"Enggak. Kenapa? Jangan-jangan kamu tipe suami yang perhitungan?" Hendro menatapku dengan sorot mata menyelidik. Aku menelan saliva dengan susah payah. Setelahnya aku berucap,"Enak aja, nggak lah!" Cepat aku mengalihkan pandanganku ke arah lain, setelahnya tanganku meraih sedotan yang ada di gelasku, mengaduknya lalu menyesap es jeruk yang masih tersisa setengahnya. "Oh, syukurlah. Jangan sampai jadi lelaki yang pelit, perhitungan. Apalagi memberikan jatah senilai segini, cukup nggak cukup harus dicukupkan." Ucapan Hendro semakin membuatku kikuk. Bagaimana tidak, apa yang diucapkannya adalah seperti yang aku lakukan. Aku hanya diam sembari menganggukkan kepala. Satu patah kata pun aku tak menjawabnya. Tak mungkin kan aku berdebat dengan seseorang yang prinsipnya bertolak belakang. Percuma. Hanya buang-buang tenaga. Andai kata kujelaskan semua alasannya, ia tak akan memahaminya juga. Seperti Mbak Reni misalnya. ****Hari ini adalah hari ke tujuh Nika pulang ke rumah orangtuanya
Pov Nika**"Keterlaluan sekali sih kamu, Mas. Masa iya ke sini nggak bawa apapun. Padahal beli oleh-oleh juga nggak sampai menghabiskan seluruh uangmu! Jangan gitu dong, Mas. Gimana kalau Bapak ibu menyadari betapa pelitnya menantunya ini?!" tanyaku dengan nada sedikit tinggi dan penuh dengan penekanan. Mendengar ucapanku, membuat Mas Rudi berjalan satu langkah lalu melongokkan kepalanya ke arah luar. Mungkin ia ingin melihat keadaan sekitar kami. Mas Rudi kembali menatap ke arahku. "Jangan kenceng-kenceng gitu dong, gimana kalau keluargamu denger?" desis Mas Rudi yang tak suka dengan ucapanku. "Ya biarin mereka tau seperti apa menantunya ini!" ucapku tak kalah sewot. "Ya Allah, Nika. Mana sempet aku beli oleh-oleh. Di bus mana ada sih yang jual jajanan," ucap suamiku dengan nada melemah."Pakai ini dong, Mas!" Aku menempelkan telunjuk ke arah pelipis. "Setelah turun dari bus, kamu kan naik ojek. Kan bisa berhenti bentar di toko buah atau minimarket!" celetukku yang semakin ke
Untuk pertama kalinya setelah menikah aku bisa belanja sebanyak ini. Ada tiga kantong yang ada di tanganku. Terlihat dengan jelas raut wajah Mas Rudi tak ada binarnya. Mungkin ia kesal, sebab hanya dalam waktu beberapa jam aku menghabiskan enam ratus ribu rupiah. Setengah dari nominal belanja bulananku. Tak cukup sampai di situ, sebelum bener-benar pulang, aku memintanya untuk pergi ke mesin ATM lagi. Aku memintanya uang sebesar satu juta lagi!"Cemberut amat, Mas?! Nggak ikhlas nyenengin istri sekali aja?" celetukku saat melihat Mas Rudi begitu masuk rumah langsung berjalan menuju ke kamar lalu mendudukkan tubuhnya di ranjang. Sejenak lelaki-ku itu membuang pandang ke arah pintu yang tertutup lalu kembali mengarahkan pandangannya padaku. "Kamu itu loh, bisa-bisanya kuras uangku," sungut Mas Rudi dengan nada lirih. "Lah?! Kuras darimana maksud kamu?! Uangmu, itu artinya uangku, Mas. Timbang habis segitu doang kamu marah-marah kayak gini. Kalau kamu nggak ikhlas, ambil lagi aja ua
Akhirnya aku memilih untuk meletakkan kembali ponsel itu, sebab semakin aku mengetahui semua isi chat di ponsel Mas Rudi, semakin menganga rasa sakit hatiku. ****Brak!Brak!Prang!Aku tersentak kaget saat mendengar suara seperti benda sedang dibanting.Aku melirik sekilas ke arah jam yang menggantung di dinding dan ternyata mata ini baru saja terpejam lima belas menit lamanya, hal itu tentu saja membuat kepalaku berdenyut nyeri. Suara benda-benda itu semakin memekakkan gendang telinga, membuatku bergegas bangkit dari pembaringan lalu melangkah menuju ke arah pintu. Akan tetapi, gerakan tanganku yang hampir saja menyentuh gagang pintu langsung terhenti begitu mendengar kalimat dari suara yang amat aku kenali. "Nggak kerja, tapi bilang capek! Capek ngapain, coba? Tidur?!" Kini rasa penasaranku terjawab sudah. Ternyata ibu sengaja membanting setiap benda yang dipegang olehnya. Suara itu kini tak terdengar lagi, seiring suara derap langkah yang semakin menjauh. Setelahnya aku memu
