Saat Lana memasuki rumah, tatapan Raka yang gelap langsung menarik perhatiannya. Dia merasakan kehadiran suaminya bahkan sebelum melihatnya duduk di sofa ruang tengah, menunggunya dengan ekspresi yang tegang.Dengan hati yang berat, Lana menelan ludah, mencoba menemukan keberanian untuk menghadapi Raka. Langkahnya ragu saat dia mendekati suaminya, menyadari bahwa dia telah membuat Raka marah."Dari mana saja kamu?" tanyanya dengan suara yang tegas, tanpa memberi kesempatan pada Lana untuk memberi penjelasan.Lana menggigit bibirnya, mencoba menemukan kata-kata yang tepat. “Aku cuma pergi membeli bahan makanan dan kue untuk Aiden,” jawabnya dengan suara yang gemetar.Tubuh Lana semakin menegang ketika Raka menyudutkannya, menuntut penjelasan lebih lanjut. "Jadi, di mana semua bahan makanan dan kue itu?" desak Raka dengan nada yang lebih tajam.Lana merasa kesulitan bernapas, dadanya terasa sesak saat dia mencoba mencari kata-kata yang tepat. Melihat tatapan tajam yang datang dari Raka,
"Bagaimana kalau ingatan aku nggak pernah kembali, Lana," ucapnya dengan suara yang penuh dengan keputusasaan. “Apa kita akan terus hidup seperti ini?” Lana terdiam sejenak, menghela napas dalam-dalam saat pertanyaan itu menghantamnya. Dengan perlahan, dia mencoba menemukan kata-kata yang tepat. "Lebih baik mulai sekarang, Raka," katanya dengan lembut. "Kita harus mempercayai satu sama lain."Raka hanya tersenyum sinis. "Bagaimana aku bisa percaya, Lana?" tanyanya dengan nada yang penuh dengan ketidakpercayaan. "Kisah cinta kita saja dimulai dari sebuah pengkhianatan."Lana merasa amarahnya memuncak. "Darimana kamu mendapatkan informasi itu?" tanyanya dengan suara tajam, matanya menyala dengan kekesalan. "Siapa yang memberitahumu?"Raka hanya mendengus, mengabaikan pertanyaan Lana. “Nggak penting siapa yang memberitahu. Yang penting adalah kebenarannya," jawabnya dengan tegas. Dia mendekatkan wajahnya kembali pada Lana, matanya menyelidiki wajah istrinya dengan tajam."Dan apakah tan
Selama beberapa hari berikutnya, suasana di rumah Lana dan Raka terasa tegang. Lana masih merasa sulit untuk bersikap biasa di sekitar Raka setelah apa yang terjadi malam itu. Lana masih sulit untuk menatap wajah suaminya tanpa teringat akan kejadian yang menyakitkan itu. Setiap kali dia melihat Raka, gambaran malam itu terbayang jelas di dalam pikirannya, membuatnya merasa terluka dan takut.Sementara itu, Raka tidak menyerah begitu saja. Meskipun Lana menjaga jarak dan merasa sulit menerima kehadirannya, pria itu tetap berusaha. Setiap kali pulang kerja, dia membawa bunga segar dan makanan kesukaan Lana, berharap bisa meredakan dinginnya suasana di antara mereka.Hari berganti hari, tetapi Lana tetap bersikap dingin. Dia menerima bunga-bunga itu tanpa sepatah kata, dan makanan kesukaannya tersia-siakan di atas meja. Tidak ada senyum, tidak ada ucapan terima kasih, hanya hening yang menggantung di udara.Suatu malam, ketika Raka kembali membawa bunga segar dan makanan favorit Lana, d
