Sikap Pak Cokro saat monthly sales meeting sudah gue lupakan sebenarnya. Saat itu gue pikir dia hanya bersikap ramah dalam versinya sendiri. Namun, betapa terkejutnya gue saat breakfast on the rooftop pagi itu, ada Wuri di sana. Wuri, yang pernah gue bilang adalah sales admin yang memiliki jobdesk yang sama dengan Rahma, hanya dia berada di timnya Veve dan Nana.
Wuri bahkan tampak selesai menangis. Melihat kedatangan gue, Wuri segera pergi menyisakan Veve, Nana dan Victor yang masih terbengong-bengong di kursinya sendiri. Indomie mereka bahkan sudah melebar akibat kelamaan tak dimakan pemiliknya. Belum ada tanda-tanda kehadiran Hanna, sehingga gue lebih leluasa mengajak mereka mengobrol.
“Kenapa si Wuri?” tanya gue akhirnya.
Mau bersikap tak peduli tapi, meski sekilas, tampilan Wuri benar-benar acak-acakan setelah menangis. Nggak mungkin gue bersikap acuh. Jadi gue putuskan bertanya seperti itu.
“Gimana ngomongnya yah? Gue takut lo salah persepsi,” kata Veve.
“Tapi kalo kalian nggak ngomong, gue malah yang jadi salah persepsi. Bisa aja kan gue mikir kalo Wuri nangis gara-gara kalian?” timpal gue.
Victor mendengus. “Gimana ya, gue juga bingung mau ngomong apa. Lo aja deh Na, yang cerita,” kata Victor kemudian.
Nana menggigit bibir. “Emang ngaruh cerita ke dia? Gue pikir kita butuh Ci Hanna, bukan dia,” kata Nana.
“Tapi, dia cewek juga. Lo mau ada korban berikutnya?” tanya Victor. “Kita semua emang baru kenal sama Matari. Tapi, di lantai 3 itu semuanya bisa jadi calon korban. Bukan kalian aja. Dan kebetulan kan dia pas lihat Wuri habis nangis, jadi lebih gampang memulai penjelasannya.”
Saat itu gue masih belum mengerti maksudnya apa. Gue bahkan menatap mereka satu-satu, untuk melanjutkan obrolan itu. Akhirnya Nana buka suara.
“Ri, lo harus hati-hati sama Pak Cokro. Lo tahu kan yang namanya Pak Cokro?” ucap Nana sambil memandang gue.
“Iya, bosnya tim sales untuk BUMN kan?” tanya gue.
“Nah, betul. Pokoknya lo harus hati-hati sama dia. Kita belum bisa cerita full-nya sekarang. Karena gue sendiri jadi inget kejadian yang pernah menimpa gue juga. Bahkan Veve pun pernah mengalami hal yang sama. Dan sekarang Wuri. Kita lagi mikir nih gimana mulai ceritanya,” jawab Nana.
Gue pun akhirnya terdiam cukup lama. Dan menerka-nerka sendiri orang sejenis apa Pak Cokro itu. Breakfast on the rooftop itu berakhir dengan kami lebih fokus dengan Hp kami sendiri-sendiri. Gue rasa, mereka punya grup chat sendiri tanpa gue, dan masih melanjutkan obrolan mereka tanpa gue di situ.
***
Gue masih harus bekerja saat jam telah menunjukkan pukul 8 malam. Pak Vino masih bekerja di ruangannya. Di lantai 3, selain gue dan Pak Vino masih ada AM-AM dari divisi sales yang menangani project BUMN, termasuk Pak Cokro. Tim mereka kebanyakan adalah senior-senior AM yang sudah matang dan lebih tua dari gue. Kebanyakan sudah 30-an atau mendekati 40-an tahun. Hampir semuanya sudah berkeluarga.
Gue sendiri tak banyak berinteraksi dengan AM di tim ini. Karena mereka adalah orang-orang yang paling jarang terlihat di kantor. Meskipun sudah senior, mereka juga tak banyak berinteraksi dengan orang lain. Gue paham, karena status mereka yang sebagian besar sudah berkeluarga mungkin membuat mereka hanya akan berinteraksi seperlunya saja.
