Setelah gue dinyatakan diterima via e-mail, di suatu siang di kamar kos gue, gue akhirnya diminta oleh calon kantor baru gue yaitu PT Teknologi Data Seluruh Dunia, untuk datang di akhir bulan Mei 2018 ini, dengan membawa seluruh data kelengkapan pribadi, termasuk fotokopi KTP, KK, hingga NPWP.
Nah, di sini gue agak bingung yah, padahal waktu ngelamar gue udah ngasih mereka beberapa lembar, trus bahkan waktu lanjut ke tahap 3 (Interview User alias Calon Bos), gue udah diminta lagi dalam bentuk file scan *.p*f gitu. Masih kurang juga???? Katanya perusahaan Teknologi, masa data beginian aja masih minta dalam bentuk hardcopy berulang-ulang. Awas aja ya, cuma berakhir di mamang-mamang gorengan buat bungkus gorengan. Huft.
Tentu aja, sebelum itu, gue udah prepared sisa uang tabungan gue buat beli beberapa blouse baru, 1 buah dress dan juga celana bahan baru. Mengingat posisi gue kali ini adalah Account Manager alias sebutan jabatan halus buat Sales yang mana, gue diharuskan tampil cantik dan menarik. Yang mana gue pun sebenarnya bukan tipe yang suka tampil mengingat my body was a little bit curvy.
Yang buat gue nggak sabar adalah ini pekerjaan ketiga gue dengan gaji dua digit, yang sudah gue impikan sejak lama. Meskipun di perusahaan yang punya basis di Singapura ini, punya ketentuan yang bisa dibilang saklek. Kalo lo nggak capai target Sales dalam tiga bulan, lo bisa langsung di cut alias pecat. Meskipun lo statusnya adalah karyawan tetap sekalipun. Cukup membuat keder sebenernya, karena ilmu Sales gue pun masih rata-rata.
***
Hari pertama masuk, gue dibawa berkeliling bersama karyawan baru lainnya. Meskipun tampak kecil dari luar, ternyata Gedung kantor itu memiliki 5 lantai dan 1 lantai rooftop di mana, para karyawannya boleh menanam tanaman di sana, sebat (ngerokok) sambil ngopi. Waktu kami sampai di sana, ada beberapa karyawan yang sedang ber-haha hihi sambil merokok, yang melempar senyum pada kami. Di salah satu sudut ada dapur kecil, di mana karyawan HRD yang mengajak kami berkeliling, memberikan informasi bahwa siapapun boleh memasak di sana saat jam kerja atau jam istirahat sekalipun. Tidak ada Batasan, tidak ada aturan, asalkan diperbolehkan oleh atasan masing-masing.
Dengan sambutan seperti itu, gue pun akhirnya berpikir bahwa kantor baru gue ini akan menjadi tempat yang asyik untuk menghabiskan 40 jam gue dalam seminggu untuk bekerja.
“Mbak Matari, Ibu Angel, sebagai calon atasan Mbak nanti, sepertinya belum datang. Jadi, Mbak bisa duduk dulu di lounge,” kata Soni, staff HRD yang usianya jauh lebih muda dari gue.
Gue menatap rombongan anak baru yang kebetulan datang bersamaan dengan gue hari itu dengan perasaan cukup iri. Mereka telah pergi ke divisi mereka masing-masing dan telah pergi sepenuhnya dari hadapan gue tanpa mengucapkan apa-apa. Ya, mau ngucapin apa juga sih. Gue juga baru kenal baru beberapa jam dan mereka tampak acuh, nggak peduli dengan kehadiran gue atau enggak. Nama-nama mereka saja gue nggak inget lagi, meskipun di acara orientasi karyawan baru tadi, kami semua telah mendapatkan giliran untuk memperkenalkan diri satu per satu.
“Eh, tunggu, Mas,” kata gue ketika Soni hendak kembali ke ruangannya.
“Panggil Soni aja, Mbak,” kata Soni sambil tersenyum. “Mau dianterin?”
“Enggak, sih. Cuma penasaran, tadi kamu bilang Bu Angel ya kalau saya nggak salah dengar?” tanya gue memastikan.
