Setelah dipastikan tubuh Aqsal diikat kuat di kursi dan tidak bisa melarikan diri, dua pria suruhan Robin menjauh. Giliran Robin yang mendekat.“Bagaimana? Penawaran yang menarik, bukan?” Robin tersenyum puas.Aqsal terus meronta dan berusaha lepas, tetapi tidak bisa. Mulutnya juga terdengar meracau tidak jelas.“Kenapa? Lo ingin bilang sesuatu?” tanya Robin sambil tertawa.“Baiklah, Aqsal. Mari kita mulai permainannya. Ikatan di mulut lo akan gue lepas, tapi jangan sampai teriak. Kalau teriak, istri lo yang akan menanggung akibatnya.”Robin melepas ikatan kain di mulut Aqsal.Aqsal spontan meludahi wajah Robin. Raut muka Robin tampak merah padam mendapat serangan demikian. “An*ing lo!” teriak Aqsal.“Lucuti pakaian wanita itu!” Robin menunjuk Niha. Ia memerintah dua pesuruhnya sambil menyeka ludah Aqsal di wajahnya.Niha terus menggeleng dengan air mata yang sudah menganak sungai.Dengan tawa menggelegar, hijab Niha yang tadi sempat dipasang asal oleh Robin mulai dilepas kembali dan
Robin terbahak-bahak setelah kata talak keluar dari mulut Aqsal. Ia merasa menang telah berhasil memisahkan pasangan suami istri di hadapannya.Napas Aqsal terengah-engah. Ia menyimpan dendam kesumat dalam tiap embusan napas itu. Pria berhidung bangir tersebut berjanji akan membalas semua perbuatan Robin jika ada kesempatan melarikan diri nanti.Perkara talak, Aqsal berpikir bukan masalah menceraikan Niha sekarang. Semua dilakukan untuk kebaikan dan keselamatan sang kekasih. Jika sudah bisa keluar dari sangkar Robin dan bebas, ia berjanji akan merujuk Niha kembali. Namun, jika masa iddah sudah habis dan tidak bisa rujuk, ia bisa menikahi pujaan hatinya lagi.Mata Aqsal berkilat merah. Ia menatap Robin jijik. Selama matanya masih bisa melihat, pria itu berjanji akan membalas semua perlakuan Robin pada Niha barusan. Ia tidak rela tubuh Niha disentuh pria ba*ingan tersebut.Sementara Niha kian tergugu dalam tangis. Ia tidak marah, tidak kecewa, dan tidak menyesal karena telah ditalak Aqs
Niha menahan napas ketika ponsel justru didekatkan Robin ke telinganya yang matanya masih tertutup rapat."Silakan menikah lagi, Mas." Niha ingat, pernah menyuruh Aqsal menikah lagi. Lalu sekarang perintah itu seperti bumerang yang menghancurkannya ketika sang kekasih benar-benar akan menikah lagi.Niha menyesal. Baru sadar bahwa ucapan itu doa. Mulai sekarang, ia akan berhati-hati dalam berucap “Buka mata lo, biar lo tahu seperti apa saat mantan suami lo menikahi wanita lain,” desis Robin.Pria itu lalu membuka paksa mata Niha. Namun, Niha terus menggeleng.“Buka dan lihatlah! Atau saat ini juga, gue benar-benar menggauli lo,” tambah pria itu seraya menyentuh dada Niha.Niha pun akhirnya membuka mata.“Bagus. Tapi ngomong-ngomong, tubuh lo putih, seksi, dan sintal. Bagaimana kalau kita menikah? Asti sama Aqsal, gue sama lo. Siapa tahu kalau kita menikah, gue insyaf kayak si Aqsal. Kedengarannya menarik.” Robin berbisik penuh ejekan.Niha menatap pria berkemeja pres bodi warna hitam
Bugh!Perut Aqsal mendapat bogem mentah dari orang-orang Robin.Amir, Tami, dan tiga orang itu mengabaikan teriakan Aqsal karena memang menganggap pria tersebut gila.“Kalian, tolong istri saya! Dia–” Aqsal kembali berteriak, tetapi kalimatnya tidak lengkap saat anak buah Robin memukuli tubuh dan wajahnya.“Pa, Ma! Kalian mau ke mana?” Asti berlari menghampiri orang tuanya.“Asti, Sayang. Kami tidak bisa menikahkanmu dengan Aqsal. Kita semua tahu sepak terjangnya, bagaimana dia menyiksa Niha. Kami tidak mau kamu mengalami hal serupa,” ujar Tami.“Tapi aku mencintainya, Ma.”“Pak, tolong jangan pergi dulu. Nikahkan saya dengan Aqsal.” Asti menatap kiai dan saksi bergantian.“Asti, jangan b*doh! Kamu pikir cinta saja cukup untuk berumah tangga? Tidak! Kamu akan menderita jika menikah dengan Aqsal!” gertak Amir.“Pa, kumohon.” Asti mengiba.“Sekali tidak tetap tidak! Selamanya Papa nggak akan sudi jadi wali menikahkanmu dengannya. Dia itu gila!”“Entah bagaimana dan di mana Niha sekarang
