turun dari pesawat dengan senyum cerah di wajah, melepaskan perasaan haru dan sedikit kehilangan karena harus meninggalkan perjalanan indah mereka di Swiss dan Paris.Orang-orang berlalu-lalang, tetapi bagi Lana dan Raka, kerumunan itu seolah menghilang begitu mereka saling berpandangan. Rasa nyaman dan akrab di antara keduanya menghadirkan keintiman yang menyelimuti, mengubah suasana sekitar menjadi romantis.“Ah, rasanya aku nggak mau pisah sama kamu, Sayang,” bisik Raka dengan suara lembut, matanya penuh cinta saat menatap Lana. Direngkuhnya tubuh kekasihnya itu dengan mesra.Lana tersenyum lembut, menjawab, “Kita bisa bertemu kapan saja, Raka.” Dia merasakan kehangatan pelukan Raka
“Aku sayang sama kamu, Na. Aku tersiksa selama kamu pergi dan menjauh,” ujar Rudi dengan suara parau, merengkuh tubuh istrinya dari belakang. Matanya penuh dengan keputusasaan dan penyesalan.Lana tidak bisa menyembunyikan rasa kecewanya. Dia melepaskan diri dari pelukan Rudi dengan kasar, menyatakan ketidaksukaannya. "Apa gunanya lagi semua kata-kata ini, Rud? Kamu sudah membunuh perasaanku," sergahnya dengan nada datar yang penuh emosi.Rudi berusaha untuk menjelaskan dan meminta kesempatan. "Tolong kasih aku kesempatan, Na. Aku janji—"Lana memotong ucapan Rudi dengan kasar. “Aku sudah capek dan muak dengan janji-janji kamu, Rud.”“Aku akan buktikan, Na.” Rudi mengulurkan tangannya untuk meraih tangan istrinya.
Lana duduk di depan komputernya dengan perasaan yang terombang-ambing. Dia merenung, memandangi layar yang kosong tanpa tujuan. Pikirannya melayang-layang ke masa lalu, mengulang kembali momen-momen yang telah terlewati. Sementara itu, pintu ruangan kantornya terbuka perlahan, dan langkah kaki yang dikenalinya datang menghampiri."Hai, Sayang," sapa suara yang membuat detak jantungnya berdebar kencang. Lana menoleh, dan mata mereka bertemu. Ada campuran berbagai emosi di dalam tatapan itu – kekhawatiran, kerinduan, dan ketakutan."Raka…!" gumamnya, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang mengganggunya.Raka merasa ada yang berbeda dalam tatapan Lana. "Ada apa, Sayang?" tanyanya dengan hati-hati, mencoba membaca ekspresi wajah Lana yang begitu rumit.Lana terdiam sejenak, matanya berusaha mencari keberanian untuk mengungkapkan apa yang ada di dalam hatinya. "Sebaiknya kamu nggak menemui aku di kantor, Raka," ujarnya akhirnya dengan suara serak.Namun, seketika itu juga, Lana menyesal t
Tubuh Lana menegang ketika mendapat pesan dari Rudi. Pria itu menanyakan keberadaannya setelah tidak menemukan dirinya di kantor.“Ada apa?” desak Raka, matanya mencari jawaban dalam kegelisahan Lana. Seolah-olah pikirannya bisa menembus dinding-dinding rahasia yang dibangun oleh wanita itu.Lana menelan ludah, mencari alasan terbaik untuk menutupi ketegangan yang dirasakannya. “Nggak ada apa-apa. Cuma pesan dari Lia,” jawabnya dengan suara yang sedikit gemetar, berusaha menyembunyikan kebohongan yang terselip di balik kata-katanya.Mata Raka menyelidiki wajah Lana dengan penuh perhatian, mencoba membaca di balik setiap ekspresi yang terpancar di sana. Namun, Lana segera mengalihkan pandangan, berusaha menyembunyikan ketegangannya. Dengan cepat, dia mematikan ponselnya dan menyimpannya
“Ada apa? Kenapa lihat aku kayak gitu?” tanya Raka sambil melirik ke arah Lana sekilas ketika mereka baru saja keluar dari rumah Rosa. Lana menggeleng sambil tersenyum. “Terima kasih ya sudah ajak aku ke sini.” “Kamu senang?” tanya Raka dengan lembut.Lana mengangguk, ekspresinya penuh dengan kebahagiaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. "Syukurlah kalau kamu senang," jawab Raka sambil membukakan pintu mobilnya, mempersilakan Lana masuk.Saat mereka berdua sudah duduk di dalam mobil, Lana tidak bisa menahan diri untuk tidak mengungkapkan apa yang ada di dalam pikirannya. "Aku nggak nyangka kamu bisa sedekat ini sama pengasuhmu," ujar Lana dengan rasa ingin tahu yang menggelora.Raka tersenyum pahit, tangannya memegang kemudi dengan erat. Dia menghela napas panjang sebelum menjawab, "Bahkan aku lebih dekat sama pengasuhku daripada dengan orang tuaku sendiri."Kata-kata Raka menggantung di udara, mengisi ruang di antara mereka dengan ketegangan yang semakin terasa kuat. Lana me
Lana baru saja selesai memasukkan ponselnya ke dalam tas ketika pintu ruangannya terbuka, dan langkah berat Rudi memecah keheningan.“Sudah mau pulang?” tanya Rudi, menyapa Lana dengan penuh kelembutan.Lana mengangguk, matanya hanya sekilas menatap suaminya. "Iya," jawabnya singkat, mencoba menyembunyikan kegelisahannya."Sudah makan malam?" tanya Rudi lagi, mencoba mencari peluang untuk menembus dinding ketidaknyamanan yang mulai terbentuk di antara mereka."Sudah. Tadi aku pesan makan," jawab Lana tanpa mengangkat pandangannya. "Sekarang aku mau langsung pulang."Rudi menggumamkan tawaran dengan nada lembut. "Aku antar, ya?"“Nggak perlu, Rud. Aku bawa mobil s
Tiga hari telah berlalu sejak Lana terakhir kali melihat Raka di gedung kantornya. Setiap pesan dan panggilannya tidak mendapat jawaban. Rasa cemas mulai menyelinap ke dalam hati Lana, mengganggu pikirannya setiap saat. Bagaimanapun, dia merasa bertanggung jawab atas keadaan Raka.Dia menggosok pelipisnya dengan gemas, mencoba mengusir rasa sakit yang menyeruak di kepalanya. Lana tidak bisa menghilangkan perasaan bersalah yang menghantuinya. Biar bagaimana pun, dia yang telah menyeret Raka ke dalam kehidupannya, memberinya harapan tentang masa depan mereka bersama. Sekarang, ketidakpastian itu menyeruak ke dalam pikirannya dengan ganas.Lana duduk termangu di ruangannya, membiarkan lamunan menyelimuti dirinya. Suara ketukan di pintu mengganggu lamunannya. “Maaf, Bu. Ada seseorang yang ingin bertemu dengan Ibu,” ujar LiaLana bangkit dari kursinya dengan cepat, hatinya berdebar dengan harapan yang baru saja muncul. "Siapa, Lia?"“Pak Max Jonathan, Bu. Dari MJ Group,” jawab Lia, memperh