“Iya. Ibu Angel Hadi Waskita, biasa dipanggil Ibu Angel adalah atasan Mbak nanti selama bekerja di sini,” sahut Soni sambil menatap gue dengan lekat-lekat.
“Bukannya nama atasan gue Pak Vino? Kayanya gue interview sama dia deh waktu itu?” tanya gue lagi.
“Hmm, betul. Pak Vino adalah atasan Bu Angel, yang mana atasan Mbak juga sebenarnya. Cuma, untuk segala macam report dan guide selama bekerja, Mbak akan satu team bersama Ibu Angel,” jawab Soni.
Gue menggigit bibir. Padahal gue udah seneng aja dapat calon bos cowok waktu itu. Tetapi alangkah sedikit kecewanya gue ketika lagi-lagi gue harus berhadapan lagi dengan bos perempuan. Sorry, bukannya pilih-pilih atau gimana. Tapi gue lumayan sedikit trauma punya bos cewek karena pekerjaan gue sebelumnya. Soal trauma itu, gue akan bahas itu nanti ya.
“Tapi, gue nggak tahu yang namanya Bu Angel deh, Son,” kata gue sambil memindahkan tas gue ke pundak.
“Hmmm, nanti biasanya Rahma yang akan nyamperin Mbak, kok, kalau Bu Angel udah dateng,” timpal Soni.
Gue bahkan belum sempat bertanya Rahma itu siapa ketika teman satu tim Soni, memanggilnya dari dalam ruangan untuk menerima telepon. Soni akhirnya pergi sambil berkata bahwa gue bisa nge-WA dia aja kalau butuh apa-apa.
Gue pun akhirnya kembali turun menuju lantai dasar, di mana lounge berada. Lounge kantor ini terletak di sebelah resepsionis persis. Ada mesin penjual minuman serta mesin ATM yang menjadi penghias di salah satu sudut. Gue pun akhirnya duduk di Lounge. Kemudian melihat notifikasi handphone gue yang sudah banyak. Ternyata, grup “Sableng”, grup WA yang isinya sahabat-sahabat gue sudah mulai berisik.
Inara: Kok dia adem ayem aja sih? Penasaran gue sama bosnya, katanya ganteng.
Hafis: Sante aja dong, Nar. Mungkin dia masih orientasi, namanya juga hari pertama. Lo semua kaya nggak pernah hari pertama kerja aja.
Inara: Iya juga, sih. Ya udah gue tunggu @Matari
Beno: Berisik woi, gue baru bangun nih.
Inara: Lu baru bangun, Ben? Ya ampun? Semalem begadang nih sama Shinta?
Beno: Bangke lo. Semalem gue nge-remote server, ada yang bermasalah. Jam 4-an baru gue merem.
Hafis: Bank XXX ye? Kebiasaan tuh. Udahlah, lu kapan pindah ke tempat gua? Masa hari Minggu nge-remote server, bro. Nggak ada engineer lain apa?
Beno: Berisiiiik. Udahlah gue mau boker dulu.
Gue: Woi, berisik woi. Untung gue mute.
Inara: Kebiasaan lo mute nggak ilang-ilang. Lo kan sekarang jadi sales, nanti kena amuk bos lo baru tau rasa lo.
Rindu: Hai, Matari. Gimana hari pertama? Semoga menyenangkan!!!
Baru gue akan mengetik, seorang gadis yang tampaknya berusia nggak jauh dari Soni dan memakai hijab bunga-bunga merah, mendekati gue sambil tersenyum.
“Kak Matari ya? Saya Rahma,” kata gadis itu sambil menyalami gue.
Oh, jadi ini rupanya yang dibilang Soni. Manis juga.
“Maaf, menunggu lama. Bu Angel baru datang. Yuk, Kak, ke atas. Ruangan kita ada di lantai 3,” kata Rahma menuntun gue.
“Oke, makasih. Btw, nanti kita satu team ya?” tanya gue.
“Iya, Kak. Nanti kalau Kakak butuh dokumen bisa ke saya. Saya bagian admin,” kata Rahma.
