Sebelumnya gue pikir Ega adalah seorang cewek, ternyata, dia cowok. Nggak lebih muda dari gue, mungkin sepantaran. Wajah Chinese-nya 11 12 sama Glenn Alinski-nya Chelsea Olivia (artis Indonesia).
“Kalian boleh meeting berdua, saya mau, minggu ini lo udah dikenalin sama customer-customer yang lo pegang,” kata Bu Angel saat melihat Ega datang.
“Siap, Bos,” sahut Ega sambil tersenyum.
“Ga, lo sharing knowledge-nya yang bener ye. Awas aja lo pergi, dia masih nggak bisa apa-apa,” kata Bu Angel sambil berkacak pinggang.
“Nggak usah marah-marah, nih kopi,” kata Ega memberikan segelas minuman Starbucks take away yang masih hangat.
“Hmmm, tahu aja gue butuh kopi. Thanks ya, nanti kasih tahu gue aja bill-nya berapa,” kata Bu Angel.
“Oke, nanti gue WA, lo bayar pakai e-wallet aja, mau OVO, Gopay, Dana, gue terima, asal jangan cash, males gue bawa recehan,” sahut Ega.
Bu Angel hanya mencubit lengan Ega sambil tertawa. Gue rasa, mereka cukup dekat hingga Ega berani memanggil “lo” pada Bu Angel.
Melihat pemandangan itu, gue putuskan untuk berhati-hati pada Ega juga. Gue jaga diri aja. Bisa saja dia diam-diam adalah informan Bu Angel di dalam tim. Lo tahu kan, pasti ada orang seperti itu di tim kerja. Yang hobi cari muka maupun mengadu saat ada yang nggak sesuai.
“Sis, nanti sharing-nya jam 10-an ya. Gue mau sebat dulu di atas. Atau lo mau ikut?” tanya Ega sambil meletakkan tasnya.
“Nggak, gue nggak ngerokok,” sahut gue berpura-pura ramah.
“Ya, minimal bikin indomielah?! Mau nggak?” tanya Ega.
Karena Bu Angel memperhatikan gue saat itu, akhirnya gue mengiyakan. Dengan perlahan, gue mengikuti Ega menuju rooftop Gedung itu. Keputusan ini gue rasa tepat untuk diambil, mengingat Bu Angel tampaknya ingin gue sering berinteraksi pada Ega, sebelum dia resign.
***
Di rooftop, ternyata tak sepi. Ada beberapa anak divisi Sales tim lain yang sedang merokok di sana. Gue tahu beberapa dari mereka, namanya juga satu lantai. Hanya saja gue nggak tahu nama mereka dan sales tim siapa mereka semua. Gue hanya tahu mereka duduk tak jauh dari tim gue berkumpul.
“Nah, lumayan. Lo bisa kenalan sekalian. Guys, udah kenal belom anak baru di tim gue?” kata Ega sambil mengeluarkan rokoknya.
Ada dua cewek berambut panjang di sana dan satu cowok berkacamata yang sedang menyeduh indomie. Dua cewek ini gue perhatikan, hampir mirip satu sama lain. Yang membedakan adalah salah satunya memiliki rambut berwarna keabuan. Tak satupun dari mereka sedang merokok.
“Yang gantiin lo nanti ya?” tanya salah satu cewek itu, si rambut abu-abu. “Hai, gue Nana, ini teman satu tim gue Veve, tuh yang lagi bikin indomie namanya Victor. Dia anak marcom sih, bukan sales.”
Gue menyalami mereka satu-satu. Dan bergabung duduk bersama-sama di meja bundar yang mereka tempati sebelumnya.
“Iyah, jadiiii guys... nanti dia yang pegang customer gue,” sahut Ega sambil menyulut rokok.
“Ga, lo agak sanaan deh smoke-nya, gue kan ada asma,” kata Nana.
“Yeeee, namanya juga smoking area, bebas dong gue mau di mana aja,” kata Ega sedikit kesal. “Lagian, gue kan mau ngerumpiin bos gue, biasalah dia...!”
“Ga, ada anak baru tuh, behave kali!” potong Veve sambil melirik gue.
