Nggak terasa seminggu telah berlalu. Meskipun nyatanya bagi gue, karyawan baru, 5 hari kerja itu terasa lama. Tak ada kesibukan yang berarti selain berkenalan dengan customer limpahan Ega. Gue berkali-kali diajak oleh Ega ke customer-customer-nya yang akan dilimpahkan ke gue.
Di sela-sela itu, gue juga harus belajar alur administrasi dengan Rahma, serta berkenalan dengan orang-orang dari tim Finance & Accountant (FA), divisi yang berisi hampir seluruhnya adalah orang-orang yang kaku dan serius. Divisi ini terletak di lantai 2 berdekatan dengan HRD dan Divisi GA. Karena setiap divisi gue dengar boleh menghias ruangannya dengan sesuka hati, gue melihat divisi FA ini adalah divisi orang-orang yang aneh dengan kesukaannya pada Wall Sticker bertema Animal.
Minggu sore itu, Ega mengirimkan WA.
Ega: Jangan lupa weekly report, lo udah ke mana aja sama gue minggu ini. Nanti kirim ke gue dulu, biar gue cek, biar nyamain data. Lo ngisinya di draft daily report yang udah pernah dikirim Bu Angel, nah lo marked per minggu, di l**k in aja pake pivot. Bisa kan?
Gue menghela napas. Gue bahkan lupa sama sekali dengan weekly report yang berisi kegiatan gue (daily report) selama minggu pertama gue masuk. Sebenarnya kalau gue lihat ini seperti pengganti absensi. Lo bisa di tracking, ke mana saja selama 5 hari kerja itu.
Gue: Oke, habis ini gue kerjain.
Besok Senin. Dan sekarang gue udah kerja. Dulu, gue belajar di hari Minggu malam kalau memang ada PR saja di masa-masa sekolah gue. Sekarang, waktu gue kerja, ternyata gue harus punya PR lagi.
***
Hari Senin, gue sampai setengah 9. Seperti biasa, kantor gue masih sepi. Orang-orang baru akan bermunculan di atas jam 9. Divisi sales lebih parah lagi, setelah jam makan siang terkadang banyak yang baru memuncul.
Saat gue meletakkan tas, gue baru menyadari bahwa ruangan di mana Pak Vino berada, terang benderang. Gue bisa melihat dia di sana. Dia memakai kaus berkerah warna hitam dan jeans warna khaki. Parfumnya yang manly tapi tidak menusuk hidung itu, samar-samar tercium dari tempat gue duduk.
“Eh, halo, Ri, apa kabar?” tanya Pak Vino ramah, keluar dari ruangannya membawa-bawa tumblr starbucks berwarna hijau tua yang sudah mengelupas logonya.
“Pagi, Pak, baik. Bapak sendiri gimana?” sahut gue ramah juga.
Aura Pak Vino memang semenyenangkan itu. Pagi itu gue pun ikut tertular auranya yang positif. Gue tak pernah seramah itu selama gue bekerja di sana. Tapi, dengan Pak Vino, gue secara otomatis menjadi ramah dan murah senyum.
“Gimana, udah belajar apa aja selama seminggu ini?” tanya Pak Vino.
“Hmmm, lumayan sibuk, Pak, karena harus ikut Ega ke customer-customer. Terus belajar administrasi sama Rahma. Ketemu orang divisi FA. Banyak sih, Pak. Kemarin saya udah kirim weekly report, mungkin Bapak bisa cek, kalau ada masukan,” jawab gue.
“Sorry, gue mah nggak pernah ngecek gituan. Itu tugasnya Angel. Tapi nanti kalau saya lagi senggang, saya bakalan cek punya kamu. Selama seminggu kamu bisa mendeskripsikan ke gue nggak, bedanya sales di bank sama di vendor IT kaya gini apa?” tanya Pak Vino dengan sorot matanya yang teduh dan bijak.
