Anggota breakfast on the rooftop, begitu Ega menyebutnya, telah berkurang satu. Selepas hari terakhirnya, sore itu sebenarnya gue, Veve, Nana dan Victor menyempatkan diri kami untuk berkaraoke bersama di Family Karaoke dekat kantor. Ega mentraktir kami sekaligus makanan yang kami pesan. Namun di sana, tak banyak wejangan-wejangan Ega yang tersisa buat gue. Dia benar-benar meluapkan perayaan kebebasannya dengan menyanyi terus menerus. Rupanya dia memang sesenang itu. Hal yang pernah gue rasakan saat gue resign dari bank tempat gue bekerja sebelumnya.
Gue secara tak resmi menggantikan posisi Ega di hari-hari biasa saat breakfast. Gue secara langsung bergabung begitu saja dengan Veve, Nana dan Victor saat pagi hari di rooftop.Meskipun Victor tampak tak terlalu suka pada gue, dia tak keberatan jika gue bergabung setiap pagi dengan mereka meskipun hanya untuk minum teh. Veve dan Nana terkadang berbicara tentang permasalahannya namun tak terlalu detail. Mungkin mereka masih menerka-nerka, apakah gue bisa dipercaya atau tidak.
Meskipun banyak mengeluh, Veve dan Nana telah berhasil bertahan dalam waktu setahun di perusahaan ini. Sedangkan gue, baru dua minggu. Yang mana, gue harus bisa bertahan selama setahun 3 bulan sesuai dengan kontrak kerja gue. Yaaa, di sini cukup aneh, masa probation gue harus penuhi selama 3 bulan sejak gue pertama bekerja. Setelah itu, jika gue lolos, gue akan di kontrak 1 tahun sambil melihat kinerja gue seperti apa. Tahun kedua, gue baru akan diangkat sebagai karyawan tetap. Saat penerimaan itu, gue akan bisa mendapatkan cuti 24 hari, 12 hari cuti pemerintah dan 12 hari cuti mengikuti peraturan perusahaan Singapura yang sedikit berbeda. Di sana, ada hari Diwali, bahkan hari kemerdekaan Singapura pun kami juga akan libur. Jika masih probition gue belum mendapat jatah cuti. Sedangkan saat kontrak pun gue hanya mendapatkan jatah yang 12 hari kerja sesuai pemerintah saja.
Namun banyaknya hari cuti tentu saja bukan berarti lo bisa tenang berlibur ke sana-sini. Laptop dan hp diharuskan stand by dan lo harus tetap membawa mereka di tengah hari libur. Hal yang tidak menyenangkan memang.
Di antara geng Veve, Nana dan Victor ini, ada yang agak terasa janggal bagi gue. Meski mereka tidak menolak kehadiran gue di setiap breakfast time, baik Victor, Veve dan Nana selalu menolak secara implisit jika gue ingin bergabung dengan mereka saat makan siang. Padahal justru gue sebenarnya tidak terlalu suka makan siang bersama Sania dan Rahma.
Breakfast gue bisa skip, tak harus ke rooftop. Namun mereka bertiga selalu tak mengajak gue pergi bersama-sama pada saat lunch time, jadi gue hanya bisa bertahan membeli makan di luar bersama Sania atau memesannya pada OB kantor kami. Hal yang tidak gue suka pada Sania adalah menurut gue dia selalu cari muka pada siapapun. Bahkan pada gue yang baru dikenalnya. Hal itu pun berlaku pada saat berpapasan dengan bos-bos di kantor gue. Dia selalu mengajak ngobrol dengan manis, berbasa-basi, menimpali hal yang tidak perlu, dan lain-lain yang jujur terlihat memuakkan buat gue yang nggak bisa berperilaku sama seperti dia.
Sedangkan Rahma, dia tipikal yang diam-diam menghanyutkan. Dia selalu tampak acuh pada siapapuntapi ternyata dia adalah orang yang berbahaya, dia selalu menguping pembicaraan orang-orang di mana saja saat ada di sekitarnya. Setelah itu, dia akan menjadikannya bahan gossip bersama Sania.
Masih belum lebih terasa tak menyenangkan, tim gue yang lain, baik Bu Angel atau Okan, selalu sibuk sendiri. Bu Angel sendiri sejak gue pertama datang selalu enggan makan siang bersama gue. Dia selalu pergi bersama Okan. Hal yang selalu menjadi pertanyaan buat gue juga selama ini. Sedekat apa hubungan mereka berdua. Karena keanehan itu kadang cukup membuat gue bertanya-tanya. Dalam itungan hari, gue bahkan bisa menilai tim gue tak lebih baik dari kantor gue yang lama.
