"Seujung kuku lo sentuh istri gue, mati lo!” Aqsal berteriak.“Angkat tangan lo, Aqsal!” bentak Robin balik.“Apa mau lo, Brengs*k!”“Gue mau lo datang ke sini. Angkat tangan lo!”“Kalau gue menolak, lo mau apa?”Robin menyeringai. Ia mulai membuka hijab Niha dan terlihatlah rambut yang menjadi candu Aqsal tersebut.“An*ing, C*k, hentikan!” Aqsal sudah kalap. Segala macam umpatan dikeluarkan.“Untuk itulah, angkat tangan lo satu biar lo benar-benar nggak lapor polisi atau panggil bala bantuan. Lalu jalan ke depan. Di sana, anak buah gue siap mengantarkan lo bertemu istri lo ini.” Robin kembali mendekatkan wajah pada Niha.“Iya, gue turuti! Tapi menjauhlah dari istri gue! Dia suci, nggak pantes lo yang najis menyentuhnya!”“Bagus. Cepat jalan!”Aqsal tidak punya pilihan lain selain menurut. Ia terpaksa mengikuti semua titah Robin agar sang istri tetap aman dan selamat.Robin itu pria nekat dan membahayakan. Ucapannya tidak main-main. Aqsal tidak mau Niha ikut mengalami trauma mendalam
Setelah dipastikan tubuh Aqsal diikat kuat di kursi dan tidak bisa melarikan diri, dua pria suruhan Robin menjauh. Giliran Robin yang mendekat.“Bagaimana? Penawaran yang menarik, bukan?” Robin tersenyum puas.Aqsal terus meronta dan berusaha lepas, tetapi tidak bisa. Mulutnya juga terdengar meracau tidak jelas.“Kenapa? Lo ingin bilang sesuatu?” tanya Robin sambil tertawa.“Baiklah, Aqsal. Mari kita mulai permainannya. Ikatan di mulut lo akan gue lepas, tapi jangan sampai teriak. Kalau teriak, istri lo yang akan menanggung akibatnya.”Robin melepas ikatan kain di mulut Aqsal.Aqsal spontan meludahi wajah Robin. Raut muka Robin tampak merah padam mendapat serangan demikian. “An*ing lo!” teriak Aqsal.“Lucuti pakaian wanita itu!” Robin menunjuk Niha. Ia memerintah dua pesuruhnya sambil menyeka ludah Aqsal di wajahnya.Niha terus menggeleng dengan air mata yang sudah menganak sungai.Dengan tawa menggelegar, hijab Niha yang tadi sempat dipasang asal oleh Robin mulai dilepas kembali dan
Robin terbahak-bahak setelah kata talak keluar dari mulut Aqsal. Ia merasa menang telah berhasil memisahkan pasangan suami istri di hadapannya.Napas Aqsal terengah-engah. Ia menyimpan dendam kesumat dalam tiap embusan napas itu. Pria berhidung bangir tersebut berjanji akan membalas semua perbuatan Robin jika ada kesempatan melarikan diri nanti.Perkara talak, Aqsal berpikir bukan masalah menceraikan Niha sekarang. Semua dilakukan untuk kebaikan dan keselamatan sang kekasih. Jika sudah bisa keluar dari sangkar Robin dan bebas, ia berjanji akan merujuk Niha kembali. Namun, jika masa iddah sudah habis dan tidak bisa rujuk, ia bisa menikahi pujaan hatinya lagi.Mata Aqsal berkilat merah. Ia menatap Robin jijik. Selama matanya masih bisa melihat, pria itu berjanji akan membalas semua perlakuan Robin pada Niha barusan. Ia tidak rela tubuh Niha disentuh pria ba*ingan tersebut.Sementara Niha kian tergugu dalam tangis. Ia tidak marah, tidak kecewa, dan tidak menyesal karena telah ditalak Aqs