Gue terdiam sejenak. “Sebenernya kalau saya pikir-pikir sih sama aja, Pak. Beda produk aja sama target orangnya,” sahut gue pendek. "Oh iya, nama penyebutannya juga beda. Dulu di bank, namanya Account Officer atau ada bank lain yang menyebutnya Relationship Manager. Untuk di sini, disebutnya Account Manager."
“Iya, betul. Makanya biasanya sales itu bisa masuk ke bidang mana saja. Cuma pasti beda dong, kamu present ke orang biasa sebagai target nasabah kamu, sama present ke orang-orang bank nantinya yang bukan dalam segi perorangan, tapi atas nama perusahaan. Orang-orang ini nggak akan bisa langsung mutusin pakai produk lo secepat itu. Beda kalau nasabah, dalam hitungan hari, kalau memang tertarik pasti akan invest. Kalau di sini, ya bisa berbulan-bulan sampai kamu dapat kepercayaan mereka,” kata Pak Vino. “Makanya, nggak bisa kamu 3 bulan langsung dapat project, belum tentu. Bisa saja dalam setahun cuma 1 project. Maka dari itu, jangan cepet pesimis. Kalau ada apa-apa tanya saja sama Sania atau Okan. Angel juga bisa, dia udah senior banget di sini. Kalau masih nggak dapet jawaban, kamu bisa tanya ke saya.”
Gue mengangguk. Akhirnya Pak Vino mengakhiri pembicaraan itu dan pergi menuju pantry lantai 3. Dia bahkan sempat menawarkan gue kopi. Namun gue tolak halus karena gue bukan penyuka kopi seperti yang lainnya.
***
Kedatangan Pak Vino hari itu cukup membuat tim gue sedikit bernapas lega. Yang gue sadari sepenuhnya adalah Bu Angel berubah drastis bagai orang yang berbeda saat ada beliau. Dia bahkan banyak tersenyum. Meskipun nyata-nyatanya gue bisa menilai bahwa senyuman itu dibuat-buat. Pak Vino bagaikan guardian angel yang datang untuk menjadi pawang si Nenek Lampir. Gue jadi mikir, apakah pawang yang disebutkan Nana adalah Pak Vino?
“Ngel, tim lo free kapan?” tanya Pak Vino mendekat ke meja kami. “Besok bisa nggak? Gue mau sedikit share hasil raker. Tim lo gue kasih giliran pertama. Harusnya sih timnya Clafita, mengingat project mereka tahun ini lebih banyak dari lo, tapi mereka besok ada jamuan makan sama Bank YYY, so, tim lo duluan ya.”
“Siap, Pak. Nanti anak-anak akan saya info. Rahma biar atur snack-nya,” ujar Bu Angel sambil melirik Rahma sekilas.
Tanpa dikomando, Rahma yang sepertinya sudah terbiasa dengan arahan Bu Angel, langsung memesan snack ke langganan yang sudah biasa dia pakai. Dia juga langsung booked ruang meeting yang cukup menampung tim gue dan Pak Vino. Rahma tampak sama sekali tidak ada dendam tersisa akibat bertengkar dengan Bu Angel beberapa hari yang lalu. Dia kembali profesional seperti biasanya.
Saat akhirnya gue beranjak menuju toilet, gue berpapasan dengan Bu Angel dan Bu Clafita, leader tim sebelah. Mereka tampak serius membicarakan sesuatu sebelum gue datang. Menyadari kehadiran gue yang tiba-tiba, mereka kompak langsung tutup mulut.
“Eh lo belum kenalan sama salah satu tim baru gue ya, gantinya si Ega,” kata Bu Angel sambil menunjuk gue untuk mendekat, mengalihkan pembicaraan.