***
Saat itu hari Selasa pagi dengan hujan yang cukup deras. Tak ada satupun dari geng breakfast pergi ke rooftop. Gue pun akhirnya duduk santai di tempat duduk gue sambil ngobrol dengan sahabat-sahabat gue via WA group.
Inara: Guys, kangen hangout bareng. Weekend ini lega nggak?
Beno: Emang mau ke mana cuy? Udahlah, dah tua di rumah aja rebahan.
Rindu: Eh, iya jalan bareng yuk. @Beno lo nggak seru.
Inara: Ayolah ngopi-ngopi kek, makan steak kek, biar gue happy.
Gue: Ada masalah @Rindu?
Hafis: Alah palingan masalah dia sebatas naik BB sama bingung beli tas baru
Inara: Hahahaha, ayoooo dong!
Gue: Ya udah ayok. Steak yang enak tapinya.
Inara: Asyiiiik, daerah Cilandak ada tuh. Pake mobil siapa nih? Beno aja yang gede. Mobil Hafis mah mini banget, gue engap.
Hafis: Engap, tapi kan gaji lo 10 tahun juga nggak bisa kebeli!!!
Rindu: Iya bisa, miniaturnya doang tapi HAHAHAHAHA
Inara: Sialan, anak sultan mah bebas. Untung dua sahabat cowok gue anak sultan berkedok nyari pengalaman kerja semua. Jadi enaaaak bisa ngebosin jalan-jalan.
Hafis: Yeeee, bayar sendiri-sendiri dong steaknya. Transport mah gampang, gue juga dapet jatah uang bensin dari bokap, jadi santuyyyy…..
Rindu: Tauk nih, si Inong. Emang duit gaji lo udah habis? Beli make up baru lagi lo buat gegayaan vlog-vlog review make up?
Inara: Enak aja! Gue udah nggak shopping sebulan tahu! Udahhhh yuk jalan, weekend ini ya?
Gue: Sip, nanti gue ke rumah lo ya, Ndu!
Rindu: Iya, pada kumpul di rumah gue aja. Lebih enak berangkat langsung barengan, kan deket sama tol.
Baru hendak mengetik, Sania datang. Disusul Rahma di belakangnya. Saat itu jam telah menunjukkan pukul 9 lewat 25 menit.
“Ciyeee, ngetik senyum-senyum sendiri. Lagi WA sama cowok lo ya?” ledek Sania.
Gue menggeleng. “Emangnya kalau senyum-senyum karena lagi WA sama cowok, Ci?”
“Ya biasanya kan gitu. Emang bukan?” tanya Sania kepo.
“Bukan. Sama temen-temen,” sahut gue sambil membuka laptop dan mengecek email baru.
“Oh, temen-temen lo yang biasanya itu?” tanya Sania sambil mengelap payungnya yang basah.
“Iya,” sahut gue singkat.
Sania kemudian pergi menuju toilet, katanya mau mencuci kakinya yang kotor kena percikan air selama hujan di luar. Rahma seperti biasa cuek tak menyapa gue. Dia kembali duduk sambil menata kembali hijabnya yang agak berantakan.
Dari jauh, gue melihat Veve memanggil gue. Di mejanya duduk ada Nana dan Victor. Dengan semangat gue mendekati mereka. Meskipun gue rasa di kantor ini semuanya adalah tokoh antagonis dengan porsi mereka masing-masing, namun mereka bertiga jauh lebih baik dibanding tim gue sendiri.
“Nih tadi si Nana beli gorengan banyak, bawa beberapa gih buat bumil sama Rahma,” kata Veve sambil mengambil kotak plastik dari dalam lokernya.
Gue meletakkan kotak plastik yang sudah diisi oleh Veve itu ke meja tim gue dan memberitahu Rahma bahwa itu adalah gorengan dari Nana untuk meja kami. Rahma mengucapkan terimakasih pada Nana dari tempat dia duduk. Gue langsung kembali lagi ke meja Nana, tak menggubris Rahma sama sekali.
“Waaaah, banyak uang lo Na?” ledek gue pada Nana yang sedang memakan tahu isi dengan lahap.
“Ngelarisin tetangga kompleks gue, baru buka gerobak gorengan depan rumahnya karena habis di PHK. Kasihan anak-anaknya masih kecil,” sahut Nana setelah menelan potongan tahu isinya yang terakhir.
