Share

Bab 2 Bertemu

Saat gue kembali dari lantai 2 dan menenteng laptop, divisi Sales mulai ramai. Beberapa karyawan yang tadinya tak nampak sama sekali, mulai terlihat. Namun, seperti anak ayam kehilangan induknya, gue berjalan melewati mereka yang tampak tak ramah pada pendatang baru seperti gue.

Gue tampak seperti invisible. Meskipun beberapa dari mereka mencuri pandang dari jauh dengan penuh tanda tanya, namun tak ada satupun yang mendekati gue untuk berkenalan. Aura tak ramah dan individualis terasa begitu kuat. Bahkan gue yang biasanya ramah pada siapapun, secara otomatis tertular aura itu di hari pertama gue bekerja.

Sudah gue dengar sebelumnya, bahwa, jam kantor gue fleksibel. Tidak ada absen gesek kartu atau tap kartu atau mesin, seperti kantor gue sebelumnya. Setiap orang bebas datang jam berapa. Namun setiap individunya diwajibkan bertanggung jawab atas pekerjaannya masing-masing. Untuk itulah menjelang siang, para karyawan memang baru datang ke kantor. Seperti saat ini suasananya tampak berbeda dengan tadi pagi. Sebagai karyawan baru tentu saja gue masih mematuhi aturan untuk datang ke kantor pukul setengah 9 pagi.

Seorang wanita berlipstik merah marun duduk di mana tas Michael Kors tadi berada. Tebakan gue, siapa pemilik tas itu benar. Di sampingnya ada seorang laki-laki yang tak lebih tua darinya. Tas gue sudah disingkirkan di meja satunya. Kursi gue semula diduduki oleh seorang wanita yang lebih tua dari gue.

“Nah, guys, ini yang namanya Mentari, yang bakalan gantiin Ega. Halo Matari, selamat bergabung dengan divisi Sales untuk product perbankan. Maaf Pak Vino berhalangan hadir untuk menyambutmu. Oiya, dan gue sendiri, Angel. Nantinya lo akan langsung report ke gue untuk seluruh urusan pekerjaan termasuk kepegawaian,” kata wanita berlipstick merah marun itu. "Ada yang mau ditanyakan sejauh ini?"

“Maaf, Bu, nama saya Matari, bukan Mentari,” kata gue meluruskan nama gue.

“Oh, apa? Mantari?”

“Ma-ta-ri, Bu.”

“Oh, iya, Matari. Hmmm, nama yang unik ya. Oke, Tari, gue lanjut menjelaskan sedikit ya. Tapi sebelum itu, lo harus kenal dengan seluruh anggota tim. Ini Okan, trus Rahma, pasti lo udah kenal, dan di sebelahnya ada Sania. Ega, baru besok datang. Jadi hari ini lo bisa belajar dulu sama Rahma,” kata Bu Angel. “Saya hari ini meeting seharian sama Okan, jadi nggak bisa nemenin kamu.”

Sekilas gue melihat Rahma dan Sania saling menatap penuh arti. Entah kenapa. Tak menghiraukan pemandangan misterius barusan, detik berikutnya, gue langsung menyalami mereka satu-satu. Keanehan lain terjadi. Saat gue menyalami Okan, Bu Angel tampak tak senang. Dia akhirnya buru-buru menyuruh gue kembali ke tempat gue duduk.

“Kita masuk kategori Sales perbankan, artinya, kamu akan banyak jalan-jalan ke bank buat jualan. Target kita semua bank. Terutama bank swasta. Bank negeri sudah dihandle oleh tim lain. Nah, ngomong-ngomong soal tim lain, di sini ada banyak tim lain yang nantinya secara berjalannya waktu, lo bakalan kenalan sama mereka. Nanti belajar aja sama Rahma, ya. Dia udah lama di sini dan kenal sama semua orang di sini. Ya nggak, Ma?” pinta Bu Angel.

Rahma hanya meringis.