Setelah Lana dan Raka berbicara untuk pertama kalinya sejak insiden, mereka berusaha memulihkan hubungan mereka. Meskipun masih ada ketegangan di udara, mereka berdua berusaha untuk saling mendengarkan dan memahami.Beberapa hari kemudian, ketika Lana sedang berada di rumah, bel tiba-tiba berdering. Lana menghampiri pintu dan terkejut melihat Gabriella berdiri di depannya dengan senyum licik di wajahnya. Sesaat, hati Lana terasa berdebar kencang. Dia tahu kedatangan Gabriella tidak akan membawa kebaikan."Hai?" sapa Gabriella dengan manisnya, tetapi ada kebusukan di balik setiap kata yang dia ucapkan.Lana menatap Gabriella dengan tajam, tetapi tetap mencoba menjaga ketenangannya. "Apa yang kau lakukan di sini, Gabriella?" tanyanya dengan suara dingin.Gabriella hanya tersenyum, seolah menikmati ketidaknyamanan Lana. "Oh, aku hanya ingin berbicara dengan Raka," jawabnya santai.Lana menahan amarahnya. Dia tahu Gabriella tidak datang tanpa alasan. "Raka tidak ada di rumah," ucapnya teg
Lana masih terdiam ketika Raka keluar dari kamar mandi. Dia merasa terjebak dalam pusaran emosi yang membingungkan. Setiap kata yang keluar dari mulut Raka membuatnya semakin bingung.Raka mencoba mendekati Lana, tetapi wanita itu menjauh dengan ekspresi dingin di wajahnya. "Lana, dengarkan aku. Aku nggak pernah memiliki hubungan apa pun dengan Gabriella. Kamu nggak perlu cemburu," ucap Raka dengan suara lembut.Lana menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan emosinya yang masih bergolak. "Tapi kamu memilih untuk mempercayainya daripada aku," desaknya dengan suara yang penuh dengan kekecewaan.Raka menatapnya lekat-lekat, mencoba memahami perasaan Lana. "Aku nggak mempercayainya lebih dari kamu, Lana. Aku hanya mencoba menyelesaikan masalah ini dengan cara yang lebih damai," ucapnya dengan suara yang tenang."Raka, aku hanya ingin kamu mempercayai aku," ucap Lana dengan suara lemah, matanya tak bisa bertemu dengan mata suaminya.Raka mendekati Lana dengan langkah hati-hati, menc
Lana mengalihkan pandangannya dari laporan yang ada di mejanya ke arah Rudi yang berdiri di depannya. Hatinya berdebar keras, tidak menyangka akan bertemu dengan mantan suaminya di tengah kesibukannya."Dari mana kamu tahu aku ada di sini?" tanya Lana, mencoba menahan kebingungannya. Karena memang sudah selama beberapa waktu ini dia pindah ruangan dan tidak mengizinkan siapa pun menemuinya di ruangan ini.Rudi hanya tersenyum tipis. "Aku punya caraku sendiri untuk mengetahuinya," jawabnya singkat.Lana merasa semakin tidak nyaman dengan kehadiran Rudi di ruang kerjanya. Dia mencoba mengendalikan diri agar tidak terlihat terpengaruh. "Apa yang kamu inginkan, Rudi?" tanyanya, mencoba menjaga suaranya tetap tenang.Rudi melangkah sedikit lebih dekat. "Aku hanya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi antara kita," katanya dengan serius."Rudi, ini bukan waktu yang tepat," ucap Lana dengan suara lemah, mencoba menenangkan dirinya sendiri.Namun, Rudi tidak terlihat terpengaruh. Wajahnya ta
Saat Lana hendak memasuki mobilnya di tempat parkir, dia terkejut ketika pintu mobil terbuka secara tiba-tiba. Sebelum dia bisa bereaksi, Rudi sudah duduk di kursi penumpang. Tatapan tajamnya menembus ruang sempit di dalam mobil, membuat Lana merasa terkepung."Rudi, apa yang kau lakukan di sini?" tanya Lana dengan nada yang ketus.Rudi hanya menatapnya dengan serius, seolah menimbang kata-katanya dengan hati-hati sebelum akhirnya berkata, "Aku perlu membicarakan sesuatu denganmu, Lana."Lana merasa kesal. Dia tidak ingin melibatkan dirinya dalam pembicaraan apa pun dengan Rudi, terutama setelah apa yang dia katakan sebelumnya di kantor. "Aku tidak punya waktu untukmu sekarang, Rudi. Keluarlah dari mobilku."Rudi tetap diam, menunjukkan keteguhan yang langka di matanya. "Kamu harus mendengarkan aku, Lana. Ini penting."Lana menggertakkan giginya, merasa semakin kesal dengan sikap Rudi yang seenaknya. "Aku tidak ingin mendengarkan apapun dari mu. Tolong tinggalkan mobilku sekarang juga