“La-ri, Ni-ha!” Suara Aqsal samar masih bisa didengar Niha yang sudah berada di luar jendela.“Kejar wanita itu!” teriak Robin.Wanita itu pun berlari sekuat tenaga dengan bertel*njang kaki. Sejauh mata memandang, sebuah perumahan yang masih tahap pembangunan. Banyak material bangunan berserakan. Hanya sedikit rumah yang sudah menyala lampunya. Lainnya, masih tahap pembangunan, belum ada penerangan.Niha mengetuk pintu salah satu rumah terdekat yang lampunya menyala tersebut.“Pak, Bu, tolong!” teriaknya sambil terus mengetuk pintu.Sesekali Niha menoleh belakang, takut anak buah Robin mengikuti.Beberapa kali usaha mengetuk, tidak ada jawaban ataupun sahutan dari dalam.Niha tidak putus asa. Ia kembali mengetuk pintu lain.“Tolong, Pak Bu!” teriak wanita itu sambil mengetuk pintu.Sama, tidak ada sahutan. Entah memang belum berpenghuni atau memang penghuninya tidak peduli, Niha diabaikan.“Hey! Berhenti kau!” Dua orang pria anak buah Robin terlihat dan berteriak.Di tengah malam tanp
Beberapa orang datang mendatangi Niha. Beberapa lagi mengatur lalu lintas agar pengendara memelankan laju kendaraan. Wanita itu masih terjaga meskipun tingkat kesadarannya rendah.“Lapor ke kantor polisi depan sana kalau di sini ada kecelakaan, cepat!" ujar salah seorang pria.“Aku akan menelepon ambulans,” sahut yang lain.“Kasihan sekali,” ujar yang lain seraya menatap Niha.“Ru-mah sa-kit Cip-to,” ujar Niha terbata-bata. Ia ingin dibawa ke rumah sakit itu, di mana Dico dinas. Sebab ia tidak tahu lagi meminta tolong siapa. Di Jakarta ini, sudah tidak ada yang bisa dimintai tolong selain pria tersebut.Darah segar keluar dari kepala Niha hingga hijabnya basah. Darah juga keluar dari hidungnya. Tidak butuh waktu lama, tubuhnya dikepung basah darah.“Astaga, mengerikan sekali.” Orang-orang tidak ada yang berani mengangkat tubuhnya karena banyaknya darah. Mereka menunggu tenaga medis atau polisi. Malam itu, Niha dibiarkan terkapar di atas aspal dengan mata terpejam. Orang-orang hanya me
Di luar, dokter yang menangani Niha bercakap-cakap dengan perawat.“Sus, katanya tadi namanya Niha. Kita belum tahu keluarganya. Nanti saja kalau kondisinya lebih baik, kita tanya lagi. Kamu tebuskan obat ini untuknya,” ujarnya.“Baik, Dok.”“Sama nanti tanyakan lagi apa keluhannya selain pusing.”“Ya, Dok.”Ketika malam kian merangkak, Niha tidak bisa tidur. Miring, tidak enak. Telentang, tidak nyaman. Badannya terasa sakit semua. Ia sendirian di sana, menangis, entah untuk apa. Wanita yang wajahnya nyaris tidak dikenali itu juga sejenak tidak ingat dan tidak peduli dengan suaminya yang juga tengah berjuang hidup di tempat lain.Niha sangat merepotkan. Ia selalu memanggil-manggil perawat. Wanita itu masih di IGD, belum mendapatkan kamar. Menjelang dini hari, akhirnya ada satu kamar kosong untuknya.“Tubuhnya panaskah, Bu? Atau ada bagian tertentu yang terasa sakit?” tanya perawat.“Nggak ada. Hanya rasanya nggak nyaman. Gue bingung harus apa. Gue lapar, mau makan,” jawab Niha.“Janga
Niha terus merenung setelah Dico mengingatkannya pada Aqsal. Cedera otak memang mengakibatkan kehilangan beberapa memori dan perubahan perilaku, tetapi tidak berlangsung lama.“Maaf kalau ertanyaan saya membuatmu tambah sakit. Kamu jangan mikir macam-macam. Cukup pikirkan kesehatanmu. Biar Aqsal saya yang nyari,” ujar Dico tadi.“Niha, apa yang terjadi sebenarnya?” tanya Dico lagi.“Gue dan Mas Aqsal disekap sama Robin. Mas Aqsal masih di sana. Tolong laporin polisi.”Di TKP, pihak kepolisian mengumpulkan saksi dan bukti terkait kecelakaan yang menimpa Niha. Dico juga sudah melaporkan kesaksian Niha paha pihak berwajib.Meskipun begitu, anak buah Robin masih terus mengintai di sekitar Niha. Sebelum nyawa Niha melayang, mereka belum puas dan belum tenang. Dua pria itu terus mencari kesempatan.**Di tempat lain, Aqsal berhasil dioperasi. Peluru telah dikeluarkan dari tubuhnya. Ia juga sudah sadar, tetapi masih lemas. Jika biasanya masih ada masa pemulihan pasca operasi, Aqsal langsung