Gue sebenarnya sudah sering mendengar dan melihat sesekali tentang Bu Clafita. Namun, Bu Clafita selalu tampak jauh dari jangkauan gue alias nggak ramah. Jadinya gue pun mau beramah tamah sebelumnya juga agak males. Kali ini gue cukup bersyukur, Bu Angel yang membuka jalan gue berkenalan dengannya.
“Halo, gue Clafita, panggil aja Cla,” kata Bu Clafita sambil menyalami gue dengan sikap acuh tak acuh.
Seingat gue dari percakapan kosong antara Veve dan Nana, meski telah memasuki usia menjelang 30an, Bu Clafita sama sekali belum ada tanda-tanda sudah menikah. Hal yang sebenarnya cukup wajar di ibukota ini. Namun, gue cukup terkejut karena kalau dilihat-lihat wajahnya cantik sekali. Mirip artis Taiwan. Padahal dia hanya memakai make up sederhana. Hanya eyeliner dan lipgloss. Tanpa bedak sedikitpun.
Dan ya, dia memang masih jomblo. Gue cukup heran sih. Benarkah tak ada yang tertarik padanya sama sekali? Dress-nya yang super pendek dan modis selalu berhasil membuat siapapun menoleh. Dia sama sekali tidak risih. Cuek dan sangat elegan. Justru membuat gue terpesona melihatnya. Dia benar-benar bagaikan selebritis berjalan. Auranya cocok jadi idol kalo gue bilang.
“Siap, Bu, saya Matari,” jawab gue setelah menyalaminya.
“Berapa umur kamu?” tanya Bu Cla tanpa minat, hanya sekedar berbasa-basi saja.
“25 mau 26, Bu,” sahut gue.
“Hmmm, gue kira lo masih Fresh Grad, ternyata udah lumayan ya. Oke, semoga betah ya. Ya udah, Ngel, lanjutin di rooftop aja gimana?” timpal Bu Cla.
“Boleh, boleh, gue susul nanti sekalian mau ambil rokok gue dulu,” jawab Bu Angel.
Saat itu juga gue baru sadar bahwa Bu Angel adalah seorang perokok. Perokok kelas berat malah, yang gue dengar dari Ega belakangan.
***
Di sisa hari Senin itu, gue meeting dengan Ega hingga menjelang Maghrib. Saat gue kembali ke tempat gue duduk, gue baru sadar, Bu Angel dan Okan sudah tidak ada seperti hari Senin sebelumnya. Sedangkan Sania sedang berkemas pulang. Rahma sudah pulang sejak tadi, menurut keterangan dari Sania. Dalam hitungan detik, Sania pun juga ikut menghilang dari hadapan gue.
“Ga, Ri, kalian sudah selesai meeting?” tanya Pak Vino pada gue yang sedang bersiap pulang.
“Eh, sudah, Pak. Gimana?” tanya Ega balik.
“Yuk, ngobrol bentar yuk, di ruangan saya. Tapi saya sholat dulu. Matari mau sholat juga?” timpal Pak Vino.
Gue menolak dengan halus meskipun gue tidak sedang berhalangan. Sudah menjadi desas-desus bahwa kantor gue tidak begitu bersahabat saat malam menjelang. Apalagi jika lo sendirian. Dan ruangan menuju mushola adalah salah satu titik yang paling ekstrim godaannya. Gue sih belum pernah mengalami langsung. Cuma kisah seram itu selalu terselip di antara cerita obrolan Veve, Nana dan Victor setiap pagi di rooftop menyantap mie. Tapi tampaknya Pak Vino terlihat biasa saja.
Mushola adalah dua bilik kecil yang tadinya adalah toilet laki-laki dan perempuan. Yang gue dengar, awalnya banyak yang protes karena tidak ada tempat untuk sholat. Banyak karyawan yang secara diam-diam memakai ruang meeting yang kosong atau sudut-sudut ruangan. Melihat itu, Pak Vino akhirnya mengubah dua bilik kecil itu menjadi dua mushola terpisah. Satu untuk perempuan dan satu untuk laki-laki.
