Lana melangkah dengan cepat menuju lift, hatinya masih berdegup kencang akibat kebingungan dan kekecewaan. Namun, tangan Raka yang menahan lengannya membuat langkahnya terhenti. Lana memutar tubuhnya, menatap tajam pria di hadapannya."Raka, lepaskan tangan saya," ucap Lana dengan nada yang tegas.Raka tidak segera melepaskan, dia mendekatkan wajahnya ke telinga Lana, "Lana, percayalah, ini bukan seperti yang kamu pikirkan."Lana memandang Raka dingin, memutuskan untuk tidak mempercayai kata-katanya. Dengan gerakan tegas, dia menghentakkan lengannya, membebaskan diri dari cengkeraman Raka. Tanpa banyak bicara, dia masuk ke dalam lift dan menekan tombol lantai bawah.Raka tak mau kalah begitu saja. Dia mengikuti Lana ke dalam lift dan segera menahan tubuhnya di sudut. Dengan tatapan tajam, Raka mencoba menjelaskan dirinya lagi. “Kamu hanya salah paham, Lana.”Wajah Lana tampak marah, dan dia berkata, "Apa pun yang kamu katakan, tidak akan mengubah fakta kalau saya membuat kesalahan de
Raka dan Lana berada di dalam mobil yang terparkir tak jauh dari tepi pantai. Hening malam hanya terpotong oleh suara deburan ombak yang menghantarkan aroma laut yang segar. Tangan mereka saling bertaut, merasakan detak jantung masing-masing tanpa perlu berkata-kata.Lana memejamkan matanya, mencoba meresapi momen ini, namun kesadaran akan keberadaan Raka di sampingnya membuatnya tidak bisa sepenuhnya hanyut. Sejak tadi, Raka terus memperhatikannya, membuatnya merasa tidak nyaman dengan intensitas tatapan pria itu.Setelah beberapa saat, Lana membuka mata dan memutuskan untuk mengakhiri keheningan. "Raka, berhentilah memperhatikan saya seperti itu."Raka hanya tersenyum, mengeratkan genggaman tangannya pada Lana. Tanpa berkata apa-apa lagi, Raka membungkuk dan mengecup bibir Lana dengan penuh gairah. Awalnya, ciuman itu lembut, tetapi seiring berjalannya waktu, Raka semakin intens, mengulum dan menghisap bibir Lana yang terbuka.Lana meresapi setiap sentuhan bibir Arshaka yang memabuk
“Hanya ada satu kamar yang tersisa,” jelas Raka pada Lana yang berdiri di belakangnya.Lana hanya terdiam, sejujurnya ia sudah sangat mengantuk karena sejak tadi mereka belum berhasil menemukan tempat penginapan. Entah mengapa beberapa penginapan dekat pantai yang mereka datangi sudah penuh. Lana sempat berpikir jika mungkin ini rencana Raka, namun ia segera menepis pikiran itu.“Mau cari penginapan lain saja?” tanya Lana, berusaha setenang mungkin.“Gunakanlah kamar itu, kamu pasti capek. Aku akan mencari tempat lain.” “Tapi, ini sudah larut malam. Lebih baik kamu tetap di sini,” sergah Lana sebelum Raka berbalik.“Kamu yakin? Aku nggak mau kamu merasa nggak nyaman.”“Biasanya juga kamu tidak peduli,” ujar Lana lalu melangkah ke tempat resepsionis dan memesan kamar. Raka menghampirinya dan segera membayar biaya pemesanan. Namun, Lana melarangnya.“Biar saya yang membayarnya,” kata Lana sambil menyodorkan kartu kreditnya.“Aku yang bawa kamu ke sini. Jadi, aku yang akan membayar. La
Raka membawa Lana untuk sarapan di luar, mencoba memberikan nuansa yang lebih santai pada hubungan mereka. Mobil Raka berhenti di depan salah satu toko bubur ayam di pinggir jalan. Mata Lana melebar dengan heran, tidak menyangka Raka akan membawanya ke sana.Raka tersenyum melihat ekspresi bingung Lana dan menoleh ke arahnya. "Kenapa? Kamu nggak mau turun?" tanya Raka sambil tersenyum lembut.Lana terdiam sejenak, lalu bertanya, "Kamu yakin mau sarapan di sini?""Kenapa nggak? Sarapan di sini juga enak, kok. Kamu nggak suka?"Lana masih tampak canggung, dan Raka kembali bertanya, "Belum pernah makan di pinggir jalan, ya?"Lana menggelengkan kepala dengan canggung. Sejak kecil, Lana selalu hidup dalam lingkungan yang berkecukupan, dan ibunya selalu melarangnya makan sembarangan. Tempat makan yang selalu dikunjungi Lana selalu tempat-tempat eksklusif dan mewah karena jabatan ayahnya sebagai direktur utama. "Kamu sudah pernah makan di sini sebelumnya?"Raka dengan santainya menggelengka