“Oke deh, Okan, yuk, cus, udah siap semua kan?” tanya Bu Angel dengan nada yang menurut gue berubah drastis menjadi lembut pada Okan, rekan satu tim gue.

“Udah, yuk, tapi mampir sarapan dulu ya di buryam biasanya,” kata Okan sambil beranjak.

“Siplah. Eh, oh, iya, Matari, lo nanti setengah 6 sore jangan langsung pulang ya, lebihin dikit gitu, tadi juga nggak mungkin kan lo dateng jam setengah 9 teng?!” kata Bu Angel sambil membawa tas Michael Korsnya.

Gue melempar senyum sambil mengangguk. Meskipun nyatanya, pernyataan Bu Angel tidak sepenuhnya benar. Gue datang tepat waktu tadi.

Dua wanita di dekat gue berbisik-bisik sangat pelan setelah mereka pergi. Dengan acuh, gue membuka laptop gue dan telah mendarat email dari Soni dan Bu Angel di sana.

Seperti karyawan baru lainnya, Soni bertugas melakukan reminder ke gue untuk pengecekan data karyawan di sistem, sudah sesuai atau belum. Sedangkan Bu Angel, memberikan contoh daily report, yang harus dikirimkan kepadanya setiap satu minggu sekali. Sisanya, Bu Angel memerintahkan agar gue harus mau meminta sedikit informasi produk pada Rahma dan Ega besok. Di email itu pula, Bu Angel langsung meng-cc-kan juga kepada Pak Vino, orang yang meng-interview gue sebelumnya. Yang sampai detik itu, gue belum melihatnya lagi.

***

“Eh lo bawa bekel? tanya Sania pada gue sambil melakukan stretching tanpa berdiri dari kursinya. “Kalo nggak bawa, beli aja sama gue. Ada kantin karyawan dekat sini yang bisa dibungkus.”

Saat itu gue baru menyadari bahwa Sania sedang hamil. Tadi, karena Sania duduk, gue nggak terlalu memperhatikan. Meskipun kami nyata-nyatanya duduk bersebelahan.

“Nggak bawa, sih,” kata gue yang akhirnya mengurungkan niat untuk membeli makan lewat driver online.

“Hmmm, gitu, ya udah sama gue aja beli makan, tapi bungkus aja, makan di kantor, gimana?” tanya Sania.

“Boleh,” sahut gue.

“Eh, Ci, gue nitip bala-bala ya atau gorengan apa kek gitu buat tambahan lauk,” ujar Rahma tanpa menoleh dan tetap berkutat pada laptopnya.

Saat itu pula, gue menyadari, diantara kami semua tampaknya Rahma sangat banyak pekerjaan. Meskipun jam istirahat telat tiba dan semua orang langsung keluar ruangan, Rahma sama sekali tidak ada tanda-tanda menghentikan pekerjaannya.

“Oke. Ya udah, yuk, say,” kata Sania sambil merangkul lengan gue, berjalan sambil memegang perutnya yang besar.

“Jalan berapa bulan, Ci?” tanya gue sambil menunjuk perut Sania, berbasa-basi sedikit, hal yang paling gue nggak suka.

“Hmmm, 7 mau 8, say,” jawab Sania.

“Oh, pantesan gede,” kata gue yang justru berpikir malah Sania ada di usia kehamilan 9 bulan.

“Kebetulan kembar,” kata Sania lagi.

“Wah, selamat, Ci,” kata gue berpura-pura terkesan.

Gue akan merubah pola kerja gue sebelumnya yang cenderung cuek dan tak peduli. Seperti arahan sahabat-sahabat gue di grup "Sableng". Kata mereka, mungkin bisa saja mengubah peruntungan gue dibanding saat bekerja di kantor sebelumnya. Toh, nggak ada salahnya. Nggak ada kantor yang benar-benar menyenangkan. Kalau menyenangkan, namanya taman bermain. 

“Lo sebelumnya kerja di mana?” tanya Sania.

