Keesokan harinya, setelah menikmati pagi yang tenang di penginapan mereka, Lana, Raka, dan Aiden melanjutkan perjalanan mereka mengelilingi Montreux, kota yang terkenal dengan keindahan alamnya yang menakjubkan. Mereka menjelajahi jalan-jalan berliku yang membelah perbukitan, menikmati pemandangan yang memukau dari Danau Jenewa yang membentang luas di bawah langit biru yang cerah.Aiden tertawa riang saat dia berlarian di antara Raka dan Lana, merasa sangat bahagia bisa bermain bersama Papa dan Mamanya di tempat yang begitu indah ini. Dia mengeksplorasi setiap sudut kota dengan mata yang penuh kegembiraan, menikmati setiap momen kebersamaan dengan kedua orangtuanya.Lana dan Raka tersenyum melihat kebahagiaan yang terpancar dari wajah Aiden, merasa sangat bersyukur karena bisa memberikan momen-momen berharga seperti ini untuk putra mereka. Mereka berjalan beriringan, tangan mereka saling terpaut erat, menunjukkan kepada dunia betapa kuatnya ikatan cinta yang menyatukan mereka.Di anta
Setelah menikmati liburan yang indah di Swiss, Raka, Lana, dan Aiden melanjutkan perjalanan mereka ke Paris, destinasi terakhir dalam petualangan mereka. Ketika mereka tiba di Paris, Raka membawa mereka ke salah satu hotelnya yang mewah di pusat kota.Saat mereka masuk ke dalam hotel yang megah itu, Aiden terlihat sangat gembira. Tidak hanya karena hotel tersebut sungguh mewah dan menakjubkan, tetapi juga karena dia bertemu dengan kakeknya yang juga sedang berada di Paris untuk urusan bisnisnya."Aiden, apa kabar, Nak?" sapa Mauritz dengan senyum hangatnya saat mereka bertemu di lobi hotel."Kakek!" seru Aiden dengan gembira, merangkul kakeknya dengan erat.Setelah beristirahat sejenak di hotel, mereka memulai petualangan mereka di kota Paris yang megah. Mereka mengunjungi Menara Eiffel, Louvre, dan Notre-Dame, menikmati keindahan arsitektur kota ini sambil mengambil foto-foto indah sebagai kenang-kenangan.Di sela-sela kunjungan wisata, mereka menikmati santapan lezat di restoran-res
Setelah menyelesaikan liburan yang penuh kenangan, Lana, Raka, dan Aiden kembali ke Jakarta, kembali pada rutinitas sehari-hari mereka. Lana sudah kembali bekerja. Aiden mulai bersekolah dan Raka mulai menjalankan perusahaan, meski masih dengan bantuan Max.Setiap pagi, keluarga itu menikmati sarapan bersama di ruang makan mereka, sambil membahas rencana untuk hari itu. Lana, yang masih tetap aktif menjalankan perusahaan, berdiskusi dengan Raka dan Max tentang strategi perusahaan."Lana, aku ingin memberitahumu bahwa Raka dan aku akan melakukan perjalanan bisnis selama seminggu ke depan," ungkap Max dengan nada serius.Lana memandang Max dengan ekspresi cemas. "Oh, begitu ya. Tidak apa-apa. Kalian pasti memiliki pekerjaan yang penting," jawabnya, mencoba untuk menutupi kecemasannya.Max melihat kekhawatiran di wajah Lana. Mengetahui perselisihan antara Lana dan Gabriella, dia ingin menenangkan temannya itu. "Jangan khawatir, Lana. Aku akan selalu menjaga Raka dengan baik selama perjal
Pagi itu, suasana cerah menyambut keluarga kecil itu saat mereka bersiap-siap untuk memulai hari. Raka dan Lana dengan penuh semangat membantu Aiden menyiapkan diri untuk pergi ke sekolah. Mereka berbagi candaan dan tawa di meja makan, mengisi ruangan dengan kehangatan dan keceriaan.Setelah sarapan, mereka bersama-sama menuju mobil, siap untuk mengantar Aiden ke sekolah. Di perjalanan menuju sekolah, mereka berbicara tentang rencana hari itu, sambil sesekali menertawakan lelucon Aiden."Jangan lupa membawa bekalmu, Aiden," kata Raka dengan suara penuh kasih, mencoba menenangkan hati kecil anak mereka."Aku tahu, Papa," jawab Aiden dengan antusiasme, matanya berbinar-binar.Sesampainya di sekolah, mereka berdua turun dari mobil untuk mengantar Aiden ke pintu gerbang. Mereka memberikan pelukan hangat dan ciuman di pipi kecilnya sebelum akhirnya melepaskannya untuk pergi ke kelasnya.“Belajar yang pintar ya, Sayang. Ingat jangan berantem sama teman. Oh ya, nanti kalau Mama nggak bisa je