“Oh gitu, kasihan ya. Emang kadang gue jadi bersyukur sih masih kerja, walaupun di tempat menyebalkan kaya ini. Kadaaang, tapi,” kata Victor.
“Hmmm, inget ya Vic, kalo lo udah mau resign, lo harus info ke kita-kita. Jangan main kabur aja tuh kaya anak divisi bawah. Yang pegang training center. Sekarang tinggal berdua doang mereka, kewalahan katanya,” timpal Veve.
“Yeee, emang kita rekan satu tim? Lagian dari dulu gue juga cuma sendirian di marcom, kalau ada event bikin rundown sendiri, nge-MC sendiri, bikin desain sendiri, semuanya sendiri,” sahut Victor.
“Ya bukannya gitu, maksud gue, kan kita deket, jadi kita duluan yang harus kasih info pertama. Jadi gue nggak tahu dari orang lain. Lagian kenapa sih lo nggak minta orang baru?” tandas Veve.
“Sebenernya udah. Udah dari awal tahun gue minta. Maksud gue, kaya nanti ke Jogja kan masa gue sama anak HRD yang pegang semua. Lo tahu sendiri, cuma si Soni yang enak diajak diskusi, yang lainnya ampun deh,” timpal Victor. “Tapi ya itu tadi, katanya belum ada orang yang qualify menurut mereka. Gue juga nggak paham, maunya kaya gimana si manajemen tuh. Kalo gue sendiri, mau fresh graduated juga nggak masalah yang penting mau kerja aja.”
“Betul, gue setuju sama lo,” kata seorang cewek yang tiba-tiba bergabung dengan meja kami.
Jujur selama ini gue belum pernah melihatnya. Dia mungkin seumuran gue, hanya saja dari apa yang dikenakannya hingga cara dia berbicara, dia mungkin sudah di level di atas gue. Tubuhnya lebih pendek dari gue namun memakai sepatu wedges berwarna nude yang membuatnya tampak lebih tinggi dibanding aslinya. Badannya jauh lebih berisi namun dia bisa menyiasatinya dengan dress yang senada dengan warna sepatunya.
“Hai Ci Hanna! Ya ampun training 3 minggu balik-balik makin cantik aja, kirain udah lupa jalan ke kantor,” ledek Victor.
“Hahahaha, gile lo pada ya, pagi-pagi udah ngegosip. Kalian nggak ada kerjaan atau pura-pura ada kerjaan gitu?” sahut cewek yang bernama Hanna ini sambil meletakkan tas merk Channelnya ke dalam locker miliknya.
“Eh, Ci, kenalin nih anak baru, namanya Matari,” kata Nana menunjuk gue. "Ri, ini Ci Hanna."
“Halo, Ci,” sapa gue.
Hanna menyalami gue tanpa minat. Sikapnya sedikit ketus sambil tersenyum yang dipaksakan.
“Tim siapa?” bisik Hanna pada Veve enggan bertanya langsung pada gue.
“Timnya si Nenek Lampir, Ci,” sahut Veve sambil nyengir.
“Ohhh,” sahut Hanna dan mengambil laptopnya kemudian duduk di sebelah Veve.
Gue pikir dia adalah AM lain di tim mereka, namun ternyata dia adalah bagian dari tim legal. Yang seharusnya duduk di lantai 2. Namun karena kedekatan mereka dan Hanna yang sering dibutuhkan oleh para AM di lantai 3 untuk konsultasi masalah pembuatan kontrak, akhirnya dia duduk di lantai 3 dengan kami semua.
Hanna tampak orang yang sangat berhati-hati dengan orang baru. Termasuk apa yang akan diucapkannya. Dia tak semudah itu percaya pada gue tampaknya.
***
Kehadiran Hanna, menambah formasi dan jam breakfast on the rooftop setiap pagi. Meskipun gue akhirnya sering breakfast on the rooftop dengan mereka, Hanna tak semata-mata langsung menceritakan hal-hal yang terjadi padanya ketika gue ada. Dia lebih banyak mendengar cerita-cerita ajaib Veve dan Nana tentang Pak Gandha ataupun permintaan tak masuk akal yang sering diterima oleh Victor sebagai marcom. Hanna tampak berhati-hati pada gue, gue pun secara otomatis tak banyak juga menceritakan kejadian yang terjadi pada gue ke mereka berempat. Berbeda saat ada Ega. Ega berhasil menjadi penengah kami semua. Kalau sekarang, gue kadang terlihat sebagai pendengar yang baik saja. Atau tim hore saat ada cerita lucu.
