Saat gue kembali dari lantai 2 dan menenteng laptop, divisi Sales mulai ramai. Beberapa karyawan yang tadinya tak nampak sama sekali, mulai terlihat. Namun, seperti anak ayam kehilangan induknya, gue berjalan melewati mereka yang tampak tak ramah pada pendatang baru seperti gue.
Gue tampak seperti invisible. Meskipun beberapa dari mereka mencuri pandang dari jauh dengan penuh tanda tanya, namun tak ada satupun yang mendekati gue untuk berkenalan. Aura tak ramah dan individualis terasa begitu kuat. Bahkan gue yang biasanya ramah pada siapapun, secara otomatis tertular aura itu di hari pertama gue bekerja.
Sudah gue dengar sebelumnya, bahwa, jam kantor gue fleksibel. Tidak ada absen gesek kartu atau tap kartu atau mesin, seperti kantor gue sebelumnya. Setiap orang bebas datang jam berapa. Namun setiap individunya diwajibkan bertanggung jawab atas pekerjaannya masing-masing. Untuk itulah menjelang siang, para karyawan memang baru datang ke kantor. Seperti saat ini suasananya tampak berbeda dengan tadi pagi. Sebagai karyawan baru tentu saja gue masih mematuhi aturan untuk datang ke kantor pukul setengah 9 pagi.
Seorang wanita berlipstik merah marun duduk di mana tas Michael Kors tadi berada. Tebakan gue, siapa pemilik tas itu benar. Di sampingnya ada seorang laki-laki yang tak lebih tua darinya. Tas gue sudah disingkirkan di meja satunya. Kursi gue semula diduduki oleh seorang wanita yang lebih tua dari gue.
“Nah, guys, ini yang namanya Mentari, yang bakalan gantiin Ega. Halo Matari, selamat bergabung dengan divisi Sales untuk product perbankan. Maaf Pak Vino berhalangan hadir untuk menyambutmu. Oiya, dan gue sendiri, Angel. Nantinya lo akan langsung report ke gue untuk seluruh urusan pekerjaan termasuk kepegawaian,” kata wanita berlipstick merah marun itu. "Ada yang mau ditanyakan sejauh ini?"
“Maaf, Bu, nama saya Matari, bukan Mentari,” kata gue meluruskan nama gue.
“Oh, apa? Mantari?”
“Ma-ta-ri, Bu.”
“Oh, iya, Matari. Hmmm, nama yang unik ya. Oke, Tari, gue lanjut menjelaskan sedikit ya. Tapi sebelum itu, lo harus kenal dengan seluruh anggota tim. Ini Okan, trus Rahma, pasti lo udah kenal, dan di sebelahnya ada Sania. Ega, baru besok datang. Jadi hari ini lo bisa belajar dulu sama Rahma,” kata Bu Angel. “Saya hari ini meeting seharian sama Okan, jadi nggak bisa nemenin kamu.”
Sekilas gue melihat Rahma dan Sania saling menatap penuh arti. Entah kenapa. Tak menghiraukan pemandangan misterius barusan, detik berikutnya, gue langsung menyalami mereka satu-satu. Keanehan lain terjadi. Saat gue menyalami Okan, Bu Angel tampak tak senang. Dia akhirnya buru-buru menyuruh gue kembali ke tempat gue duduk.
“Kita masuk kategori Sales perbankan, artinya, kamu akan banyak jalan-jalan ke bank buat jualan. Target kita semua bank. Terutama bank swasta. Bank negeri sudah dihandle oleh tim lain. Nah, ngomong-ngomong soal tim lain, di sini ada banyak tim lain yang nantinya secara berjalannya waktu, lo bakalan kenalan sama mereka. Nanti belajar aja sama Rahma, ya. Dia udah lama di sini dan kenal sama semua orang di sini. Ya nggak, Ma?” pinta Bu Angel.
Rahma hanya meringis.