Saat Lana memasuki rumah, dia merasakan hampa yang menusuk. Raka belum kembali, dan ketidakhadirannya memberi tekanan tambahan pada suasana hati yang sudah tegang. Dalam usahanya untuk mengalihkan pikirannya, Lana mencari Aiden yang sedang bermain di ruang keluarga."Ada apa, Mama?" tanya Aiden dengan ceria saat Lana mendekat.Lana mencoba tersenyum lembut untuk anaknya. "Tidak apa-apa, sayang. Mama hanya ingin bermain bersamamu," jawabnya dengan suara getir.Mereka berdua duduk di lantai, Aiden dengan cepat memperlihatkan mainannya pada ibunya, mencoba menghiburnya. Namun, pikiran Lana tetap melayang ke perasaannya yang kacau. Bagaimana dia bisa menghadapi Raka setelah melihat foto-foto itu? Bagaimana jika semuanya itu benar? Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi pikirannya, membebani setiap langkahnya.Waktu berlalu dengan lambat, dan kehadiran Raka masih belum terasa. Lana mencoba mengusir ketegangan di dalam dirinya dengan bermain bersama Aiden, tetapi bayang-bayang keraguan terus me
Saat salah satu perawat membuka bagian depan pakaian rumah sakit Lana, Lana merasakan udara ruangan menyapu lembut di sekeliling tubuhnya. Dia menatap Sera, bayi mungilnya, yang sekarang berada di dadanya. Detik itu, dunia di sekitarnya seakan melambat. Kulit Sera yang halus menyentuh kulitnya, menghadirkan kehangatan yang begitu mengalirkan kebahagiaan ke dalam hati Lana.Raka, yang sejak awal berdiri di sampingnya, menyaksikan momen ini dengan mata yang dipenuhi dengan kekaguman. Dia bisa melihat pancaran kebahagiaan dan cinta yang begitu kuat dari istrinya ketika Lana memeluk Sera dengan lembut. Napas lega keluar dari dadanya, seolah melepaskan semua kekhawatiran dan kecemasan yang telah membebani bahunya selama proses persalinan.Dengan perlahan, Raka meraih tangan Lana yang bebas dan menggenggamnya erat. Dia bisa merasakan getaran kebahagiaan dan kelegaan dari tubuh istrinya."Dia cantik, ya?" tanya Lana dengan suara yang penuh kebanggaan.Raka tersenyum, matanya masih tertuju pa
Raka merasakan tekanan yang begitu besar menindih dadanya saat dia melihat Lana sedang berjuang dengan rasa sakit yang begitu hebat. Dia hampir tidak bisa menahan diri untuk tidak mencengkram tangannya erat-erat ketika melihat keringat membasahi wajah cantik istrinya. Setiap desahan dan setiap rintihan dari Lana menusuk hatinya dengan tajam, membuatnya merasa tak berdaya.Proses persalinan telah berlangsung hampir dua puluh empat jam, dan rasa sakit yang Lana rasakan semakin terasa intens. Raka merasa hampir tidak tahan melihat istrinya dalam keadaan seperti itu. Rasa khawatir Raka semakin bertambah karena usia Lana yang sudah mencapai lebih dari empat puluh tahun. Segala kemungkinan bisa saja terjadi, dan itu membuat Raka merasa takut kehilangan Lana. Namun, dia mencoba menepis semua pikiran negatif itu, berusaha untuk tetap kuat demi Lana dan bayi mereka.Ketika dokter kandungan, Dr. Hernandez, yang menangani Lana kembali memeriksa kondisi istrinya, Raka menghampiri dengan langkah
