Seminggu berada di Queen's seolah berada di penjara. Jean melarangnya bepergian. Lucy juga bersekongkol dengan Mario sehingga Laura terpaksa berdiam diri di rumah dengan pelayan melayaninya. Dia bukan nyonya besar, tapi pelayan-pelayan itu menganggapnya sebagai tamu spesial. Jean yang dulunya bermulut pedas berubah begitu lembut dan Laura lebih menyukai perempuan itu menghinanya.
Suara ribut menarik perhatian Laura. Di halaman Jessica menangis keras sementara para pelayan tidak berhasil membujuk anak itu. Laura menghampiri Jessica lalu menggendongnya.
"Bibi akan membawamu keluar," ucap Laura.
Di temani pelayan pribadi Jessica, Laura memasuki sebuah kafe tidak jauh dari kediaman Jean. Untungnya, Jean tidak ada di rumah sehingga Laura bisa bebas keluar tanpa larangan.
"Ibumu memang gila." Laura mengusap pipi Jessica yang belepotan terkena kue. "Dia pergi sesuka hati tanpa mengurusmu."
Pelayan yang berdiri di belakang Jessica berdehem mengingatka
Katanya waktu obat terbaik untuk melupakan, tapi teori tersebut tidak berlaku untuk Argino Mahendra. Dengan tidak tahu malu, anggap saja bermuka tembok, Gino memberanikan diri menekan bel unit apartemen Laura. Sepuluh menit berlalu, pintu apartemen tak kunjung terbuka. Sepertinya Laura tidak berada di apartemen. Akhir pekan pada pagi hari tidak mungkin Laura bekerja karena seingatnya, restoran itu tutup saat weekend. Gino mengeluarkan ponselnya lalu menghubungi David, detik ketiga sambungan itu terhubung sebuah teriakan menyapa telinganya. "Brengsek! Lebih baik kau mati!" Telinganya hampir tuli mendengar teriakan Lucy, kebodohan David sudah sampai tingkat akhir. Menikahi Lucy seperti bunuh diri karena temperamen buruk perempuan itu menyebabkan seseorang mati di usia muda. Dan David buta karena cinta. "Aku ingin bicara pada David," ucap Gino setelah teriakan Lucy reda. "Aku tidak ingin bicara pada perempuan aneh sepertimu." "David tidak akan bi
Lucy memang gila. Menjelang petang datang ke apartemennya dengan omelan panjang. Semenjak menikah, Lucy selalu merepotkan Laura. Meskipun mengurus Jessica merupakan keinginannya, tapi berbeda kalau Lucy mulai berceloteh tanpa henti. Entah kerasukan setan apa, Lucy terus menyebut nama Gino sejak Laura membuka pintu apartemennya. Satu jam berlalu tidak ada tanda-tanda Lucy mengakhiri percakapan. Laura menyumpal kedua telinganya dengan headset lalu memutar sebuah lagu. Akhir-akhir ini Laura suka sekali mendengarkan lagu Jepang. Meski, tidak tahu artinya, dia tetap mendengarnya. Hingga Lucy menarik headset dari telinganya. Kesenangan Laura pun berakhir. "Gino kembali ke New York." "Bukan urusanku," ucapnya singkat. "Dia meminta David melakukan sesuatu, semoga bukan rencana gila." Laura menggeleng. "Aku tidak tertarik." &
Berdiri di balkon pada tengah malam ditemani secangkir kopi tidak cukup mengusir hawa dingin. Mungkin di masa lalu, Laura bahagia dengan kehadiran Gino di sisinya, tapi semuanya sudah berakhir. Dua tahun lalu. Gino tidak berbicara justru asyik menikmati kopi buatannya. Laura menahan kantuknya setelah setengah jam menemani Gino berdiri di balkon. Entah untuk alasan apa, dia sendiri tidak membutuhkan penjelasan. Kehadiran Gino lebih mengganggu dari kedatangan Lucy sore tadi. "La," Panggilan Gino terdengar berbeda. Atau mungkin Laura tidak ingin mendengar laki-laki itu memanggilnya seperti dulu. "Aku nggak tahu mulai dari mana. Kesalahanku sangat besar, aku nggak pantas berharap lebih sama kamu." Gino tertawa getir. "Aku merasa lucu sama diri aku sendiri." Gino masih terjebak di masa lalu padahal Laura sudah melangkah ke depan. Menyimpan kenangan mereka di tempat lain. Pikirannya berjalan, seperti hidupnya yang tidak mungkin berhe