Namun hari itu, tim mereka semuanya datang. Gue hanya pernah melihat mereka secara full team saat monthly sales meeting beberapa saat yang lalu. 3 diantaranya adalah bapak-bapak dan dua diantaranya adalah ibu-ibu muda mungkin beranak 1 atau maksimal 2. Sepertinya mereka sedang meeting internal atau mengerjakan project bersama-sama. Kelima AM Senior itu akhirnya beranjak pergi. Namun sepertinya hanya untuk makan malam karena tas-tas mereka masih berada di tempatnya masing-masing. Kepergian mereka menyisakan hanya Pak Cokro saja. Dia tak ikut serta.
Perasaan gue menjadi nggak enak. Gue menyadari, di ruangan ini hanya tersisa gue dan Pak Cokro saja. Ya, benar ada Pak Vino di dalam ruangannya. Tapi Pak Vino tampak berkutat dengan pekerjaannya sendiri dan tak keluar-keluar dari sana. Teringat obrolan tadi pagi saat breakfast, gue pun akhirnya membereskan pekerjaan gue dan menelepon Beno, seperti biasanya jika lembur.
“Sorry, Ri, gue nggak lembur. Tadi siang gue demam,” sahut Beno di telepon yang langsung membuat gue kecewa.
“Ya udah nggak papa. Oke, gue tutup dulu ya,” timpal gue dan kemudian melanjutkan membereskan barang-barang gue lagi.
“Belum pulang?” tanya Pak Cokro sambil duduk di sebelah gue.
Dia mengelus lengan gue dengan pelan dari atas ke bawah menuju siku, entah kenapa gue mendeskripsikan sejelas itu. Tapi nyata-nyatanya gue langsung merinding dibuatnya.
“Rumah kamu mana?” tanya Pak Cokro lagi.
“Saya mau pulang dulu, Pak,” sahut gue cepat sambil refleks menjauhkan lengan gue sendiri darinya secara diam-diam. “Udah dijemput di bawah. Maaf saya buru-buru ya.”
Jujur gue malah berbohong udah dijemput. Padahal Beno sedang sakit dan sudah pulang dari tadi.
***
Mungkin, jika orang lain melihat, sikap Pak Cokro beramah tamah pada gue adalah hal yang biasa saja. Walaupun nyata-nyatanya kami berbeda tim. Tapi jika ditambah dengan sentuhan seperti itu, gue merasa benar-benar risih. Gue tak suka disentuh. Selain itu, cara sentuhnya menurut gue adalah sikap yang menjijikkan. Terserah kalau lo bilang gue hiperbola. Tapi itu yang gue rasakan saat itu.
Dengan ojol gue langsung sampai di kosan dengan selamat. Setelah mandi, gue langsung chat grup Sableng. Menceritakan kejadian aneh itu pada mereka, termasuk perkataan Nana dan sikap Wuri.
Hafis: Lain kali, kalau Beno nggak bisa jemput waktu lo lembur, hubungin gue deh Ri!
Rindu: Gue juga bisa, gue akan paksa Andika buat nemenin ya. Pokoknya kalau lo pulang malam harus hubungin kita di group ini. Ok?
Gue: Thanks banget guys. I’m nothing without you.
Rindu: Br*engsek amat yaaa, tua-tua keladi, makin tua makin jadi. Dipikir semua cewek mau sama dia?
Gue: Untuk sementara, gue masih memantau. Kalian kalau ada loker infoin dong.
Hafis: Siap. Gue akan info lo secepatnya kalau tempat gue ada yang kosong.
Rindu: Udah, sekarang lo istirahat. Besok kan kita jalan bareng. Jangan pada telat ya. Si Beno kalau nggak bisa join ya terpaksa kita pakai mobil lu @Hafis
Hafis: Siap. Tenang aja.
Gue pun tertidur tanpa sadar dan tak menggubris lagi perkataan mereka.
***
Steakhouse tempat yang kami datangi masih agak sepi saat itu. Waktu memang masih menunjukkan pukul 11. Parkirannya yang tidak terlalu luas namun masih bisa muat sekitar 5-8 mobil tergantung size-nya itu, masih lengang. Mobil mini cooper Hafis terparkir dengan mulus. Beno absen kali ini. Tampaknya dia benar-benar sakit.
“Habis ini kita jenguk si Beno, yuk! Bawain apa gitu? Anak kosan kan butuh support waktu macem gini,” kata Inara mengawali.
“Boleh aja, tapi gue nggak bisa lama-lama. Biasalaaaah….,” timpal Hafis.