Saat istirahat pun, Hanna tampak luwes langsung pergi makan siang bersama Veve, Nana dan Victor, yang mana membuat gue sedikit iri, karena tak satupun dari mereka mau mengajak gue makan siang. Padahal gue lihat Hanna selalu membawa bekal dari rumah. Namun, dia tak pernah memakannya di dalam kantor, seperti Rahma. Dia tampak langsung mengajak teman-temannya pergi.
Kadang sikap mereka yang seperti itu, membuat gue merasa bingung harus bersikap seperti apa. Gue langsung curhat pada temen-temen gue via WA.
Inara: No hurt feelinglah. Individualis aja. Lo juga masih belum yakin kan mereka bisa dipercaya atau nggak. There’s no real friend in office relationship.
Gue: Tapi gue males makan sama Sania dan Rahma.
Rindu: Ya udah anggap aja lagi makan siang sama kita. Kalau lagi free pasti kita bales kok.
Gue: Iya juga. Untung ada kalian. Btw, kalian sendiri gimana? Ada cerita apa?
Rindu: Biasalah nothing special, gue minggu depan harus ke Bangkok. Ada yang mau nitip apa gitu?
Inara: Nothing Special palalo. Itu apaaan baru juga beberapa bulan lalu ke Vietnam buat rekrut teknisi???
Rindu: Ya sini gantiin gue, kalau mau. Hehe.
Inara: Enggak mau ah, kerjaannya banyak dan ribet.
Gue: Lo mah udah diem aja kerja di bank. Udah garis takdir.
Inara: SIAL. Gue udah capek kerja di bank apalagi kalau akhir bulan. Yassalam dah.
Rindu: Nggak ada kerjaan yang enak. Enak tuh kalau rebahan tapi duit ngalir terus.
Inara: Ada kok. Rebahan duit ngalir. Mau?
Rindu: Nggak ada, bego.
Inara: Adaaaa….
Gue: Nggak usah kebanyakan ngayal deh lo. Udah kelarin tuh nganalis agunan kredit, daripada ngayal molo.
Rindu: Tauk nih…
Inara: Ada kok, itu loh open BO…
Hafis: Apa? Siapa open BO? Elo, Nar?
Inara: Mata lo! Ngomong OPEN BO aja nyambung cepet lo.
Tanpa sadar, gue tertawa membaca grup WA saat Inara dan Hafis masih berdebat soal OPEN BO.
“Duh seneng banget kayanya,” timpal Sania.
“Hahaha, enggak, Ci, temen-temen gue lagi pada sableng aja,” sahut gue sambil memakan makanan yang kami pesan pada OB kantor.
“Udah lama banget temenan ya?” tanya Sania.
“Lama sih, lumayan lah,” sahut gue.
“Nanti juga kalian akan mulai berkurang tuh intensitasnya saat udah berkeluarga,” kata Sania.
Gue cuma melempar senyum kecut. Mungkin benar apa yang dikatakan oleh Sania. Tapi seenggaknya, gue ingin menikmati masa-masa kami masih bersama seperti sekarang. Iya, gue tahu kok, semakin lo dewasa circle pertemanan lo akan menyempit. Nggak ada yang salah dengan itu.
Sepeninggal Ega, gue mulai berani pergi ke customer setiap jam 10 dari kantor dengan supir dan mobil kantor yang sudah disediakan. Gue cukup beruntung mendapatkan dan bisa memanfaatkan fasilitas itu, karena AM lain tidak memanfaatkannya. Mereka lebih suka jalan sendiri. Kalau nggak saling menebeng sesama AM yang searah, mereka sudah memiliki kendaraan pribadi seperti mobil atau motor. Gue pikir lebih enak menggunakan supir, karena gue nggak harus merogoh kocek sedikitpun. Kadang jika terlalu pagi pun, bisa lumayan leha-leha sebentar tanpa diganggu. Walaupun terkadang, mobil kantor akan terisi beberapa orang lain atau barang-barang yang harus diantar ke tempat tertentu. Tapi itu nggak masalah buat gue, karena traffic ibukota lumayan menguras tenaga dan emosi.Hari itu, gue pergi menuju gedung Central Senayan, customer pertama yang dikenalkan Ega pada gue. Karena sudah pernah diajarkan oleh Ega bagaimana masuk ke sana sebagai partner project, gue tak canggung
Sikap Pak Cokro saat monthly sales meeting sudah gue lupakan sebenarnya. Saat itu gue pikir dia hanya bersikap ramah dalam versinya sendiri. Namun, betapa terkejutnya gue saat breakfast on the rooftop pagi itu, ada Wuri di sana. Wuri, yang pernah gue bilang adalah sales admin yang memiliki jobdesk yang sama dengan Rahma, hanya dia berada di timnya Veve dan Nana.Wuri bahkan tampak selesai menangis. Melihat kedatangan gue, Wuri segera pergi menyisakan Veve, Nana dan Victor yang masih terbengong-bengong di kursinya sendiri. Indomie mereka bahkan sudah melebar akibat kelamaan tak dimakan pemiliknya. Belum ada tanda-tanda kehadiran Hanna, sehingga gue lebih leluasa mengajak mereka mengobrol.“Kenapa si Wuri?” tanya gue akhirnya.Mau bersikap tak peduli tapi, meski sekilas, tampilan Wuri benar-benar acak-acakan setelah menangis. Nggak mungkin gue bersikap acuh. Jadi gue putuskan bertanya seperti itu.“Gimana ngomongnya yah?