Malam itu, suasana Miami begitu hangat dengan angin sepoi-sepoi yang mengalun lembut. Raka memutuskan untuk mengajak Lana makan malam romantis di sebuah restoran yang menyajikan pemandangan pantai yang menakjubkan. Saat mereka tiba di restoran, cahaya lampu gemerlap yang memantul di atas ombak memberikan nuansa yang begitu magis.Raka menggandeng tangan Lana sambil tersenyum lebar, matanya penuh dengan kelembutan saat menatap istrinya. "Ini malam yang sempurna, Sayang," ucapnya dengan suara lembut.Lana tersenyum sambil mengangguk setuju, matanya bersinar cerah. "Iya, ini begitu indah," sahutnya, memandang sekeliling dengan penuh kekaguman.Selama makan malam, Raka dan Lana terlihat begitu mesra. Mereka tertawa, berbagi cerita, dan saling bercanda seperti dulu kala. Sudah lama mereka tidak menikmati momen seperti ini bersama-sama.Tiba-tiba, Raka menyelinapkan sesuatu dari saku celananya. Sebuah kotak kecil berwarna biru terpampang di hadapan Lana. Mata Lana membulat kaget saat meliha
Raka merasa sangat menyukai perut Lana yang semakin membesar, karena menandakan bahwa sebentar lagi wanita itu akan melahirkan putri mereka. Terlepas dari semua masalah yang terjadi, Raka berjanji pada dirinya sendiri bahwa Lana akan menjadi satu-satunya wanita dalam hidupnya dan ibu dari anak-anaknya."Merasakan tubuhmu adalah pengingat sempurna bagiku, Lana," ucap Raka dengan suara penuh kehangatan. "Kamu begitu luar biasa, dan aku sangat beruntung memilikimu sebagai istriku."Sambil berhati-hati supaya tidak menekan perut Lana, Raka menumpukan berat tubuhnya ke siku dan lutut, kemudian memosisikan Lana dengan lembut. "Kamu baik-baik saja, Sayang?" tanyanya dengan penuh perhatian.Lana tersenyum lembut, merasakan kehangatan dari dekapan Raka. "Aku baik-baik saja, Raka," jawabnya sambil mengangguk. "Aku bahagia bisa bersamamu."Raka tersenyum puas mendengarnya, lalu tiba-tiba sebuah pertanyaan muncul dalam pikirannya. "Nama apa yang akan kita berikan untuk putri kita, Lana?" tanyanya
Setelah bermain dan menemani Aiden tidur, Raka melangkah dengan langkah-hati menemui Lana di kamarnya. Saat itu Lana sedang duduk di ranjang, membaca bukunya dengan ekspresi campuran antara konsentrasi dan kekosongan. Jejak-jejak air mata di sudut matanya masih terlihat meskipun dia berusaha menyembunyikannya.Saat Raka masuk, Lana meletakkan bukunya dengan lembut dan memandang ke arah Raka. Untuk sesaat, pandangan mereka bertemu. Sorot mata mereka menampilkan rasa penyesalan dan kerinduan yang tak terucapkan.Raka mendekati Lana dengan langkah perlahan, lalu memeluknya dengan penuh kerinduan. Lana membalas pelukan itu dengan erat, membenamkan wajahnya di dada Raka sambil menangis tersedu-sedu. "Maafkan aku, Raka... aku begitu bodoh dan egois," bisiknya dengan suara tercekat oleh tangis.Raka melepaskan pelukannya, lalu menghapus air mata Lana dengan lembut menggunakan jemarinya yang hangat. "Tidak, Lana... aku yang seharusnya minta maaf. Aku harusnya lebih sabar dan lebih memahami,"
Sudah hampir enam bulan sejak Lana dan Aiden pergi meninggalkannya. Setiap hari, Raka merasa kehidupannya terasa hampa dan menyakitkan. Awalnya, dia merasa marah atas kepergian mereka, tetapi seiring berjalannya waktu, perasaan itu berubah menjadi rindu yang mendalam. Raka menyadari bahwa dia sangat merindukan kehadiran Lana dan Aiden di dalam hidupnya.Mencari cara untuk menemukan mereka, Raka akhirnya memutuskan untuk menyewa detektif swasta. Setiap hari, dia menantikan kabar dari detektifnya, berharap bisa mendapatkan petunjuk keberadaan Lana dan Aiden.Setelah berbulan-bulan menunggu dengan sabar, akhirnya detektif memberikan kabar bahwa mereka telah menemukan keberadaan Lana dan Aiden."Apakah kamu sudah mendapatkan informasi yang dibutuhkan?" tanya Raka tanpa bisa menyembunyikan kegelisahannya.Detektif itu mengangguk. "Ya, Pak. Saya telah berhasil menemukan alamat anak dan istri Anda."Raka merasakan lega yang begitu besar. "Bagus. Di mana mereka berada?"Detektif itu memberika