“Oke,” kata gue singkat, tidak mau memperpanjang obrolan, karena gue belum tahu Rahma seperti apa.
Gue akan sebisa mungkin mengingat nasihat Rindu, karena doi adalah supervisor HRD di kantornya, bahwa jangan cepet percaya sama siapapun di kantor. Semua orang sama, cuma pengen gajian tiap bulan. Jadi mereka akan berlomba-lomba untuk mengamankan diri sendiri. Mendingan percaya sama temen yang udah lo kenal dari jaman sekolah aja.
So, sambil tetap mengikuti Rahma berjalan melewati divisi demi divisi gue pun akhirnya sampai di divisi team gue yang ternyata tidak seramai yang gue bayangkan.
Ruangan divisi itu berbentuk persegi yang sangat luas. Di dalamnya banyak meja meja besar yang ditata seperti di coffee shop. Satu meja diisi 4-6 kursi saja. Dari Rahma gue baru saja diberikan info bahwa, untuk team Sales semua kursinya nggak ada kepemilikan tertentu. Istilahnya open office. Siapa cepat dia dapat. Bisa duduk di mana aja. Paperless. Kalaupun ada, semua disimpan di dalam loker masing-masing.
Jadi misal gue hari ini duduk di kursi A, besok gue boleh duduk di kursi B, begitu seterusnya. Kaya group discussion gitu.
“Tapi…,” kata Rahma sambil menatap gue sekilas. “Khusus Bu Angel dan timnya selalu pakai dua meja ini.”
Rahma menunjuk 2 meja paling sudut, yang ternyata berdekatan dengan beberapa ruangan kecil. Kata Rahma, salah satunya milik Pak Vino, atasan kami semua di divisi Sales. Sisa ruang kecil lainnya adalah milik bos besar divisi lain, yang kebetulan tidak berada di tempat.
Dua meja itu hanya ada laptop milik Rahma. Kursi-kursi lainnya kosong.
“Duduk aja, Bu Angel masih di toilet,” kata Rahma memintaku duduk di sebelahnya.
Gue pun duduk. Baru gue sadari di antara kursi kosong itu ada tas merk Michael Kors bersandar di sana. Gue tebak, itu milik Bu Angel.
“Oh, iya, Kak, sekarang sambil nunggu beliau, Kakak jalan aja ke lantai dua. Di sana ada divisi warehouse. Kakak bisa minta aset laptop yang udah dipesan Bu Angel dari kemarin. Katanya sudah selesai di instal semua perangkat office. Kakak tinggal ambil aja. Kakak bisa ketemu dengan Mas Abid,” kata Rahma. “Sekalian kenalan, nanti Kakak akan banyak berhubungan dengan Mas Abid. Dia handle semua aset laptop internal dan external.”
Tanpa banyak bicara gue pun melangkahkan kaki lagi turun ke lantai dua dan mencari Mas Abid untuk meminta aset laptop atas nama gue. Di sini semua orang memakai laptop. Dan laptop itu boleh dibawa pulang. Semua laptop akan dikembalikan saat keluar dari perusahaan. Beberapa ada yang boleh memilikinya jika laptop itu sudah dimiliki lebih dari 5 tahun.
Sounds fun, right?
