Pagi itu, suasana cerah menyambut keluarga kecil itu saat mereka bersiap-siap untuk memulai hari. Raka dan Lana dengan penuh semangat membantu Aiden menyiapkan diri untuk pergi ke sekolah. Mereka berbagi candaan dan tawa di meja makan, mengisi ruangan dengan kehangatan dan keceriaan.Setelah sarapan, mereka bersama-sama menuju mobil, siap untuk mengantar Aiden ke sekolah. Di perjalanan menuju sekolah, mereka berbicara tentang rencana hari itu, sambil sesekali menertawakan lelucon Aiden."Jangan lupa membawa bekalmu, Aiden," kata Raka dengan suara penuh kasih, mencoba menenangkan hati kecil anak mereka."Aku tahu, Papa," jawab Aiden dengan antusiasme, matanya berbinar-binar.Sesampainya di sekolah, mereka berdua turun dari mobil untuk mengantar Aiden ke pintu gerbang. Mereka memberikan pelukan hangat dan ciuman di pipi kecilnya sebelum akhirnya melepaskannya untuk pergi ke kelasnya.“Belajar yang pintar ya, Sayang. Ingat jangan berantem sama teman. Oh ya, nanti kalau Mama nggak bisa je
Setelah Lana membawa Rudi ke rumah sakit, mereka berdua segera menuju ruang gawat darurat. Di sana, dokter segera melakukan pemeriksaan terhadap luka-luka Rudi dan menentukan langkah-langkah perawatan yang diperlukan.Selama Rudi menjalani pemeriksaan, Lana memilih untuk mengurus biaya perawatannya di meja pendaftaran. Setelah selesai mengurus administrasi, Lana kembali menemui Rudi."Mengenai luka-luka di siku dan lututnya, kita telah membersihkan dan merawatnya dengan baik. Tidak ada yang serius, hanya luka ringan. Namun, sayangnya kami menemukan bahwa kakinya mengalami sedikit kilatan. Kami merekomendasikan untuk mengistirahatkannya dan memberikan perawatan yang tepat agar pulih dengan baik," jelas dokter dengan suara lembut.Lana mengangguk dengan penuh perhatian, merasa lega bahwa luka-luka Rudi tidak terlalu serius. "Terima kasih, Dokter. Saya akan memastikan dia mendapatkan perawatan yang baik," ucap Lana dengan tulus.Lana merasa detak jantungnya meningkat secara tiba-tiba ket
Saat Lana memasuki rumah, tatapan Raka yang gelap langsung menarik perhatiannya. Dia merasakan kehadiran suaminya bahkan sebelum melihatnya duduk di sofa ruang tengah, menunggunya dengan ekspresi yang tegang.Dengan hati yang berat, Lana menelan ludah, mencoba menemukan keberanian untuk menghadapi Raka. Langkahnya ragu saat dia mendekati suaminya, menyadari bahwa dia telah membuat Raka marah."Dari mana saja kamu?" tanyanya dengan suara yang tegas, tanpa memberi kesempatan pada Lana untuk memberi penjelasan.Lana menggigit bibirnya, mencoba menemukan kata-kata yang tepat. “Aku cuma pergi membeli bahan makanan dan kue untuk Aiden,” jawabnya dengan suara yang gemetar.Tubuh Lana semakin menegang ketika Raka menyudutkannya, menuntut penjelasan lebih lanjut. "Jadi, di mana semua bahan makanan dan kue itu?" desak Raka dengan nada yang lebih tajam.Lana merasa kesulitan bernapas, dadanya terasa sesak saat dia mencoba mencari kata-kata yang tepat. Melihat tatapan tajam yang datang dari Raka,
"Bagaimana kalau ingatan aku nggak pernah kembali, Lana," ucapnya dengan suara yang penuh dengan keputusasaan. “Apa kita akan terus hidup seperti ini?” Lana terdiam sejenak, menghela napas dalam-dalam saat pertanyaan itu menghantamnya. Dengan perlahan, dia mencoba menemukan kata-kata yang tepat. "Lebih baik mulai sekarang, Raka," katanya dengan lembut. "Kita harus mempercayai satu sama lain."Raka hanya tersenyum sinis. "Bagaimana aku bisa percaya, Lana?" tanyanya dengan nada yang penuh dengan ketidakpercayaan. "Kisah cinta kita saja dimulai dari sebuah pengkhianatan."Lana merasa amarahnya memuncak. "Darimana kamu mendapatkan informasi itu?" tanyanya dengan suara tajam, matanya menyala dengan kekesalan. "Siapa yang memberitahumu?"Raka hanya mendengus, mengabaikan pertanyaan Lana. “Nggak penting siapa yang memberitahu. Yang penting adalah kebenarannya," jawabnya dengan tegas. Dia mendekatkan wajahnya kembali pada Lana, matanya menyelidiki wajah istrinya dengan tajam."Dan apakah tan