“Oke deh, Okan, yuk, cus, udah siap semua kan?” tanya Bu Angel dengan nada yang menurut gue berubah drastis menjadi lembut pada Okan, rekan satu tim gue.
“Udah, yuk, tapi mampir sarapan dulu ya di buryam biasanya,” kata Okan sambil beranjak.
“Siplah. Eh, oh, iya, Matari, lo nanti setengah 6 sore jangan langsung pulang ya, lebihin dikit gitu, tadi juga nggak mungkin kan lo dateng jam setengah 9 teng?!” kata Bu Angel sambil membawa tas Michael Korsnya.
Gue melempar senyum sambil mengangguk. Meskipun nyatanya, pernyataan Bu Angel tidak sepenuhnya benar. Gue datang tepat waktu tadi.
Dua wanita di dekat gue berbisik-bisik sangat pelan setelah mereka pergi. Dengan acuh, gue membuka laptop gue dan telah mendarat email dari Soni dan Bu Angel di sana.
Seperti karyawan baru lainnya, Soni bertugas melakukan reminder ke gue untuk pengecekan data karyawan di sistem, sudah sesuai atau belum. Sedangkan Bu Angel, memberikan contoh daily report, yang harus dikirimkan kepadanya setiap satu minggu sekali. Sisanya, Bu Angel memerintahkan agar gue harus mau meminta sedikit informasi produk pada Rahma dan Ega besok. Di email itu pula, Bu Angel langsung meng-cc-kan juga kepada Pak Vino, orang yang meng-interview gue sebelumnya. Yang sampai detik itu, gue belum melihatnya lagi.
***
“Eh lo bawa bekel? tanya Sania pada gue sambil melakukan stretching tanpa berdiri dari kursinya. “Kalo nggak bawa, beli aja sama gue. Ada kantin karyawan dekat sini yang bisa dibungkus.”
Saat itu gue baru menyadari bahwa Sania sedang hamil. Tadi, karena Sania duduk, gue nggak terlalu memperhatikan. Meskipun kami nyata-nyatanya duduk bersebelahan.
“Nggak bawa, sih,” kata gue yang akhirnya mengurungkan niat untuk membeli makan lewat driver online.
“Hmmm, gitu, ya udah sama gue aja beli makan, tapi bungkus aja, makan di kantor, gimana?” tanya Sania.
“Boleh,” sahut gue.
“Eh, Ci, gue nitip bala-bala ya atau gorengan apa kek gitu buat tambahan lauk,” ujar Rahma tanpa menoleh dan tetap berkutat pada laptopnya.
Saat itu pula, gue menyadari, diantara kami semua tampaknya Rahma sangat banyak pekerjaan. Meskipun jam istirahat telat tiba dan semua orang langsung keluar ruangan, Rahma sama sekali tidak ada tanda-tanda menghentikan pekerjaannya.
“Oke. Ya udah, yuk, say,” kata Sania sambil merangkul lengan gue, berjalan sambil memegang perutnya yang besar.
“Jalan berapa bulan, Ci?” tanya gue sambil menunjuk perut Sania, berbasa-basi sedikit, hal yang paling gue nggak suka.
“Hmmm, 7 mau 8, say,” jawab Sania.
“Oh, pantesan gede,” kata gue yang justru berpikir malah Sania ada di usia kehamilan 9 bulan.
“Kebetulan kembar,” kata Sania lagi.
“Wah, selamat, Ci,” kata gue berpura-pura terkesan.
Gue akan merubah pola kerja gue sebelumnya yang cenderung cuek dan tak peduli. Seperti arahan sahabat-sahabat gue di grup "Sableng". Kata mereka, mungkin bisa saja mengubah peruntungan gue dibanding saat bekerja di kantor sebelumnya. Toh, nggak ada salahnya. Nggak ada kantor yang benar-benar menyenangkan. Kalau menyenangkan, namanya taman bermain.
“Lo sebelumnya kerja di mana?” tanya Sania.