“Oke, besok lusa, Rabu, gue mau ngadain dinner bareng sama tim gue, jadi, kalian tolong kosongin jadwal. Buat yang nggak punya kendaraan sendiri, Rahma, Sania sama Matari, lo koordinasi sama sopir kantor deh bisa anterin apa enggak,” kata Bu Angel sambil duduk di kursinya.Veve dan Nana tampak menatap gue dari jauh dan tertawa-tawa meledek gue.“Saya ada motor kok, Bu,” jawab Rahma.“Enggak, gue bilang, lo naik mobil kantor. Pokoknya pada pake mobil ya, jangan kucel-kucel, jangan bau solar pas dateng ke acara gue,” kata Bu Angel.“Mereka bisa nebeng gue aja, Ngel,” kata Okan menengahi. “Hari Rabu, gue meeting di sini sampai jam 3-an kok.”“Eh, Kan, lo kan sama gue, kita harus cek lokasi dulu juga,”tandas Bu Angel.Okan menarik napas. “Sorry, guys. Nggak jadi.”“Udah, pokoknya, Rahma atur mobil kantor sekaligus drive
Tak sampai seminggu setelah acara dinner bersama itu, gue entah sengaja atau nggak, jadi makin sering melihat kedekatan Pak Marjan dan Bu Cla. Gue menyadari bahwa ternyata mereka sering banget makan siang bareng. Bahkan, Bu Cla tampak sering menunggu Pak Marjan untuk pulang bersama. Gue yang sedang menunggu taksi online pun sering tanpa sengaja melihat mereka. Asumsi-asumsi nggak berdasar sering gue tepis saat itu.Gue beranggapan, wajar saja mereka dekat. Mungkin kedekatan mereka mirip seperti atasan dan bawahan yang harus mendiskusikan project bersama di luar kantor. Toh nyatanya, saat kedatangan Pak Marjan dan Bu Cla di hari dinner bersama tim gue beberapa hari yang lalu itu, tim gue tampak melihat hal itu sebagai hal yang biasa saja. Jadi gue pun tak pernah berpikir macam-macam. Pak Marjan pun secara profesional menjelaskan project baru yang akan dibawa Okan. Meski yah, gue liat Bu Cla tampak kurang suka project itu ak
Pertemuan antara Bu Ana dan gue beberapa hari yang lalu harus berakhir lebih cepat karena Bu Ana diminta segera kembali ke kantor. Dan karena dia harus menyambangi anaknya di apartemen, dia terburu-buru sampai meninggalkan gue begitu saja. Namun, dia sempat mengirim pesan WA ke gue sejam kemudian. Dia berjanji, akan melanjutkan ceritanya saat gue dan dia bertemu lagi nanti.Sebenarnya gue nggak terlalu suka ikut campur urusan orang. Tapi, masalahnya, mereka berkaitan dengan gue selama ini di kantor. Jadi gue pikir, gue harus paham betul situasinya. Cepet atau lambat cerita-cerita ini akan sampai ke gue juga kan.Yang buat gue ngerasa miris, semua executive di kantor gue selalu menggadang-gadangkan keadilan dan integritas. Gue tahu itu cuma motto hidup yang bisa lo taruh di kata-kata mutiara buat ngasih petuah ke seseorang. Nyatanya, bersikap adil itu susah. Apalagi kalo lo deket sama bos lo dan kuasa dia begitu penuh di kantor. Udah deh, gue jamin karir lo semulus jala
Email pengumuman bahwa Singapore officer akan datang untuk meeting quarterly sudah datang. Semua tim berpacu dengan waktu untuk saling memberikan suguhan data yang terbaik. Meeting akan diadakan awal Mei 2018. Seluruh karyawan harus bersiap diri. Karena semua orang harus menghadiri acara tersebut. Tanpa terkecuali. OB saja harus stand by untuk membereskan dan mengangkat barang-barang yang diperlukan.Sebenarnya, meeting ini memang selalu datang setiap 4 bulan sekali. Namun, bagi gue, itu adalah kali pertamanya gue bisa ikut bersama. Victor sudah menginformasikan pada gue bahwa para petinggi dari pusat nggak suka laporan yang bertele-tele. Dia juga berbaik hati memberikan contoh laporan meeting quarterly bulan Desember 2017 yang baru diadakan pada awal Januari 2018. Semuanya dalam full English. Dia bilang, gue nggak boleh membocorkan data itu, karena itu adalah confidential milik divisi dia. Dia sengaja berbaik hat