Sengaja tidak digabungkan karena, jika harus meruntuhkan dinding, ada kabel-kabel tanam elektrik yang harus terputus dan diinstal ulang. Namun keangkeran toilet dan selasar yang menghubungkan ke area itu, jauh lebih dulu terkenal. Pak Vino berharap dengan mengubahnya menjadi mushola, gangguan akan berkurang. Namun katanya, tidak banyak berkurang. Hanya saja sudah jarang terjadi pada waktu siang hari.
“Nggak apa-apa kan, ngobrol dulu, lo buru-buru nggak?” tanya Ega.
“Nggak sih, cuma laper aja,” sahut gue polos.
“Hahahah, tahan dikit. Biasanya Pak Vino mesenin kita makan malam sekalian. Nanti pulangnya gue anterin deh,” timpal Ega.
“Kira-kira Pak Vino mau ngobrolin apa ya, Ga?” tanya gue pada Ega.
“Hmmm, gue nggak tahu pasti. Cuma nebak-nebak aja sih. Paling soal apa yang udah gue share sama lo,” jawab Ega enteng. “Tenang aja, Pak Vino baik kok.”
Setelah 10 menit berlalu, Pak Vino mendekati kami. Dia tampak segar setelah melaksanakan sholat. Wajah Arabnya tampak semakin ganteng menurut gue malam itu. Bersinar-sinar memaksimalkan auranya yang positif itu.
“Udah gue pesenin makanan, nanti yang anterin ke atas si Boim, kebetulan OB yang stand by terakhir dia. Kalian duduk dulu aja, gue mau telepon sebentar ke rumah,” kata Pak Vino.
Gue dan Ega cuma bisa pasrah karena harus menunggu lagi. Karena sudah terlalu lelah, kami berdua pun akhirnya tenggelam dengan hp masing-masing. Gue mengecek-ngecek sosial media. Sedangkan Ega bermain game online. 15 menit berlalu, tapi tampaknya Pak Vino masih menelepon keluarganya.
“Kalo gini caranya, gue mau minta bocoran soal besok ah!” ujar Ega.
“Bocoran apaan?” timpal gue.
“Besok kan tim kita meeting lagi sama dia. Ya gue minta bocoran aja. Masa dia minta buat ngobrol tapi kita suruh nungguin dia dulu. Udah hampir jam 7 nih, gue udah nggak connect,” sahut Ega. “Masih suruh mikir lagi.”
“Emang ni bakalan ngobrol seserius itu?” tanya gue.
Ega hanya mengangkat bahu. Menit demi menit berlalu. Bahkan hingga Boim, si OB yang bertugas telah selesai mengantarkan makanan yang dipesan Pak Vino untuk kami. Boim tampak tak ingin berlama-lama juga. Wajahnya tampak kurang suka dengan kehadiran kami yang masih bertahan di kantor. Artinya itu sama saja menahannya untuk bekerja lembur dadakan. Dia bisa pulang jika kami sudah pulang. Meskipun Boim tak bertugas sendirian. Di bawah ada dua security stand by. Yang akan berjaga hingga shift selanjutnya besok pagi.
Pak Vino keluar dari ruangannya, saat itu jam telah menunjukkan pukul setengah 8 malam. Makanan pesanan pun bahkan sudah tak lagi hangat.
“Maaf ya. Lama. Anak gue nggak mau udahan telepon. Giliran udahan, eh Pak Adnan nelepon. Sudah datang ya dinner kita? Makan dulu yuk. Ngobrolnya sambil makan. Gue udah laper banget,” kata Pak Vino.
Dia duduk di dekat kami. Membuka bagian miliknya dan menyuruh gue dan Ega mengambil milik kami satu-satu. Ega memastikan bahwa Boim juga mendapatkan bagian. Jika belum, dia akan memesankannya untuk Boim dan dua security di bawah, Pak Nadir dan Pak Samsul.