Lana melangkah dengan cepat di koridor rumah sakit, tanpa memperdulikan tatapan tajam dan kesal dari orang-orang yang bersinggungan dengan bahu dan tubuhnya. Dalam hatinya, kekhawatiran untuk Raka menyelimuti setiap langkahnya. Kabar bahwa pria itu berada di rumah sakit setelah terlibat pertengkaran di bar menggetarkan hati Lana. Segera setelah tiba di rumah sakit, Lana bergegas menuju ruang perawatan intensif tempat Raka dirawat. Wajahnya memucat ketika melihat kondisi Raka yang memar dan tangan yang patah. Lana berdiri di samping ranjangnya, menunggu dengan penuh kekhawatiran saat Raka tertidur. Namun, ketenangannya terusik oleh dering ponselnya. Cepat-cepat Lana mengambil ponselnya dan melihat panggilan masuk dari Rudi. Sesaat setelah mengangkatnya, suara Rudi terdengar di ujung telepon. "Kapan kamu akan pulang, Na? Lana menghela napas dan menjawab, "Sebentar lagi aku pulang, Rud.” Setelah berbicara dengan Rudi, Lana kembali ke sisi Raka. Ia melihat wajah lelaki itu yang tertid
Keesokan harinya, Lana bangun begitu pagi. Ia kembali ke kamar utama untuk mengambil baju kerjanya. Lana menatap Rudi yang masih terlelap di ranjang mereka. Untuk sesaat Lana termenung, lalu kemudian ia keluar dengan langkah hati-hati.Setelah mandi dan berganti pakaian kerjanya, Lana segera mengambil kunci mobilnya dan memanggil pembantunya.“Saya pergi dulu, Bi. Tolong siapkan makanan untuk Bapak. Kalau dia tanya, jawab saja saya sudah pergi kerja.”“Baik, Bu,” jawab Imah dengan patuh, meskipun dalam hatinya ia merasa heran karena tidak biasanya majikannya itu berangkat kerja sepagi ini. Namun, Imah hanya diam saja, dia tidak mau memberikan komentar apa pun. “Tolong bersihkan kamar tamu di bawah juga ya, Bi. Terima kasih.”Tanpa menunggu respon Bi Imah, Lana sudah keburu pergi. Ia menghidupkan mesin mobilnya dan melajukan kendaraannya di jalanan yang masih belum terlalu ramai.Lana menyempatkan diri datang ke rumah sakit. Namun, ia hanya berdiam diri di mobilnya menatap para petuga
Rudi terbangun, ia menatap ke samping tempat tidur dan tidak menemukan istrinya. Rudi kembali mengingat pertengkarannya dengan Lana yang membuat istrinya bermalam di kamar lainnya. Rudi turun dari ranjang, ia memilih untuk menyegarkan dirinya dan baru menemui Lana.Setelah rapi dengan setelan kerjanya, Rudi turun ke bawah. Ia masuk ke kamar tamu dan tidak menemukan istrinya di sana. Rudi menatap jam di tangannya yang menunjukkan pukul enam lewat lima belas pagi. Tidak mungkin Lana pergi sepagi ini, pikir Rudi. Rudi mencari Lana di sekitar ruangan sampai ke dapur. Namun, bukannya menemui Lana yang ia lihat hanya Bi Imah yang menatapnya dengan heran. “Bapak sudah mau berangkat kerja?” tanya Bi Imah dengan terheran-heran. “Bibi lihat Lana?” tanya Rudi tanpa menghiraukan pertanyaan Imah.“Ibu sudah berangkat ke kantor, Pak,” jawab Imah dengan hati-hati ketika melihat raut kekecewaan di wajah majikannya. “Apa Lana menitipkan pesan?” tanya Rudi sambil melihat jam tangannya.“Ibu hanya me
Setelah pertemuannya dengan wakil dari MJ Group guna membahas tentang kerja sama pengembangan proyek hotel baru yang akan segera dilakukan, Lana termenung di tempatnya. Ia memikirkan tentang bagaimana cara mengungkap perselingkuhan Rudi dan Sandra. Cukup lama Lana duduk seorang diri, entah sudah berapa pria yang datang mendekatinya hanya untuk sekadar basa-basi atau berkenalan. Tidak peduli jika Lana sudah bersikap dingin dan juga sengaja memperlihatkan cincin pernikahannya. Tetap saja pria-pria itu mendekatinya dengan terang-terangan. Lana berpikir dalam waktu yang lama. Jika pria-pria itu berani mendekatinya saat tahu dirinya sudah menikah. Bagaimana nanti saat dirinya sudah resmi bercerai? Tiba-tiba bayangan Raka yang akan menjaganya dan siap berkelahi dengan pria yang berani mendekatinya, menyeruak ke dalam pikirannya. Akhirnya, setelah memikirkannya dengan matang. Lana memilih untuk datang menemui Sandra. Ia juga mengirimkan lokasinya kepada Rudi. “Apa saya boleh masuk?” tunt