Setelah Lana dan Raka berbicara untuk pertama kalinya sejak insiden, mereka berusaha memulihkan hubungan mereka. Meskipun masih ada ketegangan di udara, mereka berdua berusaha untuk saling mendengarkan dan memahami.Beberapa hari kemudian, ketika Lana sedang berada di rumah, bel tiba-tiba berdering. Lana menghampiri pintu dan terkejut melihat Gabriella berdiri di depannya dengan senyum licik di wajahnya. Sesaat, hati Lana terasa berdebar kencang. Dia tahu kedatangan Gabriella tidak akan membawa kebaikan."Hai?" sapa Gabriella dengan manisnya, tetapi ada kebusukan di balik setiap kata yang dia ucapkan.Lana menatap Gabriella dengan tajam, tetapi tetap mencoba menjaga ketenangannya. "Apa yang kau lakukan di sini, Gabriella?" tanyanya dengan suara dingin.Gabriella hanya tersenyum, seolah menikmati ketidaknyamanan Lana. "Oh, aku hanya ingin berbicara dengan Raka," jawabnya santai.Lana menahan amarahnya. Dia tahu Gabriella tidak datang tanpa alasan. "Raka tidak ada di rumah," ucapnya teg
Lana masih terdiam ketika Raka keluar dari kamar mandi. Dia merasa terjebak dalam pusaran emosi yang membingungkan. Setiap kata yang keluar dari mulut Raka membuatnya semakin bingung.Raka mencoba mendekati Lana, tetapi wanita itu menjauh dengan ekspresi dingin di wajahnya. "Lana, dengarkan aku. Aku nggak pernah memiliki hubungan apa pun dengan Gabriella. Kamu nggak perlu cemburu," ucap Raka dengan suara lembut.Lana menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan emosinya yang masih bergolak. "Tapi kamu memilih untuk mempercayainya daripada aku," desaknya dengan suara yang penuh dengan kekecewaan.Raka menatapnya lekat-lekat, mencoba memahami perasaan Lana. "Aku nggak mempercayainya lebih dari kamu, Lana. Aku hanya mencoba menyelesaikan masalah ini dengan cara yang lebih damai," ucapnya dengan suara yang tenang."Raka, aku hanya ingin kamu mempercayai aku," ucap Lana dengan suara lemah, matanya tak bisa bertemu dengan mata suaminya.Raka mendekati Lana dengan langkah hati-hati, menc
Lana mengalihkan pandangannya dari laporan yang ada di mejanya ke arah Rudi yang berdiri di depannya. Hatinya berdebar keras, tidak menyangka akan bertemu dengan mantan suaminya di tengah kesibukannya."Dari mana kamu tahu aku ada di sini?" tanya Lana, mencoba menahan kebingungannya. Karena memang sudah selama beberapa waktu ini dia pindah ruangan dan tidak mengizinkan siapa pun menemuinya di ruangan ini.Rudi hanya tersenyum tipis. "Aku punya caraku sendiri untuk mengetahuinya," jawabnya singkat.Lana merasa semakin tidak nyaman dengan kehadiran Rudi di ruang kerjanya. Dia mencoba mengendalikan diri agar tidak terlihat terpengaruh. "Apa yang kamu inginkan, Rudi?" tanyanya, mencoba menjaga suaranya tetap tenang.Rudi melangkah sedikit lebih dekat. "Aku hanya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi antara kita," katanya dengan serius."Rudi, ini bukan waktu yang tepat," ucap Lana dengan suara lemah, mencoba menenangkan dirinya sendiri.Namun, Rudi tidak terlihat terpengaruh. Wajahnya ta
Saat Lana hendak memasuki mobilnya di tempat parkir, dia terkejut ketika pintu mobil terbuka secara tiba-tiba. Sebelum dia bisa bereaksi, Rudi sudah duduk di kursi penumpang. Tatapan tajamnya menembus ruang sempit di dalam mobil, membuat Lana merasa terkepung."Rudi, apa yang kau lakukan di sini?" tanya Lana dengan nada yang ketus.Rudi hanya menatapnya dengan serius, seolah menimbang kata-katanya dengan hati-hati sebelum akhirnya berkata, "Aku perlu membicarakan sesuatu denganmu, Lana."Lana merasa kesal. Dia tidak ingin melibatkan dirinya dalam pembicaraan apa pun dengan Rudi, terutama setelah apa yang dia katakan sebelumnya di kantor. "Aku tidak punya waktu untukmu sekarang, Rudi. Keluarlah dari mobilku."Rudi tetap diam, menunjukkan keteguhan yang langka di matanya. "Kamu harus mendengarkan aku, Lana. Ini penting."Lana menggertakkan giginya, merasa semakin kesal dengan sikap Rudi yang seenaknya. "Aku tidak ingin mendengarkan apapun dari mu. Tolong tinggalkan mobilku sekarang juga