Setelah dianjurkan untuk cek darah, gue memang diharuskan istirahat total. Gejala tipus dan batuk berdahak menyerang badan gue secara langsung. Dengan diantar Beno, gue putuskan untuk pulang sementara dulu ke rumah. Seperti biasa, bokap gue ngoceh tanpa henti. Sedangkan nyokap, walaupun ikutan ngomel, beliau menyuruh gue istirahat dan merawat gue sambil membuatkan makanan yang berkuah dan hangat.Beberapa kali gue masih membalas e-mail, mengirimkan tambahan data ke Bu Angel karena memang quarterly meeting semakin dekat. Melihat itu bokap gue meradang.“Kamu disuruh bedrest malah masih aja kerja, dapet gaji nggak seberapa tapi ngoyo banget kaya gitu? Udah, Ayah bilang juga apa, ngelamar PNS aja!” seru bokap gue dengan kesal.Bokap gue emang punya obsesi agar salah satu dari anak-anaknya bisa jadi PNS, biar nggak kerja swasta kaya dia. Uang pensiun sudah disediakan bahkan banyak tunjangan yang bisa gue dapatkan. Namun, tampak
Gue kembali masuk kerja setelah total hampir 1.5 minggu bedrest total. BB gue berkurang cukup banyak, hingga gue sadari celana gue nggak ketat-ketat amat. Entah gue harus bersyukur atau sedih karena diet tanpa sengaja.Seperti biasa, pagi itu masih sepi. Padahal jam telah menunjukkan pukul 9.00 tepat. Bahkan Veve dan Nana tak tampak di manapun. Mungkin mereka berdua pergi ke customer, karena mereka tipe yang selalu datang pagi seperti gue untuk menghindari macet. Satu orang pertama yang datang setelah gue balik dari toilet adalah Rahma. Dia menyapa gue dengan ramah. Yang jujur membuat gue cukup kaget, karena dia biasanya orangnya cuek dan nggak terlalu peduli sama gue.“Gimana, Kak? Udah sembuh?” tanya dia berbasa-basi.“Yah, udah 90 % lah, masih agak-agak lemes kalo berdiri kelamaan. Tapi nggak mungkin gue kelamaan absen. Lo tahu sendiri, banyak banget kerjaan pending,” kata gue memulai.“Iya, Kak,
Namun kejanggalan yang lain yang gue temukan, malah bukan soal Bu Angel lagi. Mungkin Bu Angel berhasil diredam dan nggak mencuat, setidaknya gitu yang gue pahami. Tapi soal Pak Marjan dan Bu Cla.Gue pikir, mereka juga udah adem. At least kalopun emang masih ada hubungan, mereka nggak yang seenak jidat muncul di publik sebagai pasangan. Tapi, gue malah ketemu mereka, saat gue sedang antri beli kopi di salah satu kedai kopi di dekat kantor.“Siang, Bu, Pak!” sapa gue dengan lantang pada mereka yang baru masuk ke barisan antrian, yang kebetulan sebagai pengantri terakhir.Mereka nggak bisa mengelak untuk nggak ngantri di belakang gue, karena memang belum ada pelanggan lain yang masuk. Bu Cla akhirnya cuma bisa tersenyum. Sedangkan Pak Marjan malah tampak tak peduli dengan kehadiran gue di situ. Sudah biasa, dia cuma nyapa yang menurut dia satu level sama dia. Sedangkan gue? Gue cuma budak corporate aja, nggak lebih dari itu.Waktu gue order, Bu
Kepulangan gue dari Singapore disambut kabar tak enak saat gue masuk ke kantor. Desas-desus soal Bu Angel jadi simpanan udah jadi bahan obrolan blak-blakan siapapun. Dulu, biasanya cuma jadi bahan ghibah underground. Soalnya nggak banyak yang tahu cowoknya siapa. Meskipun beberapa dari mereka bisa menebak bahwa dia adalah orang penting, bukan orang biasa.Makanya, gue pun nggak ketemu sama sekali dengan Bu Angel saat kedatangan gue pertama di kantor dari liburan. Oleh-oleh yang gue sengaja beli khusus buat dia bahkan nggak disentuh sama sekali sama dia di meja yang biasa dia duduki. Dia nggak pernah muncul di kantor. Semua koordinasi bahkan lewat email dan telepon aja. Chat gue bahkan dibaca dan dibalas bisa sehari kemudian. Itupun ngambang. Padahal gue lagi butuh dia buat nge-guide customer gue yang baru yang gue dapet dari bokapnya Hafis, anak perusahaan Bank lama yang mau mandiri dan bikin manajemen sendiri.Tentunya itu nggak gampang. Selain karena pasti banyak per