Selama beberapa hari berikutnya, suasana di rumah Lana dan Raka terasa tegang. Lana masih merasa sulit untuk bersikap biasa di sekitar Raka setelah apa yang terjadi malam itu. Lana masih sulit untuk menatap wajah suaminya tanpa teringat akan kejadian yang menyakitkan itu. Setiap kali dia melihat Raka, gambaran malam itu terbayang jelas di dalam pikirannya, membuatnya merasa terluka dan takut.Sementara itu, Raka tidak menyerah begitu saja. Meskipun Lana menjaga jarak dan merasa sulit menerima kehadirannya, pria itu tetap berusaha. Setiap kali pulang kerja, dia membawa bunga segar dan makanan kesukaan Lana, berharap bisa meredakan dinginnya suasana di antara mereka.Hari berganti hari, tetapi Lana tetap bersikap dingin. Dia menerima bunga-bunga itu tanpa sepatah kata, dan makanan kesukaannya tersia-siakan di atas meja. Tidak ada senyum, tidak ada ucapan terima kasih, hanya hening yang menggantung di udara.Suatu malam, ketika Raka kembali membawa bunga segar dan makanan favorit Lana, d
Setelah Lana dan Raka berbicara untuk pertama kalinya sejak insiden, mereka berusaha memulihkan hubungan mereka. Meskipun masih ada ketegangan di udara, mereka berdua berusaha untuk saling mendengarkan dan memahami.Beberapa hari kemudian, ketika Lana sedang berada di rumah, bel tiba-tiba berdering. Lana menghampiri pintu dan terkejut melihat Gabriella berdiri di depannya dengan senyum licik di wajahnya. Sesaat, hati Lana terasa berdebar kencang. Dia tahu kedatangan Gabriella tidak akan membawa kebaikan."Hai?" sapa Gabriella dengan manisnya, tetapi ada kebusukan di balik setiap kata yang dia ucapkan.Lana menatap Gabriella dengan tajam, tetapi tetap mencoba menjaga ketenangannya. "Apa yang kau lakukan di sini, Gabriella?" tanyanya dengan suara dingin.Gabriella hanya tersenyum, seolah menikmati ketidaknyamanan Lana. "Oh, aku hanya ingin berbicara dengan Raka," jawabnya santai.Lana menahan amarahnya. Dia tahu Gabriella tidak datang tanpa alasan. "Raka tidak ada di rumah," ucapnya teg
Lana masih terdiam ketika Raka keluar dari kamar mandi. Dia merasa terjebak dalam pusaran emosi yang membingungkan. Setiap kata yang keluar dari mulut Raka membuatnya semakin bingung.Raka mencoba mendekati Lana, tetapi wanita itu menjauh dengan ekspresi dingin di wajahnya. "Lana, dengarkan aku. Aku nggak pernah memiliki hubungan apa pun dengan Gabriella. Kamu nggak perlu cemburu," ucap Raka dengan suara lembut.Lana menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan emosinya yang masih bergolak. "Tapi kamu memilih untuk mempercayainya daripada aku," desaknya dengan suara yang penuh dengan kekecewaan.Raka menatapnya lekat-lekat, mencoba memahami perasaan Lana. "Aku nggak mempercayainya lebih dari kamu, Lana. Aku hanya mencoba menyelesaikan masalah ini dengan cara yang lebih damai," ucapnya dengan suara yang tenang."Raka, aku hanya ingin kamu mempercayai aku," ucap Lana dengan suara lemah, matanya tak bisa bertemu dengan mata suaminya.Raka mendekati Lana dengan langkah hati-hati, menc
Lana mengalihkan pandangannya dari laporan yang ada di mejanya ke arah Rudi yang berdiri di depannya. Hatinya berdebar keras, tidak menyangka akan bertemu dengan mantan suaminya di tengah kesibukannya."Dari mana kamu tahu aku ada di sini?" tanya Lana, mencoba menahan kebingungannya. Karena memang sudah selama beberapa waktu ini dia pindah ruangan dan tidak mengizinkan siapa pun menemuinya di ruangan ini.Rudi hanya tersenyum tipis. "Aku punya caraku sendiri untuk mengetahuinya," jawabnya singkat.Lana merasa semakin tidak nyaman dengan kehadiran Rudi di ruang kerjanya. Dia mencoba mengendalikan diri agar tidak terlihat terpengaruh. "Apa yang kamu inginkan, Rudi?" tanyanya, mencoba menjaga suaranya tetap tenang.Rudi melangkah sedikit lebih dekat. "Aku hanya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi antara kita," katanya dengan serius."Rudi, ini bukan waktu yang tepat," ucap Lana dengan suara lemah, mencoba menenangkan dirinya sendiri.Namun, Rudi tidak terlihat terpengaruh. Wajahnya ta