Baru saja aku turun kendaraan roda duaku, terlihat ibu berbisik ke telinga Mas Rudi, tersenyum samar ke arahku lalu ibu memutar tubuh dan berlalu pergi. Aku melangkah dengan menenteng buah yang kubeli tadi. Begitu aku berada di depan Mas Rudi, bergegas kuraih tangan itu lalu kucium punggung tanganya seperti biasanya. Lebih tepatnya seperti seseorang yang tak merasa bersalah sedikit pun. "Masuk!" titah Mas Rudi dengan suara datar, setelahnya ia melangkah terlebih dahulu, akan tetapi langkahnya terhenti ketika mendengar jawaban yang keluar dari mulutku."iya, Mas. Ini aku mau masuk kok tanpa disuruh." Mas rudi menoleh, menatapku dengan tajam. Aku hanya nyengir kuda. Menunjukkan barisan gigiku, setelahnya ia kembali melenggang pergi begitu saja. "Kata ibu kamu habis loundry pakaian?"Aku melirik sekilas ke arah ibu, bibir itu tersenyum samar sembari menatapku dengan sorot mata mengejek. "Iya, Mas. Ibu sendiri mengizinkan kok," jawabku setenang mungkin. Terdengar Mas Rudi menghembus
Tok!Tok!Tok!Suara ketukan pintu membuatku tubuhku menggeliat. Pelan aku mengerjapkan kedua kelopak mataku. Saat mata ini terbuka, wajah Mas Rudi yang masih tertidur pulas langsung tertangkap di kedua bola mataku. Sejenak aku hanya menatap wajah suamiku, setelahnya aku langsung memalingkan wajahku. Aku menghembuskan napas berat, setelahnya aku menyingkap selimut yang masih bertengger di atas tubuhku hingga sebatas bahu. "Nika, bangun! Udah jam setengah enam itu!" ucap Ibu mertua yang terdengar jelas di kedua gendang telingaku. Tanpa menjawab terlebih dahulu, aku langsung beringsut dari ranjang lalu melangkah menuju ke arah pintu. "Udah jam berapa ini?" Aku menoleh ke arah jam yang terpasang di dinding. "Udah jam setengah enam itu, kok belum masak nasi? Itu, ibu udah belanja sayur." Aku hanya mengangguk, setelahnya aku langsung berlalu pergi meninggalkan ibu yang masih diam berdiri di tempatnya. Entah bagaimana raut wajah itu saat ini, aku tak tahu. Aku melangkah menuju ke kam
Suara adzan berkumandang dari mushala yang tak jauh dari tempat tinggalku. Cepat kuletakkan benda pipih itu yang sedari tadi ada di genggamanku lalu aku beringsut dari ranjang dan melangkah menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Tak butuh waktu lama untuk menyelesaikan kewajibanku sebagai seorang muslim, begitu selesai aku kembali melangkah menuju dapur sebab rasa lapar mulai terasa membelit area perutku. Aku mengambil semangkok bubur pemberian Mbak Weni lalu kubawa menuju ke arah meja makan. Aku mulai menyuapkan sesendok demi sendok bubur yang terasa manis itu ke dalam mulutku. "Laper juga kan?" Suapanku terhenti saat mendengar ucapan ibu. Terlihat ia melangkah mendekatiku lalu mengambil piring dan memindahkan nasi, sayur dan juga lauk ke dalam piringnya itu. Aku tak menjawab ucapannya, bahkan sekedar menatapnya pun enggan untuk kulakukan. Tak sengaja tertangkap pada iris hitamku saat Ibu menyantap makanan itu dengan begitu lahapnya. Tak ada perbincangan sama sekali di a
Aku mendengarkan kalimat demi kalimat yang keluar dari bibir Mbak Weni dengan begitu seksama. Sengaja aku tak memotong ucapannya, hanya sekedar memberikan ruang untuk Mbak Weni menyelesaikan ucapannya. Begitu kalimat kudengar, aku mulai memikirkan dan menimbang-nimbang dengan pikiran yang sedikit tenang, sebab beban yang sejak kemarin menghimpit dada ini sedikit menghilang. Mungkin karena aku telah membagikannya kepala Mbak Weni. "Jadi Nika harus urus diri sendiri, sedangkan abai dengan suami dan mertua ya, Mbak?" Aku memastikan kembali hasil kesimpulan yang kuambil dari kalimat panjang dan lebar yang diutarakan oleh Mbak Weni. "Tepat sekali ...!" Mbak Weni mengacungkan jempolnya ke arahku. "Biarlah suamimu urus dirinya sendiri, biar dia tau betapa lelahnya mengurus rumah itu. Belum lagi mikirin biaya hidup yang semakin mahal. Biar dia tau, uang sejuta itu hanya bisa dibelikan dua puluh lima kilo beras, dua kilo cabe, dan hanya printilan-printilan bumbu dapur lainnya!" ucap Mbak W