Selasa pagi Laura baru menginjakkan kaki di restoran. Dua karyawannya sudah membersihkan meja dan samar-samar tercium aroma burger. Laura mengganti pakaiannya di loker kemudian menuju meja kasir untuk memeriksa laporan keuangan. Sejak insiden penembakan jumlah pengunjung semakin berkurang. Sekarang Laura percaya isu lebih cepat menyebar ketimbang virus mematikan. Dia harus bekerja keras untuk mengembalikan pelanggannya yang kabur. Seperti menaruh selebaran sebagai bentuk promosi, tapi tidak mungkin karena isu penembakan sudah tersebar. Laura ingin merobek mulut orang yang telah menyebarkan isu. Sayang sekali dia tidak tahu siapa pelakunya. "Satu buket lily, mawar putih, dan anyelir. Silakan tanda tangan di sini." Laura membubuhkan tanda tangannya lalu mengucapkan terima kasih pada pengantar bunga. Dia meletakkan buket bunga tanpa nama pengirim itu di atas meja. Aroma bunga menusuk hidungnya, Laura tidak menyukai bu
"Kamu lagi sibuk?" Gino meletakkan ponselnya di antara telinga dan bahu sambil memeriksa berkas pekerjaannya. Alasan Gema merindukannya menyebabkan Gino tidak bisa menolak panggilan dari Ajeng. "Aku bisa ngobrol sambil kerja," ucap Gino berbohong, dia tidak bisa membagi fokusnya secara bersamaan. Namun, demi Gema, dia mengalah. "Kalau ada waktu aku mau bawa Gema ke New York sekalian ketemu Lala, udah lama banget kami nggak ketemu. Dia belum tahu kita pernah nikah. Istilah teman makan teman lagi trending dan aku nggak mau dia kecewa. Kamu bisa simpan rahasia ini 'kan, No?" Tentu saja Gino harus menyimpan rahasia pernikahannya dengan Ajeng. Misi mengejar Laura tidak boleh gagal hanya karena pernikahan palsu. "Tenang aja, aku nggak bakal ngomong apa-apa," ucap Gino datar. "Bagus deh." "Kapan kamu bawa Gema ke New York?" tanya G
Jika bisa menggambarkan bagaimana lelahnya Laura saat ini, maka hanya Tuhan yang tahu. Di kehidupan setelah reinkarnasi Laura bersumpah akan bersikap baik pada siapa pun. Supaya kehidupannya damai tanpa gangguan terlebih manusia bernama Russell. Katakan saja bad mood menghadapi tingkah remaja itu. Melebihi kesukaran menjaga Jessica yang hanya menangis saat meminta makanan. Russell lebih dari menyedot tenaga, emosi, dan pikiran. Laura tidak bisa meninggalkan Russell barang sejenak. Berjaga dua puluh empat jam di sisi laki-laki itu.Penderitaannya berakhir setelah seorang gadis cantik datang dan meminta Laura untuk pulang. Meskipun Russell tampak tidak rela, tapi dengan penuh perjuangan akhirnya Laura terbebas.Kini di apartemennya yang sunyi tanpa pencahayaan lampu, Laura berbaring di lantai dalam diam. Dia tidak ingat terakhir kalinya bernapas lega. Tubuhnya remuk seperti tertimpa beban berat, dia tidak ingin beranjak dari lantai. Meng
Bunyi bel menyentak kesadaran Gino dari lamunan. Dia membuka pintu apartemennya berharap Laura yang berdiri di sana. Namun, justru David tersenyum lebar sambil menunjukkan bungkusan besar berisi makanan ringan. Laki-laki itu datang seorang diri dan tidak ada tanda-tanda kemunculan Laura di lorong apartemen yang sepi. "Gino?!" Gino melebarkan pintu membiarkan David memasuki apartemennya. Dia menutup pintu dengan gerakan pelan seolah memahami kegelisahannya. David mengeluarkan ponsel untuk menghubungi Lucy. Detik berikutnya sambungan itu berakhir lalu David menatapnya prihatin. "Lucy bersama Jessica, aku tidak bisa memintanya pulang di tengah hujan salju. Lucy berada di Queen's mungkin lusa baru kembali. Maaf tidak bisa membantumu kawan." David menepuk bahu Gino pelan. "Mungkin aku bisa membujuk Laura datang kemari, selain Lucy seharusnya aku cukup dekat dengannya." David memutar tu
Seminggu kemudian, Laura akhirnya terbebas dari neraka. Dia menghirup aroma kebebasan dengan memberikan senyum lebar pada Grace. Yang hanya di balas oleh perempuan itu berupa tanda tanya. "Aku merindukanmu," ucap Laura menyebabkan Grace mengerti arti dari senyuman tadi. "Seminggu ini, apa ada yang aku lewatkan?" tanyanya. Grace menggeleng. "Hanya tukang koran dan pengantar bunga." "Bunga apa?" "Sunflower, aku benci bunga itu," ucap Grace jujur. "Russell tidak mungkin mengirim bunga." Laura menatap tumpukan bunga matahari yang telah mengering. "Laura, apa kau memiliki penggemar selain bocah itu?" "Mario tidak pernah memberiku bunga," gumam Laura pelan. "Hampir setiap hari laki-laki itu datang kemari, kau tunggu saja. Aku harus bekerja sekarang, selamat datang Laura. Aku juga merindukanmu."