“Santai, Ga, gue udah pesenin buat mereka juga kok. Tenang aja,” kata Pak Vino sambil menyantap makanannya.
“Oh, ya udah, okelah kalo begitu, Bapak emang paling mantep,” puji Ega.
“Bisa aja kamu. Mantep gini lu tinggalin juga ke perusahaan lain,” ledek Pak Vino sambil tertawa.
“Yaelah, kan udah ada si Matari. Tenang aja, dia udah saya kenalin ke semua customer. Tugas dia minggu ini dan minggu besok, jalan ke sana sendiri tanpa saya. Saya komando dari belakang sekalian ngurusin kepegawaian sebelum resign. Ada beberapa yang harus diurus, Pak. Termasuk Parklaring, BPJS dan koperasi,” jawab Ega santai.
“Hahahahaha. Gimana, Ri, komen kamu gimana soal Ega, dia becus nggak ngajarin kamu?” tanya Pak Vino.
Gue tersenyum. “Ya lumayan sih, Pak. Yang penting saya udah dikenalin sama semua PIC, jadi bisa ngelanjutin perjuangan Ega. Kalau soal administrasi, Rahma banyak ngebantuin saya buat tahu alur-alur yang bener.”
“Iya, bagus itu. Rahma udah paling jago masalah administrasi. Udah lama di sini juga dia. Rahma paling lama bergabung meskipun face-nya kelihatan muda sekali, kedua Sania, lo bisa belajar sama dia juga lho, Ri. Bu Angel sendiri memang belum lama. Sekitar 3-4 tahunan bergabung menggantikan almarhum Pak Salim yang sakit keras kemudian meninggal dunia beberapa bulan kemudian. Dulu, Bu Angel sempat di anak perusahaan salah satu BUMN di bagian telekomunikasi. Karena statusnya kontrak beliau akhirnya pindah ke sini,” ujar Pak Vino. “Kamu sendiri gimana, kesan kamu sama Bu Angel, Ri?”
Gue menelan suapan gue yang pertama. Melempar senyum sarkas namun akhirnya gue berbicara dengan polite.
“Tegas dan disiplin. Berdedikasi juga,” sahut gue singkat yang disambut ledekan tawa Ega secara diam-diam.
Nyatanya beberapa hari gue bekerja, Bu Angel telah memperlihatkan tanduknya.
“Galak ya?” timpal Pak Vino sambil cengengesan.
Tampaknya Pak Vino tahu yang ada di pikiran gue.
“Hmmm, mungkin setiap orang punya cara bersikap sendiri-sendiri, Pak. Jadi saya yang harus beradaptasi dengan beliau,” jawab gue tenang.
“Iya, betul. Bu Angel aslinya baik kok. Cuma emang agak emosional. Kamu harus bisa memaklumi dia sebagai single parent yang harus berjuang mengasuh keempat anaknya. Tingkat stress dia lebih banyak dibanding elo yang masih pada single. Selain itu, dia juga masih punya anak lain yang harus diurus, yaitu kalian. Coba bayangkan aja. Nggak di kantor, nggak di rumah, punya anak banyak dengan karakter yang berbeda-beda,” timpal Pak Vino.
“Bapak sendiri, gimana menurut Bapak kinerja Bu Angel terhadap kami?” tanya Ega kemudian menatap lekat-lekat pada Pak Vino.
“Bagus, oke, gue suka. Dari 4 team leader di bawah gue, punya karakteristik masing-masing. Buat tambahan pengetahuan lo juga ya, Ri, lo harus kenal semua leader di divisi ini. Ada Bu Angel, bos lo yang pegang bank swasta nasional dan internasional, ada Bu Cla yang pegang bank negeri, ada Pak Cokro yang pegang BUMN kaya kementrian bahkan universitas negeri dan Pak Gandha yang pegang sektor swasta. Kamu udah ketemu semuanya belum?” tanya Pak Vino.