Saat Lana memasuki rumah, dia merasakan hampa yang menusuk. Raka belum kembali, dan ketidakhadirannya memberi tekanan tambahan pada suasana hati yang sudah tegang. Dalam usahanya untuk mengalihkan pikirannya, Lana mencari Aiden yang sedang bermain di ruang keluarga."Ada apa, Mama?" tanya Aiden dengan ceria saat Lana mendekat.Lana mencoba tersenyum lembut untuk anaknya. "Tidak apa-apa, sayang. Mama hanya ingin bermain bersamamu," jawabnya dengan suara getir.Mereka berdua duduk di lantai, Aiden dengan cepat memperlihatkan mainannya pada ibunya, mencoba menghiburnya. Namun, pikiran Lana tetap melayang ke perasaannya yang kacau. Bagaimana dia bisa menghadapi Raka setelah melihat foto-foto itu? Bagaimana jika semuanya itu benar? Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi pikirannya, membebani setiap langkahnya.Waktu berlalu dengan lambat, dan kehadiran Raka masih belum terasa. Lana mencoba mengusir ketegangan di dalam dirinya dengan bermain bersama Aiden, tetapi bayang-bayang keraguan terus me
Lana berusaha untuk tidak membangunkan Raka yang masih tertidur lelap di sampingnya. Dia ingin memberinya waktu untuk beristirahat setelah pulang larut malam kemarin. Dengan hati-hati, Lana bergerak dari tempat tidur, berusaha untuk tidak mengganggu kedamaian suaminya yang sedang tidur.Namun, sebelum Lana sempat menemui pijakan kakinya di lantai, tangannya tiba-tiba ditahan oleh genggaman kuat. Dia terkejut dan menoleh ke arah Raka yang masih terbaring di tempat tidur, matanya yang masih setengah terpejam memancarkan kelembutan yang tidak biasa."Tetaplah di sini," bisik Raka dengan lembut, suaranya hampir terdengar sayup di antara udara pagi yang tenang. "Ayo, kita tidur sebentar lagi."Lana memandang wajah Raka dengan campuran perasaan takjub dan bingung. Apa yang membuat Raka begitu lembut dan perhatian pagi ini? Apakah dia merasa bersalah tentang sesuatu yang terjadi semalam?Dengan ragu, Lana mencoba untuk menggoyangkan kepala. "Aku sudah bangun, Raka. Aku harus menyiapkan sarap
Dengan emosi yang meluap-luap, Lana tidak bisa menahan amarahnya lebih lama lagi. Dia menghadap Raka, dan tanpa berkata sepatah kata pun, tangannya bergerak dengan cepat, memukul dada Raka berkali-kali dengan penuh kemarahan. Setiap pukulan membawa rasa sakit yang membingungkan dalam dirinya, tetapi dia tidak peduli. Semua kekecewaan, ketidakpercayaan, dan kemarahan yang telah menumpuk dalam dirinya akhirnya meledak.Raka, terkejut dengan serangan tiba-tiba dari istrinya, mencoba menahan tangan Lana untuk menghentikan pukulannya, tetapi Lana terlalu kuat, terlalu terpaku pada kemarahannya. Dia terus memukul, hingga kekuatannya mulai memudar, digantikan oleh rasa lelah yang menghampiri tubuhnya.Sementara itu, Raka, yang merasakan setiap pukulan itu dengan hati yang hancur, mencoba untuk menjelaskan pada Lana, mencari kata-kata yang tepat yang bisa meredakan amarahnya. Namun, setiap upayanya sia-sia, terdengar terhenti oleh suara-suara kegelisahan yang muncul dari kedalaman hatinya.La
“Apa benar kalian hanya berciuman?” tuntut Lana dengan pahit. “Tidak ada yang lain?”Raka mengangguk mantap. "Ya, Lana. Kami hanya berciuman. Itu adalah sebuah kesalahan besar dan aku menyesalinya sepenuhnya."Lana merasa dadanya terasa sesak. Meskipun kata-kata Raka menawarkan sedikit kelegaan, tetapi pikirannya masih dirundung oleh pertanyaan yang tak terhitung jumlahnya. Dia berjuang untuk mempercayai kata-kata Raka sepenuhnya, sementara pikirannya masih dipenuhi oleh gambaran tentang apa yang bisa saja terjadi di balik belakangnya."Waktu itu, aku... aku tidak sadar apa yang aku lakukan," sambung Raka dengan suara yang rendah. "Lalu ketika aku kembali sadar, aku langsung meninggalkan bar itu. Aku merasa sangat bersalah, Lana."Lana menutup matanya sejenak, mencoba menahan air mata yang ingin tumpah. Dia merasa terombang-ambing antara keinginan untuk mempercayai Raka dan kebutuhan untuk melindungi dirinya sendiri dari lebih banyak sakit hati."Sudah cukup, Raka," ucap Lana akhirnya