“Gue kerja di bank swasta X," jawab gue singkat.
"Lho, setau gue, lo jurusan IT kan kuliahnya?"
"Iya, sih. Biasalah, Ci, kalau fresh graduated kan emang rata-rata banyak yang ngelamar ke bank.”
“Oh, iya ya? Nggak tahu gue. Gue sejak lulus udah di sini. Malah, bank-bank itu yang jadi customer kita, nanti. Jadi, kalo kenalan lo banyak di bank, malah enak. Bisa jadi jembatan buat lo untuk menawarkan solusi dari company kita.”
“Gue kan di sana cuma 3 tahun, nggak tahu deh beneran ngaruh apa enggak untuk menawarkan produk.”
“Sante aja. Lo nggak harus sales canvasing kok. Kita udah punya channel di bank-bank, tinggal gali aja terus. Pepet terus. Mekanismenya gimana, besok sharing aja sama si Ega. Gue denger, dia masih di sini sampai pertengahan bulan.”
“Oke, thank you infonya, Ci.”
“Trus, gue saran aja nih ya. Lo harus selalu awared sama Bu Angel. Dia nggak suka kalo lo lama bales chat wa, susah ditelepon, atau susah dicariin. Meskipun lo lagi meeting sama customer. Ataupun itu hari Sabtu dan Minggu sekalipun. Agak ribet ya sebenernya. Cuma dia nggak melulu seposesif itu kok. Kelebihannya, dia selalu approved cuti lo, meskipun itu dadakan.”
“Oke.”
Sania melempar senyum. “Dan nanti, pas gue cuti hamil, gue rencana akan kasih beberapa customer gue buat lo handle, bagi-bagi sama Okan. Enak kan? Kalau lo bisa maintain, lo nggak perlu cari customer baru.”
***
Grup WA “Sableng” memang cukup ramai. Masalah makan siang aja kita suka pamer-pamer nggak jelas. Meskipun cuma makanan warteg atau bahkan mie ayam gerobakan. Kadang ngejulidin bos masing-masing pun sering menjadi topik yang menyenangkan untuk dibahas. Gue cukup nyaman sama mereka. Beberapa diantaranya adalah mantan temen kuliah gue, sisanya adalah sahabat yang bertemu saat gue bekerja di bank swasta sebelumnya. Saat kombinasi dua grup itu gue pertemukan, ternyata ternyata cukup gila dan cocok satu sama lain menjadi sahabat.
Itulah kenapa saat melihat notifikasi layar hp gue yang tak berhenti, Sania berkomentar.
“Ada WA terus tuh,” kata Sania, melirik layar hp gue dengan sedikit kepo.
“Sorry, biasa, temen-temen gue, Ci. Keganggu ya? Padahal gue udah matiin suara dan mode getar,” jawab gue.
“Enggak sih, biasa aja. Heran aja, kok elo biasa aja nggak langsung ngerespon. Temen-temen apa tuh?”
“Hmmm, temen deket. Ya, kan gue lagi kerja. Nih lagi baca p*f dari Rahma. Nanti aja kalo istirahat gue balesinnya.”
Sania menatap layar laptop gue. “Ya elah, p*f itu kan cuma teori. Di lapangan lo kudu sefleksibel mungkin. Nggak usah terlalu terpaku sama p*f, itu cuma SOP doang.”
Padahal sejujurnya, gue cuma males aja mau buru-buru bales WA mereka. P*f menjadi alasan gue. Gue masih belum nyaman dengan sikap friendly Sania pada gue.
“Enak ya kalau masih seumuran lo, temen-temen lo masih pada kompak. Beda kalau udah 30an lebih kaya gue. Yang tersisa paling cuma yang itu-itu aja. Gue sendiri palingan sama Rahma doang nge-ghibahnya kalau di kantor.”
Gue hanya melempar senyum tipis tanpa berkata apa-apa lagi, kemudian beralih membaca p*f produk yang nantinya akan gue jual pada customer.