Gue adalah orang yang paling terakhir ke basement. Ditemani Hafis, sebagai juru kunci apartemen, kami berdua sama-sama turun. Seharusnya, lift ini bisa disetting langsung ke basement, tapi entah kenapa, lift berhenti di lantai Ground, tempat lobby berada.Gue hampir menahan napas saat gue sadar, yang masuk ke dalam lift adalah istrinya Pak Abimanyu, yang sampai saat itu gue nggak tahu namanya. Menyadari ada Hafis, dia hanya tersenyum namun setelah itu memalingkan muka dan menunduk. Gue dan Hafis tahu dia habis atau masih menangis. Hanya saja kami berdua merasa kikuk untuk berbincang. Akhirnya lift melaju menuju basement dengan sunyi senyap. Suara mesin lift yang halus terdengar samar menjadi satu-satunya background suara.“Ting!”Lift berhenti. Wanita tadi mengangguk pada Hafis dengan sopan tanpa berkontak mata bersiap untuk pergi.Ternyata, kami menuju basement yang sama, meskipun masih ada 3 lantai basement lagi. Gue yang tahu kalau dekat de
“Sebelum berangkat, jangan lupa kumpul dulu di tempat gue!” Hardik Hafis mengingatkan di telepon.Gue yang masih di kantor dan izin setengah hari itu langsung memakinya.“Nggak usah teriak-teriak juga, kali!” kata gue kesal.“Lo di mane nih?” tanya Hafis.“Masih di kantor gue cuy!” sahut gue.“Are you kidding me? Lo izin setengah hari?”“Iyap! Gue nggak mau rugi, man! Penerbangan kita kan masih jam 7 malem. Nanti istirahat makan siang gue balik kosan dulu, ganti baju terus ke apartemen lo.”“Ya udah, pokoknya jam 4 sore kita berangkat ya dari apartemen. Kalo lo telat dikit, gue tinggal. Ngerti lo?”“Iya, iya, tenang aja!”“Oke deh, gue udahan ya! Mau nelepon yang lain.”“Siap.”Gue kadang geli sama sifat perfeksionisnya Hafis. Kaya kalau kita mau trip bareng-bareng kaya gini, pasti kita ak
Gebrakan pertama yang dibuat HRD adalah mereka membuat HRD Socialization Day setiap satu bulan sekali. Makin padat nggak tuh jadwal gue di kantor. Ada Sales Monthly Meeting, ada Quarterly Meeting dan kali ini ada HRD Socialization Day yang diprakarsai Bu Sylvi lewat email blast-nya hari ini. Gue yang lagi kelar meeting bareng Yudha dan Ronald langsung mengeluh saat mengecek email itu dari hp kami. Tentu saja bagi kami yang mirip sebagai pekerja lapangan itu cukup memberatkan.“Gue udah dapet mandat nih di group WA, kalau dari divisi gue, digilirin aja jadwal yang ikut sosialisasi itu. Kan lo tahu anak engineer sebanyak apa, jadi kaya dibagi dua orang per sesi. Bagus deh jadinya adil. Kalo yang nggak bisa dateng boleh tukeran jadwal sama yang belum pernah dateng,” kata Ronald sambil menunjukkan WA grupnya.“Beneran tuh?” sahut Yudha.“Beneran, makanya kalo punya grup WA dibaca dong, bro!” sahut Ronald.“Bukannya gi