“Iyeee, malam minggu jatahnya si Mayang kan? Udah, santai aja, kita ngerti kok, nanti kita juga bisa pulang naik taksi online,” jawab Rindu. "Gue juga udah ada janji sama Andika mau nonton bioskop di PIM."
Hafis sumringah. Dia merasa senang teman-temannya bisa mengerti dengan sikap Mayang yang selalu posesif.
Selesai makan steak dan membungkuskan makanan untuk Beno, gue dan teman-teman langsung meluncur ke kosan Beno yang terletak di bilangan Setiabudi, daerah yang sama dengan kosan gue. Berbeda dengan kos gue yang fasilitasnya cukup standar namun harganya selangit, kos Beno jauh lebih beradab bahkan ada tempat untuk memarkirkan mobil besarnya meskipun tak banyak dan hanya dikhususkan untuk penghuni saja.
Selain itu, yang menyenangkan, kosan itu memiliki dapur kecil dan kamar mandi pribadi di setiap kamarnya, AC, dan tentu saja air panas, dispenser dengan air galon yang boleh di refill setiap 1 minggu sekali. Dapur Beno memakai kompor listrik, sehingga dia tidak perlu memesan gas seperti dapur bersama kosan gue. Setiap kamar juga memiliki token listrik masing-masing, sehingga Beno bisa mengatur pemakaian listriknya sendiri.
Di kos Beno, siapapun, baik cewek atau cowok, boleh bertamu hingga pagi, asal, tidak mengganggu tetangga kamar dan keamanan kos. Tentu saja, jika lo bawa mobil, sebagai tamu, lo kudu parkir jauh dari area kosan karena mereka nggak menyediakan parkir khusus untuk tamu. Makanya, Hafis pun akhirnya menyewa parkiran minimarket dan memberikan tips pada tukang parkir agar bisa di situ selama beberapa jam. Untuk harga, jangan ditanya, Beno bisa merogoh hampir 4 juta per bulan dengan fasilitas seperti itu. Baginya tak masalah, karena uang kosnya masih di supply oleh kedua orangtuanya di Surabaya.
Beno membuka pintu kamar dengan ogah-ogahan. Rambutnya acak-acakan. Aroma tolak angin tercium dari mulut dan tubuhnya. Dia kembali membaringkan tubuhnya saat kami datang. Kamar Beno memang tak terlalu besar, namun mampu menampung kami berempat duduk lesehan di depan rak tv bersama-sama.
“Ben, kita bawain steak pake nasi, makan dulu yuk! Nanti kalau dingin, dagingnya a lot,” kata Inara ramah.
“Suapin,” kata Beno sok manja.
“Widiiiih, berani bayar berapa lo?” tanya Inara sambil menoyor kepala Beno dengan kesal.
Beno memasang wajah melas, akhirnya Inara mengalah. Dia pun menyuapi Beno dengan setengah hati. Demam Beno sudah turun, namun dia masih mengeluh keliyengan alias sakit kepala hebat.
“Eh, Ri, gue baru baca WA kalian semua. Sorry, gue udah tepar banget. Jadi, lo selamat kan semalem?” tanya Beno sambil memandang gue.
“Iyalah, kalo nggak, sekarang gue udah di kantor polisi kali ngelaporin kalau ada aneh-aneh,” tandas gue.
“Sorry ya, Ri, bukannya apa, mendingan kalau ada tu lelaki mata keranjang, lo bisa balik duluan atau pindah ruangan aja yang rame-rame,” saran Beno.
“Iya, iya, next time, gue akan lebih hati-hati,” kata gue.
“Nah, gitu dong. Lagian ada kita-kita ini, pokoknya ada rasa nggak beres, langsung chat aja, pasti di antara kita akan diusahakan buat bisa nyamperin lo sesegera mungkin. Soalnya itu bapak-bapak udah nggak beres dari awal,” tambah Hafis. “Mana bos lo juga sama anehnya lagi. Apes banget idup lo, Ri!”
“Emang ada apaan soal bos lo, Ri?” tanya Inara.
“Iya, kayanya, lo belum cerita deh,” timpal Rindu. “Bos lo yang cewek itu kan?”
Gue mengangguk. “Soal itu, nanti deh kalau udah bener-bener jelas ada apaan. Gue soalnya masih nggak yakin sama apa yang gue liat.”