Sebelumnya gue pikir Ega adalah seorang cewek, ternyata, dia cowok. Nggak lebih muda dari gue, mungkin sepantaran. Wajah Chinese-nya 11 12 sama Glenn Alinski-nya Chelsea Olivia (artis Indonesia). “Kalian boleh meeting berdua, saya mau, minggu ini lo udah dikenalin sama customer-customer yang lo pegang,” kata Bu Angel saat melihat Ega datang. “Siap, Bos,” sahut Ega sambil tersenyum. “Ga, lo sharing knowledge-nya yang bener ye. Awas aja lo pergi, dia masih nggak bisa apa-apa,” kata Bu Angel sambil berkacak pinggang. “Nggak usah marah-marah, nih kopi,” kata Ega memberikan segelas minuman Starbucks take away yang masih hangat. “Hmmm, tahu aja gue butuh kopi. Thanks ya, nanti kasih tahu gue aja bill-nya berapa,” kata Bu Angel. “Oke, nanti gue WA, lo bayar pakai e-wallet aja, mau OVO, Gopay, Dana, gue terima, asal jangan cash, males gue bawa recehan,” s
Gue bisa menebak sebenarnya kenapa Ega memanggil Bu Angel dengan sebutan Nenek Lampir. Wajah Bu Angel bukan tipikal wajah wanita karir yang ramah yang bisa lo temui di sekolah-sekolah menjadi guru atau rumah sakit sebagai dokter spesialis anak. Wajahnya tak ramah sama sekali. Dia tampak seperti wanita yang angkuh dan emosional. Tebakan gue mengenai dirinya benar saat setelah makan siang di hari kedua gue bekerja, Bu Angel dan Rahma bertengkar. Gue nggak tahu apa masalahnya. Tapi dari pertikaian mereka sepertinya akibat Rahma terlalu banyak beban pekerjaan di hari itu dan Bu Angel meminta pekerjaan miliknya untuk selesai dengan cepat. Sedangkan, semua orang di tim bergantung pada Rahma untuk mengurus administrasi. Tak ada yang membantunya sementara semua orang membombardirnya dengan pekerjaan yang tak henti-henti. Mata Bu Angel tampak melotot-melotot memaki Rahma. Rahma membalas dengan jawaban-jawaban yang menurut gue cukup keren dan berani. Nyatanya Rahma tampak mera
Nggak terasa seminggu telah berlalu. Meskipun nyatanya bagi gue, karyawan baru, 5 hari kerja itu terasa lama. Tak ada kesibukan yang berarti selain berkenalan dengan customer limpahan Ega. Gue berkali-kali diajak oleh Ega ke customer-customer-nya yang akan dilimpahkan ke gue.Di sela-sela itu, gue juga harus belajar alur administrasi dengan Rahma, serta berkenalan dengan orang-orang dari tim Finance & Accountant (FA), divisi yang berisi hampir seluruhnya adalah orang-orang yang kaku dan serius. Divisi ini terletak di lantai 2 berdekatan dengan HRD dan Divisi GA. Karena setiap divisi gue dengar boleh menghias ruangannya dengan sesuka hati, gue melihat divisi FA ini adalah divisi orang-orang yang aneh dengan kesukaannya pada Wall Sticker bertema Animal.Minggu sore itu, Ega mengirimkan WA.Ega: Jangan lupa weekly report, lo udah ke mana aja sama gue minggu ini. Nanti kirim ke gue dulu, biar gue cek, biar nyamain data. Lo ngisinya di
Keesokan harinya, saat meeting internal, Rahma tampak sudah menyediakan banyak snack untuk kami. Namun meskipun jumlahnya banyak dan bisa mengimbangi jumlah peserta meeting, tetap saja menuai protes dari pihak Bu Angel.“Saya dapet bonusan aja beberapa buah snack karena langganan dan sering order,” kata Rahma saat ditanya Bu Angel kenapa snack tampak lebih banyak dari biasanya.“Awas lo ye, kalau ternyata budget snack membengkak,” timpal Bu Angel yang langsung mencomot soes fla dengan sigap.“Tenang, Bu. Saya udah kalkulasiin kok,” sahut Rahma cuek.Tak berkomentar apa-apa lagi, akhirnya Bu Angel membuka meeting hari itu dengan penuh percaya diri dan kharismatik, yang jujur, gue sampai tercengang melihatnya. Dia menguasai seluruh proses dan kebutuhan bank anak buahnya. Prosessampai di mana dan apa saja kendala-kendalanya. Pak Vino saja sampai berdecak