“Belum sih, Pak, baru Bu Cla aja,” jawab gue.
“Kalau tim-tim mereka?” tanya Pak Vino lagi.
“Baru Veve dan Nana aja, Pak, yang udah kenalan dan ngobrol. Terus kami juga sering breakfast bareng di rooftop kalau pagi,” jawab gue.
“Oh, Veve dan Nana anak buahnya Pak Gandha ya?” tanya Pak Vino.
“Iya, Pak,” jawab gue.
“Nah itu bagus. Kamu bisa memanfaatkan peluang dengan mereka lho. Nggak apa-apa kalau yang lain belum. Besok Jumat kan sales meeting, jadi sekalian aja kamu kenalan sama semua anggota tim sales. Biasanya kalau nggak ada urgently meeting, mereka semua akan hadir kok. Bahkan ada yang rela video call kalau lagi di project luar kota,” kata Pak Vino.
“Besok Jumat mah masih beberapa hari lagi, Pak. Besok saya deg-degan nih meeting internal tim sama Bapak,” kata Ega berbasa-basi.
“Gaya lo deg-degan. Kaya baru meeting sama gue aja lo,” ledek Pak Vino.
“Emangnya besok lama, Pak?” tandas Ega lagi. “Sore saya mau nemenin Matari ke bank swasta N buat ambil BAST sama Pak Muh, PM kita, sekalian ngenalin si Matari sama dia.”
“Enggak, bentar doang, makan siang kelar paling. Lo siapin data-data bank yang bakalan di handle si Matari aja,” kata Pak Vino tegas. "Gue mau, Jumat gue udah kuasai semua update tim kalian dan tim lain. Biar gue bisa back up kalian. Lo tahu sendiri Pak Adnan maunya gue juga update. Padahal project nggak cuma 1, ribuan."
“Iya, tapi kalau Bu Angel kan suka lama-lama, Pak. Besok bantuin kita dong, biar bisa kelar lebih cepet,” ujar Ega.
“Oh, iya juga sih. Ya udah gampang, bisa diatur besok, tapi lo present duluan ya. Data lo pasti banyak nih dibanding yang lain kan. Kasihan Matari kalau dapet limpahan berantakan semua progress-nya,” kata Pak Vino.
Gue memandang pemandangan saat itu bagaikan Ega sedang berbicara akrab dengan ayahnya sendiri. Namun gue masih belum tahu apa yang membuat Ega hengkang dari perusahaan ini jika dia sendiri malah mendapatkan dukungan dan atasan yang baik seperti Pak Vino.
Keesokan harinya, saat meeting internal, Rahma tampak sudah menyediakan banyak snack untuk kami. Namun meskipun jumlahnya banyak dan bisa mengimbangi jumlah peserta meeting, tetap saja menuai protes dari pihak Bu Angel.“Saya dapet bonusan aja beberapa buah snack karena langganan dan sering order,” kata Rahma saat ditanya Bu Angel kenapa snack tampak lebih banyak dari biasanya.“Awas lo ye, kalau ternyata budget snack membengkak,” timpal Bu Angel yang langsung mencomot soes fla dengan sigap.“Tenang, Bu. Saya udah kalkulasiin kok,” sahut Rahma cuek.Tak berkomentar apa-apa lagi, akhirnya Bu Angel membuka meeting hari itu dengan penuh percaya diri dan kharismatik, yang jujur, gue sampai tercengang melihatnya. Dia menguasai seluruh proses dan kebutuhan bank anak buahnya. Prosessampai di mana dan apa saja kendala-kendalanya. Pak Vino saja sampai berdecak