Awal bulan Juni tahun 2019 bertepatan dengan libur panjang Hari Raya Idul Fitri 2019. Tentu saja kantor gue baru officially masuk di tanggal 10 Juni. Trip gue bareng geng Sableng harus diundur hingga bulan depan. Gue enggak enak sama mereka sebenarnya, cuma mengingat seharusnya Bu Sylvi, pengganti Direktur HRD sudah datang, dan cuti gue bisa disapprove. Lagian nggak cuma gue yang mengalami hal yang sama. Untuk cuti lebaran semuanya sudah approve kecuali cuti harian, semuanya masih menunggu approval HRD.Ada opsi lain. Pak Vino udah nawarin ke kami semua kalau mau cuti, cuti aja izin ke dia, nanti dia catetin, sambil nunggu sistem beres. Kalau udah beres, dia akan minta HRD input semua kuota cuti yang terpakai. Cuma kaya ribet aja harus laporan dulu ke dia. Pasti gue harus ngejelasin mau ke mana. Mana kontrak kerja gue ditangguhkan lagi. Ini kejadian yang persis sama kaya waktu Nana dulu. Bedanya kalau dulu ngebenerin sistem, kalau sekarang nggak ada yang approve sistemnya. Ja
Selama menunggu pengganti resmi, Bu Nami membantu beberapa pekerjaan HRD. Misalnya untuk review kebijakan baru, review cuti, review sistem dan lain-lain, namun bukan sebagai final approval. Dia mencatat banyak hal, untuk dilaporkan kepada Pak Jaya. Seperti biasa, sistem karyawan milik gue belum bener. Alamat trip sama geng Sableng bakalan diundur. Untungnya mereka bisa ngerti dan menunggu sinyal oke dari gue.Beberapa pekerjaan gue sebagai sidekick sudah banyak berkurang, dulu seminggu sekali pasti ada job, sekarang, bisa 2 sampai 3 minggu sekali, itu pun cuma ngecekin SOP-SOP baru doang udah sampai proses apa. Dari situ gue banyak tahu, beberapa alur proses ada yang diubah sedikit, adapula yang dirombak abis-abisan. Terutama soal budget entertainment ke customer. Bahkan terang-terangan ditulis, perwakilan kantor gue yang biasanya 2-3 orang, dibatasi hanya 1 orang aja. Kalaupun nambah, FA berhak nggak approved sisanya. Hal ini dikecualikan jika gue udah kasih proposal di awal
Gue kaget setengah mati saat Sania dan Rahma memberitahu bahwa hari itu adalah hari terakhir Bu Wanda bekerja bersama di kantor ini. Meskipun sebenarnya gue sudah mengira kejadian ini akan segera datang, tapi gue nggak menyangka bahwa hari itu adalah hari yang sudah gue prediksi selama ini. Wajah para bawahannya tampak sedih. Karena bagaimanapun juga Bu Wanda sudah bergabung lama dengan perusahaan. Beberapa orang memberikan ucapan selamat dan menyalaminya dengan sopan. Meskipun akhir-akhir ini banyak tersulut emosi, Bu Wanda nyatanya tetap membagi-bagikan kue donat untuk dibagi-bagi ke seluruh divisi. Gue sendiri juga dapet bagian. Lumayan snack time di sore hari. Beberapa orang berkerumun untuk ngajak foto farewell. Tentu saja gue enggak ikutan atau sedikitpun tertarik. Sania dan Rahma nggak mau ketinggalan. Sepertinya banyak yang ingin foto bareng sama beliau untuk terakhir kali. Namun hal itu nggak membuat gue berkeinginan yang sama. Gue sendiri belum genap 1 tahu
Seharusnya udah musim kemarau, tapi bulan April itu gue disambut hujan deras di awal bulan. Banyak yang masih bertahan di kantor karena nggak menyangka hujan akan turun sederas itu. Biasanya bulan April bakalan jadi sisa-sisa musim penghujan. Namun nyatanya, hujan masih sederas bulan Desember dan Januari. Gue yang mau pulang akhirnya mengurungkan niat dan mengajak Anwar buat main PS di lounge.“Nggak berani gue, Kak!” sahut Anwar sambil mengeluarkan hpnya dengan niat main game online sambil menungggu hujan.“Kan udah selesai jam kerja, dodol!” timpal gue kesal.“Boleh kali, War, main PS, orang disediain juga! Gue liat-liat lo sekarang jiper amat! Biasanya juga seenaknya lo!” ledek Sania.Anwar menarik napas.“Ya udah ayok, tapi bentar aja ya, gue mau nerobos hujan aja. Mau pulang cepet, nyokap masak opor ayam kesukaan gue nih!” sahut Anwar dan mengikuti gue menuju ke lounge.Untungnya di sana t