Anggota breakfast on the rooftop, begitu Ega menyebutnya, telah berkurang satu. Selepas hari terakhirnya, sore itu sebenarnya gue, Veve, Nana dan Victor menyempatkan diri kami untuk berkaraoke bersama di Family Karaoke dekat kantor. Ega mentraktir kami sekaligus makanan yang kami pesan. Namun di sana, tak banyak wejangan-wejangan Ega yang tersisa buat gue. Dia benar-benar meluapkan perayaan kebebasannya dengan menyanyi terus menerus. Rupanya dia memang sesenang itu. Hal yang pernah gue rasakan saat gue resign dari bank tempat gue bekerja sebelumnya.Gue secara tak resmi menggantikan posisi Ega di hari-hari biasa saat breakfast. Gue secara langsung bergabung begitu saja dengan Veve, Nana dan Victor saat pagi hari di rooftop.Meskipun Victor tampak tak terlalu suka pada gue, dia tak keberatan jika gue bergabung setiap pagi dengan mereka meskipun hanya untuk minum teh. Veve dan Nana terkadang berbicara tentang permasalahannya namun tak terlalu
Sepeninggal Ega, gue mulai berani pergi ke customer setiap jam 10 dari kantor dengan supir dan mobil kantor yang sudah disediakan. Gue cukup beruntung mendapatkan dan bisa memanfaatkan fasilitas itu, karena AM lain tidak memanfaatkannya. Mereka lebih suka jalan sendiri. Kalau nggak saling menebeng sesama AM yang searah, mereka sudah memiliki kendaraan pribadi seperti mobil atau motor. Gue pikir lebih enak menggunakan supir, karena gue nggak harus merogoh kocek sedikitpun. Kadang jika terlalu pagi pun, bisa lumayan leha-leha sebentar tanpa diganggu. Walaupun terkadang, mobil kantor akan terisi beberapa orang lain atau barang-barang yang harus diantar ke tempat tertentu. Tapi itu nggak masalah buat gue, karena traffic ibukota lumayan menguras tenaga dan emosi.Hari itu, gue pergi menuju gedung Central Senayan, customer pertama yang dikenalkan Ega pada gue. Karena sudah pernah diajarkan oleh Ega bagaimana masuk ke sana sebagai partner project, gue tak canggung
Sikap Pak Cokro saat monthly sales meeting sudah gue lupakan sebenarnya. Saat itu gue pikir dia hanya bersikap ramah dalam versinya sendiri. Namun, betapa terkejutnya gue saat breakfast on the rooftop pagi itu, ada Wuri di sana. Wuri, yang pernah gue bilang adalah sales admin yang memiliki jobdesk yang sama dengan Rahma, hanya dia berada di timnya Veve dan Nana.Wuri bahkan tampak selesai menangis. Melihat kedatangan gue, Wuri segera pergi menyisakan Veve, Nana dan Victor yang masih terbengong-bengong di kursinya sendiri. Indomie mereka bahkan sudah melebar akibat kelamaan tak dimakan pemiliknya. Belum ada tanda-tanda kehadiran Hanna, sehingga gue lebih leluasa mengajak mereka mengobrol.“Kenapa si Wuri?” tanya gue akhirnya.Mau bersikap tak peduli tapi, meski sekilas, tampilan Wuri benar-benar acak-acakan setelah menangis. Nggak mungkin gue bersikap acuh. Jadi gue putuskan bertanya seperti itu.“Gimana ngomongnya yah?