Niha menahan napas ketika ponsel justru didekatkan Robin ke telinganya yang matanya masih tertutup rapat."Silakan menikah lagi, Mas." Niha ingat, pernah menyuruh Aqsal menikah lagi. Lalu sekarang perintah itu seperti bumerang yang menghancurkannya ketika sang kekasih benar-benar akan menikah lagi.Niha menyesal. Baru sadar bahwa ucapan itu doa. Mulai sekarang, ia akan berhati-hati dalam berucap “Buka mata lo, biar lo tahu seperti apa saat mantan suami lo menikahi wanita lain,” desis Robin.Pria itu lalu membuka paksa mata Niha. Namun, Niha terus menggeleng.“Buka dan lihatlah! Atau saat ini juga, gue benar-benar menggauli lo,” tambah pria itu seraya menyentuh dada Niha.Niha pun akhirnya membuka mata.“Bagus. Tapi ngomong-ngomong, tubuh lo putih, seksi, dan sintal. Bagaimana kalau kita menikah? Asti sama Aqsal, gue sama lo. Siapa tahu kalau kita menikah, gue insyaf kayak si Aqsal. Kedengarannya menarik.” Robin berbisik penuh ejekan.Niha menatap pria berkemeja pres bodi warna hitam
Bugh!Perut Aqsal mendapat bogem mentah dari orang-orang Robin.Amir, Tami, dan tiga orang itu mengabaikan teriakan Aqsal karena memang menganggap pria tersebut gila.“Kalian, tolong istri saya! Dia–” Aqsal kembali berteriak, tetapi kalimatnya tidak lengkap saat anak buah Robin memukuli tubuh dan wajahnya.“Pa, Ma! Kalian mau ke mana?” Asti berlari menghampiri orang tuanya.“Asti, Sayang. Kami tidak bisa menikahkanmu dengan Aqsal. Kita semua tahu sepak terjangnya, bagaimana dia menyiksa Niha. Kami tidak mau kamu mengalami hal serupa,” ujar Tami.“Tapi aku mencintainya, Ma.”“Pak, tolong jangan pergi dulu. Nikahkan saya dengan Aqsal.” Asti menatap kiai dan saksi bergantian.“Asti, jangan b*doh! Kamu pikir cinta saja cukup untuk berumah tangga? Tidak! Kamu akan menderita jika menikah dengan Aqsal!” gertak Amir.“Pa, kumohon.” Asti mengiba.“Sekali tidak tetap tidak! Selamanya Papa nggak akan sudi jadi wali menikahkanmu dengannya. Dia itu gila!”“Entah bagaimana dan di mana Niha sekarang
“La-ri, Ni-ha!” Suara Aqsal samar masih bisa didengar Niha yang sudah berada di luar jendela.“Kejar wanita itu!” teriak Robin.Wanita itu pun berlari sekuat tenaga dengan bertel*njang kaki. Sejauh mata memandang, sebuah perumahan yang masih tahap pembangunan. Banyak material bangunan berserakan. Hanya sedikit rumah yang sudah menyala lampunya. Lainnya, masih tahap pembangunan, belum ada penerangan.Niha mengetuk pintu salah satu rumah terdekat yang lampunya menyala tersebut.“Pak, Bu, tolong!” teriaknya sambil terus mengetuk pintu.Sesekali Niha menoleh belakang, takut anak buah Robin mengikuti.Beberapa kali usaha mengetuk, tidak ada jawaban ataupun sahutan dari dalam.Niha tidak putus asa. Ia kembali mengetuk pintu lain.“Tolong, Pak Bu!” teriak wanita itu sambil mengetuk pintu.Sama, tidak ada sahutan. Entah memang belum berpenghuni atau memang penghuninya tidak peduli, Niha diabaikan.“Hey! Berhenti kau!” Dua orang pria anak buah Robin terlihat dan berteriak.Di tengah malam tanp
Beberapa orang datang mendatangi Niha. Beberapa lagi mengatur lalu lintas agar pengendara memelankan laju kendaraan. Wanita itu masih terjaga meskipun tingkat kesadarannya rendah.“Lapor ke kantor polisi depan sana kalau di sini ada kecelakaan, cepat!" ujar salah seorang pria.“Aku akan menelepon ambulans,” sahut yang lain.“Kasihan sekali,” ujar yang lain seraya menatap Niha.“Ru-mah sa-kit Cip-to,” ujar Niha terbata-bata. Ia ingin dibawa ke rumah sakit itu, di mana Dico dinas. Sebab ia tidak tahu lagi meminta tolong siapa. Di Jakarta ini, sudah tidak ada yang bisa dimintai tolong selain pria tersebut.Darah segar keluar dari kepala Niha hingga hijabnya basah. Darah juga keluar dari hidungnya. Tidak butuh waktu lama, tubuhnya dikepung basah darah.“Astaga, mengerikan sekali.” Orang-orang tidak ada yang berani mengangkat tubuhnya karena banyaknya darah. Mereka menunggu tenaga medis atau polisi. Malam itu, Niha dibiarkan terkapar di atas aspal dengan mata terpejam. Orang-orang hanya me