Saat gue kembali dari lantai 2 dan menenteng laptop, divisi Sales mulai ramai. Beberapa karyawan yang tadinya tak nampak sama sekali, mulai terlihat. Namun, seperti anak ayam kehilangan induknya, gue berjalan melewati mereka yang tampak tak ramah pada pendatang baru seperti gue.Gue tampak seperti invisible. Meskipun beberapa dari mereka mencuri pandang dari jauh dengan penuh tanda tanya, namun tak ada satupun yang mendekati gue untuk berkenalan. Aura tak ramah dan individualis terasa begitu kuat. Bahkan gue yang biasanya ramah pada siapapun, secara otomatis tertular aura itu di hari pertama gue bekerja.Sudah gue dengar sebelumnya, bahwa, jam kantor gue fleksibel. Tidak ada absen gesek kartu atau tap kartu atau mesin, seperti kantor gue sebelumnya. Setiap orang bebas datang jam berapa. Namun setiap individunya diwajibkan bertanggung jawab atas pekerjaannya masing-masing. Untuk itulah menjelang siang, para karyawan memang baru datang ke kantor. Seperti saat in
Sebelumnya gue pikir Ega adalah seorang cewek, ternyata, dia cowok. Nggak lebih muda dari gue, mungkin sepantaran. Wajah Chinese-nya 11 12 sama Glenn Alinski-nya Chelsea Olivia (artis Indonesia). “Kalian boleh meeting berdua, saya mau, minggu ini lo udah dikenalin sama customer-customer yang lo pegang,” kata Bu Angel saat melihat Ega datang. “Siap, Bos,” sahut Ega sambil tersenyum. “Ga, lo sharing knowledge-nya yang bener ye. Awas aja lo pergi, dia masih nggak bisa apa-apa,” kata Bu Angel sambil berkacak pinggang. “Nggak usah marah-marah, nih kopi,” kata Ega memberikan segelas minuman Starbucks take away yang masih hangat. “Hmmm, tahu aja gue butuh kopi. Thanks ya, nanti kasih tahu gue aja bill-nya berapa,” kata Bu Angel. “Oke, nanti gue WA, lo bayar pakai e-wallet aja, mau OVO, Gopay, Dana, gue terima, asal jangan cash, males gue bawa recehan,” s
Gue bisa menebak sebenarnya kenapa Ega memanggil Bu Angel dengan sebutan Nenek Lampir. Wajah Bu Angel bukan tipikal wajah wanita karir yang ramah yang bisa lo temui di sekolah-sekolah menjadi guru atau rumah sakit sebagai dokter spesialis anak. Wajahnya tak ramah sama sekali. Dia tampak seperti wanita yang angkuh dan emosional. Tebakan gue mengenai dirinya benar saat setelah makan siang di hari kedua gue bekerja, Bu Angel dan Rahma bertengkar. Gue nggak tahu apa masalahnya. Tapi dari pertikaian mereka sepertinya akibat Rahma terlalu banyak beban pekerjaan di hari itu dan Bu Angel meminta pekerjaan miliknya untuk selesai dengan cepat. Sedangkan, semua orang di tim bergantung pada Rahma untuk mengurus administrasi. Tak ada yang membantunya sementara semua orang membombardirnya dengan pekerjaan yang tak henti-henti. Mata Bu Angel tampak melotot-melotot memaki Rahma. Rahma membalas dengan jawaban-jawaban yang menurut gue cukup keren dan berani. Nyatanya Rahma tampak mera
Nggak terasa seminggu telah berlalu. Meskipun nyatanya bagi gue, karyawan baru, 5 hari kerja itu terasa lama. Tak ada kesibukan yang berarti selain berkenalan dengan customer limpahan Ega. Gue berkali-kali diajak oleh Ega ke customer-customer-nya yang akan dilimpahkan ke gue.Di sela-sela itu, gue juga harus belajar alur administrasi dengan Rahma, serta berkenalan dengan orang-orang dari tim Finance & Accountant (FA), divisi yang berisi hampir seluruhnya adalah orang-orang yang kaku dan serius. Divisi ini terletak di lantai 2 berdekatan dengan HRD dan Divisi GA. Karena setiap divisi gue dengar boleh menghias ruangannya dengan sesuka hati, gue melihat divisi FA ini adalah divisi orang-orang yang aneh dengan kesukaannya pada Wall Sticker bertema Animal.Minggu sore itu, Ega mengirimkan WA.Ega: Jangan lupa weekly report, lo udah ke mana aja sama gue minggu ini. Nanti kirim ke gue dulu, biar gue cek, biar nyamain data. Lo ngisinya di