“Oke, besok lusa, Rabu, gue mau ngadain dinner bareng sama tim gue, jadi, kalian tolong kosongin jadwal. Buat yang nggak punya kendaraan sendiri, Rahma, Sania sama Matari, lo koordinasi sama sopir kantor deh bisa anterin apa enggak,” kata Bu Angel sambil duduk di kursinya.Veve dan Nana tampak menatap gue dari jauh dan tertawa-tawa meledek gue.“Saya ada motor kok, Bu,” jawab Rahma.“Enggak, gue bilang, lo naik mobil kantor. Pokoknya pada pake mobil ya, jangan kucel-kucel, jangan bau solar pas dateng ke acara gue,” kata Bu Angel.“Mereka bisa nebeng gue aja, Ngel,” kata Okan menengahi. “Hari Rabu, gue meeting di sini sampai jam 3-an kok.”“Eh, Kan, lo kan sama gue, kita harus cek lokasi dulu juga,”tandas Bu Angel.Okan menarik napas. “Sorry, guys. Nggak jadi.”“Udah, pokoknya, Rahma atur mobil kantor sekaligus drive
Namun kejanggalan yang lain yang gue temukan, malah bukan soal Bu Angel lagi. Mungkin Bu Angel berhasil diredam dan nggak mencuat, setidaknya gitu yang gue pahami. Tapi soal Pak Marjan dan Bu Cla.Gue pikir, mereka juga udah adem. At least kalopun emang masih ada hubungan, mereka nggak yang seenak jidat muncul di publik sebagai pasangan. Tapi, gue malah ketemu mereka, saat gue sedang antri beli kopi di salah satu kedai kopi di dekat kantor.“Siang, Bu, Pak!” sapa gue dengan lantang pada mereka yang baru masuk ke barisan antrian, yang kebetulan sebagai pengantri terakhir.Mereka nggak bisa mengelak untuk nggak ngantri di belakang gue, karena memang belum ada pelanggan lain yang masuk. Bu Cla akhirnya cuma bisa tersenyum. Sedangkan Pak Marjan malah tampak tak peduli dengan kehadiran gue di situ. Sudah biasa, dia cuma nyapa yang menurut dia satu level sama dia. Sedangkan gue? Gue cuma budak corporate aja, nggak lebih dari itu.Waktu gue order, Bu
Kepulangan gue dari Singapore disambut kabar tak enak saat gue masuk ke kantor. Desas-desus soal Bu Angel jadi simpanan udah jadi bahan obrolan blak-blakan siapapun. Dulu, biasanya cuma jadi bahan ghibah underground. Soalnya nggak banyak yang tahu cowoknya siapa. Meskipun beberapa dari mereka bisa menebak bahwa dia adalah orang penting, bukan orang biasa.Makanya, gue pun nggak ketemu sama sekali dengan Bu Angel saat kedatangan gue pertama di kantor dari liburan. Oleh-oleh yang gue sengaja beli khusus buat dia bahkan nggak disentuh sama sekali sama dia di meja yang biasa dia duduki. Dia nggak pernah muncul di kantor. Semua koordinasi bahkan lewat email dan telepon aja. Chat gue bahkan dibaca dan dibalas bisa sehari kemudian. Itupun ngambang. Padahal gue lagi butuh dia buat nge-guide customer gue yang baru yang gue dapet dari bokapnya Hafis, anak perusahaan Bank lama yang mau mandiri dan bikin manajemen sendiri.Tentunya itu nggak gampang. Selain karena pasti banyak per