Anggota breakfast on the rooftop, begitu Ega menyebutnya, telah berkurang satu. Selepas hari terakhirnya, sore itu sebenarnya gue, Veve, Nana dan Victor menyempatkan diri kami untuk berkaraoke bersama di Family Karaoke dekat kantor. Ega mentraktir kami sekaligus makanan yang kami pesan. Namun di sana, tak banyak wejangan-wejangan Ega yang tersisa buat gue. Dia benar-benar meluapkan perayaan kebebasannya dengan menyanyi terus menerus. Rupanya dia memang sesenang itu. Hal yang pernah gue rasakan saat gue resign dari bank tempat gue bekerja sebelumnya.Gue secara tak resmi menggantikan posisi Ega di hari-hari biasa saat breakfast. Gue secara langsung bergabung begitu saja dengan Veve, Nana dan Victor saat pagi hari di rooftop.Meskipun Victor tampak tak terlalu suka pada gue, dia tak keberatan jika gue bergabung setiap pagi dengan mereka meskipun hanya untuk minum teh. Veve dan Nana terkadang berbicara tentang permasalahannya namun tak terlalu
Sepeninggal Ega, gue mulai berani pergi ke customer setiap jam 10 dari kantor dengan supir dan mobil kantor yang sudah disediakan. Gue cukup beruntung mendapatkan dan bisa memanfaatkan fasilitas itu, karena AM lain tidak memanfaatkannya. Mereka lebih suka jalan sendiri. Kalau nggak saling menebeng sesama AM yang searah, mereka sudah memiliki kendaraan pribadi seperti mobil atau motor. Gue pikir lebih enak menggunakan supir, karena gue nggak harus merogoh kocek sedikitpun. Kadang jika terlalu pagi pun, bisa lumayan leha-leha sebentar tanpa diganggu. Walaupun terkadang, mobil kantor akan terisi beberapa orang lain atau barang-barang yang harus diantar ke tempat tertentu. Tapi itu nggak masalah buat gue, karena traffic ibukota lumayan menguras tenaga dan emosi.Hari itu, gue pergi menuju gedung Central Senayan, customer pertama yang dikenalkan Ega pada gue. Karena sudah pernah diajarkan oleh Ega bagaimana masuk ke sana sebagai partner project, gue tak canggung
Sikap Pak Cokro saat monthly sales meeting sudah gue lupakan sebenarnya. Saat itu gue pikir dia hanya bersikap ramah dalam versinya sendiri. Namun, betapa terkejutnya gue saat breakfast on the rooftop pagi itu, ada Wuri di sana. Wuri, yang pernah gue bilang adalah sales admin yang memiliki jobdesk yang sama dengan Rahma, hanya dia berada di timnya Veve dan Nana.Wuri bahkan tampak selesai menangis. Melihat kedatangan gue, Wuri segera pergi menyisakan Veve, Nana dan Victor yang masih terbengong-bengong di kursinya sendiri. Indomie mereka bahkan sudah melebar akibat kelamaan tak dimakan pemiliknya. Belum ada tanda-tanda kehadiran Hanna, sehingga gue lebih leluasa mengajak mereka mengobrol.“Kenapa si Wuri?” tanya gue akhirnya.Mau bersikap tak peduli tapi, meski sekilas, tampilan Wuri benar-benar acak-acakan setelah menangis. Nggak mungkin gue bersikap acuh. Jadi gue putuskan bertanya seperti itu.“Gimana ngomongnya yah?
