"Bagaimana kalau ingatan aku nggak pernah kembali, Lana," ucapnya dengan suara yang penuh dengan keputusasaan. “Apa kita akan terus hidup seperti ini?” Lana terdiam sejenak, menghela napas dalam-dalam saat pertanyaan itu menghantamnya. Dengan perlahan, dia mencoba menemukan kata-kata yang tepat. "Lebih baik mulai sekarang, Raka," katanya dengan lembut. "Kita harus mempercayai satu sama lain."Raka hanya tersenyum sinis. "Bagaimana aku bisa percaya, Lana?" tanyanya dengan nada yang penuh dengan ketidakpercayaan. "Kisah cinta kita saja dimulai dari sebuah pengkhianatan."Lana merasa amarahnya memuncak. "Darimana kamu mendapatkan informasi itu?" tanyanya dengan suara tajam, matanya menyala dengan kekesalan. "Siapa yang memberitahumu?"Raka hanya mendengus, mengabaikan pertanyaan Lana. “Nggak penting siapa yang memberitahu. Yang penting adalah kebenarannya," jawabnya dengan tegas. Dia mendekatkan wajahnya kembali pada Lana, matanya menyelidiki wajah istrinya dengan tajam."Dan apakah tan
Selama beberapa hari berikutnya, suasana di rumah Lana dan Raka terasa tegang. Lana masih merasa sulit untuk bersikap biasa di sekitar Raka setelah apa yang terjadi malam itu. Lana masih sulit untuk menatap wajah suaminya tanpa teringat akan kejadian yang menyakitkan itu. Setiap kali dia melihat Raka, gambaran malam itu terbayang jelas di dalam pikirannya, membuatnya merasa terluka dan takut.Sementara itu, Raka tidak menyerah begitu saja. Meskipun Lana menjaga jarak dan merasa sulit menerima kehadirannya, pria itu tetap berusaha. Setiap kali pulang kerja, dia membawa bunga segar dan makanan kesukaan Lana, berharap bisa meredakan dinginnya suasana di antara mereka.Hari berganti hari, tetapi Lana tetap bersikap dingin. Dia menerima bunga-bunga itu tanpa sepatah kata, dan makanan kesukaannya tersia-siakan di atas meja. Tidak ada senyum, tidak ada ucapan terima kasih, hanya hening yang menggantung di udara.Suatu malam, ketika Raka kembali membawa bunga segar dan makanan favorit Lana, d
Setelah Lana dan Raka berbicara untuk pertama kalinya sejak insiden, mereka berusaha memulihkan hubungan mereka. Meskipun masih ada ketegangan di udara, mereka berdua berusaha untuk saling mendengarkan dan memahami.Beberapa hari kemudian, ketika Lana sedang berada di rumah, bel tiba-tiba berdering. Lana menghampiri pintu dan terkejut melihat Gabriella berdiri di depannya dengan senyum licik di wajahnya. Sesaat, hati Lana terasa berdebar kencang. Dia tahu kedatangan Gabriella tidak akan membawa kebaikan."Hai?" sapa Gabriella dengan manisnya, tetapi ada kebusukan di balik setiap kata yang dia ucapkan.Lana menatap Gabriella dengan tajam, tetapi tetap mencoba menjaga ketenangannya. "Apa yang kau lakukan di sini, Gabriella?" tanyanya dengan suara dingin.Gabriella hanya tersenyum, seolah menikmati ketidaknyamanan Lana. "Oh, aku hanya ingin berbicara dengan Raka," jawabnya santai.Lana menahan amarahnya. Dia tahu Gabriella tidak datang tanpa alasan. "Raka tidak ada di rumah," ucapnya teg
Lana masih terdiam ketika Raka keluar dari kamar mandi. Dia merasa terjebak dalam pusaran emosi yang membingungkan. Setiap kata yang keluar dari mulut Raka membuatnya semakin bingung.Raka mencoba mendekati Lana, tetapi wanita itu menjauh dengan ekspresi dingin di wajahnya. "Lana, dengarkan aku. Aku nggak pernah memiliki hubungan apa pun dengan Gabriella. Kamu nggak perlu cemburu," ucap Raka dengan suara lembut.Lana menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan emosinya yang masih bergolak. "Tapi kamu memilih untuk mempercayainya daripada aku," desaknya dengan suara yang penuh dengan kekecewaan.Raka menatapnya lekat-lekat, mencoba memahami perasaan Lana. "Aku nggak mempercayainya lebih dari kamu, Lana. Aku hanya mencoba menyelesaikan masalah ini dengan cara yang lebih damai," ucapnya dengan suara yang tenang."Raka, aku hanya ingin kamu mempercayai aku," ucap Lana dengan suara lemah, matanya tak bisa bertemu dengan mata suaminya.Raka mendekati Lana dengan langkah hati-hati, menc