“Santai. Cepet atau lambat dia juga akan tahu,” kata Ega.
“Cepat atau lambat tahu atau cepat atau lambat resign juga?” celetuk Victor sambil mengkibaskan kepalanya yang botak, berpura-pura ada rambut di sana.
Yang lain tertawa. Victor tampak sedikit feminim, meskipun tubuhnya jelas-jelas berotot akibat rajin olahraga.
“Ri, gue mau jujur-jujuran aja ya. Setelah ini gue sih terserah lo mau berpihak sama siapa. Gue nggak maksa lo untuk percaya, tapi gue harap percakapan kita sekarang lo tutup rapat-rapat dan nggak lo emberin ke mana-mana,” kata Ega mengawali.
Gue menatap mereka berempat. Keempatnya memiliki tatapan sama yang pernah gue miliki di kantor lama saat sudah tidak betah dengan keadaan pekerjaan di kantor. Gue yakin, tak hanya Ega, baik Nana, Veve maupun Victor, memiliki keinginan yang sama untuk pergi dari situ suatu saat nanti.
“Jadi, gue resign itu karena gue jujur aja, nggak bisa mengimbangi sama beban yang dikasih Bu Angel sama gue. Nah, gue nggak tahu nih, dia bakalan nge-treat lo kayak apa. Tapi, kalo gue bilang, mulai dari awal lo harus bikin batasan deh. Jadi misal, Sabtu Minggu lo mungkin pingin agak adem dari kerjaan, ya lo nggak usah bales WA dia cepet-cepet,” kata Ega. “Tapi sebagai gantinya, Senin sampai Jumat lo mungkin harus kerja lembur bagai kuda.”
“Emang dia masih ya suka nyariin anak buahnya kalau weekend?” tanya Nana penasaran.
Ega mengangguk. “Nggak hanya itu ya Ri, dulu beberapa kali gue pernah disuruh nemenin dia untuk urusan non pekerjaan. Gue nggak tahu, apakah dia bakalan sama ke lo, yang mana lo kan cewek.”
“Wahhh, kenapaaa tuh?” ledek Veve.
“Ve, bukannya lo udah gue ceritain?” celetuk Ega.
“Iya, iya. Gue kan cuma bercandaaaaa, lagian muka lo serius banget,” kata Veve.
“Huh, lo bisaan ngelesnya. Nih indomie, udah makan dulu, jam 9 teng kita balik ke bawah, si bacot biasanya nyariin tuh,” kata Victor. “Gue makan, guys.”
Victor dan Veve langsung melahap indomienya dengan cepat. Gue masih diam menunggu lanjutan cerita Ega.
“Nah, kenapa gue cerita sama lo? Karena gini, lo nantinya akan pegang customer gue, yang karakteristiknya beda sama punya Ci Sania dan Bang Okan. Yang mana, customer gue itu lebih suka kaya, lo setor muka ke mereka seminggu sekali atau ngajak makan bareng gitu di resto mahal sebulan sekali. Nah, pas lo ketemu mereka, bisa aja tu Bu Angel nyariin lo tanpa liat waktu dan tempat, lo harus bisa ngadepin itu,” kata Ega. “Dan gue nggak tahu seberapa optimistik lo sama perusahaan ini, tapi di sini banyak banget karyawan toxic. Gue nggak akan bilang siapa aja. Gue pikir, seiring berjalannya waktu, lo akan tahu, siapa aja yang toxic itu. Mungkin, gue akan kasih info gimana untuk ngadepin mereka. Kenapa? Lagi-lagi, gue nggak mau, kalau gue nanti udah resign, di kerjaan baru, gue harus ngurusin kerjaan di kantor lama karena lo-nya nggak becus.”
Gue memahami apa yang Ega takutkan ketika nanti dia pergi dari sini. Karena gue pun sehari sesudah resign dari perusahaan gue yang lama, mantan bos gue masih mencari-cari data dan file yang bahkan sebenarnya sudah gue berikan ke dia dalam bentuk flashdisk. Dan itu cukup mengganggu gue.
“Lo sendiri gimana, pendapat lo sama Bu Angel?” tanya Ega menatap gue sambil menghembuskan asap rokoknya ke arah lain.