“Oke, besok lusa, Rabu, gue mau ngadain dinner bareng sama tim gue, jadi, kalian tolong kosongin jadwal. Buat yang nggak punya kendaraan sendiri, Rahma, Sania sama Matari, lo koordinasi sama sopir kantor deh bisa anterin apa enggak,” kata Bu Angel sambil duduk di kursinya.Veve dan Nana tampak menatap gue dari jauh dan tertawa-tawa meledek gue.“Saya ada motor kok, Bu,” jawab Rahma.“Enggak, gue bilang, lo naik mobil kantor. Pokoknya pada pake mobil ya, jangan kucel-kucel, jangan bau solar pas dateng ke acara gue,” kata Bu Angel.“Mereka bisa nebeng gue aja, Ngel,” kata Okan menengahi. “Hari Rabu, gue meeting di sini sampai jam 3-an kok.”“Eh, Kan, lo kan sama gue, kita harus cek lokasi dulu juga,”tandas Bu Angel.Okan menarik napas. “Sorry, guys. Nggak jadi.”“Udah, pokoknya, Rahma atur mobil kantor sekaligus drive
Tak sampai seminggu setelah acara dinner bersama itu, gue entah sengaja atau nggak, jadi makin sering melihat kedekatan Pak Marjan dan Bu Cla. Gue menyadari bahwa ternyata mereka sering banget makan siang bareng. Bahkan, Bu Cla tampak sering menunggu Pak Marjan untuk pulang bersama. Gue yang sedang menunggu taksi online pun sering tanpa sengaja melihat mereka. Asumsi-asumsi nggak berdasar sering gue tepis saat itu.Gue beranggapan, wajar saja mereka dekat. Mungkin kedekatan mereka mirip seperti atasan dan bawahan yang harus mendiskusikan project bersama di luar kantor. Toh nyatanya, saat kedatangan Pak Marjan dan Bu Cla di hari dinner bersama tim gue beberapa hari yang lalu itu, tim gue tampak melihat hal itu sebagai hal yang biasa saja. Jadi gue pun tak pernah berpikir macam-macam. Pak Marjan pun secara profesional menjelaskan project baru yang akan dibawa Okan. Meski yah, gue liat Bu Cla tampak kurang suka project itu ak
Pertemuan antara Bu Ana dan gue beberapa hari yang lalu harus berakhir lebih cepat karena Bu Ana diminta segera kembali ke kantor. Dan karena dia harus menyambangi anaknya di apartemen, dia terburu-buru sampai meninggalkan gue begitu saja. Namun, dia sempat mengirim pesan WA ke gue sejam kemudian. Dia berjanji, akan melanjutkan ceritanya saat gue dan dia bertemu lagi nanti.Sebenarnya gue nggak terlalu suka ikut campur urusan orang. Tapi, masalahnya, mereka berkaitan dengan gue selama ini di kantor. Jadi gue pikir, gue harus paham betul situasinya. Cepet atau lambat cerita-cerita ini akan sampai ke gue juga kan.Yang buat gue ngerasa miris, semua executive di kantor gue selalu menggadang-gadangkan keadilan dan integritas. Gue tahu itu cuma motto hidup yang bisa lo taruh di kata-kata mutiara buat ngasih petuah ke seseorang. Nyatanya, bersikap adil itu susah. Apalagi kalo lo deket sama bos lo dan kuasa dia begitu penuh di kantor. Udah deh, gue jamin karir lo semulus jala
Email pengumuman bahwa Singapore officer akan datang untuk meeting quarterly sudah datang. Semua tim berpacu dengan waktu untuk saling memberikan suguhan data yang terbaik. Meeting akan diadakan awal Mei 2018. Seluruh karyawan harus bersiap diri. Karena semua orang harus menghadiri acara tersebut. Tanpa terkecuali. OB saja harus stand by untuk membereskan dan mengangkat barang-barang yang diperlukan.Sebenarnya, meeting ini memang selalu datang setiap 4 bulan sekali. Namun, bagi gue, itu adalah kali pertamanya gue bisa ikut bersama. Victor sudah menginformasikan pada gue bahwa para petinggi dari pusat nggak suka laporan yang bertele-tele. Dia juga berbaik hati memberikan contoh laporan meeting quarterly bulan Desember 2017 yang baru diadakan pada awal Januari 2018. Semuanya dalam full English. Dia bilang, gue nggak boleh membocorkan data itu, karena itu adalah confidential milik divisi dia. Dia sengaja berbaik hat