Lana mengalihkan pandangannya dari laporan yang ada di mejanya ke arah Rudi yang berdiri di depannya. Hatinya berdebar keras, tidak menyangka akan bertemu dengan mantan suaminya di tengah kesibukannya."Dari mana kamu tahu aku ada di sini?" tanya Lana, mencoba menahan kebingungannya. Karena memang sudah selama beberapa waktu ini dia pindah ruangan dan tidak mengizinkan siapa pun menemuinya di ruangan ini.Rudi hanya tersenyum tipis. "Aku punya caraku sendiri untuk mengetahuinya," jawabnya singkat.Lana merasa semakin tidak nyaman dengan kehadiran Rudi di ruang kerjanya. Dia mencoba mengendalikan diri agar tidak terlihat terpengaruh. "Apa yang kamu inginkan, Rudi?" tanyanya, mencoba menjaga suaranya tetap tenang.Rudi melangkah sedikit lebih dekat. "Aku hanya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi antara kita," katanya dengan serius."Rudi, ini bukan waktu yang tepat," ucap Lana dengan suara lemah, mencoba menenangkan dirinya sendiri.Namun, Rudi tidak terlihat terpengaruh. Wajahnya ta
Saat Lana hendak memasuki mobilnya di tempat parkir, dia terkejut ketika pintu mobil terbuka secara tiba-tiba. Sebelum dia bisa bereaksi, Rudi sudah duduk di kursi penumpang. Tatapan tajamnya menembus ruang sempit di dalam mobil, membuat Lana merasa terkepung."Rudi, apa yang kau lakukan di sini?" tanya Lana dengan nada yang ketus.Rudi hanya menatapnya dengan serius, seolah menimbang kata-katanya dengan hati-hati sebelum akhirnya berkata, "Aku perlu membicarakan sesuatu denganmu, Lana."Lana merasa kesal. Dia tidak ingin melibatkan dirinya dalam pembicaraan apa pun dengan Rudi, terutama setelah apa yang dia katakan sebelumnya di kantor. "Aku tidak punya waktu untukmu sekarang, Rudi. Keluarlah dari mobilku."Rudi tetap diam, menunjukkan keteguhan yang langka di matanya. "Kamu harus mendengarkan aku, Lana. Ini penting."Lana menggertakkan giginya, merasa semakin kesal dengan sikap Rudi yang seenaknya. "Aku tidak ingin mendengarkan apapun dari mu. Tolong tinggalkan mobilku sekarang juga
Saat Lana memasuki rumah, dia merasakan hampa yang menusuk. Raka belum kembali, dan ketidakhadirannya memberi tekanan tambahan pada suasana hati yang sudah tegang. Dalam usahanya untuk mengalihkan pikirannya, Lana mencari Aiden yang sedang bermain di ruang keluarga."Ada apa, Mama?" tanya Aiden dengan ceria saat Lana mendekat.Lana mencoba tersenyum lembut untuk anaknya. "Tidak apa-apa, sayang. Mama hanya ingin bermain bersamamu," jawabnya dengan suara getir.Mereka berdua duduk di lantai, Aiden dengan cepat memperlihatkan mainannya pada ibunya, mencoba menghiburnya. Namun, pikiran Lana tetap melayang ke perasaannya yang kacau. Bagaimana dia bisa menghadapi Raka setelah melihat foto-foto itu? Bagaimana jika semuanya itu benar? Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi pikirannya, membebani setiap langkahnya.Waktu berlalu dengan lambat, dan kehadiran Raka masih belum terasa. Lana mencoba mengusir ketegangan di dalam dirinya dengan bermain bersama Aiden, tetapi bayang-bayang keraguan terus me
Lana berusaha untuk tidak membangunkan Raka yang masih tertidur lelap di sampingnya. Dia ingin memberinya waktu untuk beristirahat setelah pulang larut malam kemarin. Dengan hati-hati, Lana bergerak dari tempat tidur, berusaha untuk tidak mengganggu kedamaian suaminya yang sedang tidur.Namun, sebelum Lana sempat menemui pijakan kakinya di lantai, tangannya tiba-tiba ditahan oleh genggaman kuat. Dia terkejut dan menoleh ke arah Raka yang masih terbaring di tempat tidur, matanya yang masih setengah terpejam memancarkan kelembutan yang tidak biasa."Tetaplah di sini," bisik Raka dengan lembut, suaranya hampir terdengar sayup di antara udara pagi yang tenang. "Ayo, kita tidur sebentar lagi."Lana memandang wajah Raka dengan campuran perasaan takjub dan bingung. Apa yang membuat Raka begitu lembut dan perhatian pagi ini? Apakah dia merasa bersalah tentang sesuatu yang terjadi semalam?Dengan ragu, Lana mencoba untuk menggoyangkan kepala. "Aku sudah bangun, Raka. Aku harus menyiapkan sarap