Gue adalah orang yang paling terakhir ke basement. Ditemani Hafis, sebagai juru kunci apartemen, kami berdua sama-sama turun. Seharusnya, lift ini bisa disetting langsung ke basement, tapi entah kenapa, lift berhenti di lantai Ground, tempat lobby berada.Gue hampir menahan napas saat gue sadar, yang masuk ke dalam lift adalah istrinya Pak Abimanyu, yang sampai saat itu gue nggak tahu namanya. Menyadari ada Hafis, dia hanya tersenyum namun setelah itu memalingkan muka dan menunduk. Gue dan Hafis tahu dia habis atau masih menangis. Hanya saja kami berdua merasa kikuk untuk berbincang. Akhirnya lift melaju menuju basement dengan sunyi senyap. Suara mesin lift yang halus terdengar samar menjadi satu-satunya background suara.“Ting!”Lift berhenti. Wanita tadi mengangguk pada Hafis dengan sopan tanpa berkontak mata bersiap untuk pergi.Ternyata, kami menuju basement yang sama, meskipun masih ada 3 lantai basement lagi. Gue yang tahu kalau dekat de
“Sebelum berangkat, jangan lupa kumpul dulu di tempat gue!” Hardik Hafis mengingatkan di telepon.Gue yang masih di kantor dan izin setengah hari itu langsung memakinya.“Nggak usah teriak-teriak juga, kali!” kata gue kesal.“Lo di mane nih?” tanya Hafis.“Masih di kantor gue cuy!” sahut gue.“Are you kidding me? Lo izin setengah hari?”“Iyap! Gue nggak mau rugi, man! Penerbangan kita kan masih jam 7 malem. Nanti istirahat makan siang gue balik kosan dulu, ganti baju terus ke apartemen lo.”“Ya udah, pokoknya jam 4 sore kita berangkat ya dari apartemen. Kalo lo telat dikit, gue tinggal. Ngerti lo?”“Iya, iya, tenang aja!”“Oke deh, gue udahan ya! Mau nelepon yang lain.”“Siap.”Gue kadang geli sama sifat perfeksionisnya Hafis. Kaya kalau kita mau trip bareng-bareng kaya gini, pasti kita ak
Gebrakan pertama yang dibuat HRD adalah mereka membuat HRD Socialization Day setiap satu bulan sekali. Makin padat nggak tuh jadwal gue di kantor. Ada Sales Monthly Meeting, ada Quarterly Meeting dan kali ini ada HRD Socialization Day yang diprakarsai Bu Sylvi lewat email blast-nya hari ini. Gue yang lagi kelar meeting bareng Yudha dan Ronald langsung mengeluh saat mengecek email itu dari hp kami. Tentu saja bagi kami yang mirip sebagai pekerja lapangan itu cukup memberatkan.“Gue udah dapet mandat nih di group WA, kalau dari divisi gue, digilirin aja jadwal yang ikut sosialisasi itu. Kan lo tahu anak engineer sebanyak apa, jadi kaya dibagi dua orang per sesi. Bagus deh jadinya adil. Kalo yang nggak bisa dateng boleh tukeran jadwal sama yang belum pernah dateng,” kata Ronald sambil menunjukkan WA grupnya.“Beneran tuh?” sahut Yudha.“Beneran, makanya kalo punya grup WA dibaca dong, bro!” sahut Ronald.“Bukannya gi
Awal bulan Juni tahun 2019 bertepatan dengan libur panjang Hari Raya Idul Fitri 2019. Tentu saja kantor gue baru officially masuk di tanggal 10 Juni. Trip gue bareng geng Sableng harus diundur hingga bulan depan. Gue enggak enak sama mereka sebenarnya, cuma mengingat seharusnya Bu Sylvi, pengganti Direktur HRD sudah datang, dan cuti gue bisa disapprove. Lagian nggak cuma gue yang mengalami hal yang sama. Untuk cuti lebaran semuanya sudah approve kecuali cuti harian, semuanya masih menunggu approval HRD.Ada opsi lain. Pak Vino udah nawarin ke kami semua kalau mau cuti, cuti aja izin ke dia, nanti dia catetin, sambil nunggu sistem beres. Kalau udah beres, dia akan minta HRD input semua kuota cuti yang terpakai. Cuma kaya ribet aja harus laporan dulu ke dia. Pasti gue harus ngejelasin mau ke mana. Mana kontrak kerja gue ditangguhkan lagi. Ini kejadian yang persis sama kaya waktu Nana dulu. Bedanya kalau dulu ngebenerin sistem, kalau sekarang nggak ada yang approve sistemnya. Ja