Di luar, dokter yang menangani Niha bercakap-cakap dengan perawat.“Sus, katanya tadi namanya Niha. Kita belum tahu keluarganya. Nanti saja kalau kondisinya lebih baik, kita tanya lagi. Kamu tebuskan obat ini untuknya,” ujarnya.“Baik, Dok.”“Sama nanti tanyakan lagi apa keluhannya selain pusing.”“Ya, Dok.”Ketika malam kian merangkak, Niha tidak bisa tidur. Miring, tidak enak. Telentang, tidak nyaman. Badannya terasa sakit semua. Ia sendirian di sana, menangis, entah untuk apa. Wanita yang wajahnya nyaris tidak dikenali itu juga sejenak tidak ingat dan tidak peduli dengan suaminya yang juga tengah berjuang hidup di tempat lain.Niha sangat merepotkan. Ia selalu memanggil-manggil perawat. Wanita itu masih di IGD, belum mendapatkan kamar. Menjelang dini hari, akhirnya ada satu kamar kosong untuknya.“Tubuhnya panaskah, Bu? Atau ada bagian tertentu yang terasa sakit?” tanya perawat.“Nggak ada. Hanya rasanya nggak nyaman. Gue bingung harus apa. Gue lapar, mau makan,” jawab Niha.“Janga
“Mas, dingin,” keluh Niha sambil menyatukan kedua tangan di depan dada. Aqsal terkekeh. “Kamu terlalu keras kepala, Sayang. Baru pulih, sudah nyari penyakit lagi. Sini, aku peluk.” Pria itu duduk di belakang istrinya, memeluk erat dari belakang. Niha leluasa menyandarkan kepalanya di dada bidang sang suami. Atau meletakkan di lemgan suaminya. Baginya, tidak ada tempat bersandar terbaik selain di sana. Aqsal tiada bosan menciumi puncak kepala istrinya yang terbungkus kupluk jaket. Keduanya sedang menunggu sunrise di gunung Bromo. Tepatnya di Love Hill atau spot sunrise point pananjakan 3. Niha kukuh merengek mengajak ke sana padahal baru saja pulih dari sakit. Terpaksa Aqsal menuruti meski dengan berat hati. Mereka tidak jadi dinikahkan ulang oleh warga sebab Niha dan Aqsal berhasil menjelaskan jika mereka memang pasangan suami istri. Keduanya memilih pergi dari lingkungan itu dan mencari tempat tinggal baru. Aqsal membeli sebuah rumah di kota Batu, berdekatan dengan kota sebelumny
Niha mendorong dada Arif agar menjauh dari hadapannya. Wanita itu menghapus air matanya kasar, lalu mengembuskan napas panjang. Ia menatap Arif sungguh-sungguh. “Mas, pernikahan itu bukan permainan. Pun identitas. Aku nggak tahu apa hukumnya menikah lagi denganmu, dengan identitasmu yang berbeda padahal kita masih suami istri. Lalu misal jika kita menikah lagi, siapa walinya? Sementara Nizam jauh di Mesir. Kemudian tentang identitas. Jangan sembarangan menggunakan identitas orang. Meskipun dosa ditanggung masing-masing kepala, tapi aku tetap takut jika dosa dan kesalahan yang kamu perbuat, Arif di alam sana ikut menanggungnya. Ya, meskipun itu kedengarannya tidak mungkin, setidaknya untuk berjaga-jaga. Cukup jadilah Aqsal, bukan orang lain. Setidaknya hormati almarhum Arif. Biarkan dia di sana hidup damai dan tenang, jangan mengusik dengan menggunakan identitasnya,” ucap Niha panjang lebar. Arif terdiam. Ia tidak pernah berpikir sejauh itu. Baginya, ia nyaman dengan identitas itu kar