“Ya mana dia tahu, Ga, dia kan baru sehari, ini baru jalan hari kedua aja beberapa puluh menit. Bos lo aja kemarin nggak ada seharian,” kata Nana.
“Ya nggak papa, gue cuma mau denger first impression dia soal Bu Angel,” kata Ega sambil menatap gue lagi. “Jadi gimana?”
Gue sedikit berhati-hati, mencoba memilah-milah perasaan yang mau gue utarakan.
“Menurut gue dia disiplin, tegas dan maunya on track,” kata gue.
Ega tertawa. “Disiplin? Hmmm, oke. Tegas? Oke, on track? Oke. Hahahaa. Positif semua ya,” timpal Ega.
“Gilingan lo ye, dia kan masih baru ya pasti positiflah,” tandas Victor membela. “Udah, nggak usah didengerin. Dia cuma sakit hati aja tempatnya direbut sama Okan, hehehehe.”
“Hush, jangan kenceng-kenceng dong, mukanya si Ega udah merah tuh!” ledek Nana.
“Sialan kalian,” timpal Ega sedikit kesal.
Gue sendiri jujur belum melihat sisi negatif Bu Angel. Maksud gue, mungkin yaaa, seiring berjalannya waktu gue akan melihat sisi itu nantinya. Namun, gue udah cukup capek untuk terlalu percaya omongan rekan kerja gue di kantor. Mereka nggak ada yang benar-benar ikhlas temenan sama lo. Makanya gue pun akhirnya tidak terlalu menanggapi perkataan Ega. Apalagi seingat gue, Ega tadi pagi membelikan Bu Angel kopi dengan wajah penuh keramahtamahan yang entah dibuat-buat atau tidak.
Menurut gue cukup aneh, saat dia di belakang tampak sepenuhnya nggak suka sama Bu Angel tapi dia tampak peduli saat di depan orangnya langsung.
“Cabut yuk. Kayanya Bos gue udah nyariin,” kata Veve sambil melihat hpnya.
Victor dengan sigap mengumpulkan mangkok-mangkok bekas indomie milik teman-temannya dan meletakkan dengan rapi di bak cuci piring. Tak berapa lama, mas-mas OB langsung terlihat mencuci mangkok-mangkok itu tanpa disuruh. Setelah berbasa-basi, Victor, Veve dan Nana berlalu menuju tangga.
“Jam 10 sampe makan siang kita brain storming ya. Kita cari ruangan kosong. Kalau nggak ada baru ke sini. Lo udah janjian belajar sama Rahma belum?” tanya Ega kemudian.
“Udah sih, kata dia baru lega di atas jam 3 sore,” sahut gue.
“Nah, habis makan siang kita lanjut bentar. Trus abis itu lo belajar sama Rahma ya. Besok gue kenalin ke customer. Kayaknya besok ke Central Senayan, ada bank swasta M customer kita di sana. Lo tahu kan gedung itu?”
“Sebelahnya Senayan City kan?”
“Iya. Lo rumahnya mana sih? Mau nebeng sama gue?”
“Nggak usah, gue ada barengan kok.”
“Oh, gitu, ya udah deh, bagus. Besok ketemuan di lobby Central Senayan ya, sekitar jam 10 pagi, gimana?”
“Oke, sip.”
“Ya udah, yuk turun. Keburu si Nenek Lampir nanyain.”