Keesokan harinya, saat meeting internal, Rahma tampak sudah menyediakan banyak snack untuk kami. Namun meskipun jumlahnya banyak dan bisa mengimbangi jumlah peserta meeting, tetap saja menuai protes dari pihak Bu Angel.“Saya dapet bonusan aja beberapa buah snack karena langganan dan sering order,” kata Rahma saat ditanya Bu Angel kenapa snack tampak lebih banyak dari biasanya.“Awas lo ye, kalau ternyata budget snack membengkak,” timpal Bu Angel yang langsung mencomot soes fla dengan sigap.“Tenang, Bu. Saya udah kalkulasiin kok,” sahut Rahma cuek.Tak berkomentar apa-apa lagi, akhirnya Bu Angel membuka meeting hari itu dengan penuh percaya diri dan kharismatik, yang jujur, gue sampai tercengang melihatnya. Dia menguasai seluruh proses dan kebutuhan bank anak buahnya. Prosessampai di mana dan apa saja kendala-kendalanya. Pak Vino saja sampai berdecak
Anggota breakfast on the rooftop, begitu Ega menyebutnya, telah berkurang satu. Selepas hari terakhirnya, sore itu sebenarnya gue, Veve, Nana dan Victor menyempatkan diri kami untuk berkaraoke bersama di Family Karaoke dekat kantor. Ega mentraktir kami sekaligus makanan yang kami pesan. Namun di sana, tak banyak wejangan-wejangan Ega yang tersisa buat gue. Dia benar-benar meluapkan perayaan kebebasannya dengan menyanyi terus menerus. Rupanya dia memang sesenang itu. Hal yang pernah gue rasakan saat gue resign dari bank tempat gue bekerja sebelumnya.Gue secara tak resmi menggantikan posisi Ega di hari-hari biasa saat breakfast. Gue secara langsung bergabung begitu saja dengan Veve, Nana dan Victor saat pagi hari di rooftop.Meskipun Victor tampak tak terlalu suka pada gue, dia tak keberatan jika gue bergabung setiap pagi dengan mereka meskipun hanya untuk minum teh. Veve dan Nana terkadang berbicara tentang permasalahannya namun tak terlalu
Sepeninggal Ega, gue mulai berani pergi ke customer setiap jam 10 dari kantor dengan supir dan mobil kantor yang sudah disediakan. Gue cukup beruntung mendapatkan dan bisa memanfaatkan fasilitas itu, karena AM lain tidak memanfaatkannya. Mereka lebih suka jalan sendiri. Kalau nggak saling menebeng sesama AM yang searah, mereka sudah memiliki kendaraan pribadi seperti mobil atau motor. Gue pikir lebih enak menggunakan supir, karena gue nggak harus merogoh kocek sedikitpun. Kadang jika terlalu pagi pun, bisa lumayan leha-leha sebentar tanpa diganggu. Walaupun terkadang, mobil kantor akan terisi beberapa orang lain atau barang-barang yang harus diantar ke tempat tertentu. Tapi itu nggak masalah buat gue, karena traffic ibukota lumayan menguras tenaga dan emosi.Hari itu, gue pergi menuju gedung Central Senayan, customer pertama yang dikenalkan Ega pada gue. Karena sudah pernah diajarkan oleh Ega bagaimana masuk ke sana sebagai partner project, gue tak canggung
Sikap Pak Cokro saat monthly sales meeting sudah gue lupakan sebenarnya. Saat itu gue pikir dia hanya bersikap ramah dalam versinya sendiri. Namun, betapa terkejutnya gue saat breakfast on the rooftop pagi itu, ada Wuri di sana. Wuri, yang pernah gue bilang adalah sales admin yang memiliki jobdesk yang sama dengan Rahma, hanya dia berada di timnya Veve dan Nana.Wuri bahkan tampak selesai menangis. Melihat kedatangan gue, Wuri segera pergi menyisakan Veve, Nana dan Victor yang masih terbengong-bengong di kursinya sendiri. Indomie mereka bahkan sudah melebar akibat kelamaan tak dimakan pemiliknya. Belum ada tanda-tanda kehadiran Hanna, sehingga gue lebih leluasa mengajak mereka mengobrol.“Kenapa si Wuri?” tanya gue akhirnya.Mau bersikap tak peduli tapi, meski sekilas, tampilan Wuri benar-benar acak-acakan setelah menangis. Nggak mungkin gue bersikap acuh. Jadi gue putuskan bertanya seperti itu.“Gimana ngomongnya yah?