Setelah Lana membawa Rudi ke rumah sakit, mereka berdua segera menuju ruang gawat darurat. Di sana, dokter segera melakukan pemeriksaan terhadap luka-luka Rudi dan menentukan langkah-langkah perawatan yang diperlukan.Selama Rudi menjalani pemeriksaan, Lana memilih untuk mengurus biaya perawatannya di meja pendaftaran. Setelah selesai mengurus administrasi, Lana kembali menemui Rudi."Mengenai luka-luka di siku dan lututnya, kita telah membersihkan dan merawatnya dengan baik. Tidak ada yang serius, hanya luka ringan. Namun, sayangnya kami menemukan bahwa kakinya mengalami sedikit kilatan. Kami merekomendasikan untuk mengistirahatkannya dan memberikan perawatan yang tepat agar pulih dengan baik," jelas dokter dengan suara lembut.Lana mengangguk dengan penuh perhatian, merasa lega bahwa luka-luka Rudi tidak terlalu serius. "Terima kasih, Dokter. Saya akan memastikan dia mendapatkan perawatan yang baik," ucap Lana dengan tulus.Lana merasa detak jantungnya meningkat secara tiba-tiba ket
Saat Lana memasuki rumah, tatapan Raka yang gelap langsung menarik perhatiannya. Dia merasakan kehadiran suaminya bahkan sebelum melihatnya duduk di sofa ruang tengah, menunggunya dengan ekspresi yang tegang.Dengan hati yang berat, Lana menelan ludah, mencoba menemukan keberanian untuk menghadapi Raka. Langkahnya ragu saat dia mendekati suaminya, menyadari bahwa dia telah membuat Raka marah."Dari mana saja kamu?" tanyanya dengan suara yang tegas, tanpa memberi kesempatan pada Lana untuk memberi penjelasan.Lana menggigit bibirnya, mencoba menemukan kata-kata yang tepat. “Aku cuma pergi membeli bahan makanan dan kue untuk Aiden,” jawabnya dengan suara yang gemetar.Tubuh Lana semakin menegang ketika Raka menyudutkannya, menuntut penjelasan lebih lanjut. "Jadi, di mana semua bahan makanan dan kue itu?" desak Raka dengan nada yang lebih tajam.Lana merasa kesulitan bernapas, dadanya terasa sesak saat dia mencoba mencari kata-kata yang tepat. Melihat tatapan tajam yang datang dari Raka,
"Bagaimana kalau ingatan aku nggak pernah kembali, Lana," ucapnya dengan suara yang penuh dengan keputusasaan. “Apa kita akan terus hidup seperti ini?” Lana terdiam sejenak, menghela napas dalam-dalam saat pertanyaan itu menghantamnya. Dengan perlahan, dia mencoba menemukan kata-kata yang tepat. "Lebih baik mulai sekarang, Raka," katanya dengan lembut. "Kita harus mempercayai satu sama lain."Raka hanya tersenyum sinis. "Bagaimana aku bisa percaya, Lana?" tanyanya dengan nada yang penuh dengan ketidakpercayaan. "Kisah cinta kita saja dimulai dari sebuah pengkhianatan."Lana merasa amarahnya memuncak. "Darimana kamu mendapatkan informasi itu?" tanyanya dengan suara tajam, matanya menyala dengan kekesalan. "Siapa yang memberitahumu?"Raka hanya mendengus, mengabaikan pertanyaan Lana. “Nggak penting siapa yang memberitahu. Yang penting adalah kebenarannya," jawabnya dengan tegas. Dia mendekatkan wajahnya kembali pada Lana, matanya menyelidiki wajah istrinya dengan tajam."Dan apakah tan
Selama beberapa hari berikutnya, suasana di rumah Lana dan Raka terasa tegang. Lana masih merasa sulit untuk bersikap biasa di sekitar Raka setelah apa yang terjadi malam itu. Lana masih sulit untuk menatap wajah suaminya tanpa teringat akan kejadian yang menyakitkan itu. Setiap kali dia melihat Raka, gambaran malam itu terbayang jelas di dalam pikirannya, membuatnya merasa terluka dan takut.Sementara itu, Raka tidak menyerah begitu saja. Meskipun Lana menjaga jarak dan merasa sulit menerima kehadirannya, pria itu tetap berusaha. Setiap kali pulang kerja, dia membawa bunga segar dan makanan kesukaan Lana, berharap bisa meredakan dinginnya suasana di antara mereka.Hari berganti hari, tetapi Lana tetap bersikap dingin. Dia menerima bunga-bunga itu tanpa sepatah kata, dan makanan kesukaannya tersia-siakan di atas meja. Tidak ada senyum, tidak ada ucapan terima kasih, hanya hening yang menggantung di udara.Suatu malam, ketika Raka kembali membawa bunga segar dan makanan favorit Lana, d