Gue bisa menebak sebenarnya kenapa Ega memanggil Bu Angel dengan sebutan Nenek Lampir. Wajah Bu Angel bukan tipikal wajah wanita karir yang ramah yang bisa lo temui di sekolah-sekolah menjadi guru atau rumah sakit sebagai dokter spesialis anak. Wajahnya tak ramah sama sekali. Dia tampak seperti wanita yang angkuh dan emosional. Tebakan gue mengenai dirinya benar saat setelah makan siang di hari kedua gue bekerja, Bu Angel dan Rahma bertengkar. Gue nggak tahu apa masalahnya. Tapi dari pertikaian mereka sepertinya akibat Rahma terlalu banyak beban pekerjaan di hari itu dan Bu Angel meminta pekerjaan miliknya untuk selesai dengan cepat. Sedangkan, semua orang di tim bergantung pada Rahma untuk mengurus administrasi. Tak ada yang membantunya sementara semua orang membombardirnya dengan pekerjaan yang tak henti-henti. Mata Bu Angel tampak melotot-melotot memaki Rahma. Rahma membalas dengan jawaban-jawaban yang menurut gue cukup keren dan berani. Nyatanya Rahma tampak mera
Nggak terasa seminggu telah berlalu. Meskipun nyatanya bagi gue, karyawan baru, 5 hari kerja itu terasa lama. Tak ada kesibukan yang berarti selain berkenalan dengan customer limpahan Ega. Gue berkali-kali diajak oleh Ega ke customer-customer-nya yang akan dilimpahkan ke gue.Di sela-sela itu, gue juga harus belajar alur administrasi dengan Rahma, serta berkenalan dengan orang-orang dari tim Finance & Accountant (FA), divisi yang berisi hampir seluruhnya adalah orang-orang yang kaku dan serius. Divisi ini terletak di lantai 2 berdekatan dengan HRD dan Divisi GA. Karena setiap divisi gue dengar boleh menghias ruangannya dengan sesuka hati, gue melihat divisi FA ini adalah divisi orang-orang yang aneh dengan kesukaannya pada Wall Sticker bertema Animal.Minggu sore itu, Ega mengirimkan WA.Ega: Jangan lupa weekly report, lo udah ke mana aja sama gue minggu ini. Nanti kirim ke gue dulu, biar gue cek, biar nyamain data. Lo ngisinya di
Keesokan harinya, saat meeting internal, Rahma tampak sudah menyediakan banyak snack untuk kami. Namun meskipun jumlahnya banyak dan bisa mengimbangi jumlah peserta meeting, tetap saja menuai protes dari pihak Bu Angel.“Saya dapet bonusan aja beberapa buah snack karena langganan dan sering order,” kata Rahma saat ditanya Bu Angel kenapa snack tampak lebih banyak dari biasanya.“Awas lo ye, kalau ternyata budget snack membengkak,” timpal Bu Angel yang langsung mencomot soes fla dengan sigap.“Tenang, Bu. Saya udah kalkulasiin kok,” sahut Rahma cuek.Tak berkomentar apa-apa lagi, akhirnya Bu Angel membuka meeting hari itu dengan penuh percaya diri dan kharismatik, yang jujur, gue sampai tercengang melihatnya. Dia menguasai seluruh proses dan kebutuhan bank anak buahnya. Prosessampai di mana dan apa saja kendala-kendalanya. Pak Vino saja sampai berdecak
Anggota breakfast on the rooftop, begitu Ega menyebutnya, telah berkurang satu. Selepas hari terakhirnya, sore itu sebenarnya gue, Veve, Nana dan Victor menyempatkan diri kami untuk berkaraoke bersama di Family Karaoke dekat kantor. Ega mentraktir kami sekaligus makanan yang kami pesan. Namun di sana, tak banyak wejangan-wejangan Ega yang tersisa buat gue. Dia benar-benar meluapkan perayaan kebebasannya dengan menyanyi terus menerus. Rupanya dia memang sesenang itu. Hal yang pernah gue rasakan saat gue resign dari bank tempat gue bekerja sebelumnya.Gue secara tak resmi menggantikan posisi Ega di hari-hari biasa saat breakfast. Gue secara langsung bergabung begitu saja dengan Veve, Nana dan Victor saat pagi hari di rooftop.Meskipun Victor tampak tak terlalu suka pada gue, dia tak keberatan jika gue bergabung setiap pagi dengan mereka meskipun hanya untuk minum teh. Veve dan Nana terkadang berbicara tentang permasalahannya namun tak terlalu