“Gue kerja di bank swasta X," jawab gue singkat.

"Lho, setau gue, lo jurusan IT kan kuliahnya?"

"Iya, sih. Biasalah, Ci, kalau fresh graduated kan emang rata-rata banyak yang ngelamar ke bank.”

“Oh, iya ya? Nggak tahu gue. Gue sejak lulus udah di sini. Malah, bank-bank itu yang jadi customer kita, nanti. Jadi, kalo kenalan lo banyak di bank, malah enak. Bisa jadi jembatan buat lo untuk menawarkan solusi dari company kita.”

“Gue kan di sana cuma 3 tahun, nggak tahu deh beneran ngaruh apa enggak untuk menawarkan produk.”

“Sante aja. Lo nggak harus sales canvasing kok. Kita udah punya channel di bank-bank, tinggal gali aja terus. Pepet terus. Mekanismenya gimana, besok sharing aja sama si Ega. Gue denger, dia masih di sini sampai pertengahan bulan.”

“Oke, thank you infonya, Ci.”

“Trus, gue saran aja nih ya. Lo harus selalu awared sama Bu Angel. Dia nggak suka kalo lo lama bales chat wa, susah ditelepon, atau susah dicariin. Meskipun lo lagi meeting sama customer. Ataupun itu hari Sabtu dan Minggu sekalipun. Agak ribet ya sebenernya. Cuma dia nggak melulu seposesif itu kok. Kelebihannya, dia selalu approved cuti lo, meskipun itu dadakan.”

“Oke.”

Sania melempar senyum. “Dan nanti, pas gue cuti hamil, gue rencana akan kasih beberapa customer gue buat lo handle, bagi-bagi sama Okan. Enak kan? Kalau lo bisa maintain, lo nggak perlu cari customer baru.”

***

Grup WA “Sableng” memang cukup ramai. Masalah makan siang aja kita suka pamer-pamer nggak jelas. Meskipun cuma makanan warteg atau bahkan mie ayam gerobakan. Kadang ngejulidin bos masing-masing pun sering menjadi topik yang menyenangkan untuk dibahas. Gue cukup nyaman sama mereka. Beberapa diantaranya adalah mantan temen kuliah gue, sisanya adalah sahabat yang bertemu saat gue bekerja di bank swasta sebelumnya. Saat kombinasi dua grup itu gue pertemukan, ternyata ternyata cukup gila dan cocok satu sama lain menjadi sahabat. 

Itulah kenapa saat melihat notifikasi layar hp gue yang tak berhenti, Sania berkomentar.

“Ada WA terus tuh,” kata Sania, melirik layar hp gue dengan sedikit kepo.

Sorry, biasa, temen-temen gue, Ci. Keganggu ya? Padahal gue udah matiin suara dan mode getar,” jawab gue.

“Enggak sih, biasa aja. Heran aja, kok elo biasa aja nggak langsung ngerespon. Temen-temen apa tuh?”

“Hmmm, temen deket. Ya, kan gue lagi kerja. Nih lagi baca p*f dari Rahma. Nanti aja kalo istirahat gue balesinnya.”

Sania menatap layar laptop gue. “Ya elah, p*f itu kan cuma teori. Di lapangan lo kudu sefleksibel mungkin. Nggak usah terlalu terpaku sama p*f, itu cuma SOP doang.”

Padahal sejujurnya, gue cuma males aja mau buru-buru bales WA mereka. P*f menjadi alasan gue. Gue masih belum nyaman dengan sikap friendly Sania pada gue. 

“Enak ya kalau masih seumuran lo, temen-temen lo masih pada kompak. Beda kalau udah 30an lebih kaya gue. Yang tersisa paling cuma yang itu-itu aja. Gue sendiri palingan sama Rahma doang nge-ghibahnya kalau di kantor.”

Gue hanya melempar senyum tipis tanpa berkata apa-apa lagi, kemudian beralih membaca p*f produk yang nantinya akan gue jual pada customer.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status