Setelah percakapan yang menyakitkan di dalam mobil, Lana merasa semakin yakin bahwa keputusannya untuk meninggalkan Raka adalah yang terbaik bagi dirinya dan Aiden. Meskipun hatinya hancur, dia merasa bahwa dia harus melindungi dirinya sendiri dan anaknya.Ketika mereka tiba di kantor Raka, Lana berusaha menahan tangisnya saat berpisah dengan pria yang pernah dia cintai. Dia memberikan senyuman tipis, mencoba menyembunyikan rasa sakitnya di balik topeng ketegasan.Setelah berpisah dengan Raka, Lana segera kembali ke rumah dan mulai mempersiapkan semuanya untuk pergi. Dia mengemasi beberapa barangnya dan Aiden, bersiap-siap untuk meninggalkan semua kenangan yang ada di rumah itu.Saat siang menjelang, Lana menjemput Aiden dari sekolah. Anak itu senang melihat ibunya datang menjemputnya. Namun, kegembiraannya segera reda saat Aiden menyadari bahwa papanya tidak ikut."Mama!" serunya gembira sambil berlari mendekati Lana.“Hai, Sayang,” sapa Lana sambil menggendong Aiden dan membawanya m
Lana merasakan beban yang tak terlukiskan di dadanya semakin berat ketika melihat Raka dan Aiden berdua. Meskipun berusaha menunjukkan wajah tenang, dalam hati, dia merasa hancur. Momen-momen seperti ini membuatnya semakin yakin bahwa keputusan yang akan dia ambil tidak akan mudah.Saat Raka mencium Aiden sebelum berangkat, Lana merasa seperti hatinya hancur berkeping-keping. Dia ingin menangis, ingin berteriak, tapi dia harus bertahan. Dia tidak bisa menunjukkan kerapuhannya di depan Raka, terutama di depan Aiden.Ketika Raka mendekatinya dan mencium pipinya, Lana hampir tak kuasa menahan air matanya yang ingin tumpah. Dia merasakan getaran perasaan campur aduk di dalam dirinya. Cinta, penyesalan, ketakutan, dan keputusasaan bersatu dalam satu rasa."Selamat pagi," kata Raka dengan senyum tipis yang mencoba menutupi ketegangan di antara mereka."Selamat pagi," jawab Lana dengan suara yang hampir bergetar.Aiden, yang tak menyadari keadaan tegang di antara kedua orang tuanya, tersenyu
Raka menatap tajam Lana, tatapannya penuh dengan kekecewaan dan kemarahan yang sulit disembunyikan. "Bagaimana kau bisa melakukan ini kepadaku dan Aiden, Lana?" desisnya dengan suara penuh amarah, matanya menyala dengan api kemarahan. "Apakah belum cukup bagimu untuk mengkhianatiku dan pernikahan kita dengan menjalin hubungan kembali bersamanya?"Lana merasa dadanya terasa sesak mendengar kata-kata suaminya itu. Dia menatap Raka dengan tatapan penuh penyesalan. "Raka, aku tidak pernah bermaksud menyakitimu atau Aiden," ucapnya dengan suara yang penuh dengan kehancuran.Raka menatap Lana dengan penuh kekecewaan. "Kamu pikir aku bodoh, Lana?" bentaknya dengan suara gemetar. "Aku melihat semuanya dengan mata kepalaku sendiri. Jangan mencoba membodohiku dengan alasan-alasan yang malah membuatku semakin...."Lana menyela, "Aku tidak berbohong, Raka," ujarnya dengan suara yang rapuh. "Apa yang kamu lihat di restoran itu, itu tidak seperti yang kamu kira. Semuanya hanya kesalahpahaman."Raka