“Oke, besok lusa, Rabu, gue mau ngadain dinner bareng sama tim gue, jadi, kalian tolong kosongin jadwal. Buat yang nggak punya kendaraan sendiri, Rahma, Sania sama Matari, lo koordinasi sama sopir kantor deh bisa anterin apa enggak,” kata Bu Angel sambil duduk di kursinya.Veve dan Nana tampak menatap gue dari jauh dan tertawa-tawa meledek gue.“Saya ada motor kok, Bu,” jawab Rahma.“Enggak, gue bilang, lo naik mobil kantor. Pokoknya pada pake mobil ya, jangan kucel-kucel, jangan bau solar pas dateng ke acara gue,” kata Bu Angel.“Mereka bisa nebeng gue aja, Ngel,” kata Okan menengahi. “Hari Rabu, gue meeting di sini sampai jam 3-an kok.”“Eh, Kan, lo kan sama gue, kita harus cek lokasi dulu juga,”tandas Bu Angel.Okan menarik napas. “Sorry, guys. Nggak jadi.”“Udah, pokoknya, Rahma atur mobil kantor sekaligus drive
Tak sampai seminggu setelah acara dinner bersama itu, gue entah sengaja atau nggak, jadi makin sering melihat kedekatan Pak Marjan dan Bu Cla. Gue menyadari bahwa ternyata mereka sering banget makan siang bareng. Bahkan, Bu Cla tampak sering menunggu Pak Marjan untuk pulang bersama. Gue yang sedang menunggu taksi online pun sering tanpa sengaja melihat mereka. Asumsi-asumsi nggak berdasar sering gue tepis saat itu.Gue beranggapan, wajar saja mereka dekat. Mungkin kedekatan mereka mirip seperti atasan dan bawahan yang harus mendiskusikan project bersama di luar kantor. Toh nyatanya, saat kedatangan Pak Marjan dan Bu Cla di hari dinner bersama tim gue beberapa hari yang lalu itu, tim gue tampak melihat hal itu sebagai hal yang biasa saja. Jadi gue pun tak pernah berpikir macam-macam. Pak Marjan pun secara profesional menjelaskan project baru yang akan dibawa Okan. Meski yah, gue liat Bu Cla tampak kurang suka project itu ak
Pertemuan antara Bu Ana dan gue beberapa hari yang lalu harus berakhir lebih cepat karena Bu Ana diminta segera kembali ke kantor. Dan karena dia harus menyambangi anaknya di apartemen, dia terburu-buru sampai meninggalkan gue begitu saja. Namun, dia sempat mengirim pesan WA ke gue sejam kemudian. Dia berjanji, akan melanjutkan ceritanya saat gue dan dia bertemu lagi nanti.Sebenarnya gue nggak terlalu suka ikut campur urusan orang. Tapi, masalahnya, mereka berkaitan dengan gue selama ini di kantor. Jadi gue pikir, gue harus paham betul situasinya. Cepet atau lambat cerita-cerita ini akan sampai ke gue juga kan.Yang buat gue ngerasa miris, semua executive di kantor gue selalu menggadang-gadangkan keadilan dan integritas. Gue tahu itu cuma motto hidup yang bisa lo taruh di kata-kata mutiara buat ngasih petuah ke seseorang. Nyatanya, bersikap adil itu susah. Apalagi kalo lo deket sama bos lo dan kuasa dia begitu penuh di kantor. Udah deh, gue jamin karir lo semulus jala
Email pengumuman bahwa Singapore officer akan datang untuk meeting quarterly sudah datang. Semua tim berpacu dengan waktu untuk saling memberikan suguhan data yang terbaik. Meeting akan diadakan awal Mei 2018. Seluruh karyawan harus bersiap diri. Karena semua orang harus menghadiri acara tersebut. Tanpa terkecuali. OB saja harus stand by untuk membereskan dan mengangkat barang-barang yang diperlukan.Sebenarnya, meeting ini memang selalu datang setiap 4 bulan sekali. Namun, bagi gue, itu adalah kali pertamanya gue bisa ikut bersama. Victor sudah menginformasikan pada gue bahwa para petinggi dari pusat nggak suka laporan yang bertele-tele. Dia juga berbaik hati memberikan contoh laporan meeting quarterly bulan Desember 2017 yang baru diadakan pada awal Januari 2018. Semuanya dalam full English. Dia bilang, gue nggak boleh membocorkan data itu, karena itu adalah confidential milik divisi dia. Dia sengaja berbaik hat