Selama menunggu pengganti resmi, Bu Nami membantu beberapa pekerjaan HRD. Misalnya untuk review kebijakan baru, review cuti, review sistem dan lain-lain, namun bukan sebagai final approval. Dia mencatat banyak hal, untuk dilaporkan kepada Pak Jaya. Seperti biasa, sistem karyawan milik gue belum bener. Alamat trip sama geng Sableng bakalan diundur. Untungnya mereka bisa ngerti dan menunggu sinyal oke dari gue.Beberapa pekerjaan gue sebagai sidekick sudah banyak berkurang, dulu seminggu sekali pasti ada job, sekarang, bisa 2 sampai 3 minggu sekali, itu pun cuma ngecekin SOP-SOP baru doang udah sampai proses apa. Dari situ gue banyak tahu, beberapa alur proses ada yang diubah sedikit, adapula yang dirombak abis-abisan. Terutama soal budget entertainment ke customer. Bahkan terang-terangan ditulis, perwakilan kantor gue yang biasanya 2-3 orang, dibatasi hanya 1 orang aja. Kalaupun nambah, FA berhak nggak approved sisanya. Hal ini dikecualikan jika gue udah kasih proposal di awal
Gue kaget setengah mati saat Sania dan Rahma memberitahu bahwa hari itu adalah hari terakhir Bu Wanda bekerja bersama di kantor ini. Meskipun sebenarnya gue sudah mengira kejadian ini akan segera datang, tapi gue nggak menyangka bahwa hari itu adalah hari yang sudah gue prediksi selama ini. Wajah para bawahannya tampak sedih. Karena bagaimanapun juga Bu Wanda sudah bergabung lama dengan perusahaan. Beberapa orang memberikan ucapan selamat dan menyalaminya dengan sopan. Meskipun akhir-akhir ini banyak tersulut emosi, Bu Wanda nyatanya tetap membagi-bagikan kue donat untuk dibagi-bagi ke seluruh divisi. Gue sendiri juga dapet bagian. Lumayan snack time di sore hari. Beberapa orang berkerumun untuk ngajak foto farewell. Tentu saja gue enggak ikutan atau sedikitpun tertarik. Sania dan Rahma nggak mau ketinggalan. Sepertinya banyak yang ingin foto bareng sama beliau untuk terakhir kali. Namun hal itu nggak membuat gue berkeinginan yang sama. Gue sendiri belum genap 1 tahu
Seharusnya udah musim kemarau, tapi bulan April itu gue disambut hujan deras di awal bulan. Banyak yang masih bertahan di kantor karena nggak menyangka hujan akan turun sederas itu. Biasanya bulan April bakalan jadi sisa-sisa musim penghujan. Namun nyatanya, hujan masih sederas bulan Desember dan Januari. Gue yang mau pulang akhirnya mengurungkan niat dan mengajak Anwar buat main PS di lounge.“Nggak berani gue, Kak!” sahut Anwar sambil mengeluarkan hpnya dengan niat main game online sambil menungggu hujan.“Kan udah selesai jam kerja, dodol!” timpal gue kesal.“Boleh kali, War, main PS, orang disediain juga! Gue liat-liat lo sekarang jiper amat! Biasanya juga seenaknya lo!” ledek Sania.Anwar menarik napas.“Ya udah ayok, tapi bentar aja ya, gue mau nerobos hujan aja. Mau pulang cepet, nyokap masak opor ayam kesukaan gue nih!” sahut Anwar dan mengikuti gue menuju ke lounge.Untungnya di sana t