Sepeninggal Ega, gue mulai berani pergi ke customer setiap jam 10 dari kantor dengan supir dan mobil kantor yang sudah disediakan. Gue cukup beruntung mendapatkan dan bisa memanfaatkan fasilitas itu, karena AM lain tidak memanfaatkannya. Mereka lebih suka jalan sendiri. Kalau nggak saling menebeng sesama AM yang searah, mereka sudah memiliki kendaraan pribadi seperti mobil atau motor. Gue pikir lebih enak menggunakan supir, karena gue nggak harus merogoh kocek sedikitpun. Kadang jika terlalu pagi pun, bisa lumayan leha-leha sebentar tanpa diganggu. Walaupun terkadang, mobil kantor akan terisi beberapa orang lain atau barang-barang yang harus diantar ke tempat tertentu. Tapi itu nggak masalah buat gue, karena traffic ibukota lumayan menguras tenaga dan emosi.Hari itu, gue pergi menuju gedung Central Senayan, customer pertama yang dikenalkan Ega pada gue. Karena sudah pernah diajarkan oleh Ega bagaimana masuk ke sana sebagai partner project, gue tak canggung
Sikap Pak Cokro saat monthly sales meeting sudah gue lupakan sebenarnya. Saat itu gue pikir dia hanya bersikap ramah dalam versinya sendiri. Namun, betapa terkejutnya gue saat breakfast on the rooftop pagi itu, ada Wuri di sana. Wuri, yang pernah gue bilang adalah sales admin yang memiliki jobdesk yang sama dengan Rahma, hanya dia berada di timnya Veve dan Nana.Wuri bahkan tampak selesai menangis. Melihat kedatangan gue, Wuri segera pergi menyisakan Veve, Nana dan Victor yang masih terbengong-bengong di kursinya sendiri. Indomie mereka bahkan sudah melebar akibat kelamaan tak dimakan pemiliknya. Belum ada tanda-tanda kehadiran Hanna, sehingga gue lebih leluasa mengajak mereka mengobrol.“Kenapa si Wuri?” tanya gue akhirnya.Mau bersikap tak peduli tapi, meski sekilas, tampilan Wuri benar-benar acak-acakan setelah menangis. Nggak mungkin gue bersikap acuh. Jadi gue putuskan bertanya seperti itu.“Gimana ngomongnya yah?
“Oke, besok lusa, Rabu, gue mau ngadain dinner bareng sama tim gue, jadi, kalian tolong kosongin jadwal. Buat yang nggak punya kendaraan sendiri, Rahma, Sania sama Matari, lo koordinasi sama sopir kantor deh bisa anterin apa enggak,” kata Bu Angel sambil duduk di kursinya.Veve dan Nana tampak menatap gue dari jauh dan tertawa-tawa meledek gue.“Saya ada motor kok, Bu,” jawab Rahma.“Enggak, gue bilang, lo naik mobil kantor. Pokoknya pada pake mobil ya, jangan kucel-kucel, jangan bau solar pas dateng ke acara gue,” kata Bu Angel.“Mereka bisa nebeng gue aja, Ngel,” kata Okan menengahi. “Hari Rabu, gue meeting di sini sampai jam 3-an kok.”“Eh, Kan, lo kan sama gue, kita harus cek lokasi dulu juga,”tandas Bu Angel.Okan menarik napas. “Sorry, guys. Nggak jadi.”“Udah, pokoknya, Rahma atur mobil kantor sekaligus drive
Tak sampai seminggu setelah acara dinner bersama itu, gue entah sengaja atau nggak, jadi makin sering melihat kedekatan Pak Marjan dan Bu Cla. Gue menyadari bahwa ternyata mereka sering banget makan siang bareng. Bahkan, Bu Cla tampak sering menunggu Pak Marjan untuk pulang bersama. Gue yang sedang menunggu taksi online pun sering tanpa sengaja melihat mereka. Asumsi-asumsi nggak berdasar sering gue tepis saat itu.Gue beranggapan, wajar saja mereka dekat. Mungkin kedekatan mereka mirip seperti atasan dan bawahan yang harus mendiskusikan project bersama di luar kantor. Toh nyatanya, saat kedatangan Pak Marjan dan Bu Cla di hari dinner bersama tim gue beberapa hari yang lalu itu, tim gue tampak melihat hal itu sebagai hal yang biasa saja. Jadi gue pun tak pernah berpikir macam-macam. Pak Marjan pun secara profesional menjelaskan project baru yang akan dibawa Okan. Meski yah, gue liat Bu Cla tampak kurang suka project itu ak