“Omong kosong apa lagi ini hah!” teriak Niha. “Sayang, kumohon percayalah. Aku–“ “Tolo–“ Keduanya saling memotong ucapan sebelum akhirnya Arif membekap mulut Niha yang hendak berteriak minta tolong. “Sumpah demi Allah kalau aku ini Aqsal, suamimu. Aku bisa menjelaskan. Aku akan melepaskan bekapan, tapi tolong jangan teriak. Oke?” Suara Arif berubah. Suara itu membuat degup jantung Niha berdetak menggila. Suara Arif yang biasanya berat, berubah menjadi suara yang lama dirindukan. Suara itu suara Aqsal. Wanita itu membeku. Merasa Niha tidak bereaksi, Arif melepaskan telapak tangannya di mulut Niha. “Arif, jangan bercanda! Ini nggak lucu!” bentak Niha. “Aku nggak bohong, Sayang. Aku sudah menyebut sumpah atas nama Allah. Bukankah sumpah atas nama suci itu sumpah tertinggi?" Niha menatung. “Rif, aku sakit, jadi jangan mempermainkanku.” Niha menunduk, lelah berbicara dengan nada tinggi pada pria itu. “Sayang, lihat mataku. Apa kamu tidak mengenali mata suamimu? Apa kamu sudah lup
“Arif! Selamanya aku nggak akan pernah mau nikah sama kamu!” teriak Niha.“Sudah, tenang dulu.” Ketua RT menengahi.“Saya siap jika harus diarak keliling kota, Pak. Atau jika didenda berapa pun akan saya bayar. Saya juga janji akan pergi selamanya dari kota ini. Asal saya tidak dinikahkan dengan pria menjijikkan itu. Saya masih punya suami,” ujar Niha dengan napas tersengal-sengal sambil menatap Arif.“Arif, sebenarnya di sini kuncinya hanya kamu. Kamu tinggal jujur apa yang terjadi semalam. Dan saya yakin tidak terjadi apa-apa. Niha dalam kondisi sakit dan saya rasa kamu tidak tega melakukan hal buruk padanya. Kecuali kalau kamu pria bej*t,” ujar Gita.Arif memilih bungkam. Baginya, entah mengapa disuruh menikahi Niha terdengar lebih seru daripada jujur tentang kejadian semalam.“Andai semua orang di sini berpikiran sama denganmu, Mbak, pasti tidak akan ada fitnah dan semua tidak serumit ini,” sahut Arif akhirnya.“Kamu yang membuat semuanya rumit! Kalau kamu ingin menjebakku, carany
Tubuh Niha panas jika disentuh, tetapi ia merasa kedinginan. Arif memeluknya erat dari belakang sambil terus menahan diri agar tidak melewati batas. Apalagi aroma rambut Niha begitu menggelitik hidung, membuatnya harus ekstra menjinakkan gejolak khas orang dewasa dalam dirinya. Niha yang biasa tampil dengan penutup kepala, kini hanya mengenakan baju dan celana pendek. Tidak dipungkiri, Arif tergoda dengan kecantikannya. Pria itu terus mengendalikan sesuatu yang tiba-tiba mengeras di salah satu tubuhnya. “Jangan pergi, Mas.” “Aku rindu.” “Mas Aqsal.” Niha terus mengigau, tubuhnya masih menggigil, giginya bergemeletuk. Tangannya memegangi tangan Arif di perutnya, seolah-olah tidak ingin pria itu pergi. Arif merutuki diri sendiri. Yang dilakukan ini tidak sepatutnya dilakukan, ia tahu itu. Namun, hawa nafsu berbisik bahwa ini bukan hal yang salah. Toh, semua untuk menolong Niha dan tidak sampai menodai. Mana mungkin juga menodai seorang wanita yang kondisinya memprihatinkan seperti
“B-bu Endang!" Niha tergagap sambil berusaha bangkit dari atas tubuh Arif.Endang, pemilik rumah bergaya minimalis yang ditempati Niha mendekat dan menatap dua manusia di hadapannya nyalang.“B-bu, ta-tadi saya nggak sengaja jatuh ka-karena tadi.” Niha berdiri, lalu menggeleng, mendadak lidahnya kelu.“Rif! Jelaskan ke Bu Endang!” teriak Niha. Sementara Arif masih menepuk-nepuk pantatnya yang sakit sambil mendesis.“Mata saya masih normal melihat mana yang sengaja dan tidak. Arif tadi memelukmu! Apa kalian berzina?” bentak Endang.“Eng-enggak, Bu. Ta-tadi kata Arif–““Bu Endang nyium bau gas nggak?” potong Arif.Endang mengendus-endus ruangan.“Hidung Niha mati rasa, Bu. Dia nggak bisa nyium segala bau. Gas bocor pun dia nggak tahu. Daripada nanti rumah Ibu terbakar, saya ingin memperingatkan dia agar tidak menyalakan kompor. Saya tarik tubuhnya, dan terjadilah yang tadi. Telat sedetik, beneran ada ledakan tadi,” jelas Arif panjang lebar.Niha memicing. Arif sedetail itu tahu tentang