Setelah dianjurkan untuk cek darah, gue memang diharuskan istirahat total. Gejala tipus dan batuk berdahak menyerang badan gue secara langsung. Dengan diantar Beno, gue putuskan untuk pulang sementara dulu ke rumah. Seperti biasa, bokap gue ngoceh tanpa henti. Sedangkan nyokap, walaupun ikutan ngomel, beliau menyuruh gue istirahat dan merawat gue sambil membuatkan makanan yang berkuah dan hangat.Beberapa kali gue masih membalas e-mail, mengirimkan tambahan data ke Bu Angel karena memang quarterly meeting semakin dekat. Melihat itu bokap gue meradang.“Kamu disuruh bedrest malah masih aja kerja, dapet gaji nggak seberapa tapi ngoyo banget kaya gitu? Udah, Ayah bilang juga apa, ngelamar PNS aja!” seru bokap gue dengan kesal.Bokap gue emang punya obsesi agar salah satu dari anak-anaknya bisa jadi PNS, biar nggak kerja swasta kaya dia. Uang pensiun sudah disediakan bahkan banyak tunjangan yang bisa gue dapatkan. Namun, tampak
Gue kembali masuk kerja setelah total hampir 1.5 minggu bedrest total. BB gue berkurang cukup banyak, hingga gue sadari celana gue nggak ketat-ketat amat. Entah gue harus bersyukur atau sedih karena diet tanpa sengaja.Seperti biasa, pagi itu masih sepi. Padahal jam telah menunjukkan pukul 9.00 tepat. Bahkan Veve dan Nana tak tampak di manapun. Mungkin mereka berdua pergi ke customer, karena mereka tipe yang selalu datang pagi seperti gue untuk menghindari macet. Satu orang pertama yang datang setelah gue balik dari toilet adalah Rahma. Dia menyapa gue dengan ramah. Yang jujur membuat gue cukup kaget, karena dia biasanya orangnya cuek dan nggak terlalu peduli sama gue.“Gimana, Kak? Udah sembuh?” tanya dia berbasa-basi.“Yah, udah 90 % lah, masih agak-agak lemes kalo berdiri kelamaan. Tapi nggak mungkin gue kelamaan absen. Lo tahu sendiri, banyak banget kerjaan pending,” kata gue memulai.“Iya, Kak,
Gue sedang menumpuk banyak dokumen, ketika Veve datang mendekat.“Hei, minggu depan lo ada acara nggak?” tanya Veve.Gue mencoba mengingat-ingat minggu depan akan ada acara apa saja. Seingat gue, minggu depan gue ada jadwal interview dengan bos gue, entah Bu Angel entah Pak Vino, untuk memberikan informasi tentang kelulusan probation gue di sini. Kemudian kalo memang lolos, gue akan menunggu lagi dalam kurun waktu 1-2 hari untuk dipanggil ulang oleh HRD untuk pembaharuan kontrak kerja.“Kayanya gue ada jadwal interview soal probation gue, Ve, gimana dong? Cuma waktunya sih belum pasti kapan. Emang kenapa?” tanya gue.“Temenin gue dong. Gue mau meeting sama vendor lain nih yang bakalan kerja sama buat handle projectnya PT S. Si Nana ada training luar kantor selama dua minggu bareng engineer,” kata Veve sambil memasang tampang memelas.“Ya udah, nanti coba gue cari
Dua hari kemudian, email HRD baru datang di siang hari tentang akhir probation gue. Seperti biasa, pengirimnya adalah si Sonny, salah satu HRD staff yang lumayan ramah sama gue dibanding yang lain. Di email itu, dia mengirimkan draft kontrak kerja gue yang baru, dengan masa kerja baru yaitu 1 Juni 2018-30 Juni 2019.Lantai 3 entah kenapa sedang ramai dengan anak divisi sales hari itu. Maklum, menjelang monthly sales meeting sekaligus menjelang end Q2 (quarterly paruh kedua tahun ini) yang ternyata datang secepat itu. Akhirnya, karena gue butuh konsentrasi untuk membaca draft kontrak, gue melipir ke rooftop sendirian.Nggak disangka, disana ada Pak Gandha dan Pak Cokro sedang mengobrol. Karena keduanya melihat kedatangan gue, gue yang tadinya sudah berniat untuk berbalik arah, mengurungkan niat. Gue cuma males aja mereka salah paham.“Eh, ada anak baru, mau sebat?” tanya Pak Cokro sambil menyapa gue ramah.“Enggak, Pak, saya nggak ngeroko