“Niha, hati-hati kalau lari!” Suara familier itu terdengar saat tubuh Niha menubruk dada seseorang. Kalau saja pria itu tidak memeluknya, Niha pasti akan jatuh.Sambil tersenyum tidak enak, Niha pun melepaskan diri.“Dokter Dico. Ma-maaf.”“Ya, nggak apa-apa. Untung aku yang kamu tubruk. Kalau orang lain gimana? Dan kenapa lari kayak ketakutan gini?”“A-ada pria menyeramkan, Dok. Dia tetangga baru di kontrakanku. Mungkin dia sengaja mengikutiku. Aku takut.”“Menyeramkan?”“Ho'oh. Oh, ya, kenapa bisa kebetulan Dokter ada di sini?”Dico terkekeh. “Aku tadi baca status W* kamu, katanya OTW ke sini. Ya udah, aku susul ke sini sengaja nggak ngasih tahu. Buat tantangan juga bisa menemukanmu apa enggak di pantai seluas ini. Eh, ternyata bisa.”“Kok cepet? Dari Jakarta?”“Enggak. Aku tiba di kota ini semalam. Jum’at sore kemarin setelah dinas, aku berangkat biar bisa di sini agak lama. Nginep di hotel, lalu pagi ini di sini, kita bertemu ini. Bukankah aku sudah bilang akan menyusul?”Niha ter
“Dok.” Niha memanggil saat Dico mengabaikan pertanyaannya. Justru ada suara seperti gumaman di seberang sana.“Eh, iya. Sebentar ya, lagi ngomong sama seseorang.” Dico menimpali. Suara yang didengar Niha sebuah suara tidak jelas.“Halo, Niha,” ujar Dico setelah selesai.“Ada kabar apa?”“Nggak jadi. Kemarin kamu bilang nggak tertarik sama si mantan musuh. Jadi, nggak usah aja.” Dico terkekeh. “Oh, ya, kamu lagi ada di mana ini?”Mantan musuh? Niha berpikir mungkin itu kabar tentang Asti. Ia tidak peduli.“Kasih tahu nggak ya?” Niha tertawa.Di seberang, Dico ikut tertawa. “Kali aja aku minat ingin ke sana juga. Pengen nyusul.”“Dokter, kok, hobi menguntit. Aku lagi di Malang, Dok. Dan langsung jatuh cinta sama tempat ini. Di sini sejuk, cenderung dingin. Hal yang nggak didapat di Jakarta.”“Ya sudah. Jangan lupa oleh-olehnya kalau balik.”“Siap, Bos.”“Niha.”“Ya.”“Ah, nggak jadi.”“Dasar. Ya udah, aku tutup teleponnya. Assalamualaikum.”“Waalaikumussalam. Enjoy your holiday, Niha.”
Akibat perbuatannya, Robin dijerat pasal berlapis mulai dari kepemilikan senjata api ilegal, rencana pembunuhan pada Niha dan Aqsal, juga terkuaknya kasus terdahulu yaitu menghilangkan nyawa seseorang. Ia dipenjara sepuluh tahun dan denda yang tidaklah sedikit.Sementara Asti, Niha tidak terlalu paham karena benar-benar memutus sambungan dengan wanita itu. Terakhir yang diketahui, Asti dijodohkan oleh orang tuanya.Setahun belakangan ini, Niha tinggal di sebuah apartemen elite yang dibeli dari uang peninggalan sang suami. Rumah pribadinya dibiarkan kosong. Hanya saja, tetap ada orang yang ditugaskan membersihkan. Ia masih ada di Jakarta, menunggu jika sewaktu-waktu Aqsal datang. Aqsal sendiri seperti ditelan bumi. Pihak kepolisian, detektif, mencari lewat media sosial, bahkan dukun dikerahkan untuk mencari. Namun, hasilnya nihil.“Aku nggak jadi ke Mesir aja, Mbak. Nemeni Mbak di sini,” ujar Nizam dulu sesaat setelah lulus.“Jangan karena masalah Mbak, jadi penghalang cita-citamu. Mb